Penulis: Veronica Roth
5
Bus yang kami tumpangi ke Upacara Pemilihan penuh dengan
orang-orang berbaju dan bercelana abu-abu. Seberkar cahaya matahari pucat
menembus kumpulan awan seperti bulatan ujung rokok yang terbakar. Aku tidak
akan pernah merokok—merokok erat sekali dengan kesan kesombongan—tapi
sekumpulan orang Candor meroko di depan gedung saat kami turun dari bus.
Aku harus menengadahkan kepala untuk melihat bagian atas The
Hub. Walau begitu, tetao saha bagian teratasnya hilang ditelan awan. Ini gedung
tertinggi di kota. Aku bisa melihat lampu di atap dua menaranya dari jendela
kamarku.
Aku mengikuti orangtuaku turun dari bus. Caleb kelihatannya
tenang, tapi begitu pula denganku, jika aku tahu apa yang akan kulakukan.
Namun, aku malah merasa seakan jantungku akan melompat keluar kapan saja. Aku
meraih lengan Caleb agar bisa tegak berdiri saat menaiki tangga depan.
Lift begitu ramai, jadi ayah dengan sukarela memberikan
tempatnya pada sekelompok orang Amity. Kami malah menaiki tangga, mengikutinya
tanpa banyak pertanyaan. Kami memberikan contoh untuk teman-teman sesama
anggota faksi. Tak lama, kami bertiga menjadi bagian dari sekelompok orang
berpakaian abu-abu yang serentak menaiki tangga diterangi cahaya seadanya. Aku
menyamakan langkahku. Suara juntai jubah abu-abu yang menggesek kaki yang
bergema di telingaku dan kesamaan orang-orang yang mengelilingiku saat ini
membuatku percaya aku bisa memilih faksi ini. Aku bisa membaur dengan pola
pikir Abnegation, selalu mementingkan orang lain.
Tapi, kemudian kakiku sakit. Aku susah bernapas. Sekali lagi
pikiranku terpecah. Kami harus menaiki dua puluh lantai untuk mencapai ruang
Upacara Pemilihan.
Ayah memegangn pintu di lantai dua puluh agar tetap terbuka
dan berdiri seperti penjaga saat setiap kaum Abnegation berjalan melewatinya.
Aku ingin menunggunya, tapi kerumunan orang di belakang mendorongku ke depan
keluar dari jalur tangga dan memasuki ruangan di mana aku akan memutuskan masa
depanku.
Ruangan ini disusun oleh beberapa lingkaran konsentris. Di
sisi-sisinya berdiri anak-anak berusia enam belas tahun dari setiap faksi. Kami
belum bisa dipanggil anggota faksi. Keputusan kami hari inilah yang membuat
kami menjadi peserta inisiasi. Kami akan menjadi anggota jika kami
menyelesaikan inisiasi.
Kami berbaris berdasarkan urutan abjad nama belakang kami,
yang mungkin akan kami tanggalkan hari ini. Aku berdiri di antara Caleb dan
Danielle Pohler, gadis Amity yang berpipi kemerahan dan gaun kuning.
Barisan bangku untuk keluarga kami berada di lingkaran
selanjutnya. Semua disusun dalam lima bagian sesuai dengan masing-masing faksi.
Tidak semuanya datang ke Upacara Pemilihan, tapi cukup banyak untuk membuat
orang-orang yang datang kelihatan ramai.
Tanggung jawab menyelenggarakan upacara ini dilakukan bergiliran
oleh setiap faksi. Kali ini giliran Abnegation. Marcus yang akan memberikan
pidato pembuka dan membacakan nama-nama dalam urutan terbalik. Caleb akan
memilih sebelum aku.
Di lingkaran terakhir ada lima mangkuk logam yang begitu
besar sampai bisa menyembunyikan tubuhku jika aku meringkuk. Masing-masing
mangkuk berisi barang-barang yang mewakili masing-masing faksi: Batu abu-abu
untuk Abnegation, air untuk Erudite, tanah untuk Amity, batu bara pijar untuk
Dauntless, dan kaca untuk Candor.
Saat Marcus memanggil namaku, aku akan berjalan ke tengah
tiga lingkaran konsentris. Aku tidak boleh bicara. Ia akan memberiku sebilah
pisau. Pisau itu kugoreskan ke tangan dan meneteskan darahku ke dalam mangkuk
faksi yang kupilih.
Darahku di atas bebatuan itu. Darahku mendesir di atas batu
bara pijar.
