Penulis: Veronica Roth
38
Kepala Tobias berbalik dan mata hitamnya menatapku. Alisnya berkerut.
Ia berdiri dan terlihat bingung. Ia mengangkat senjatanya.
“Jatuhkan senjatamu,” ujarnya.
“Tobias,” kataku, “kau ada di dalam simulasi.”
“Jatuhkan senjatamu,” ulangnya. “Atau kutembak.”
Jeanine bilang Tobias tidak mengenaliku. Jeanine juga bilang
kalau simulasi membuat teman Tobias berubah menjadi musuh. Ia akan menembakku
kalau terpaksa.
Aku menjatuhkan senjata di kakiku.
“Jatuhkan senjatamu!” teriak Tobias.
“Sudah,” kataku. Ada suara di kepalaku yang berbisik kalau
ia tak bisa mendengarku, ia tak bisa melihatku, ia tidak mengenaliku. Mataku terasa
perih. Aku tak bisa hanya berdiri dan membiarkannya menembakku.
Aku berlari menghampirinya dan menggenggam pergelangan
tangannya. Aku bisa merasakan pergerakan ototnya saat ia menarik pelatuk dan
aku merunduk tepat waktu. Pelurunya mengenai dinding di belakangku. Sambil terkesiap,
aku menendang tulang rusuknya dan memelintir pergelangan tangannya ke samping
sekuat mungkin. Ia menjatuhkan senjatanya.
Aku tak bisa mengalahkan Tobias dalam pertarungan. Aku tahu
itu. Tapi, aku harus menghancurkan komputer itu. Aku membungkuk mengambil
senjatanya, tapi sebelum aku bisa mengambilnya, ia menangkap tanganku dan menguncinya
ke samping.
Aku menatap matanya yang hitam dan bingung tepat sebelum ia
memukul rahangku. Kepalaku terpental ke samping dan aku meronta menjauh darinya
sambil melindungi wajah dengan kedua tangan. Aku tidak boleh jatuh; Aku tidak
boleh jatuh atau ia akan menendangku, dan itu akan lebih buruk. Akan jauh lebih
buruk. Aku menendang senjatanya dengan tumitku sehingga ia tak bisa
mengambilnya. Tidak kupedulikan denyut-denyut nyeri di rahangku, lalu kutendang
ia tepat di perut.
Tobias menangkap kakiku dan menariknya sehingga aku jatuh
dan bahuku membentur lantai. Rasa sakitnya membuat pandanganku gelap. Aku menatapnya.
Ia menarik kakinya seakan hendak menendangku, dan aku berguling dengan lututku,
lalu mengulurkan tangan mengambil senjata. Aku tidak tahu apa yang akan
kulakukan dengan benda itu. Aku tak bisa menembaknya, aku tidak bisa
menembaknya, aku tidak bisa. Tobias ada di dalam sana, entah di mana.
Ia menjambak rambutku dan menarikku ke samping. Aku mengulurkan
tangan dan mencengkeram pergelangan tangannya, tapi Tobias terlalu kuat dan
dahiku membentur dinding.
Ia ada di dalam sana, entah di mana.
“Tobias,” kataku.
Apakah barusan genggamannya melemah? Aku memutar dan balik
menendang. Tumitku mengenai kakinya. Saat rambutku terlepas dari genggamannya,
aku menunduk ke arah senjata dan ujung jariku menyentuh permukaan bajanya yang
dingin. Aku berguling ke belakang dan menodongkan senjata ke arahnya.
“Tobias,” kataku. “Aku tahu kau ada di dalam sana.”
Namun, kalaupun ia memang masih ada, ia tidak akan
menghampiriku penuh ancaman seakan ingin membunuhku.
Jantungku berdebar. Aku berdiri.
“Tobias, kumohon,” pintaku pilu. Air mata membuat wajahku
panas. “Kumohon. Lihat aku.” Ia berjalan ke arahku. Gerakannya berbahaya,
cepat, dan kuat. Senjata itu bergetar di genggamanku. “Kumohon lihat aku,
Tobias, kumohon!”
Bahkan saat ia mengancamku, matanya terlihat perhatian, dan
aku ingat bagaimana bibirnya melengkung saat ia tersenyum.
Aku tidak bisa membunuhnya. Aku tidak yakin kalau aku
mencintainya; tidak yakin apakah itu alasannya. Namun, aku yakin apa yang akan
ia lakukan jika posisi kami sekarang dibalik. Aku yakin tidak ada gunanya
membunuhnya.
Aku pernah melakukan ini sebelumnya—di dalam Ruang
Ketakutanku, dengan senjata tergenggam di tanganku, seseorang berteriak ke
arahku untuk menembak orang-orang yang kusayangi. Waktu itu aku bahkan rela
mati, tapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana itu akan membantuku sekarang. Tapi,
aku tahu, aku tahu apa yang benar
untuk dilakukan.
Ayah bilang—saat ia masih hidup—ada kekuatan di dalam
kemampuan untuk mengorbanku diri.
Aku membalikkan senjata di tanganku dan memberikan ke
telapak tangan Tobias.
Ia menempelkan laras senjatanya di dahiku. Air mataku
berhenti dan udara terasa dingin saat menerpa pipiku. Aku mengulurkan tangan
dan meletakkannya di dadanya sehingga aku bisa mendengarkan detak jantungnya. Setidaknya
detak jantungnya masih detak jantung yang kukenal.
Peluru itu bergeser masuk ke tabung magasin. Mungkin ini
akan semudah membiarkannya menembakku seperti di dalam Ruang Ketakutan, seperti
yang ada di dalam mimpiku. Mungkin ini akan menjadi satu dentuman dan cahaya
akan mengangkatku, lalu aku akan mendapati diriku ada di dunia lain. Aku berdiri
diam dan menunggu.
Apakah aku bisa dimaafkan atas segala yang pernah kulakukan
dalam perjalanku mencapai tempat ini?
Aku tidak tahu. Aku tidak tahu.
Kumohon.[]
No comments:
Post a Comment