Divergent (Divergent #1) (13)

Penulis: Veronica Roth

13


Keesokan harinya, saat aku susah payah berjalan sambil menguap menuju ruang latihan, sebuah target besar bediri di ujung ruangan. Di sebelah pintu ada meja yang dipenuhi pisau. Latihan melempar pisau ke sasaran lagi. Setidaknya, tidak akan terasa sakit.

Eric berdiri di tengah ruangan. Posturnya begitu kaku seakan tulang punggungnya telah diganti dengan balok baja. Keberadaannya membuatku merasa seakan seluruh udara di ruangan ini menjadi lebih beras menemukanku. Setidaknya saat biasanya ia bersandar di dinding, aku bisa berpura-pura ia tidak ada. Hari ini aku tak bisa seperti itu.

“Besok hari terakhir tahap pertama,” ujar Eric. “Besok kalian akan melanjutkan pertarungan. Hari ini, kalian akan belajar caranya membidik. Setiap orang ambil tiga pisau.” Suaranya lebih dalam dari biasanya. “Dan, perhatikan saat Four memperagakan teknik melempar pisau yang benar.”

Tidak ada yang bergerak.

Sekarang!”

Kami berhamburan mengambil belati. Belati memang tak seberat senjata, tapi tetap terasa asing di tanganku. Rasanya seperti aku tak diizinkan untuk memegangnya.

“Suasana hatinya sedang jelek hari ini,” gumam Christina.

“Memangnya pernah bagus?” aku menggumam balik.

Tapi, aku tahu apa maksudnya. Dilihat dari tatapan geram Eric pada Four saat Four sedang lengah, kekalahan semalam pasti telah mengganggu Eric lebih dari yang ia kira. Memenangkan permainan merebut bendere itu menyangkut harga diri. Harga diri itu penting bagi Dauntless. Lebih penting dari alasan atau logika.

Aku memperharikan lengan Four saat ia melempar pisau. Saat ia melempar lagi, aku melihat caranya berdiri. Ia selalu mengenai sasaran. Dan, tiap kali ia melemparkan pisaunya, ia mengembuskan napas.

Eric memberi perintah, “Berbaris!”

Terburu-buru, takkan membantu menurutku. Ibu pernah bilang saat aku belajar merajut. Aku harus menganggapnya sebagai latihan mental, bukan latihan fisik. Jadi, aku menghabiskan beberapa menit pertama untuk berlatih tanpa pisau, menemukan kuda-kuda yang benar, dan mempelajari gerakan lengan.

Eric mondar-mandir di belakang kami.

“Kurasa kepala si Kaku ini sudah tak sehat karena keseringan terbentur!” teriak Peter dan mengundan perhatian beberapa orang. “Hei, Kaku! Ingat kan apa pisau itu?”

Aku mengabaikannya. Aku berlatih melempar lagi sambil memegang pisau, tapi tak sungguh-sungguh melemparnya. Aku menutup diri dari suara langkah Eric, ejekan Peterm dan perasaan jengkel karena Four terus-terusan melihatku, lalu kulempar pisaunya. Pisaunya terus berputar dan membentur papan. Bilahnya memang tak tertancap, tapi akulah orang pertama yang mengenai sasaran.

Aku tersenyum puas saat Peter meleset lagi. Dan, aku tak bisa menahan diri.

“Hei Peter,” kataku. “Ingat kan apa artinya target?”

Di sebelahku, Christina mendengus dan lemparan selanjutnya mengenai sasaran.

Setengah jam kemudian, Al adalah satu-satunya peserta yang belum mengenai target. Pisaunya terpelanting di lantai atau membentur tembok. Saat sebagian dari kami mendekati papan untuk mengambil kembali senjata kami, Al mencari senjatanya di lantai.

Sekali lagi ia mencoba dan meleset. Eric bergegas menghampirinya dan berteriak, “ Seberapa lambatnya kau ini, Candor? Kau perlu kacamata? Apa targetnya harus kudekatkan?”

Wajah Al memerah. Ia melempar satu pisau lagi dan kali ini melayang sedikit terlalu ke kanan dari target. Pisaunya berputar dan membentur tembok.

“Apa itu yang barusan, Anak Baru?” tanya Eric kalem sambil membungkukkan badan pada Al.

Aku menggigit bibirku. Ini tidak bagus.

“Tadi—tadi licin,” ujar Al.

“Ya, kupikir kau harus mengambilnya,” ujar Eric. Ia melihat ke wajah para peserta inisiasi—semuanya berhenti melempat—dan berkata, “Apa kusuruh kalian berhenti?”

Pisau-pisau mulai menghantam sasaran lagi. Kami sudah melihat Eric marah sebelumnya, tapi kali ini berbeda. Tatapan matanya seperti hampir gila.

“Mengambilnya?” mata Al melebar. “Tapi, semuanya sedang melempar.”

