Divergent (Divergent #1) (28)

Penulis: Veronica Roth

28


Aku merapatkan jaket di bagian bahu. Sudah lama aku tidak pergi ke luar. Matahari bersinar pucat di wajahku dan kulihat embus napasku membentuk bulatan kabut di udara.

Paling tidak, aku berhasil melakukan satu hal. Aku meyakinkan Peter dan teman-temannya kalau aku bukan lagi ancaman. Aku hanya perlu memastikan kalau besok, saat menghadapi ruang ketakutanku sendiri, aku akan membuktikan kalau mereka salah. Kegagalan kemarin sepertinya takkan mungkin terjadi. Hari ini aku tidak yakin.

Kusisir rambutku dengan jari. Tak ada lagi keinginan untuk menangis. Aku mengepang rambut dan mengikatnya dengan ikat rambut yang melingkar di pergelangan tanganku. Rasanya aku menjadi diri sendiri. Inilah yang kubutuhkan; mengingat siapa jati diriku. Dan, aku tipe orang yang takkan membiarkan hal-hal sepele seperti cowok dan pengalaman maut menghentikanku.

Aku tertawa sambil menggeleng. Benarkah aku seperti itu?

Terdengar peluit kereta. Jalur kereta api melingkat mengitari markas Dauntless, kemudia terus terbentang lebih jauh dari batas pandanganku. Dari mana kereta itu berangkat? Di mana pemberhentian terakhirnya? Seperti apa dunia di luar sana? Aku pun melangkah mendekati kereta.

Aku ingin pulang, tapi tak bisa melakukannya. Eric sudah memperingatkan kami untuk tidak terlalu dekat dengan orangtua kami saat Hari Kunjungan. Jadi, kalau aku pulang ke rumah, itu adalah pengkhianatan untuk Dauntless, dan aku tak bisa melakukannya. Namun, Eric tidak pernah bilang kami tak boleh mengunjungi faksi lain selain faksi asal kami dan ibu waktu itu menyuruhku mengunjungi Caleb.

Aku tahu, aku tidak boleh pergi tanpa pengawasan, tapi aku tak bisa menahan diri. Aku berjalan makin lama makin cepat, sampai berlari. Kuayunkan lengan dan berlari di sepanjang gerbong terakhir sampai aku bisa meraih pegangan pintunya dan mengayunkan tubuhku masuk. Aku mengernyit karena rasa sakit langsung menusuk tubuhku.

Begitu berada di dalam gerbong, aku bersandar di pintu dan melihat markas Dauntless mulai menghilang di belakangku. Aku tak ingin kembali, tapi jika aku memutuskan berhenti dan menjadi factionless, memang itu akan menjadi hal paling berani yang pernah kulakukan. Sayangnya, hari ini aku merasa sepreti seorang pengecut.

Angin menerpa tubuhku dan jari-jariku. Aku menyentuh pinggiran gerbong dengan jari-jariku sehingga makin kuat diterpa angin. Aku tak bisa pulang, tapi aku bisa mencari bagian keluargaku. Calem menempati setiap ruang kenangan masa kecilku. Ialah bagian dari awal hidupku.

Kereta melambat saat mencapai jantung kota dan aku duduk menatap gedung-gedung yang tadinya terlihat kecil lama-lama membesar. Erudite hidup di bangunan batu besar yang terlihat dari rawa. Aku memegang handel dan membungkuk ke luar gerbong untuk melihat ke mana arah kereta. Kereta menukik ke jalanan yang lebih rendah sebelum mereka berbelok ke arah timur. Aku mencium aroma jalanan basah dan udara rawa.

Kereta menukik dan melambat, maka aku pun melimpat. Kakiku gemetar saat mendarat di tanah dan aku berlari beberapa langkah untuk menjaga keseimbangan. Aku menusuri bagian tengah jalanan ke arah selatan. Menuju rawa. Sejauh mataku memandang, yang terbentang hanyalah daratan kosong. Bangkai kecokelatan sebuah pesawat terlihat ada di garis cakrawala.

Aku belok ke kiri. Bangunan-banguna Erudite bermunculan di hadapanku. Terlihat gelan dan asing. Bagaimana aku bisa menemukan Caleb di sini?

