Penulis: Veronica Roth
3
Aku terbangun dengan telapak tangan basah dan serangan rasa
bersalah di dada. Aku berbaring di kursi di ruangan penih cermin. Saat aku memiringkan kepala ke belakang, kulihat
ada Tori di belakangku. Ia menggigit bibir dan mencabut elektroda dari kepala
kami. Aku menunggunya mengatakan sesuatu tentang tes ini—tesnya sudah selesai,
atau aku mengerjakan tesnya dengan baik, walau entah apa ukuran bahwa aku bisa
melakukan tes ini dengan baik?—tapi, ia tak berkata apa-apa. Ia cuma menarik
kabel-kabel dari dahiku.
Aku duduk tegak dan menggosokkan telapak tanganku yang
berkeringat di celana. Pasti aku sudah melakukan kesalahan, bahkan kalaupun itu
cuma terjadi di dalam benakku. Apa tatapan aneh di wajah Tori itu karena ia tak
tahu bagaimana caranya memberi tahu kalau betapa buruknya aku? Kuharap hanya
itu yang akan ia ucapkan.
“Yang tadi,” ujarnya, “membingungkan. Permisi, aku akan
segera kembali.”
Aku menekuk lutut sampai ke dada dan membenamkan wajah ke
sana. Rasanya aku mau menangis karena air mata mungkin bisa membuatku lega,
tapi aku tidak bisa. Bagaimana kau bisa gagal dalam tes yang kau sendiri tak
diizinkan untuk melakukan persiapan?
Setelah beberapa lama, aku makin gugup. Kuusap telapak
tanganku beberapa detik sekali karena makin berkeringat—atau aku melakukannya
hanya karena itu membuatku merasa lebih tenang. Apa jadinya kalau mereka
memberitahuku aku tidak cocok berada di faksi mana pun? Aku harus tinggal di
jalanan, dengan mereka yang tak memiliki faksi. Aku tak bisa melakukannya.
Hidup tanpa perlindungan faksi bukan sekadar hidup miskin dan tidak nyaman;
tapi juga hidup terpisah dari masyarakat, terpisah dari hal yang terpenting
dalam hidup; komunitas.
Ibu pernah berkata kalau kita tidak bisa bertahan hidup
sendiri, tapi kalau kita bisa, kita tidak akan mau melakukannya. Tanpa faksi,
kita takkan memiliki tujuan dan alasan hidup.
Aku menggeleng. Aku tak boleh berpikir seperti itu. Aku
harus tetap tenang.
Akhirnya, pintu terbuka. Tori pun masuk. Aku mencengkeram
sandaran kursi.
“Maaf membuatmu khawatir,” ujar Tori. Ia berdiri di dekat
kakiku dengan tangan tersimpan di saku. Wajahnya kelihatan tegang dan pucat.
“Beatrice, hasil tesmu tak bisa disimpulkan,” ujarnya.
“Biasanya, setiap tahap simulasi akan mempersempit satu atau lebih jenis Faksi
yang ada. Tapi dalam kasusmu, hanya ada dua faksi yang dicoret.”
Aku menatapnya. “Dua?” tanyaku. Tenggorokanku tercekat
sampai susah untuk berbicara.
“Kalau tadi kau langsung membuang pisau dan memilih keju,
simulasi akan membawamu ke skenario berbeda yang nantinya akan menunjukkan
kalau kecakapanmu adalah Amity. Karena tidak terjadi, itu artinya Amity
dicoret.” Tori menggaruk bagian belakang lehernya. “Biasanya, simulasi berjalan
secara linear dengan mengunci simbol satu faksi dan membuang simbol faksi sisanya.
Pilihan yang kau buat bahkan tidak memberi jalan untuk Candor, kemungkinan
berikutnya, untuk dibuang, jadi aku harus mengubah simulasi dengan membawamu ke
dalam bus. Dan, keteguhanmu untuk berbohong membuang kemungkinan untuk Candor.”
Ia sedikit tersenyum. “Tak perlu khawatir. Hanya Candorlah yang akan jujur
dalam kasus itu.”
Satu ikatan beban di dadaku melonggar. Mungkin aku bukan
orang seburuk itu.
“Tapi, menurutku itu tak sepenuhnya benar. Yang selalu
berkata benar adalah Candor, ... dan Abnegation,” ujarnya. “Dan disanalah
masalahnya.”
Mulutku terbuka saking terkejutnya.