“Dan?”

“Dan aku tidak mau kena pisau.”

“Kurasa kau bisa memercayai teman-teman barumu bisa membidik lebih baik darimu.” Eric sedikit tersenyum, tapi matanya tetap kejam. “Ambil pisaumu.”

Al biasanya tidak keberatan dengan apa pun yang disuruh petinggi Dauntless. Aku pikir ia bukannya takut; ia cukup tahu kalau keberatan pun tak ada gunanya. Kali ini Al mengencangkan rahangnya. Ia telah mencapai batas kepatuhannya.

“Tidak,” ujarnya.

“Kenapa tidak?” bola mata Eric menatap tepat ke wajah Al. “Kau takut?”

“Takut tertusuk pisau yang melayang di mana-mana?” tanya Al. “Ya, aku takut!”

Kejujuran adalah kesalahannya. Bukan penolakannya yang mungkin saja bisa Eric terima.

“Semua berhenti!” teriak Eric.

Pisau-pisau berhenti melayang dan juga semua percakapan. Aku memegang belati kecilku kuat-kuat.

“Kosongkan arena.” Eric menatap Al. “Semuanya kecuali kau.”

Aku menjatuhkan belati dan belati itu berdebum membentur lantai berdebu. Aku mengikuti peserta lainnya ke pinggir ruangan. Mereka mendekat dan berdiri di depanku karena ingin melihat pemandangan yang membuat perutku jungkir balik—Al menghadapi kemarahan Eric.

“Berdiri di depan target,” ujar Eric.

Tangan besar Al gemetar. Ia berjalan menuju target.

“Hei, Four.” Eric melirik dari balik bahunya. “Bantu aku!”

Four menggaruk salah satu alisnya dengan ujung pisau dan mendekati Eric. Ada lingkaran hitam di bawah matanya dan ketegangan tersungging di bibirnya—ia sama lelahnya dengan kami semua.

“Kau akan berdiri di sana sementara ia akan melempar pisau-pisau ini,” ujar Eric pada Al, “sampai kau belajar untuk tidak membangkang.”

“Apa ini harus dilakukan?” tanya Four. Suaranya kedengaran bosan, tapi ia tidak kelihatan bosan. Wajah dan tubuhnya tegang. Waspada.

Aku mengepalkan tangan. Tak peduli betapa santainya suara Four, pertanyaan itu seperti tantangan. Dan, Four jarang menantang Eric secara langsung.

Sejenak Eric menatap Four tanpa bicara. Four menatap balik. Beberapa detik berlalu dan kukuku makin menusuk telapak tangan.

“Aku yang berkuasa di sini, ingat?” ujar Eric begitu lirih sampai aku tak bisa mendengarnya. “Di sini dan di mana pun juga.”

Wajah Four mulai memerah walau ekspresinya tidak berubah. Genggamannya main erat dan tulang jarinya memutih saat ia berbalik menghadap Al.

Aku bergantian melihat mata hitam Al yang lebar, tangannya yang gemetar, dan rahang Four yang mengencang. Kemarahan menggelak di dadaku dan tiba-tiba saja mulutku berteriak: “Berhenti!”

Four membalikkan pisau di tangannya. Jemarinya perlahan bergerak di pinggir bilah pisau itu. Ia menatapku tajam sampai-sampai kurasa ia bisa mengubahku menjadi batu. Aku tahu kenapa. Aku sudah bersikap bodoh dengan berbicara saat ada Eric di sini; aku bodoh hanya karena berbicara.

“Idiot mana saja juga bisa berdiri di depan target,” kataku. “Itu tak membuktikan apa-apa kecuali kau sedang menindas kami, dan seingatku, itu adalah tanda-tanda pengecut.”

“Jadi, tak masalah, kalau kau mau mengambil alih tempatnya,” ujar Eric.

Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah berdiri di depan target, tapi sekarang aku tak bisa mundur. Aku tak punya pilihan lain. Aku menyeruak di antara kerumunan peserta latihan dan seseorang mendorong bahuku.

“Hancurlah wajah cantikmu,” desis Peter. “Oh tunggu, kau kan tidak cantik.”

Aku mengembalikan keseimbangan dan berjalan ke arah Al. Ia mengangguk padaku. Aku mencoba tersenyu, berani, tapi tak bisa. Aku berdiri di depan papan dan kepalaku bahkan tidak mencapai bagian tengah target. Tapi, itu bukan masalah. Kutatap pisau-pisau Four: satu di tangan kanan dan dua di tangan kiri.

Tenggorokanku kering. Kucoba menelan dan kulihat ke arah Four. Ia tak pernah ceroboh. Ia takkan mengenaiku. Aku akan baik-baik saja.

Aku menaikkan dagu. Aku takkan bergerak. Kalau aku bergerak, aku memberikan Eric bukti bahwa ini tidak semudah yang kukatakan. Aku akan membuktikan kalau aku bukang pengecut.