Erudite suka membuat catatan. Itu memang sudah sifat mereka. Mereka pasti menyimpan catatan peserta inisiasi mereka. Pasti ada seseorang yang memiliki akses ke catatan itu. Aku hanya perlu menemukannya. Aku menatap ke sekeliling gedung-gedung. Kalau boleh bicara logika, gedung yang terletak di tengah-tengah pastilah gedung yang paling penting. Mungkin aku akan mulai mencari di sana.

Anggota Erudite ada di mana-mana. Norma faksi Erudite menyebutkan bahwa setiap anggotanya harus mengenakan setidaknya sebuah aksesoris pakaian berwarna biru karena biru merangsang tubuh mengeluarkan zat kimia yang bisa menenangkan. “Pikiran yang tenang adalah pikiran yang jernih”. Warna itu juga menunjukkan warna faksi mereka. Sekarang, warna itu terlihat cerah di mataku. Aku sudah terbiasa dengan lampu remang-remang dan pakaian berwarna gelap.

Tadinya kupikir aku akan menyeruak di antara keramaian, senggol sana senggol sini, sambil berkata “permisi” seperti yang biasa aku lakukan. Tapi, sekarang tak perlu lagi. Menjadi seorang Dauntless membuatku terlihat mencolok. Orang-orang memberiku jalan dan mata mereka mengekor ke mana pun aku pergi. Aku menarik ikat rambutku dan mengurai rambutku sebelum memasuki pintu depan gedung yang di tengah.

Aku berdiri tepati di pintu masuk dan memiringkan kepala. Ruangan ini begitu besar, sunyi, dan baunya seperti bau debu di halam-halam buku. Lantai kayu berdetak saat kuinjak. Lemari buku berjajar di dinding di kedua sisiku, tapi sepertinya itu lebih bersifat dekoratif, karena komputer menempati setiap mejar yang ada di tengah ruangan. Plus tak ada orang yang sedang membaca. Semuanya tegang dan fokus menatap layar komputer.

Seharusnya aku tahu kalau gedung utama Erudite adalah perpustakaan. Gambar yang tergantung di depan menarik perhatianku. Ukurannya dua kali tinggiku dan empat kali lebar tubuhku. Gambar itu menunjukkan sesosok wanita yang menarik dengan mata kelabu yang bercahaya di balik sebingkai kacamata—Jeanine. Rasa panas menggumpal di tenggorokanku saat melihatnya. Karena ialah perwakilan Erudite, berarti ialah yang menerbitkan laporan tentang ayahku. Aku mulai tak menyukainya setelah berita yang dibawa ayah di meja makan waktu itu, tapi sekarang aku benar-benar membencinya.

Dibawah gambarnya, ada plakat besar yang tertulis: PENGETAHUAN MEMBAWA KITA MENUJU KEMAKMURAN.

Kemakmuran. Bagiku, kata ini memiliki konotasi negatif. Abnegation menggunatak kata itu untuk menggambarkan pemujaan terhadap diri sendiri.

Bagaimana Caleb bisa memutuskun memilih menjadi bagian dari mereka? Hal-hal  yang mereka lakukan, hal-hal yang mereka inginkan, semuanya salah. Tapi, mungkin Caleb akan berpikiran sama tentang Dauntless.

Aku berjalan menuju meja di depan potret dari Jeanine. Pria muda yang duduk di sana bahkan tidak mendongak saat bertanya, “Ada yang bisa kubantu?”

“Aku mencari seseorang,” ujarku. “Namanya Caleb. Kau tahu di mana aku bisa bertemu dengannya?”

“Saya tidak diizinkan untuk memberikan informasi pribadi,” jawabnya lembut sambil menatap erat layar monitor di hadapannya.

“Ia kakakku.”

“Saya tidak diizin—”

Aku menggebrak meja di hadapannya dan pemuda itu tersentak kaget sambil menatapku dari balik kacamatanya. Semua orang kini memandangku.

“Aku bilang,” ujarku pendek. “Aku mencari seseorang. Ia masih pesert inisiasi. Paling tidak bisakah kau memberitahuku di mana aku bisa mencari mereka?”

“Beatrice?” panggil seseorang dari belakang.

Aku berbalik. Caleb berdiri di belakangku. Tangannya menggenggam buku. Rambutnya panjang dan mencuat keluar dari balik telinga, dan ia mengenakan kaus berwarna biru. Juga, sepasang kacamata berbingkat persegi. Walau ia kelihatan berbeda dan aku tidak boleh menyayanginya lagi seperti dulu, aku cepat-cepat berlari menghampirinya dan merangkulnya.

