Penulis: Veronica Roth
11
Keesokan paginya, aku tak mendengar suara alarm, suara
langkah kaki, atau percakapan saat para peserta inisiasi lainnya bersiap-siap.
Aku bangun setelah Christina mengguncangkan bahuku dengan satu tangan dan
menepuk-nepuk pipiku dengan tangan lainnya. Ia sudah mengenakan jaket hitam
yang dikancingkan sampai ke leher. Kalau ia memiliki memar gara-gara
pertarungan kemarin, kulit gelapnya mengaburkannya.
“Ayo,” ujarnya. “Bangun dan pakai itu.”
Aku tadi bermimpi Peter mengikatku di kursi dan menanyaiku
apakah aku seorang Divergent. Aku menjawab bukan dan ia memukuliku sampai aku
berkata iya. Aku terbangun dengan pipi basah.
Tadinya aku mau mengatakan sesuatu, tapi yang bisa kulakukan
hanya menggeram. Tubuhku terasa sangat sakit sampai bernapas pun terasa nyeri.
Menangis semalaman yang membuat mataku bengkak sama sekali tak membantu.
Christina mengulurkan tangan membantuku.
Jam menunjukkan pukul delapan. Kami sudah haru berada di
jalur kereta pukul delapam lima belas.
“Aku akan pergi dan mengambil sarapan untuk kita. Kau hanya
... cukup siap-siap saja. Sepertinya kau butuk waktu agak lama,” ujarnya.
Aku menggerutu. Sambil mencoba untuk tidak membungkuk, aku
meraba-raba laci di bawah tempat tidur untuk mencari kaus bersih. Untung saja
Peter tidak ada di sini untuk melihatku kesusahan. Begitu Christina pergi,
kamar menjadi kosong.
Aku melepaskan kemejaku dan melihat tubuh polosku yang kini
dipenuhi bekas lebam. Sekilas warna-warna lebam itu membuatku terpesona,
campuran hijau terang, biru tua, dan cokelat. Aku berganti pakaian secepat yang
kubisa dan aku membiarkan rambutku terurai karena aku tak bisa mengangkat
lenganku untuk mengikatnya.
Aku melihat bayanganku sendiri di cermin kecil di balik
dinding. Yang kulihat orang asing. Rambutnya pirang dan berwajah lonjong
seperti aku. Tapi, persamaannya berhenti di sana. Aku tak memiliki mata hitam,
bibir yang sobek, dan rahang yang memar. Wajahku
tak sepucat kertas. Gadis ini pasti bukan aku walau bayangannya bergerak saat
aku bergerak.
Saat Christina kembali dengan membawa sebuah muffin di masing-masing tangan, aku
duduk di pinggir kasur dan menatap sepatuku yang belum diikat. Aku harus
menunduk untuk mengikatnya. Pasti rasanya sakit jika aku menunduk.
Tapi, Christina memberikanku sebuah muffin dan menunduk di hadapanku untuk mengikat sepatuku. Rasa
syukur bergelora di dadaku, rasanya hangat dan sedikit terasa sakit. Mungkin
ada sedikit sifat Abnegation di setiap orang, bahkan jika mereka tak
menyadarinya.
Ya, semuanya kecuali Peter.
“Terima kasih,” kataku.
“Ya, kita takkan pernah sampai ke sana tepat waktu jika kau
harus mengikatnya sendiri,” katanya. “Ayo, kau bisa makan sambil jalan, kan?”
Kami berjalan cepat menyusuri The Pit. Muffin ini rasa pisang dengan taburan walnut. Ibu pernah membuat
kue seperti ini sekali untuk dibagikan pada factionless,
tapi aku tak pernah mencobanya. Aku terlalu besar untuk merengek saat itu.
Kuabaikan rasa menusuk di perut yang data tiap kali aku memikirkan ibu sambil
setengah berlari bersama Christina yang lupa kalau kakinya lebih panjang
dariku.
Kami menaiki tangga The Pit menuju gedung kaca di atasnya
dan bergegas menuju pintu keluar. Setiap kakiku melangkah, tulang rusukku
terasa nyeri, tapi aku tak memedulikannya. Kami tiba di jalur kereta tepat saat
kereta tiba dengan peluit yang bertiup kencang.