“Di satu sisi, kau melompat ke atas anjing daripada
membiarkan gadis kecil itu diserang adalah respon khas Abnegation ... tapi di
sisi lain, saat pria itu bilang kalau kebenaran yang kau sampaikan itu akan
menyelamatkannya, kau masih menolak mengatakannya. Itu bukan respon khas
Abnegation.” Ia menghela napas. “Tidak kabur dan berani menghadapi anjing
menunjukkan kau Dauntless, dan itu berlaku juga kalau kau mengambil pisaunya. Tapi
tidak kau lakukan.”
Ia berdeham lalu melanjutkan. “Respons kepandaianmu saat
menghadapi anjing itu menandakan hubungan sejajar yang kuat dengan kaum
Erudite. Aku tak tahu apa yang membuatmu ragu pada tes tahap pertama, tapi—“
“Tunggu,” aku memotong pembicaraannya. “Jadi, kau tak tahu
apa bakat kecakapanku?”
“Ya dan tidak. Kesimpulanku,” ia menjelaskan, “kau
menunjukkan tingkat kecakapan yang seimbang antara Abnegation, Dauntless, dan
Erudite. Mereka yang memiliki hasil seperti ini adalah, ...” ia melirik ke
belakang seakan ia sedang menunggu seseorang muncul di belakangnya. “...
disebut ... Divergent.” Ia mengatakan
kata terakhir itu begitu lirih sampai aku hampir tak bisa mendengarnya.
Wajahnya yang tegang dan cemas itu kembali. Tori berjalan mengitari kursi dan
membungkuk ke arahku.
“Beatrice,” ujarnya, “dalam keadaan apa pun, kau tak boleh
memberitahukan hal ini pada siapa pun. Ini hal yang sangat penting.”
“Kami tidak boleh memberitahukan hasil tes kami.” Aku
mengangguk. “Aku tahu.”
“Bukan.” Tori menopang tubuhnya dengan lutut di sandaran
kursi dan lengannya berada di sandaran tangan. Wajah kami begitu dekat. “Yang
ini berbeda. Maksudku, kau tak perlu memberitahukan hasilnya pada siapa-siapa
sekarang; maksudku kau tidak boleh memberitahukannya pada siapa pun, selamanya, apa pun yang terjadi.
Divergent—mereka yang memiliki perbedaan—benar-benar berbahaya. Kau mengerti?”
Aku tidak mengerti—bagaimana bisa hasil tes yang tidak pasti
bisa berbahaya?—tapi aku tetap saja mengangguk. Lagi pula, aku memang tak mau
memberitahukan hasil tesku pada siapa pun.
“Oke,” aku mengangkat tanganku dari sandaran kursi berdiri.
Aku merasa linglung.
“Kusarankan,” ujar Tori, “kau pulang. Kau harus berpikir
masak-masak dan menunggu dengan yang lain takkan ada gunanya.”
“Aku harus bilang dulu pada kakakku ke mana aku pergi.”
“Biar aku yang bilang.”
Aku menyentuh dahi dan berjalan meninggalkan ruangan sambil
menatap lantai. Aku tak tahan menatap matanya. Aku tak bisa memikirkan tentang
Upacara Pemilihan besok.
Sekarang, semua bergantung pilihanku. Bagaimanapun hasil
tesnya.
Abnegation, Dauntless. Erudite.
Divergent.
***
Kuputuskan tidak naik bus. Kalau aku pulang lebih cepat,
ayah akan tahu saat ia memeriksa log rumah nanti dan aku harus menjelaskan apa
yang terjadi. Kuputuskan jalan kaki saja. Aku harus mencegat Caleb sebelum ia
menceritakan apa pun pada ayah ibu, tapi Caleb bisa menyimpan rahasia.
Aku berjalan di tengah jalan. Bus-bus cenderung berjalan di
lajur pinggir, jadi lebih aman berjalan di sini. Kadang-kadang di jalanan dekat
rumahku, aku bisa menemukan garis kuning yang dulu pernah ada. Kami tak
memerlukannya lagi sekarang karena mobilnya tidak banyak. Kami tak perlu lampu
merah juga, tapi di beberapa tempat, lampu lalu lintas itu menggantung
berbahaya di atas jalanan dan bisa saja jatuh berserakan kapan saja.
Renovasi berjalan lambat di penjuru kota yang serupa seperti
paduan dari gedung-gedung baru yang bersih dan gedung-gedung tua yang hampir
roboh. Sebagian gedung baru berada di dekat rawa yang dulunya adalah sebuah
danau. Agen sukarelawan Abnegation tempat ibu bekerja yang mengurusi sebagian
besar renovasi ini.