“Kau punya tato,” ujarnya dengan suara tertahan.

“Kau pakai kacamata,” kataku. Aku melepaskan pelukanku dan menyipitkan mata. “Matamu kan baik-baik saja, Caleb, apa yang kau lakukan?”

“Um ...” ia melirik ke arah meja di sekeliling kami. “Ayo. Kita pergi dari sini.”

Kami keluar dan menyeberangi jalanan. Aku harus berlari kecil untuk menjajari langkahnya. Di seberang markas Erudite dulunya ada sebuah taman. Sekarang, kami cukup memanggilnya “Millenium”, dan di tempat itu terbentang lahan kosong dan beberapa pahatan baja yang berkarat—satu pahatan abstrak, satu mamooth, satu lagi berbentuk seperti kacang Lima yang luar biasa besar.

Kami berhenti di pelataran di sekitar pahatan kacang besi itu. Di sana beberapa Erudite duduk berkelompok membaca buku atau koran. Caleb melepaskan kacamata dan memasukkannya ke dalam saku. Kemudian. Ia menyisir rambutnya dengan jari. Matanya tak menatapku. Gugup. Sepertinya ia malu. Mungkin aku juga harus merasa seperti itu. Aku bertato, rambut terurai, dan mengenakan pakaian ketat. Tapi, aku sama sekali tidak merasakannya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.

“Aku mau pulang,” kataku, “dan yang terlintas di kepalaku cuma kamu.”

Caleb merapatkan bibirnya.

“Jangan terlalu senang melihatku,” tambahku.

“Hei,” ujarnya sambil menyentuh bahuku. “Aku memang senang bertemu denganmu. Hanya saja, ini tidak boleh. Ada peraturan.”

“Aku tidak peduli,” kataku. “Aku tidak peduli, oke?”

“Mungkin kau harus peduli.” Suaranya lembut. Caleb menatapku tak setuju seperti yang dulu sering ia lakukan. “Kalau aku jadi kau, aku tak ingin membuat masalah dengan faksimu.”

“Apa maksudnya?”

Aku tahu persis apa maksudnya. Ia memandang faksiku sebagai faksi yang paling kejam. Tidak lebih.

“Aku cuma tak mau kau terluka. Kau tak perlu semarah itu padaku,” ujarnya sambil memiringkan kepala. “Apa yang terjadi denganmu di sana?”

“Tidak ada. Tidak terjadi apa-apa.” Aku memejamkan mata dan menggaruk belakang leherku. Bahkan, jika aku bisa menjelaskan semuanya pada Caleb, aku tetap tidak mau. Aku bahkan tidak berani memikirkannya.

“Menurutmu ....” ia tertunduk menatap sepatunya. “Menurutmu kau telah membuat pilihan yang benar?”

“Menurutku tidak ada pilihan yang benar,” kataku. “Bagaimana denganmu?”

Caleb menatap sekeliling. Orang-orang menatap kami saat mereka melewati kami. Matanya tak terlalu menatap mereka. Ia masih gugup, tapi mungkin bukan karena penampilannya, melainkan karena  kehadiranku. Mungkin juga karena mereka. Aku menarik lengannya ke bawah lengkungan pahatan kacang. Kami berjalan di bawah celah lengkung bagian tengah kacang. Aku bisa melihat bayanganku di mana-mana. Ada yang menggelembung di dinding logam yang melengkung. Ada pula bayangan yang retak oleh garis-garis karat dan kotoran.

“Ada apa ini?” ujarku sambil melipat lengan ke dada. Aku tadi tak memperhatikan ada lingkaran hitam di bawah matanya. “Ada yang salah?”

Caleb menahan tubuhnya dengan menyentuh dinding logam. Bayangannya membentuk sosok berkepala kecil yang bersandar di salah satu sisi dan lengannya seperti tertekuk ke belakang. Sedangkan bayanganku sendiri, kelihatan kecil dan kerdil.

“Ada sesuatu yang besar sedang terjadi, Beatrice. Sesuatu yang salah.” Matanya melebar dan bercahaya. “Aku tak tahu apa itu, tapi orang-orang terus saja sibuk, berkasak-kusuk, dan Jeanine berceramah tentang betapa korupnya Abnegation selama ini, hampir setiap hari.

“Kau percaya padanya?”