“Kenapa kalian lama sekali?” tanya Will di tengah suara
peluit kereta.
“Cewek kaki kuat ini berubah jadi nenek-nenek dalam waktu
semalam,” ujar Christina.
“Oh, yang benar saja,” ujarku setengah bercanda.
Four berdiri di tengah kerumunan. Ia berdiri begitu dekat ke
jalur kereta sampai-sampai jika ia bergerak satu inci ke depan, kereta akan
menyambar hidungnya. Ia mundur sejenak untuk membiarkan yang lain naik duluan.
Will susah payah menaikkan tubuhnya ke gerbong. Perutnya lebih dulu mencapai
gerbong, lalu ia menyeret kakinya. Four menggenggam hanel di sisi gerbong dan
menarik dirinya ke atas dengan luwes seakan ia tak memiliki tubuh setinggi 182
sentimeter.
Aku berlari kecil di samping gerbong sambil mengernyit
kesakita, lalu menggertakkan gigi untuk meraih handel di samping. Pasti ini
akan sakit.
Al meraih tubuhku dan mengangkatku dengan mudah ke dalam
gerbong. Rasa sakit menjalari tubuhku bagian samping, tapi tak lama. Aku
melihat Peter di belakangnya dan pipiku memerah. Al hanya mencoba bersikap
baik; jadi aku tersenyu, padanya. Tapi, kuharap orangnya tak bersikap semanis
itu padaku.
“Sudah baikan?” ujar Peter sambil menatapku sok
bersimpati—bibirnya melengkung ke bawah. Alisnya melengkung. “Atau kau sedikit
merasa ... Kaku?”
Ia menertawakan gurauannya sendiri; Molly dan Drew ikut
tertawa. Molly memiliki tawa yang jelek, mendengus-dengus dan bahu yang
bergerak naik turun. Drew tertawa dalam diam,
jadi kelihatannya ia seperti sedang menahan sakit.
“Kami semua terpukau dengan selera humormu yang
menakjubkan,” ujar Will.
“Yeah, kau yakin kau bukan termasuk Erudite, Peter?” tambah
Christina. “Kudengar mereka tak keberatan menerima banci.”
Four, yang berdiri di pintu, berbicara sebelum Peter
membalas. “Apa aku harus mendengarkan kalian saling mengejek sampai nanti tiba
di perbatasan?”
Semuanya terdiam dan Four membalikkan tubuhnya ke bukaan
gerbong. Ia memegangi handel di kedua sisi. Lengannya terentang lebar dan
membungkuk ke depan sehingga tubuhnya condong ke luar gerbong walau kakinya
tetap berada di dalam. Angin membuat kaunya melekat sempurna di dada. Aku
mencoba melihat tempat yang kami lewati dari balik tubuhnya—hamparan bangunan
yang ambruk dan tak berpenghuni makin lama maki tak terlihat saat kami melaju.
Walau begitu, tiap beberapa detik, mataku beralih menatap
Four. Aku tak tahu apa yang akan terlihat atau ingin kulihat, itu pun jika ada.
Tapi, mataku terus tertarik padanya.
Aku bertanya pada Christina, “Menurutmu apa yang ada di luar
sana?” Aku mengangguk ke arah pintu. “Maksudku, setelah perbatasan.”
Ia mengangkat bahu. “Menurutku, hamparan sawah.”
“Yeah, tapi maksudku, ... setelah sawah. Kita menjaga kota
dari ancaman apa?”
Ia menggerak-gerakkan jari-jarinya ke arahku. “Monster!”
Aku memutar mataku ke atas.
“Kita bahkan tak pernah memiliki penjaga di pagar perbatasan
sampai lima tahun lalu,” ujar Will. “Kau tidak ingat saat polisi Dauntless dulu
berpatroli di sektor para factionless?”
