Penulis: Veronica Roth
10
Malam itu aku memimpikan Christina yang bergelantungan di
susuran sekali lagi, kali ini dengan jari kakinya. Lalu, seseorang berteriak
bahwa hanya seorang Divergent yang bisa menolongnya. Maka, aku berlari
menghampirinya untuk membantunya naik. Namun, seseorang mendorongku melewati
pinggir jurang dan aku terbangun tepat sebelum aku membentur bebatuan di bawah
sana.
Dengan tubuh berkeringat dan gemetar, aku berjalan ke kamar
mandi perempuan unuk mandi dan berganti pakaian. Saat aku kembali, ada semprotan
merah membentuk kata “KAKU” melintang di atas tempat tidur dan satu lagi di
atas bantalku. Aku melihat ke sekeliling dengan jantung berdebar penuh
kemarahan.
Peter berdiri di belakangku. Ia bersiul sambil menepuk-nepuk
bantalnya. Sulit kupercaya aku bisa membenci seseorang yang kelihatannya begitu
baik—alisnya melengkung alami dan ia memiliki senyum lebar dengan gigi yang
putih.
“Hiasan yang bagus,” ujarnya.
“Apa aku tidak sengaja melakukan sesuatu padamu?” tanyaku.
Aku meraih ujung seprai dan menariknya dari atas kasur. “Aku tidak tahu apa kau
sadar atau tidak, tapi sekarang kita ada di satu faksi yang sama.”
“Aku tidak tahu apa maksudmu,” ujarnya enteng. Lalu, ia
melirikku. “Dan, kita tidak akan pernah ada di faksi yang sama.”
Aku menggeleng sambil melepas sarung bantal. Jangan terpancing. Ia hanya ingin
membuatku marah. Ia hanya ingin membuatku marah. Ia takkan bisa melakukannya.
Tapi, tiap kali ia menepuk-nepuk bantalnya, kubayangkan tinjuku memukul
perutnya.
Al masuk dan aku bahkan tak perlu memintanya untuk
membantuku. Ia hanya menghampiri dan melucuti seprai bersamaku. Nanti aku harus
menggosok dipan untuk menghilangkan coretannya. Al membawa sepraiku ke dalam
keranjang pakaian kotor dan kami berdua berjalan ke ruang latihan.
“Jangan pedulikan ia,” ujar Al. “ia itu idiot dan kalau kau
terpancing, ia akan berhenti sendiri.”
“Yeah,” aku menyentuh pipiku. Rasanya masih hangat oleh rasa
marahku barusan. Aku mencoba mengalihkan pikiran. “Apa kau sudah bicara dengan
Will?” tanyaku pelan. “Setelah ... kau tahu.”
“Yeah. Ia baik-baik saja. Ia tidak marah.” Al menghela
napas. “Sekarang, aku akan selalu diingat orang sebagai cowok berdarah dingin
pertama kali menghajar seseorang.”
“Ada banyak cara untuk diingat. Setidaknya mereka takkan
mengganggumu.”
“Ada beberapa cara yang lebih baik juga.” Ia menyikutku
sambil tersenyum. “Pelompat pertama.”
Mungkin aku memang pelompat pertama, tapi kurasa itu awal
dan akhir ketenaranku di Dauntless.
Aku berdeham. “Lalu pula, toh salah satu dari kalian akan
kalah, kau tahu, kan? Kalau bukan ia, pasti kau.”
“Tetap saja, aku tak mau melakukannya lagi,” Al menggeleng
cepat beberapa kali. Ia mendengus. “Aku benar-benar tak mau.”
Kami mencapai pintu ruang latihan dan aku berkata, “Tapi kau
harus.”
Al memiliki wajah yang baik. Mungkin ia terlalu baik untuk
Dauntless.
Aku melihat papan tulis saat memasuki ruangan. Aku tak perlu
bertarung kemarin, tapi hari ini pasti aku akan bertarung. Sat kulihat namaku,
aku berhenti melangkah.
Lawanku adalah Peter.
“Oh tidak,” ujar Christina yang berada di belakang kami.
Wajahnya masih memar dan kelihatannya ia memaksakan diri untuk tidak kelihatan
pincang. Saat melihat papan, ia meremas bungkus muffin yang dipegangnya. “Apa mereka serius? Mereka akan membuat-mu bertarung dengan-nya?”
Peter hampir 30 sentimeter lebih tinggi dariku dan kemarin
ia menghajar Drew kurang dari lima meint. Hari ini wajah Drew terlihat memar
hitam kebiruan, tak segar seperti biasanya.