“Tidak. Mungkin. Aku tidak ....” Caleb menggeleng. “Aku tak tahu mana yang aku percayai.”

“Ya, kau tahu,” ujarku tegas. “Kau tahu kan siapa orangtua kita. Kau kenal teman-teman kita. Ayah Susan, menurutmu ia korup?”

“Seberapa banyak yang kutahu? Seberapa banyak mereka membiarkanku tahu? Dulu di Abnegation, mereka tak mengizinkan kita bertanya sesuatu! Dan di sini ....” Caleb mendongak dan di dalam cermin datar yang ada tepat di atas kami, aku melihat bayangan kami. Sekecil kuku jari. Menurutku, itulah bayangan kami yang sesungguhnya. Sama kecilnya seperti keberadaan kami. Ia melanjutkan, “Di sini, semua informasinya gratis, selalu tersedia.”

“Ini bukan Candor. Ada banyak pembohong di sini, Caleb. Banyak orang yang terlalu pintar sampai-sampai tahu bagaimana caranya memanipulasi orang.”

“Menurutmu, aku tidak akan sadar kalau aku sedang dimanipulasi?”

“Kalau mereka sepintar yang kau bilang, maka kau tidak akan sadar. Menurutku kau tidak akan sadar.”

“Kau tak tahu apa yang sedang kau katakan,” ujarnya sambil menggeleng.

“Yeah. Bagaimana aku mungkin bisa tahu seperti apa faksi yang korup itu? Aku sedang mengikuti pelatihan menjadi Dauntless, demi Tuhan,” kataku. “Setidaknya aku tahu aku bagian dari apa, Caleb. Kau memilih untuk mengabaikan apa yang telah kita pelajari seumur hidup—orang-orang ini sombong dan serakah dan tidak akan membawa kemajuan apa pun untukmu.”

Suaranya menjadi tegas. “Kurasa kau harus pergi, Beatrice.”

“Dengan senang hati,” kataku. “Mungkin ini tidak penting buatmu, ibu menyuruhku memberitahumu untuk mencari tahu tentang serum simulasi.”

“Kau bertemu ibu?” Ia kelihatan sakit hati. “Kenapa ibu tidak—”

“Karena,” kataku. “Erudite tidak mengizinkan Abnegation memasuki wilayah mereka lagi. Memangnya informasi macam itu tidak tersedia untukmu?”

Aku mendorongnya dan meninggalkannya. Aku mulai menyusui trotoar. Seharusnya tadi aku tidak pergi. Rasanya sekarang markas Dauntless seperti rumah sendiri—setidaknya di sana aku tahu persis di mana aku berdiri, yaitu di tanah yang tidak stabil.

Kerumunan orang di jalanan mulai berkurang dan aku mendongak untuk mencari tahu. Beberapa meter di hadapanku ada dua pria Erudite dengan lengan terlipat di dada.

“Permisi,” ujar salah satu dari mereka. “Kau harus ikut kami.”

***

Seorang pria berjalan begitu dekat di belakangku sampai aku bisa merasakan embusan napasnya di balik leherku. Pria yang satunya lagi mengajakku masuk ke dalam perpustakaan dan menyusuri tiga koridor untuk mencapai elevator. Di dalam perpustakaan, lantainya berubah dari lantai kayu menjadi keramik putih. Dindingnya bersinar seperti langit-langit ruang Tes Kecakapan. Sinarnya terpantul di pintu elevator yang keperakan. Aku memicingkan mata agar bisa tetap melihat.

Aku mencoba tenang. Aku bertanya di dalam hati tentang latihan Dauntless. Apa yang kau lakukan jika seseorang menyerangmu dari belakang?  Aku membayangkan menusukkan lengan siku ke belakang menghunjam perut atau selangkangan. Aku membayangkan berlari. Kuharap aku punya senjata. Inilah cara pikir Dauntless dan sekarang telah menjadi cara pikirku.

Apa yang kau lakukan kalau diserang dua orang sekaligus? Aku mengikuti orang itu menyusuri koridor kosong yang gemerlap menuju sebuah kantor. Dindingnya terbuat dari kaca—kurasa sekarang aku tahu siapa yang merancang sekolahku.

Seorang wanita duduk di belakang meja besi. Aku menatap wajahnya. Wajah yang sama yang mendominasi perpustakaan Erudite. Wajah yang menghiasi tiap artikel yang diterbitkan Erudite. Sudah berapa lama aku membenci wajah itu? Aku tidak ingat.