“Ya,” kataku. Aku juga ingat kalau ayah adalah salah satu
dari orang yang memilih untuk meminta para Dauntless pergi dari kawasan factionless di kota. Ayah bilang, orang
miskin tak butuh pengawasan polisi. Mereka membutuhkan bantuan dan kita bisa
memberikan mereka bantuan. Tapi, lebih baik aku tak menyebutkan hal itu
sekarang atau di tempat ini. Pilihan itu adalah salah satu dari banyak hal yang
dipakai Erudite sebagai bukti untuk menunjukkan ketidakmampuan Abnegation.
“Oh benar,” ujar Will. “Aku berani taruhan kau melihat
mereka setiap saat.”
“Kenapa kau bilang begitu?” tanyaku sedikit agak tajam. Aku
tak ingin terlalu dikaitkan dengan pada factionless.
“Karena kau harus melewati kawasan factionless untuk pergi ke sekolah, kan?”
“Apa yang kau lakukan? Menghafal kota untuk senang-senang?”
kata Christina.
“Ya,” ujar Will kelihatan bingung. “Memangnya kau tidak?”
Rem kereta berdecit dan kami terdesak ke depan saat gerbong
melambat. Aku lega kereta melambat. Aku jadi lebih mudah berdiri. Gedung-gedung
bobrok itu sudah tidak kelihatan; digantikan oleh hampran tanah kekuningan dan
beberapa jalur kereta. Kereta ini berhenti di bawah naungan kanopi tenda. Aku
turun ke arah rerumputan sambil berpegangan di handel pintu untuk menjagaku
tetap seimbang.
Di hadapanku ada pagar yang terbuat dari jalinan rantai
dengan rangkaian kawat berduri di bagian atas. Saat aku melangkah ke depan,
pagar ini terbentang lebih jauh dari yang bisa kulihat. Tegak lurus dengan
garis horizon langit. Bi balik pagar ada kumpulan pohon, sebagian besar sudah
mati, ada juga bagian yang masih menghijau. Di sisi lainnya, banyak penjaga
Dauntless yang hilir mudik sambil membawa senjata.
“Ikut aku,” ujar Four. Aku tetap berada di dekat Christina.
Sebenarnya aku tak mau mengakuinya, bahkan pada diriku sendiri, tapi aku lebih
tenang jika ku di dekatnya. Jika Peter mencoba menggangguku, Christina pasti
membelaku.
Diam-diam aku mengejek diriku sendiri karena bersikap
pengecut. Hinaan Peter tak seharusnya menggangguku. Aku seharusnya fokus untuk
bertarung lebih baik, bukannya tentang betapa buruknya pertarungan kemarin. Dan
seharusnya aku ingin, jika tak bisa disebut mampu, untuk membela diriku sendiri
daripada bergantung pada orang lain yang akan melakukannya untukku.
Four mengajak kami menuju sebuah gerbang yang seukuran rumah
dan terbuka ke arah jalan retak-retak yang menuju kota. Saat aku masih kecil,
aku kemari bersama keluargaku. Kami naik bus melewati jalan itu menuju lahan
pertanian kaum Amity, di mana kami menghabiskan waktu dengan memetik tomat dan
berkeringat sampai baju kami basah kuyup.
Perutku bagai ditikam rindu.
“Jika kalian tidak berada di lima besar saat penutupan
inisiasi, kalian mungkin akan berakhir di sini,” ujar Four saat ia tiba di
gerbang. “Begitu kalian menjadi penjaga pagar, memang ada beberapa perkembangan
karier yang potensial, tapi tidak banyak. Kalian mungkin bisa melakukan patroli
di tanah pertanian Amity, tapi—”
“Patroli untuk apa?” tanya Will.
Four mengangkat bahu. “Kurasa kalian akan menemukannya jika
kalian mendapati jati siri kalian berakhir seperti mereka. Seperti yang tadi
kukatakan. Sebagian besar mereka yang menjaga pagar perbatasan saat masih muda,
akan terus menjaga pagar. Untuk membuat kalian nyaman, beberapa dari mereka
bersikeras kalau pekerjaan ini tak seburuk kelihatannya.”
“Yeah. Setidaknya kita tak akan menjadi sopir bus atau
membersihkan kotoran orang lain seperti para factionless,” bisik Christina di telingaku.
“Waktu itu kau urutan ke berapa?” Peter bertanya pada Four.