Saat aku melihat kehidupan Abnegation dari kacamata orang
luar, menurutku itu hidup yang indah. Saat aku melihat keluargaku dalam
harmoni, saat kami pergi ke acara makan malam dan semuanya saling membersihkan
meja setelah pesta tanpa diminta; saat aku melihat Caleb membantu orang asing
membawakan belanjaannya, aku jatuh cinta dengan cara hidup seperti itu
berkali-kali. Tapi, ketika aku mencoba untuk menerapkannya, aku gagal. Aku
merasa itu bukan diriku.
Tapi, jika aku memilih faksi yang berbeda, aku mengorbankan
keluargaku. Selamanya.
Tak jauh dari sektor Abnegation di kota ini adalah jajaran
rangka-rangka bangunan dan trotoar rusak yang sekarang tengah kulewati. Ada
tempat-tempat di mana jalannya benar-benar rusak. Pipa pembuangan air terlihat
di mana-mana dan jalur kereta bawah tanah yang kosong dan benar-benar harus
kuhindari. Aku pun melewati tempat yang begitu bau oleh busuknya sampah dan limbah,
sampai-sampai aku harus menutup hidung.
Disinilah para factionless
atau mereka yang tak dilindungi faksi, tinggal. Karena mereka gagal memenuhi
inisiasi di faksi mana pun yang mereka pilih. Mereka hidup miskin dan melakukan
pekerjaan yang tak mau dilakukan siapa pun. Mereka tukang bersih-bersih,
pekerja konstruksi, dan pengumpul sampah. Ada pula yang bekerja sebagai buruh
kain, operator kereta api, dan sopir bus. Imbalan atas pekerjaan mereka adalah
makanan dan pakaian, tapi seperti kata ibu, itu tidak cukup.
Aku melihat seorang pria factionless
berdiri di sudut jalan di depan sana. Ia memakai baju lusuh berwarna cokelat
dan kulihat ada kulit bergelambir di rahangnya. Ia menatapku dan aku balik
menatapnya. Aku tak bisa mengalihkan pandangan.
“Permisi,” ujarnya. Suaranya terdengar parau. “Apa kau
memiliki sesuatu yang bisa kumakan?”
Tenggorokanku tercekat. Ada suara menggema di kepalaku,
berkata, tetap menunduk dan terus
berjalan.
Tidak. Aku menggeleng. Aku tidak boleh takut pada pria ini.
Ia membutuhkan bantuan dan aku harus menolongnya.
“Um ... ya,” ujarku. Aku meraih sesuatu ke dalam tas. Ayah
selalu memintaku menyimpan makanan di dalam tas untuk alasan ini. Aku
menawarkan pria itu sekantong irisan apel kering.
Ia mengulurkan tangan, tapi bukannya mengambil kantong itu,
tangannya mencengkeram tanganku. Ia tersenyum. Ada celah di gigi depannya.
“Ya ampun, mataku begitu indah,” ujarnya. “Sayang sekali,
yang lainnya kelihatan sederhana.”
Hatiku berdegup kencang. Aku berusaha menarik tanganku, tapi
ia mencengkeram makin kuat. Aku mencium napasnya yang berbau tajam dan
menjijikan.
“Kau kelihatannya terlalu muda untuk berjalan-jalan sendiri,
Nak,” ujarnya.
Alu tak berusaha menarik tanganku lagi dan berdiri lebih
tegak. Aku tahum aku kelihatan muda. Tak perlu diingatkan. “Aku lebih tua dari
kelihatannya,” jawabku. “Umurku enam belas.”
Bibirnya menyeringai lebar. Aku bisa melihat gerahamnya yang
kelabu dengan lubang hitam di sebelahnya. Aku tak tahu apakah ia tersenyum atau
menyeringai. “Lalu, bukankah hari ini hari yang spesial untukmu? Hari sebelum
kau memilih?”
“Lepaskan aku,” kataku. Aku mendengar suara denging di
telinga. Suaraku terdengar jelas dan keras—bukan seperti yang kuharapkan.
Rasanya seperti bukan diriku.
Aku siap. Aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku
membayangkan diriku menarik siku dan memukulinya. Aku melihat kantong apel itu
melayang. Aku mendengar suara langkah kakiku yang berlari. Aku siap beraksi.
Namun, kemudian ia melepaskan genggamannya, mengambil
apelnya, lalu berkata, “Pilih dengan bijak, Gadis Kecil.”[]
No comments:
Post a Comment