“Kalau kau bergerak,” ujar Four dengan perlahan dan hati-hati, “Al akan menggantikan tempatmu. Mengerti?”

Aku mengangguk.

Mata Four masih menatap mataku saat ia mengangkat tangannya. Ia menarik sikutnya ke samping dan melempar pisau. Rasanya seperti sekilas saja dan aku mendengar suara benturan. Pisau itu tertancap di papan, 15 sentimeter dari pipiku. Aku menutup mata. Puji Tuhan.

“Kau mau menyerah, Kaku?” tanya Four.

Aku teringat mata lebar Al dan tangisan diam-diamnya di malam hari. Aku menggeleng. “Tidak.”

“Buka matamu.” Ia mengetuk dahi di antara kedua alisnya.

Aku menatapnya. Tanganku kutempelkan erat-erat di samping tubuh supaya tak ada yang bisa melihat tanganku gemetaran. Four memindahkan sebilah pisau dari tangan kirinya ke tangan kanan. Dan, aku tak melihat apa-apa, kecuali matanya saat pisau kedua mengenai target di atas kepalaku. Kali ini lebih dekat dari yang pertama—aku merasakan pisau itu bergetar di atas tengkorakku.

“Ayolah, Kaku,” ujarnya. “Biarkan orang lain berdiri di sana dan menggantikanmu.”

Apa ia mencoba mendorongku untuk menyerah? Apa ia mau aku gagal?

Diam, Four!”

Aku menahan napas saat ia memindahkan pisau terakhir di tangannya. Aku melihat kilatan cahayan di matanya saat ia menarik lengannya ke belakang dan melemparkan pisaunya. Pisaunya tepat mengarah ke arahku, berputar-putar. Tubuhku kaku. Kali ini, saat pisau itu mengenai papan, telingaku terasa nyeri, dan kurasakan ada sedikit darah di kulitku. Aku menyentuh telingaku. Four mengenai telingaku.

Dan melihat dari tatapannya, ia melakukannya dengan sengaja.

“Aku ingin sekali tetap ada di sini dan melihat apakah kalian semua sama beraninya seperti ia,” ujar Eric licin. “Tapi, kurasa cukup sampai hari ini.”

Ia meremas bahuku. Tangannya terasa kering dan dingan. Tatapan yang ia berikan padaku rasanya seperti ia yang berjasa atas apa yang tadi kulakukan. Aku tak membalas senyuman Eric. Apa pun yang tadi kulakukan tak ada hubungannya dengan dirinya.

“Aku akan mengamatimu,” tambahnya.

Ketakutan merayapi tubuhku, dadaku, kepalaku, dan tanganku. Aku merasakan seakan kata “DIVERGENT” tercetak di dahiku dan jika ia melihatku lebih lama lagi, ia mungkin akan bisa membacanya. Tapi, Eric mengangkat tangannya dari bahuku dan terus berjalan.

Aku dan Four tetap tinggal di sana. Aku menunggu sampai ruangan kosong dan pintu ditutup sebelum memandang lagi. Ia berjalan mendekatiku.

“Apakah telingamu—” ia mulai bercara.

“Kau melakukannya dengan sengaja!” teriakku.

“Ya memang,” jawabnya kalem. “Dan, harusnya kau berterima kasih padaku karena sudah menolongmu.”

Aku menggertakkan gigi. “Terima kasih? Hampir saja kau menusuk telingaku dan tadi kau terus-terusan mengejekku. Kenapa aku harus berterima kasih?”

“Kau tahu, aku mulai sedikit capek menunggumu untuk mengerti!”

Foru menatapku jengkel, dan bahkan saat ia menatapku, matanya kelihatan sungguh-sungguh. Bayangan biru di matanya kelihatan aneh. Birunya terlalu tua sampai kelihatan hampir hitam dengan sedikit bagian berwarna biru muda di iris sebelah kiri tepat di samping sudut matanya.

“Mengerti? Mengerti apa? Kalau kau ingin membuktikan pada Eric betapa tangguhnya dirimu? Kalau kau sama sadisnya seperti ia?”

“Aku bukan orang sadis.” Four tak berteriak. Kuharap ia berteriak. Itu akan membuat ketakutanku berkurang. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dekat sekali, lalu berkata, “Kalau aku mau menyakitimu, tidakkah kau pikir aku sudah melakukannya dari dulu?”

Ia melintasi ruangan dan melempar ujung pisau kuat-kuat ke arah meja sampai pisau itu tertancap, bergetar dengan gagangnya mengarah ke atap.

“Aku—” aku mulai berteriak, tapi Four terlanjur pergi. Aku berteriak frustrasi, dan mengelap sedikit darah yang keluar dari telingaku.[]


No comments:

Post a Comment