“Mungkin kau perlu menerima beberapa pukulan dan
berpura-pura pingsan,” saran Al. “Takkan ada yang menyalahkanmu.”
“Yeah,” kataku. “Mungkin.”
Aku melihat papan itu. Pipiku terasa panas. Aku tahu Al dan
Christina hanya mencoba membantu. Tapi, kenyataan bahwa mereka tak percaya,
bahkan tidak sedikit pun terbesit di benak mereka, kalau aku memiliki
kemungkinan menang melawan Peter, menggangguku.
Aku berdiri di sisi ruangan, setengah mendengarkan obrolan
Al dan Christina, dan melihat Molly bertarung dengan Edward. Edward lebih cepat
dari Molly, jadi kuyakin gadis itu takkan menang hari ini.
Saat pertarungan berlangsung dan kejengkelanku memudar, aku
mulai gelisah. Kemarin Four memberi tahu kami untuk mencari kelemahan lawan.
Selain sifat yang membuatnya tak disukai, Peter tak memiliki kekurangan. Ia
kuat karena cukup tinggi, tapi tubuhnya tidak terlalu besar untuk membuatnya
lambat. Ia bisa melihat kelemahan orang lain. Ia kejam dan takkan memberiku
ampun. Aku bisa saja mengatakan, siapa tahu Peter meremehkanku, tapi itu
bohong. Aku sama tak berdayanya seperti yang ia duga.
Mungkin Al benar dan aku Cuma perlu menerima beberapa
pukulan dan berpura-pura pingsan.
Tapi, aku tak bisa tak mencoba. Aku tak boleh ada di ranking terbawah.
Saat Molly mencoba berdiri, nyaris tak sadar akibat hantaman
Edward, jantungku berdebar begitu kencang sampai-sampai aku bisa merasakannya
di ujung jariku. Aku tak ingat bagaimana caranya berdiri. Aku tak ingat caranya
memukul. Aku berjalan ke tengah arena dan perutku menggeliat saat Peter
mendekatiku. Ia lebih tinggi dari yang kuingat; lengan-lengannya mencuat
menarik perhatian. Ia tersenyum padaku. Aku bertanya-tanya apakah muntah di
depannya akan membantuku.
Aku ragu.
“Kau baik-baik saja, Kaku?” ujarnya. “Kelihatannya kau mau
nangis. Aku akan pelan-pelan padamu jika kau menangis.”
Dari balik bahu Peter, aku melihat Four berdiri di samping
pintu dengan tangan terlipat. Mulutnya mengerut seakan ia baru saja menelan
sesuatu yang asam. Di sampingnya ada Eric yang mengetuk-ngetukkan kaki lebih
cepat dari detak jantungku.
Satu detik aku dan Peter masih berdiri di sini dengan saling
melihat satu sama lain. Detik berikutnya, tangan Peter terangkat ke arah wajah
dengan siku menekuk. Lutunya pun ikut menekuk, seakan ia siap melompat.
“Ayo Kaku,” ujarnya dengan mata berkilat. “Cuma setetes air
mata saja. Mungkin sedikit memohon juga.”
Bayangan kalau aku memohon ampun pada Peter membuatku muak,
dan aku menendangnya ke arah samping. Atau, aku akan menendangnya di samping,
jika ia tak menangkap kakiku dan melemparnya ke depan, sehingga membuatku
kehilangan keseimbangan. Punggungku membentur lantai. Aku menarik kakiku dan
berusaha berdiri.
Aku harus tetap berdiri, jadi ia tak bisa menendang
kepalaku. Hanya itu yang bisa kupikirkan.
“Jangan bermain-main denganya,” bentak Eric. “Aku tak punya
waktu seharian.”
Tampang jahil Peter memudar. Tangannya mengayun dan rasa
sakit menjalari rahangku, merambat ke penjuru wajah dan membuat pandanganku
mulai gelap. Telingaku ikut berdengaing. Aku berkedip dan terhuyung-huyung ke
samping saat ruangan kelihatan seperti bergoyang-goyang. Aku tak ingat kalau
tinjunya telah mengenaiku.
Aku terlalu limbung untuk melakukan apa pun kecuali menjauh
darinya, sejauh mungkin asal masih tetap berada di arena. Ia bergerak cepat ke
depan dan menendang perutku keras-keras. Kakinya seperti memaksa udara keluar
dari paru-paruku. Rasanya sakit. Sangat sakit sampai aku tak bisa bernapas.