Aku tak berharap Four akan menjawab, tapi ia menatap lurus
Peter dan berkata, “Aku urutan pertama.”
“Dan, kau memutuskan untuk melakukan ini?” mata Peter lebar, bulat, dan berwarna hijau tua. Mata itu
akan terlihat polos tanpa dosa jika aku tak tahu betapa jahatnya Peter itu.
“Kenapa kau tak memilih pekerjaan di kantor pemerintahan?”
“Aku tidak mau,” ujar Four datar. Aku ingat perkataannya di
hari pertama tentang pekerjaannya di ruang kendali di mana para Dauntless
memonitor keamanan kota. Sulit bagiku untuk membayangkan dirinya di sana dan
dikelilingi komputer. Bagiku, ia cocok berada di ruang latihan.
Di sekolah, kami mempelajari pekerjaan di tiap faksi.
Dauntless memiliki pilihan terbatas. Kami bisa menjaga pagar perbatasan atau
bekerja untuk pengamanan kota. Kami juga bisa bekerja di dalam markas Dauntless
itu sendiri, menggambar tato, atau membuat senjata. Bahkan, saling bertarung
untuk hiburan. Atau, kami juga bisa bekerja untuk para pemimpin Dauntless. Yang
itu kedengarannya seperti pilihan terbaik bagiku.
Masalahnya adalah posisiku rendah. Dan, aku mungkin saja
menjadi factionless di akhir tahap
pertama.
Kami berhenti di gerbang selanjutnya. Beberapa penjaga
Dauntless melirik ke arah kami, tapi tidak banyak. Mereka terlalu sibuk menarik
pintu—yang dua kali lebih tinggi dan beberapa kali lebih lebar dari mereka—agar
terbuka dan membiarkan sebuah truk masuk.
Seorang pria mengendarai truk itu, dengan mengenakan topi,
berjenggot, dan tersenyum. Ia berhenti tepat di dalam gerbang dan keluar dari
truk. Bagian belakang truk terbuka dan beberapa orang Amity lainnya duduk di
antara tumpukan peti kayu. Aku melirik ke arah peti-peti itu—mereka menyimpan
apel.
“Beatrice?” sapa seorang bocah Amity.
Kepalaku tersentak mendengar ada yang memanggil namaku.
Salah satu Amity di bagian belakang truk itu berdiri. Ia memiliki rambut pirang
ikal dan hidung yang tak asing, mencuat di ujungnya dan menyempit di
pangkalnya. Robert. Aku mencoba mengingatnya saat di Upacara Pemilihan dan tak
ada yang tebersit di pikiranku, kecuali suara degup jantungku yang bergema di
telinga. Siapa lagi yang pindah? Susan juga? Apakah ada peserta inisiasi baru
Abnegation tahun ini? Jika Abnegation makin menyusut, itu salah kami—Robert,
Caleb, dan aku. Salahku. Aku mencoba mengeluarkan hal itu dari benakku.
Robert melompat turun dari truk. Ia mengenakan kaus abu-abu
dan celana jins. Setelah merasa ragu sejenak, ia maju dan memelukku. Aku
membeku. Hanya di Amity, orang saling memberi salam dengan pelukan. Aku tak
menggerakkan satu otot pun sampai ia melepaskanku.
Senyumannya memudar saat sekali lagi menatapku. “Beatrice,
apa yang terjadi padamu? Wajahmu kenapa?”
“Tidak ada,” kataku. “Cuma latihan. Bukan apa-apa.”
“Beatrice?” tanya
suara parau di sampingku. Molly melipat tangannya dan tertawa. “Itu nama
aslimu, Kaku?”
Aku melirik ke arahnya. “Menurutmu
Tris kependekan dari apa?”
“Oh, aku tidak tahu, ... tidak berdaya?” Ia menyentuh
dagunya. Jika dagunya lebih besar, mungkin akan sesuai dengan hidungnya. Tapi,
dagunya kelihatan rapuh dan tenggelam di lehernya. “Oh tunggu, itu tidak dimulai dengan Tris. Aku
salah.”
“Tak perlu jahat padanya,” ujar Robert. “Aku Robert, dan
kau?”
“Seseorang yang tak peduli siapa namamu,” ujarnya. “Kenapa
kau tak kembali saja ke truk? Kami tak seharusnya bergaul dengan anggota faksi lain.”
“Kenapa kau tak pergi saja?” bentakku.
“Baikk. Tak mau mengganggumu dan pacarmu,” ujarnya. Ia
menjauh sambil tersenyum.
Robert menatapku sedih. “Mereka sepertinya bukan orang
baik.”
“Beberapa dari mereka memang bukan orang baik.”
“Kau bisa pulang, kau tahu. Aku yakin kaum Abnegation akan
membuat pengecualian untukmu.”
“Kenapa kau pikir aku mau kembali?” tanyaku dengan pipi
memerah. “Apa kau pikir aku tak bisa menangani ini atau semacamnya?”
“Bukan begitu,” ia menggeleng. “Bukannya kau tak bisa. Kau
tak perlu melakukannya. Harusnya kau bahagia.”
“Ini yang kupilih. Itu saja.” Aku melihat ke belakang bahu
Robert. Para penjaga Dauntless sepertinya sudah selesai memeriksa truk. Pria
berjenggot itu sudah kembali ke kursi pengemudi dan menutup pintu. “Lagi pula,
Robert. Tujuan hidupku bukan hanya ... bahagia.”
“Tapi bukankah itu lebih mudah?” ujarnya.
Sebelum aku bisa menjawab, ia menyentuh bahuku dan kembali
ke dalam truk. Seorang gadis di belakang memangku sebuah banjo. Ia mulai
memetik senarnya saat Robert melompat kembali ke dalam truk. Truk itu mulai
melaju ke depan dan membawa suara banjo dan nyanyian gadis itu menjauhi kami
semua.
Robert melambaikan tangan ke arahku dan sekali lagi aku
melihat satu kemungkinan kehidupan di benakku. Aku mendapati diriku di belakang
truk, bernyanyi bersama gadis itu, walaupun sebelumnya aku tak pernah
bernyanyi. Lalu, aku tertawa saat suaraku sumbang. Atau, memanjat pohon untuk
memetik buah apel. Selalu tenang dan selalu aman.
Penjaga Dauntless menutup gerbang dan menguncinya. Kuncinya
berada di luar. Aku menggigit bibir. Kenapa mereka mengunci gerbang itu dari
luar, bukannya dari dalam? Sepertinya mereka tak ingin menjaga kami dari
sesuatu; mereka ingin mengunci kami di dalam.
Aku mengusir pikiran itu dari benakku. Itu tak mungkin.
Four melangkah menjauhi pagar, setelah beberapa saat bicara
pada seorang wanita Dauntless yang membawa senjata di bahunya. “Aku khawatir
kalau kau tdai membuat keputusan yang tidak bijaksana,” ujarnya sambil
mendekatiku.
Aku menyilangkan lengan. “Itu cuma percakapan dua menit.”
“Kurasa waktu yang lebih pendek pun tidak akan membuat
keputusanmu lebih bijaksana.” Alisnya mengerut dan ia menyentuh mataku yang
lebam dengan ujung jarinya. Kepalaku tersentak ke belakang, tapi ia tak memindahkan
tangannya. Bahkan, ia mendekatkan kepalanya dan menghela napas. “Kau tahu, jika
kau bisa belajar bagaimana caranya menyerang duluan, kau bisa bertarung lebih
baik.”
“Menyerang duluan?” kataku. “Bagaimana itu bisa membantu?”
“Kau cepat. Jika kau bisa memberikan beberapa pukulan bagus
sebelum mereka tahu apa yang terjadi, kau bisa menang.” Ia mengangkat bahu dan
melepaskan sentuhannya.”
“Aku tak menyangka
kau mengetahuinya,” ujarku pelan. “Karena kau meninggalkan ruangan di
tengah-tengah satu-satunya pertarunganku.”
“Itu bukan sesuatu yang ingin kulihat,” ujarnya.
Apa maksudnya itu?
Ia berdeham. “Sepertinya kereta selanjutnya sudah datang.
Waktunya pergi, Tris.”[]
No comments:
Post a Comment