Penulis: Veronica Roth
16
Siang itu aku kembali ke kamar asrama saat semua orang
sedang menghabiskan waktu dengan keluarganya. Aku mendapati Al duduk di
ranjangnya sambil menatap ke arah dinding kosong yang biasanya dipasangi papan
tulis. Kemarin Four mengambilnya agar ia bisa menghitung ranking kami di tahap pertama inisiasi.
“Di sini kau rupanya!” kataku. “Orangtuamu mencarimu tadi.
Kau sudah ketemu mereka?”
Ia menggeleng.
Aku duduk di sampingnya. Lebar kakiku setengah kali kakinya,
bahkan sekarang kakinya lebih berotot dari sebelumnya. Ia menggunakan celana
pendek warna hitam. Lututnya lebam ungu kebiruan dan ada bekas luka melintang.
“Kau tak ingin bertemu mereka?” kataku.
“Aku tak mau mereka bertanya bagaimana perkembanganku,”
ujarnya. “Aku harus menjawabnya dan mereka akan tahu kalau aku berbohong.”
“Yah ...” aku mencoba mengatakan sesuatu. “Ada yang salah
dengan perkembanganmu di sini?”
Al tertawa kasar. “Aku selalu kalah di tiap pertandingan
sejak pertarunganku dengan Will. Aku tak melakukannya dengan baik.”
Tapi, itu karena keinginanmu. Apa kamu tidak bisa
mengatakannya juga?”
Ia menggeleng. “Ayahku selalu ingin aku masuk sini.
Maksudku, mereka bilang mereka ingin aku tetap tinggal di Candor, tapi itu
hanya basa-basi. Mereka, ayahku dan ibuku, selalu mengagumi Dauntless. Mereka
takkan mengerti kalau aku mencoba menjelaskannya pada mereka.”
“Oh.” Aku mengetuk-ngetukkan jari di atas lutut, lalu,
menoleh padanya. “Itukah alasan kenapa kau memilih Dauntless? Karena
orangtuamu?”
Al menggeleng. “Bukan. Kurasa itu karena ... menurutku
melindungi orang itu penting. Membela orang. Seperti yang kemarin kau lakukan
untukku.” Ia tersenyum padaku. “Itulah seharusnya tugas seorang Dauntless, kan?
Itulah arti keberanian. Bukannya ... menyakiti orang tanpa alasan yang jelas.”
Aku ingat apa yang pernah Four katakan padaku. Kerja sama
tim dulunya adalah prioritas Dauntless. Seperti apa, ya, Dauntless waktu itu?
Apa yang kupelajari jika aku sejak dulu berada di sini saat ibuku tetap menjadi
seorang Dauntless? Mungkin aku tidak akan mematahkan hidung Molly. Atau,
mengancam kakak Will.
Ada rasa bersalah menyerangku. Mungkin akan membaik setelah
inisiasi ini berakhir.”
“Sayang sekali, mungkin aku akan berada di urutan terbawah,”
ujar Al. “kurasa kita akan tahu nanti malam.”
Kami duduk saling berdampingan sejenak. Lebih baik berada di
sini, di kesunyian, daripada di The Pit dan melihat semua orang tertawa bersama
keluarganya.
Ayah pernah bilang, cara terbaik untuk membantu seseprang
itu cukup dengan berada di dekatnya. Aku senang melakukan sesuatu yang kutahu
akan membuat ayah bangga. Seakan itu akan menutupi semua hal yang telah
kulakukan dan membuat Ayah kecewa.
“Aku merasa lebih berani saat berada di dekatmu, kau tahu,”
ujarnya. “Rasanya sepertinya aku cocok berada di sini, seperti dirimu juga.”
Aku hampir menjawab pertanyaan Al saat tiba-tiba lengannya
merangkul bahuku. Aku mematung. Pipiku terasa panas.
Aku tak ingin sok tahu perasaan Al. Tapi memang itu
kenyataannya, kurasa Al menyukaiku.
Aku tidak mendekat padanya. Aku malah duduk sedikit maju
agar tangannya lepas dari bahuku. Lalu, kukepalkan kedua tanganku di pangkuan.
“Tris, aku ...,” ujarnya. Suaranya tercekat. Aku melirik ke
arahnya. Wajahnya semerah wajahku, tapi ia tak menangis—ia Cuma kelihatan malu.
“Um ... maaf,” ujarnya. “Aku tidak bermaksud ... um. Maaf.”
Rasanya aku ingin bilang kalau jangan memasukkannya ke dalam
hati. Aku bisa saja bilang padanya kalau kedua orangtuaku jarang berpegangan
tangan, bahkan di rumah kami sendiri, jadi aku membiasakan diri untuk menghindari
semua gerak tubuh yang menunjukkan kasih sayang. Mungkin jika aku
memberitahunya tentang hal ini, tidak akan ada sedikit rasa sakit hati di balik
wajahnya yang malu itu.
Tapi, tentu saja ini masalah pribadi. Ia temanku—dan Cuma
teman. Apa yang lebih pribadi dari itu?
Aku menarik napas dan mengembuskannya sembari tersenyum.
“Maaf kenapa?” tanyaku sambil mencoba kedengaran biasa. Aku menepuk-nepuk
jinsku, pura-pura membersihkannya, lalu berdiri.
“Aku harus pergi,” kataku.
Ia mengangguk dan tak melihat ke arahku.
“Kau akan baik-baik saja?” tanyaku. “Maksudku ... karena
orangtuamu. Bukan karena ...” kubiarkan suaraku melemah. Aku tak tahu apa yang
harus dikatakan jika tak berhenti bicara.
“Oh. Yeah.” Ia mengangguk lagi, sedikit terlalu bersemangat.
“Ketemu lagi nanti, Tris.”
Aku mencoba tidak berjalan keluar kamar terlalu cepat. Saat
pintu kamar asrama tertutup, aku menyentuh dahiku dan sedikit tersenyum.
Meskipun canggung rasanya menyenangkan mengetahui ada orang yang menyukaiku.
***
Membicarakan kunjungan keluarga akan terlalu menyakitkan,
jadi yang semua orang bicarakan malam itu adalah ranking final kami di tahap pertama. Setiap ada yang membahasnya,
aku menatap menerawang ke seberang ruangan dan mengabaikannya.
Rangking ku takkan
seburuk sebelumnya, terlebih setelah aku mengalahkan Molly. Tapi, sepertinya
tak cukup bagus untuk membuatku masuk ke sepuluh besar inisiasi. Apalagi
setelah anak asli Dauntless juga ikut diperhitungkan.
Saat makan malam, aku duduk bersama Christina, Will, dan Al
di meja di sudut ruangan. Kami merasa tak nyaman berada dekat Peter, Drew, dan
Molly yang ada di meja sebelah. Saat percakapan di meja kami berhenti, aku bisa
mendengar tiap kata yang mereka ucapkan. Mereka berspekulasi tentang ranking. Sudah kuduga.
“Kau tidak boleh punya hewan
piaraan?” teriak Christina sambil memukul meja dengan telapak tangannya.
“Kenapa tidak?”
“Karena hewan piaraan itu tidak masuk akal,” ujar Will
sungguh-sungguh. “Apa gunanya memberi makan dan tempat tinggal untuk binatang
yang mengotori perabotanmu, membuat rumahmu bau, yang akhirnya toh pasti mati?”
Aku dan Al saling berpandangan seperti yang kami lakukan
saat Christina dan Will mulai bertengkar. Tapi kali ini, begitu kami saling
berpandangan, kami berdua langsung berpaling. Kuharap kecanggungan di antara
kami ini tidak bertahan lama. Aku mau temanku kembali.
“Masalahnya ...”
suara Christina memelan dan ia memiringkan kepala. “Yah, memiliki hewan piaraan
itu menyenangkan. Aku pernah punya bulldog namanya Chunker. Waktu itu, kami pernah
meinggalkan satu ayam panggang utuh di meja agar sedikit dingin. Saat ibu pergi
ke kamar mandi, ia menarik ayam panggang itu dari meja dan memakannya, sampai
ke tulang-tulangnya. Kami tertawa keras sekali.”
“Ya, itu pasti akan mengubah pikiranku. Tentu saja aku mau
hidup dengan hewan yang memakan semua makananku dan menghancurkan dapurku.”
Will menggeleng. “Kenapa kau tidak pelihara saja seekor anjing setelah inisiasi
kalau kau merasa kangen?”
“Karena.” Senyum Christina memudar dan ia menusuk kentangnya
dengan garpu. “Anjing agak sedikit membuatku ngeri. Setelah, ... kau tahu,
setelah Tes Kecakapan.”
Kami saling berpandangan. Kami semua tahu kalau kami tak
seharusnya membicarakan tes itu, bahkan setelah kami membuat pilihan. Tapi bagi
mereka, peraturan tidaklah seserius itu. Jantungku berdegup tidak beraturan.
Menurutku, peraturan adalah perlindungan. Itu mencegahku berbohong dari
teman-temanku mengenai hasil tesku. Tiap kali aku mendengar kata “Divergent”,
aku mendengar peringatan Tori—dan sekarang peringatan ibu juga. Jangan bilang siapa pun. Berbahaya.
“Maksudmu ... membunuh anjing itu, kan?: tanya Will.
Aku hampir lupa. Mereka yang memiliki kecakapan Dauntless
akan mengambil pisau di dalam simulasi dan menusuk anjing itu. Tak heran jika
Christina tak ingin memiliki aning piaraan lagi. Aku memanjangkan lengan bajuku
sampai melewati pergelangan tangan dan meremas tanganku.
“Yeah,” jawab Christina. “Maksudku, kalian semua
melakukannya juga, kan?”
Pertama ia melihat Al, lalu melihatku. Mata hitamnya menyipit,
lalu ia berkata, “Kau tidak
melakukannya?”
“Hmm?”
“Kau menyembunyikan sesuatau,” ujarnya. “Kau gelisah.”
“Apa?”
“Di Candor,” ujar Al sambil menyenggolku dengan bahunya.
Nah. Itu terasa normal. “Kami belajar cara membaca bahasa tubuh, jadi kami tahu
kalau ada yang bohong atau menyembunyikan sesuatu dari kami.”
“Oh.” Aku menggaruk belakang leherku. “Yah....”
“Lihat kan, mulai lagi!” ujar Christina sambil menunjuk
tanganku.
Rasanya seperti aku menelan jantungku sendiri. Bagaimana aku
bisa berbohong tentang hasil tesku jika mereka bisa tahu kalau aku sedang
berbohong. Aku harus belajar mengendalikan bahasa tubuhku. Aku menurunkan
tangan dan meletakkannya di atas paha. Apa itu yang biasa dilakukan orang
jujur?
Paling tidak, aku tak perlu berbohong tentang anjingnya.
“Tidak. Aku tidak membunuh anjingnya.”
“Bagaimana kau bisa mendapatkan hasil Dauntless tanpa
menggunakan pisau?” ujar Will sambil menyipitkan mata ke arahku.”
Aku menatap matanya dan menjawab datar. “Memang bukan.
Hasilku Abnegation.”
Itu setengah benar. Tori memasukkan laporan kalau hasilku
Abnegation, jadi itulah yang ada di dalam sistem. Siapa pun yang memiliki akses
untuk penilaian akan bisa melihatnya. Aku tetap menata[ matanya selama beberapa
detik. Mengalihkan pandangan mungkin membuat curiga. Lalu, aku mengangkat bahu
dan menusuk dagingku dengan garpu. Kuharap mereka percaya. Mereka harus
percaya.
“Tapi, kau memilih Dauntless?” tanya Christina. “Kenapa?”
“Kan sudah kubilang,” ujarku tersenyum. “Karena makanannya.”
Ia tertawa. “Apa kalian tahu kalau Tris tak pernah melihat
hamburger sebelum ia tiba di sini?”
Christina pun mulai cerita hari pertama kami dan aku menjadi
lebih santai, tapi masih tetap terasa berat. Seharusnya ku tidak berbohong pada
teman-temanku. Itu akan menciptakan penghalang di antara kami dan kami sudah
memiliki banyak masalah Christina mengambil bendera. Aku menolak Al.
Setelah makan malam, kami kembali ke asrama. Aku tak bisa
menahan diri untuk berlari cepat karena aku tahu ranking akan dipasang sesampainya aku di sana. Aku ingin segera
menyelesaikannya. Di pintu asrama, Drew menerobos dan mendorongku ke dinding.
Bahuku tergores batu-batuan, tapi aku tetap berjalan.
Aku terlalu pendek untuk melihat menembus keramaian anak
baru yang berdiri di dekat bagian belakang ruangan. Tapi, setelah aku menemukan
celah di antara kepala-kepala mereka, aku melihat papan tulis ia berada di
bawah dan disandarkan ke kaki Four dan menghadap kami. Ia berdiri sambil
memegangi kapur di salah satu tangannya.
“Buat kalian yang baru datang, akan kujelaskan bagaimana ranking ini ditentukan,” ujarnya.
“Setelah beberapa pertarungan di ronde pertama, kami me-rangking kalian berdasarkan tingkat kemampuan kalian. Jumlah poin
yang kalian dapatkan tergantung tingkat kemampuan kalian dan kemampuan orang
yang kalian kalahkan. Kalian mendapatkan lebih banyak poin karena mengalahkan
seseorang yang berlevel tinggi. Aku tidak memberi nilai untuk kalian yang
mengincar mereka yang lemah. Itu pengecut.”
Kurasa mata Four menatap Peter saat mengucapkan kalimat
terakhir, tapi mata itu bergerak terlalu cepat, jadi aku tak yakin.
“Kalau kau punya ranking
tinggi, kau akan kehilangan poin apabila kalah dari yang memiliki ranking rendah.”
Molly mengerang, suaranya terdengar seperti mendengus atau menggerutu.
“Latihan tahap dua akan lebih berat dari tahap pertama
karena sangat terkait erat dengan mengalahkan rasa pengecut,” ujarnya. “Orang
bilang, sangat sulit mencapai ranking
tinggi di akhir inisiasi kalau ranking
kalian rendah di tahap pertama.”
Aku mencari-cari posisi yang tepat agar bisa melihat Four
lebih jelas. Saat aku bisa melihatnya, aku malah berpaling. Matanya terlanjur
melihatku, mungkin karena aku yang tidak bisa diam akubat gugup.
“Kami akan mengumumkan siapa yang keluar besok,” ujar Four.
“Apakah kalian anak [indahan atau memang asli Dauntless tidak akan menjadi
pertimbangan. Enpat dari kalian dan tak satu pun dari mereka bisa menjadi factionless. Atau, empat orang dari
mereka dan tak ada seorang pun dari kalian yang menjadi factionless. Atau kombinasi keduanya. Dan ini ranking kalian.”
Ia menggantung papan di pengaitnya dan melangkah mundur agar
kami bisa melihat ranking kami.
1.
Edward
2.
Peter
3.
Will
4.
Christina
5.
Molly
6.
Tris
Keenam? Aku tidak mungkin menjadi yang keenam. Mengalahkan
Molly pasti telah membuat peringkatku naik tajam dari yang kubayangkan. Dan,
kalah dariku sepertinya telah menurunkan peringkatnya. Aku terus membaca sampai
ke bawah daftar.
7.
Drew
8.
Al
9.
Myra
Al bukan yang terakhir, tapi kecuali kalau ada anak asli
Dauntless yang benar-benar gagal di tahap pertama versi mereka, ia akan menjadi
factionless.
Aku melirik Christina. Ia memiringkan kepalanya dan
bekernyit menatap papan tulis. Bukan ia yang satu-satunya seperti itu.
Keheningan di ruangan ini seperti mengandung kebimbangan. Seperti diayun-ayun
di pinggir jurang.
Lalu, keheningan itu pecah.
“Apa?” teriak Molly. Ia menunjuk Christina. “Aku
mengalahkannya! Aku mengalahkannya dalam hitungan menit, dan peringkatnya ada di atas-ku?”
“Yeah,” ujar Christina sambil melipat lengannya. Ia
tersenyum penuh kemenangan. “Memangnya kenapa?”
“Jika kau berniat mengamankan posisimu di ranking tinggi, kusarankan jangan pernah
kalah dari lawan yang berperingkat rendah,” ujar Four. Suaranya terdengar jelas
di antara gumaman dan gerutuan anak-anak yang lain. Ia memasukkan kapur ke
sakunya dan berjalan melewatiku tanpa sedikit pun melihatku. Kata-kata itu
sedikit menyakitiku, mengingat akulah si Peringkat Rendah yang ia maksud.
Rupanya kata-kata itu juga mengingatkan Molly.
“Kau,” ujarnya sambil mengarahkan pandangan tajam ke arahku.
“Kau akan membayar ini.”
Aku mengira ia akan menerjangku atau memukulku, tapi ia Cuma
berbalik dan berjalan keluar dari asrama. Itu lebih buruk. Kalau tadi ia
meledak, amarahnya akan habis dalam satu atau dua pukulan. Pergi dari sini,
artinya ia merencanakan sesuatu. Ia pergi berarti aku harus meningkatkan
kewaspadaanku.
Peter tak berkata apa-apa saat ranking diumumkan. Cukup mengejutkan karena ia cenderung untuk
mengeluh tentang apa pun yang tak sesuai keinginannya. Ia Cuma berjalan ke
tempat tidurnya, duduk, lalu melepas tali sepatunya. Ini makin membuatku
gelisah. Ia tak mungkin puas dengan posisi kedua. Bukan Peter.
Will dan Christina tos, lalu Will menepuk bahuku yang lebih
kecil dari tangannya.
“Hebat juga. Nomor enam,” ujarnya padaku sambil tersenyum
lebar.
“Masih belum cukup baik,” aku mengingatkannya.
“Kau akan baik-baik saja, jangan khawatir,” ujarnya. “Kita
harus merayakannya.”
“Jadi, ayo,” ujar Christina meraih lenganku dengan satu
tangan dan lengan Al dengan tangan yang lain. “Ayo Al, kau kan tidah tahu
bagaimana hasil anak asli Dauntless. Kau masih belum tahu pasti.”
“Aku Cuma ingin tidur,” gumamnya sambil melepaskan
lengannya.
Di lorong, mudah sekali melupakan Al, balas dendam Molly,
dan ketenangan Peter yang mencurigakan. Mudah untuk berpura-pura bahwa tidak
ada memisahkan kami dari pertemanan ini. Tapi yang ada di benakku, Christina
dan Will adalah sainganku. Kalau aku mau berjuang masuk sepuluh besar, aku
harus lebih dulu mengalahkan mereka.
Kuharap aku tak perlu mengkhianati mereka nanti.
***
Malam itu aku sulit tidur. Biasanya, kamar asrama dipenuhi
dengan suara napas yang menggema, tapi kali ini terlalu hening. Saat suasanya
hening, aku memikirkan tentang keluargaku. Untungnya markas Dauntless biasanya
bising.
Jika ibuku dulunya seorang Dauntless, kenapa ibu memilih
Abnegation? Apakah ibu menyukai kedamaiannya, rutinitasnya, dan
kebaikannya—semua hal yang kurindukan jika kubiarkan dririku memikirkannya.
Aku bertanya-tanya apakah ada orang yang mengenal ibu saat
ibu masih mudah dan bisa memberitahuku seperti apa dirinya waktu itu. Kalaupun
ada, mereka mungkin tak ingin membicarakan ibu. Orang yang berpindah faksi tak
seharusnya membicarakan faksi lama
mereka setelah mereka menjadi anggota. Itu demi mempermudah mereka untuk
mengubah kesetiaan mereka dari keluarga ke faksi—mematuhi prinsip “Faksi Lebih Penting dari Pertalian Darah”.
Aku membenamkan wajah ke bantal. Ibu memintaku mengatakan
pada Caleb untuk mencari tahu tentang serum simulasi—kenapa? Apakah itu ada
hubungannya denganku yang seorang Divergent, keadaanku yang berada dalam
bahayam atau yang lain? Aku menghela napas. Aku punya seribu pertanyaan dan ibu
pergi tepat sebelum aku menanyakan satu hal pun. Sekarang,
pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di pelaku dan aku ragu, aku akan bisa
tidur sampai aku bisa menjawabnya.
Terdengar suara ribut dari seberang ruangan dan aku bangun.
Mataku belum terbiasa di kegelapan, jadi aku tak bisa melihat apa-apa. Aku
mendengar suara decit sepatu yang diseret. Sebuah gedebuk keras.
Kemudian, tiba-tiba terdengar jeritan yang menghentikan
aliran darahku dan membuat bulu kudukku merinding. Aku menyibak selimut dan
berdiri di lantai berbatu dengan kaki telanjang. Aku masih tak bisa melihat
dengan cukup baik untuk mencari sumber teriakan. Tapi, samar-samar aku melihat
gundukan di lantai berjarak beberapa ranjang dariku. Terdengar satu teriakan
lagi mengiris telingaku.
“Nyalakan lampu!” teriak seseorang.
Aku berjalan ke arah suara itu dengan perlahan agar tidak
tersandung. Rasanya aku seperti kehilangan arah. Aku tak mau melihat ke arah
jeritan itu berasal. Jeritan semacam itu hanya berarti darah, tulang, dan rasa
sakit. Jeritan yang berasal dari dalam perut dan menjalar ke seluruh tubuhmu.
Lampu menyala.
Edward terkapar di lantai di dekat tempat tidurnya sambil
memegangi wajahnya. Di bawah kepalanya ada genangan darah. Ada yang mencuat di
antara cengkeraman tangannya, sebilah gagang pisau perak. Degup jantungku
berdentam-dentam. Aku mengenali pisau itu. Itu pisau mentega dari ruang makan.
Pisau itu menusuk bola mata Erward.
Myra, yang berdiri di dekat kaki Edward. Menjerit. Ada lagi
yang juga menjerit. Lalu, ada satu orang yang berteriak meminta bantuan. Edward
masih terbaring di lantai, menggeliat dan menjerit kesakitan. Aku meringkuk
mendekat. Lututku terkena genangan darah. Aku menyentuh bahu Edward.
“Jangan bergerak,” kataku. Aku merasa tenang walau aku tak
bisa mendengar apa pun. Rasanya seperti kepalaku terendam air. Edward meronta
lagi dan aku berkata lebih nyaring dan tegas. “Kubilang, jangan bergerak. Tarik
napas.”
“Mataku!” teriaknya.
Aku mencium bau busuk. Ada yang muntah.
“Tarik pisau ini!” teriaknya. “Tarik, cabut pisa ini,
cabut!”
Aku menggeleng dan menyadari kalau ia tak bisa melihatku.
Ada semacam tawa yang menggeliat di dalam perutku. Histeris. Aku harus menekan
histeriaku kalau aku mau menolongnya. Aku harus melupakan kepentinganku.
“Tidak,” kataku. “Hanya dokter yang boleh mencabutnya. Kau
dengar? Biar dokter yang mencabutnya. Tarik napas.”
“Sakit,” tangis Edward.
“Aku tahu itu sakit.” Bukannya suaraku yang kudengar, tapi
suara ibu. Aku melihat ibu membungkuk di depanku di jalan setapak di depan
rumah. Ibu menghapus air mata dari wajahku setelah aku tahu dan lututku
terluka. Waktu itu aku lima tahun.
“Semua akan baik-baik saja.” Aku mencoba kedengaran yakin,
bukannya aku sekadar ingin menenangkannya. Aku tidak tahu apakah semuanya akan
baik-baik saja. Kurasa tidak.
Saat perawat datang, ia memintaku mundur dan aku menurut.
Tangan dan lututku dipenuhi darah. Saat aku melihat sekeliling, aku melihat ada
dua wajah yang menghilang.
Drew.
Dan Peter.
***
Setelah mereka membawa Edward pergi, aku membawa pakaian
kotor ke kamar mandi dan mencuci tanganku. Christina mengikutiku dan berdiri di
pintu, tapi ia tak mengatakan apa-apa. Aku lega. Karena memang tidak banyak
yang bisa dikatakan.
Aku menggosok telapak tanganku dan mencungkil bagian dalam
kukuku dengan kuku jari lainnya untuk membersihkan darah yang menempel. Aku
mengganti bajuku dengan celana yang kubawa dan melemparkan baju kotor ke
keranjang sampah. Seseorang harus membersihkan kekacauan di ruang asrama. Karena
aku ragu aku bisa tidur lagi, sepertinya akulah yang akan membersihkannya.
Saat aku memegang handel pintu, Christina berkata, “Kau tahu
siapa yang melakukannya, kan?”
“Yeah.”
“Apa kita perlu bilang pada seseorang?”
“Menurutmu Dauntless akan melakukan sesuatu?” kataku.
“Setelah menggantungmu di tebing? Setelah menyuruh kita saling menghajar satu
sama lain sampai pingsan?”
Ia tak berkata apa-apa.
Setengah jam setelah itu, aku berlutut sendirian di lantai
asrama dan menggosok darah Edward. Christina membuang tisu kotor ke tempat
sampah dan mengambilkan yang baru untukku. Myra tidak ada. Mungkin gadis itu
mengikuti Edward ke rumah sakit.
Tak ada yang tidur nyenyak malam itu.
***
“Mungkin kedengarannya aneh,” ujar Will. “Tapi, kuharap kita
tidak libur hari ini.”
Aku mengangguk. Aku tahu apa maksudnya. Melakukan sesuatu
akan mengalihkan perhatianku dan aku butuh pengalihan perhatian saat ini.
Aku tak pernah menghabiskan banyak waktu dengan Will, tapi
Christina dan Al sedan tidur siang di asrama dan kami berdua tak ingin berada
di ruangan itu lebih lama dari yang seharusnya. Will tidak bilang begitu padaku
tapi aku tahu.
Aku mencungkil kuku jariku. Aku mencuci tanganku dengan
cermat setelah membersihkan darah Edward, tapi rasanya masih tersisa di tanganku.
Aku dan Will berjalan-jalan tanpa tujuan. Tak tahu ke mana tujuan kami.
Kita bisa mengunjunginya,” Will memberi saran. “Tapi, kita
mau bilang apa? ‘Aku tidak terlalu mengenalmu, tapi aku ikut prihatin karena
ada yang menusuk matamu’?”
Itu tidak lucu. Aku tahu itu begitu ia mengucapkannya, tapi
aku tetap tertawa juga karena sulit untuk menahannya. Will menatapku sejenak
dan kemudian ia juga tertawa. Terkadang, menangis atau tertawa adalah pilihan
yang tersisa, dan sekarang tertawa sepertinya pilihan yang lebih baik.
“Maaf,” kataku. “Hanya saja itu terlalu konyol.”
Aku tak ingin menangis untuk Edward—setidaknya bukan
tangisan personal yang mendalam seperti kau menangisi sahabat atau kekasih. Aku
ingin menangis karena ada sesuatu yang buruk terjadi. Aku melihat. Tapi, aku
tak melihat ada cara untuk memperbaikinya. Mereka yang ingin menghukum Peter
tak memiliki wewenang untuk itu. Dan, yang memiliki wewenang untuk menghukum
Peter pun tak mau melakukannya. Dauntless memiliki peraturan mengenai
penyerangan semacam itu, tapi dengan adanya Eric berkuasa, aku ragu peraturan
itu akan ditegakkan.
Aku berkata dengan lebih serius, “Yang paling konyol adalah,
di faksi lain, pasti ada yang berani untuk mengatakan apa yang terjadi. Tapi di
sini ... di Dauntless ... keberanian
seperti itu tak akan berguna.”
“Apa kau pernah membaca manifesto faksi?” ujar Will.
Manifesto faksi ditulis setelah faksi terbentuk. Kami
mempelajarinya di sekolah, tapi aku tak pernah membacanya.
“Kau pernah?” aku bekernyit memandangnya. Lalu, aku ingat
kalau Will pernah menghafalkan peta kota untuk senang-senang, dan aku menjawab,
“Oh. Tentu saja kau pernah.”
“Salah satu baris yang kuingat dari manifesto Dauntless
adalah, ‘Kami yakin tindakan yang berani, dalam keberanian yang mendorong seseorang
untuk membela yang lainnya.’”
Will menghela napas.
Ia tak perlu mengatakan apa pun. Aku tahu maksudnya. Mungkin
Dauntless dibentuk dengan niat yang baik, dengan nilai yang baik, dan tujuan
yang baik. Tapi, Dauntless telah melenceng jauh dari ketiga hal itu. Dan, hal
yang sama terjadi pada Erudite, aku menyadari itu. Dahulu kala, Erudite
mengejar ilmu pengetahuan dan kecerdasan hanya demi kebaikan. Sekarang, mereka
mengejar ilmu pengetahuan dan kecerdasan untuk menuruti rasa tamak. Aku jadi
bertanya-tanya, apakah faksi lain mengalami masalah yang sama. Aku tak pernah
memikirkannya sebelumnya.
Walau ada kebejatan yang kulihat di Dauntless, aku tak bisa
meninggalkannya. Bukan hanya karena aku nantinya harus hidup sebagai factionless, keterasingan yang sempurna,
takdir yang lebih buruk daripada kematian. Tapi, karena dalam waktu yang
singkat aku telah jatuh cinta pada tempat ini, aku melihat faksi ini berharga
untuk diselamatkan. Mungkin kami bisa kembali menjadi pemberani dan dihormati.
“Ayo pergi ke kafetaria,” ujar Will, “dan makan kue.”
“Oke.” Aku tersenyum.
Saat kami berjalan di The Pit, dalam aku mengulangi kutipan
Will tadi pada diriku sendiri sehingga aku tak melupakannya.
Aku yakin akan
tindakan yang berani, dalam keberanian yang mendorong seseorang untuk membela
yang lainnya.
Sebuah pemikiran yang indah.
***
Kemudian, saat aku kembali ke asrama, tempat tidur Edward
telah dibersihkan dan lemarinya terbuka. Kosong. Di seberang ruangan, tempat
tidur Myra pun terlihat sama.
Saat kutanyakan pada Christina ke mana mereka pergi, ia
menjawab, “Mereka keluar.”
“Bahkan Myra juga?”
“Ia bilang ia tak mau berada di sini tanpa Edward. Lagi
pula, ia kan tersingkir.” Christina mengangkat bahu seakan ia tak bisa
memikirkan hal lain untuk dilakukan. Aku tahu pasti bagaimana perasaannya.
“Setidaknya mereka tidak akan mengeluarkan Al.”
Al seharusnya keluar, tapi kepergian Edward menyelamatkan
dirinya. Dauntless memutuskan untuk memberinya kesempatan lagi di tahap kedua.
“Siapa lagi yang keluar?” kataku.
Christina mengangkat bahu lagi. “Dua orang anak asli
Dauntless. Aku tak ingat namanya.”
Aku mengangguk dan melihat papan tulis. Seseorang telah
mencoret nama Edward dan Myra. Nomor di sebelah nama-nama setiap orang pun ikut
berubah. Sekarang, Peter nomor satu. Will kedua. Aku kelima. Kami memulai tahap
pertama dengan sembilan orang peserta.
Sekarang, kami bertujuh.[]
No comments:
Post a Comment