Atau, mungkin itu semata karena tendangannya, aku tak tahu. Yang kutahu aku
hanya jatuh tersungkur.
Cepat bangun
adalah satu-satunya pikiran yang ada di kepalaku. Aku memaksakan diri untuk
bangkit, tapi Peter terlanjur ada di dekatku. Ia menarik rambutku dengan satu
tangan dan tangan yang lainnya tepat meninju hidungku. Kali ini sakitnya
berbeda. Bukan seperti sakit ditusuk, dan lebih mirip sakit saat ada anggota
tubuh yang patah. Otakku rasanya seperti retak dan pandanganku dipenuhi
berbagai warna, biru, hijau, merah. Aku mencoba mendorongnya menjauh. Tanganku
memukul lengannya. Ia memukulku lagi, kali ini di tulang rusuk. Wajahku basah.
Hidungku berdarah. Lebih deras dari sebelumnya, kurasa, tapi aku terlalu pusing
untuk melihat ke bawah.
Ia mendorongku dan aku jatuh lagi. Aku menapakkan tangan di
tanah. Mataku tak henti berkedip, lambat, perlahan, dan panas. Aku terbatuk dan
berjalan menyeret langkah. Aku seharusnya tetap berbaring di tanah karena
ruangan ini berputar terlalu keras. Peter pun seperti berputar mengelilingiku.
Aku ada di pusat planet yang tengah berputar. Aku yang satu-satunya tidak
berputar. Sesuatu memukulku dari samping dan aku hampir terjatuh lagi.
Bangun, cepat bangun.
Aku melihat ada sesuatu di hadapanku. Tubuh seseorang. Kulayangkan tinju
sekeras yang kubisa dan kepalan tanganku menumbuk sesuatu yang lunak. Peter
bahkan tak mengerang dan memukul telingaku dengan telapak tangannya sambil tertawa.
Aku mendengar suara mendenging dan mencoba menghilangkan beberapa noda hitam di
mataku dengan mengedip beberapa kali. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang masuk
ke mataku?
Di tengah-tengah pandangan yang berkunang-kunang ini,
kutatap sosok Four mendorong pintu terbuka dan melangkah keluar. Rupanya
pertarungan ini tak cukup menarik untuknya. Atau, mungkin ia mencari tahu
mengapa semuanya berputar seperti gasing. Dan, aku tak menyalahkannya. Aku juga
ingin tahu alasannya.
Akhirnya, lututku menyerah dan pipiku merasakan dinginnya
lantai. Sesuatu membentur sisi tubuhku dan untuk pertama kalinya aku menjerit,
melengking tinggi yang sepertinya bukan suaraku. Sekali lagi ada yang membentur
tubuhku. Aku tak bisa melihat apa-apa, bahkan apa pun yang ada di depan
wajahku. Semuanya gelap. Seseorang berteriak “Cukup!” dan yang kupikirkan hanyalah terlalu banyak dan tidak sama
sekali.
***
Saat aku terbangun, aku tak merasakan apa-apa, tapi bagian
dalam kepalaku rasanya samar-samar, seperti dijejali banyak bola kapas.
Aku tahu aku kalah, dan satu-satunya hal yang menyingkirkan
rasa sakit adalah keadaanku yang sulit berpikir jernih sekarang.
“Apakah matanya menghitam?” tanya seseorang.
Aku membuka satu mata—mata uang lainnya tetap tertutup
seakan-akan dilapisi lem. Di sebelah kananku ada Will dan Al. Christina duduk
di atas kasur di sebelah kiriku dengan sekantong es di rahangnya.
“Kenapa mukamu?” ujarku. Bibirku rasanya aneh dan terlalu
besar.
Christina tertawa. “Lihat siapa yang bicara. Apa kami perlu
mengambilkan perban mata untukmu?”
“Ya, aku sudah tahu apa yang terjadi dengan wajah-ku,” kataku. “Aku kan ada di sana.
Sepertinya.”
“Kau baru saja bercanda,
Tris?” ujar Will tersenyum lebar. “Kami
harus lebih sering memberimu penahan sakit jika kau mulai bercanda. Oh, dan
menjawab pertanyaanmu, aku baru saja menghajar Christina.”
“Aku tidak percaya kau tak bisa mengalahkan Will,” ujar Al
menggeleng.
“Apa? Ia bagus
kok,” ujar Christina mengangkat bahu. “Plus, kurasa aku sudah belajar bagaimana
caranya supaya tidak kalah lagi. Aku Cuma perlu mencegah orang memukul
rahangku.”
“Seharusnya kau tahu itu dari dulu.” Will mengedipkan mata
padanya. “Sekarang, aku tahu kenapa kau bukan seorang Erudite. Tidak terlalu
pintar, kan?”
“Kau tidak apa-apa, Tris” kata Al. Matanya cokelat tua,
hampir sama seperti warna kulit Christina. Pipinya terlihat kasar. Jika tidak
bercukur, ia akan memiliki jenggot yang tebal. Sulit dipercaya ia baru enam
belas tahun.
“Yeah,” kataku. “Aku Cuma berharap selamanya aku tetap di
sini supaya tak perlu bertemu Peter lagi.”
Tapi, aku tak tahu di mana “di sini” itu. Aku berada di
ruangan yang sempit tapi besar dengan barisan tempat tidur di masing-masing
sisi. Beberapa tempat tidur ditutup gorden. Di sebelah kanan ruangan ada pos
perawat. Pasti ini tempat di mana para Dauntless pergi jika mereka terluka atau
sakit. Seorang wanita di sana menatap kami dari balik papan catatannya. Aku tak
pernah melihat seorang perawat dengan tindikan di telinga sebanyak itu.
Beberapa Dauntless pasti menjadi sukarelawan untuk melakukan pekerjaan yang
biasanya dilakukan faksi lain. Lagi pula, sepertinya tak masuk akal bagi para
Dauntless untuk berkalan jauh ke rumah sakit di kota tiap kali mereka terluka.
Pertama kalinya aku pergi ke rumah sakit, umurku masih enam tahun.
Ibu terjatuh di trotoar jalan di depan rumah dan lengannya patah. Mendengarnya
menjerit membuatku menangis, tapi Caleb langsung berlari mencari ayah tanpa
berkata apa-apa. Di rumah sakit, seorang wanita Amity berkaus kuning dengan
kuku yang bersih, mengukur tekanan darah ibu dan membetulkan letak lengannya
sambil tersenyum.
Aku ingat Caleb berkata pada ibu kalau ibu butuh waktu
sebulan untuk pulih karena retakannya terjadi di tulang lunak. Kupikir Caleb
hanya menenangkan ibu karena itulah yang dilakukan mereka yang tak memiliki
rasa pamrih. Tapi, sekarang aku bertanya-tanya apakah ia hanya menyampaikan apa
yang sudah ia pelajari, seakan semua sifat Abnegation yang Caleb miliki
hanyalah sifat Erudite yang disamarkan.
“Jangan khawatirkan Peter,” ujar Will. “Paling tidak ia akan
dihajar oleh Edward yang sudah belajar perkelahian tangan kosong sejak kami
sepuluh tahun. Untuk bersenang-senang.”
“Bagus,” ujar Christina. Ia memeriksa jamnya. “Kurasa kita
kelewatan makan malam. Apa kau mau kami ada di sini, Tris?”
Aku menggeleng. “Aku baik-baik saja.”
Christina dan Will bangkit, tapi Al tinggal sebentar. Al
memiliki wangi yang khas—manis dan segar seperti wangi daun sage dan serai.
Saat ia banyak bergerak dan membalikkan badan di malam hari, aku bisa mencium
aromanya dan tahu kalau ia sedang bermimpi buruk.
“Aku hanya ingin memberitahumu kalau kau ketinggalan
pengumuman Eric. Kita akan pergi jalan-jalan besok, ke perbatasan, untuk
mempelajari pekerjaan Dauntless,” ujarnya. “Kita harus sudah ada di kereta jam
delapan lebih lima belas.”
“Bagus,” kataku. “Terima kasih.”
“Dan jangan dengarkan Christina. Wajahmu tak seburuk itu.”
Ia tersenyum kecil. “Maksudku, kelihatannya baik. Selalu kelihatan baik-baik
saja. Maksudku—kau kelihatan berani, Dauntless.”
Matanya menghindari tatapanku. Dan, ia menggaruk belakang
kepalanya. Ada keheningan di antara kami berdua. Ia mengatakan hal yang baik,
tapi ia bersikap seakan itu lebih dari sekedar kata-kata. Kuharap aku salah.
Aku tak mungkin tertarik Al—aku tak mungkin tertarik pada orang serapuh itu.
Aku tersenyum selebar yang pipiku bisa lakukan dan berharap bisa mengaburkan
ketegangan yang ada.
“Harusnya kubiarkan kau istirahat,” ujarnya. Ia bangkit,
tapi sebelum ia pergi, aku meraih pergelangan tangannya.
“Al, apa kau baik-baik saja?” kataku. Ia menatapku kosong
dan aku menambahkan, “Maksudku, apakah ini jadi lebih mudah sekarang?”
“Uh ...” ia mengangkat bahu. “Sedikit.”
Ia menarik tangannya dan menjejalkannya ke saku. Pertanyaan
itu pasti telah membuatnya malu karena aku tak pernah melihat wajahnya semerah
itu. Jika menghabiskan malam-malamku dengan menangis di atas bantal, aku jiga
akan sedikit malu. Setidaknya saat aku menangis, aku tahu bagaimana cara
menyembunyikannya.
“Aku kalah dari Drew. Setelah pertarunganmu dengan Peter,”
Al menatapku. “Aku memukul beberapa kali, jatuh, dan tetap berada di sana.
Walaupun aku tak perlu melakukannya. Aku menyadari – aku sadar sejak aku
mengalahkan Will, jika aku kalah di semua pertarungan, aku tidak akan berada di
urutan terbawah. Jadi, aku tak perlu menyakiti siapa-siapa lagi.”
“Apakah itu yang benar-benar kau mau?”
Ia menunduk. “Aku Cuma tak bisa melakukannya. Mungkin itu
artinya aku pengecut.”
“Kau bukan pengecut hanya karena kau tak ingin menyakiti
orang lain,” kataku, karena aku tahu itulah yang benar untuk dikatakan, bahkan
jika aku sendiri tak yakin aku sungguh-sungguh mengatakannya.
Kami saling berpandangan sejenak. Mungkin aku memang
bersungguh-sunggu mengatakannya. Jika ia pengecut, itu bukan karena ia tak
menikmati rasa sakitnya. Itu karena ia tak mau bertindak.
Ia menatapku miris. “Menurutmu keluarga kita akan datang
berkunjung? Mereka bilang keluarga anak pindahan tak pernah datang di Hari
Kunjungan.”
“Aku tak tahu,” kataku. “Aku tak tahu apakah itu baik atau
buruk jika mereka melakukannya.”
“Kurasa buruk.” Ia mengangguk. “Yeah, ini saja sudah cukup
sulit.” Ia mengangguk lagi seakan ingin menegaskan apa yang baru ia katakan dan
melangkah pergi.
Kurang dari seminggu lagi, para peserta inisiasi faksi
Abnegation bisa mengunjungi keluarga untuk pertama kalinya sejak Upacara
Pemilihan. Mereka akan pulang ke rumah dan duduk di ruang keluarga. Mereka akan
berhubungan lagi dengan orangtuanya untuk pertama kalinya sebagai orang dewasa.
Tadinya aku menanti hari itu. Tadinya aku memikirkan apa
yang akan kukatakan pada ibu dan ayah setelah aku diizinkan untuk bertanya pada
mereka di meja makan.
Kurang dari seminggu, para peserta inisiasi asli Dauntless
akan menemui keluarga mereka di lantai terbawah The Pit atau di gedung kaca di
atas markas ini. Mereka akan melakukan apa pun yang biasa Dauntless lakukan
saat mereka berkumpul. Mungkin mereka saling bergantian melemparkan pisau ke
kepala anggota keluarga yang lain—itu takkan membuatku terkejut.
Dan, para peserta inisiasi pindahan dengan orangtua yang
pemaaf juga akan bisa bertemu dengan keluarganya lagi. Kurasa orangtuaku bukan
termasuk golongan itu. Tidak setelah ayahku berteriak marah saat upacara. Tidak
setelah kedua anaknya meninggalkan ayah ibunya.
Mungkin kalau aku bisa bilang pada mereka aku seorang
Divergent dan bingung harus memilih apa, mereka akan mengerti. Mungkin mereka
akan membantuku mencari tahu apakah Divergent itu, dan apa artinya, dan kenapa
berbahaya. Tapi, aku tidak memberitahukan rahasia itu pada mereka, jadi aku tak
akan pernah tahu.
Aku menggertakkan gigi saat air mataku jatuh. Aku muak. Aku
muak dengan air mata dan rasa lemah. Tapi, tak banyak yang bisa kulakukan untuk
menghentikan semua perasaan itu.
Mungkin aku akan tertidur, mungkin juga tidak. Meski begitu,
malamnya aku menyelinap keluar ruangan dan kembali ke kamar. Hal yang lebih
buruk dari membiarkan Peter mengirimku ke rumah sakit adalah membiarkannya
membuatku menginap di rumah sakit.[]
No comments:
Post a Comment