“Duduk,” ujar Jeanine. Suaranya terdengar tidak asing, terutama saat ia sedang kesal. Matanya yang abu-abu bening menatapku erat.

“Lebih baik tidak.”

Duduk,” ujarnya lagi. Sekarang, aku yakin aku pernah mendengar suaranya.

Aku mendengarnya di aula. Ia berbicara dengan Eric sebelum aku diserang. Aku mendengarnya menyebut kata Divergent. Dan, sekali sebelumnya—aku mendengarnya ....

“Itu suaramu yang ada di simulasi,” ujarku. “Maksudku waktu Tes Kecakapan.”

Ialah bahaya yang diperingatkan oleh Tori dan ibu. Bahaya yang kuhadapi sebagai seorang Divergent. Duduk di hadapanku.

“Benar. Tes Kecakapan sejauh ini adalah prestasi terbesarku sebagai seorang ilmuwan,” balasnya. “Aku melihat hasil tesmu, Beatrice. Rupanya ada masalah dengan tesmu. Hasilnya tak pernah tercatat dan dilaporkan secara manual, kau tahu itu?”

“Tidak.”

“Apa kau tahu kalau kau salah satu dari dua orang yang memperoleh hasil Abnegation dan memilih pidah ke Dauntless.”

“Tidak,” kataku sambil menahan rasa terkejut. Hanya aku dan Tobias? Tapi, hasilnya memang murni; sedangkan hasil tesku adalah bohong.

Perutku terasa melilit saat memikirkannya. Sekarang, aku tak peduli betapa uniknya Tobias. Ia tadi memanggilku menyedihkan.

“Kenapa kau memilih Dauntless?” ujarnya.

“Apa hubunganya?” aku mencoba memperlembut suaraku, tapi tidak berhasil. “Apa Anda tidak akan memarahiku karena meninggalkan faksiku dan mencari kakakku? ‘Faksi lebih penting dari pertalian darah’, kan?” aku berhenti sebentar. “Kalau dipikir-pikir, kenapa aku ada di kantor Anda? Bukankah Anda orang penting atau semacamnya?”

Mungkin itu akan membuatnya tidak terlalu sombong.

Sejenak bibirnya mengerucut. “Aku akan membiarkan Dauntless yang menegurmu,” ujarnya sambil bersandar di kursi.

Aku mengepalkan tangan di bagian belakang kursi yang tadi aku tidak mau duduki. Di belakangnya ada jendela yang mengarah ke kota. Kereta berbelo pelan di kejauhan.

“Tentang alasan kedatanganmu ... rasa penasaran adalah keistimewaan faksi kami,” ujarnya, “saat aku memeriksa catatanmu, kutemukan ada kesalahan lagi pada salah satu simulasimu. Lagi-lagi gagal dicata. Kau tahu itu?”

“Bagaimana kau bisa mengakses catatanku? Yang bisa mengaksesnya cuma Dauntless.”

“Karena Eruditelah yang mengembangkan simulasi, kami memiliki semacam ... perjanjian dengan para Dauntless, Beatrice.” Ia memiringkan kepala dan tersenyum ke arahku. “Aku cuma mengkhawatirkan kompetensi teknologi kami. Kalau alat kami gagal saat mengujimu, aku harus memastikan hal ini tidak terus berlanjut. Kau mengerti?”

Aku paham satu hal; Jeanine berbohong padaku. Ia tak peduli tentang teknologinya—ia mencurigai ada yang salah dengan hasil tesku. Seperti para pemimpin Dauntless, ia juga mencari-cari keberadaan Divergent. Dan, jika ibu ingin Caleb mencari tahu tentang serum simulasi, itu mungkin karena Jeanine mengembangkannya.

Tapi, kenapa kemampuanku memanipulasi simulasi begitu mengancam? Kenapa itu jadi masalah untuk Erudite, untuk semua orang?

Aku tak bisa menjawab semua pertanyaan itu. Tapi, tatapannya mengingatkanku pada tatapan anjing di dalam simulasi Tes Kecakapan—tatapan pembunuh yang kejam. Sepertinya ia ingin mencabik-cabikku. Kali ini aku tidak bisa berbaring pasrah. Aku juga harus berubah menjadi anjing yang juga siap menyerang balik.




1 comment: