Penulis: Veronica Roth
29
Aku selalu menghadiri upacara inisiasi Abnegation setiap
tahun, kecuali tahun ini. Acaranya biasanya berlangsung sangat tenang. Peserta inisiasi,
yang satu bulan penuh menjalankan pelayanan masyarakat sebelum bisa menjadi
anggota penuh, duduk berdampingan di bangku panjang. Salah satu anggota yang
lebih tua membacakan manifesto Abnegation, berupa sebuah paragraf pendek
tentang melupakan kepentingan itu terlibat dalam diri sendiri. Lalu, semua
anggota yang lebih tua akan mencuci kaki peserta inisiasi. Kemudian, mereka
akan berbagi makanan. Tiap orang akan menyajikan makanan pada orang yang duduk
di sebelah kirinya.
Dauntless tidak melakukan hal itu.
Hari inisiasi membuat markas Dauntless tak terkendali dan
kacau. Ada orang di mana-mana dan sebagian besar dari mereka mabuk, padahal
masih siang. Aku berusaha melewati mereka untuk mendapatkan sepiring makan
siang dan membawanya kembali ke asrama. Dan saat aku kembali, aku melihat
seseorang jatuh dari jalan setapak yang ada di dinding The Pit. Dari teriakannya
dan cara ia memegangi kakinya, pasti ada yang patah.
Setidaknya di kamar asrama lebih tenang. Aku menatap
piringku. Aku mengambil apa yang tadi kelihatannya enak. Sekarang, saat aku
melihatnya lebih dekat, aku sadar aku mengambil dada ayam polos, sesendok
kacang polong, dan sepotong roti gandum. Makanan Abnegation.
Aku menghela napas. Abnegation adalah jati diriku. Itulah aku
saat melakukan sesuatu tanpa berpikir apa-apa. Itulah aku saat menghadapi tes. Itulah
aku, bahkan saat aku kelihatan berani. Apa aku ada di faksi yang salah?
Pikiranku yang melayang pada faksi lamaku membuat tanganku
gemetar. Aku harus memperingatkan keluargaku tentang perang yang direncanakan
Erudite, tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Akan kutemukan caranya, tapi
bukan hari ini. Hari ini aku harus berkonsentrasi pada hal yang sendang
menunggu. Aku harus menyelesaikannya satu demi satu.
Aku makan seperti robot, berurutan dari ayam ke kacang ke
roti, lalu kembali lagi ke ayam. Tidak masalah aku pantas di faksi mana. Dua jam
lagi aku akan masuk ke Ruang Ketakutan dengan para peserta inisiasi lainnya,
menghadapi rasa takutku sendiri, dan menjadi Dauntles. Terlambat untuk berbalik
arah.
Setelah aku selesai makan, aku membenamkan wajah ke atas
bantal. Aku bukan ingin tidur, tapi setelah beberapa lama, aku benar-benar
tertidur. Aku baru bangun saat Christina mengguncang-guncang bahuku.
“Waktunya pergi,” ujarnya. Ia kelihatan pucat.
Aku menggosok-gosok mata agar ngantukknya hilang. Rupanya aku
tertidur dengan masih memakai sepatu. Peserta inisiasi lainnya ada di asrama. Mereka
mengikat tali sepatu, memasang jaket, dan tersenyum simpul ke arah satu sama
lain, seakan mereka tidak gugup. Aku menggelung rambut dan mengenakan jaket
hitam. Kurapatkan ritsletingnya sampai ke leher. Suksaan ini akan segera
berakhir. Tapi, apakah kami bisa melupakan simulasi ini? Apakah kami akan bisa
tidur tenang lagi dengan ingatan semua ketakutan kami berkelebat di kepala?
Atau, pada akhirnya akankah kami bisa melupakan ketakutan kami hari ini seperti
seharusnya?
Kami berjalan di The Pit dan menaiki jalan setapak menuju
gedung kaca. Aku mendongak menatap langit-langit kaca. Aku tak bisa melihat
cahaya matahari karena alas sepatu menutupi setiap jengkal langit-langit kaca
di atas kami. Sejenak kurasa aku mendengar suara kaca berderak, tapi itu cuma
imajinasiku. Aku menaiki tangga dengan Christina dan keramaian ini membuatku
sesak.
Aku terlalu pendek untuk melihat melewati kepala mereka yang
berdiri di depanku. Jadi, aku menatap punggung Will dan berjalan di
belakangnya. Udara panas karena sesak orang di sekitar kami membuatku sulit
bernapas. Titik-titik keringat berkumpul di dahi. Ada celah di keramaian yang
menunjukkan kenapa mereka bergerombol seperti ini: serangkaian layar di dinding
sebelah kiriku.
Aku mendengar sorak-sorai dan berhenti untuk melihat layar
itu. Layar di sebelah kiti mempertontonkan gadis berpakaian hitam di dalam
Ruang Ketakutan—Marlene. Aku melihatnya bergerak, matanya melebar, tapi aku tak
tahu apa rintangan yang sedang ia hadapi. Syukurlah tak ada seorang pun di sini
yang nanti juga melihat ketakutanku—hanya reaksiku saat menghadapinya.
Layar di sebelah tengah menunjukkan detak jantungnya. Sejenak
detaknya melonjak, kemudian turun. Saat detak jantungnya mencapai batas normal,
layar berkedip hijau dan para Dauntless bersorak. Layar di sebelah kanan
menunjukkan waktunya.
Aku mengalihkan pandangan dari layar tersebut dan berlari
kecil mengejar Christina dan Will. Tobias berdiri tepat di pintu sisi kiri
ruangan yang tadinya tidak kuperhatikan saat terakhir kali aku ke sana. Letaknya
ada di samping Ruang Ketakutan. Aku berjalan melewatinya tanpa sedikit pun
menatapnya.
Ruangan ini besar dan terdapat sebuah layar lainnya seperti
layar yang ada di luar sana. Ada orang yang duduk di sebaris kursi di depan
layar. Eric ada di antaranya, juga Max. Yang lainnya terlihat lebih tua. Melihat
kabel-kabel yang tersambung ke kepala mereka dan tatapan mata mereka yang
kosong, mereka sedang mengamati simulasinya.
Di belakang mereka ada barisan kursi lainnya. Semuanya terisi
penuh. Akulah yang terakhir masuk, jadi aku tak mendapatkan tempat duduk.
“Hei, Tris!” Uriah berteriak dari tengah ruangan. Ia duduk
bersama peserta inisiasi asli Dauntless lainnya. Hanya empat dari mereka yang
tersisa. Lainnya sudah melewati Ruang Ketakutan. Ia menepuk kakinya. “Kau bisa
duduk di pangkuanku, kalau kau mau.”
“Menggoda sih,” teriakku sambil tersenyum lebar. “Tidak
apa-apa. Aku berdiri saja.”
Aku tak mau Tobias melihatku duduk di atas pangkuan orang
lain.
Lampu berpendar di dalam Ruang Ketakutan, menunjukkan sosok
Marlene yang meringkuk. Wajahnya dipenuhi air mata. Max, Eric, dan pemimpin
lainnya tersentak sadar dari simulasi dan berjalan keluar. Beberapa detik
kemudian, aku melihat mereka di layar. Mereka memberi selamat padanya karena
telah menyelesaikan simulasi.
“Anak Pindahan, urutan kalian masuk tes final diambil dari ranking kalian dari bawah,” ujar Tobias.
“Jadi, Drew masuk duluan, dan Tris terakhir.”
Artinya, akan ada lima orang yang masuk sebelum diriku.
Aku berdiri di belakang ruangan, beberapa meter dari Tobias.
Aku dan ia beberapa kali saling pandangan saat Eric menyuntik Drew dengan jarum
dan mengirimnya masuk ke dalam Ruang Ketakutan. Saat nanti tiba giliranku, aku
akan tahu bagaimana bagusnya kemampuan yang lain, dan seberapa bagus yang harus
kulakukan untuk mengalahkan yang lain.
Ruang Ketakutan tidak menarik dilihat dari luar. Aku bisa
melihat Drew bergerak, tapi aku tak tahu ia bereaksi pada apa. Setelah beberapa
menit, aku lebih baik menutup mata daripada menonton itu semua, kemudian
mengosongkan pikiran. Sekarang, tidak ada gunanya menebak ketakutan mana saja
yang akan aku hadapi dan berapa banyak jumlahnya aku hanya perlu ingat kalau
aku memiliki kemampuan untuk memanipulasi simulasi dan kalau aku sudah pernah
berlatih sebelumnya.
Molly yang berikutnya masuk. Waktu yang dibutuhkan Molly
setengah daripada yang dibutuhkan Drew, tapi ia mengalami kesulitan. Ia menghabiskan
banyak waktu untuk bernapas karena mencoba mengendalikan rasa paniknya. Di satu
titik, ia bahkan melengking tinggi sekali.
Aku takjub bagaimana mudahnya tes ini menyingkirkan semua
pikiranku—semua pikiran tentang perang terhadap Abnegation, Tobias, Caleb,
orangtuaku, teman-temanku, faksi baruku, semuanya memudar. Sekarang yang harus
kulakukan adalah melewati ujian ini.
Christina yang selanjutnya. Kemudian Will. Lalu Peter. Aku tidak
melihat mereka. Aku hanya tahu berapa lama waktu yang mereka butuhkan: dua
belas menit, sepuluh menit, limat belas menit. Kemudian namaku.
“Tris.”
Aku membuka mata dan berjalan ke bagian depan ruang
observasi, mendekati Eric yang berdiri sambil membawa suntikan penuh cairan
berwarna oranye. Aku hampir tidak merasakan jarumnya saat menembus masuk ke
dalam kulitku. Aku juga hampir tak melihat wajah Eric yang penuh tindikan saat
ia menekan suntikan. Aku membayangkan serum itu adalah adrenali cair yang
mengalir masuk ke dalam pembuluh darahku. Membuatku kuat.
“Siap?” tanyanya.[]
No comments:
Post a Comment