Sebelum ayah ibu duduk, mereka berdiri di hadapan aku dan
Caleb. Ayah mencium keningku dan menepuk bahu Caleb sambil tersenyum lebar.
“Sampai ketemu lagi,” ujarnya. Tanpa ada jejak keraguan.
Ibu memelukku dan pertahananku yang tak seberapa hampir saja
runtuh. Aku mengatupkan rahang dan menatap langit-langti. Ada lentera bola
dunia yang tergantung di sana dan menerangi ruangan dengan cahaya biru. Lama
sekali ibu memelukku, bahkan setelah aku membiarkan lenganku jatuh tak
memeluknya lagi. Sebelum ia melepaskan pelukan, ibu membisikkan sesuatu di
telingaku. “Ibu sayang kamu. Apa pun yang terjadi.”
Aku mengernyit ke arah ibu saat beliau berjalan menjauh. Ibu
tahu apa yang mungkin akan kulakukan. Pasti ibu tahu. Kalau tidak, ibu takkan
merasa perlu mengatakannya.
Caleb menggenggam tanganku. Ia meremas telapak tanganku
begitu kuat, tapi aku tak melepaskannya. Terakhir kali kami berpegangan tangan
adalah saat pemakaman Paman. Saat itu ayah menangis. Sekarang, kami saling
membutuhkan kekuatan satu sama lain, persis seperti waktu itu.
Ruangan mulai penuh. Aku seharusnya mengamati Dauntless.
Seharusnya aku mencari informasi sebanyak mungkin, tapi aku hanya bisa melihat
lentera di penjuru ruangan. Aku mencoba berkonsentrasi menatap cahaya kebiruan
itu.
Marcus berdiri di podium yang berada di antara barisan
Erudite dan Dauntless. Ia berdehem di depan mikrofon.
“Selamat datang,” ujarnya. “Selamat datang di Upacara
Pemilihan. Selamat datang di hari di mana kita menghormati filosofi demokratis
para leluhur kita, yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk
memilih caranya menjalani hidup di dunia ini.”
Atau, dalam kasusku, satu dari lima cara yang telah
ditentukan. Aku meremas jari-jari Caleb sekuat ia meremas jari-jariku.
“Para penerus kita sekarang telah berusia enam belas tahun.
Mereka berdiri di tebing kedewasaan dan sekarang mereka yang menentukan sendiri
akan menjadi apa mereka nantinya.” Suara Marcus terdengar khidmat dan memberi
penekanan yang sama di tiap katanya. “Beberapa puluh tahun lalu, leluhur kita
menyadari bahwa bukan ideologi politik, kepercayaan religius, ras atau
nasionalisme yang bisa disalahkan atas dunia yang berperang. Mereka lebih yakin
bahwa itu kesalahan sifat manusia—kecenderungan manusia untuk berbuat jahat,
dalam bentuk apa pun. Maka, para leluhur membagi dunia dalam lima faksi yang
bertujuan untuk menghapus sifat-sifat yang dianggap bertanggung jawab atas
kekacauan di dunia.”
Mataku menatap bergantian ke arah mangkuk-mangkuk di tengah
ruangan. Apa yang kupercayai? Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu,
“Mereka yang tidak menyukai peperangan, membentuk Amity.”
Kaum Amity tersenyum satu sama lain. Mereka mengenakan
pakaian nyaman yang berwarna merah atau kuning. Tiap kali aku melihat mereka,
sepertinya mereka baik, penuh kasih sayang, dan lainnya. Tapi, bergabung dengan
mereka tak pernah menjadi pilihanku.
“Mereka yang tak menyukai ketidaktahuan, menjadi Erudite.”
Mencoret Erudite dari daftarku adalah bagian pilihanku yang
termudah.
“Mereka yang tidak menyukai kepalsuan, membentuk Candor.”
Aku tak pernah suka Candor.
“Mereka yang tak menyukai pamrih dan egoisme, membentuk
Abnegation.”
Aku tak menyukai pamrih dan egoisme. Sungguh aku tidak suka.
“Dan, mereka yang membenci kepengecutan adalah pada Dauntless.”
Tapi, rasa egoisku masih tetap ada. Aku sudah mencoba selama
enam belas tahun dan aku tak pernah merasa benar-benar tak memiliki ego dan
pamrih.
Kakiku seperti lumpuh. Rasanya seperti tak ada tanda
kehidupan. Dan, aku jadi bertanya-tanya bagaimana aku bisa berjalan saat namaku
dipanggil nanti.
“Dengan bekerja sama, kelima faksi ini hidup damai selama
bertahun-tahun. Masing-masing berkontribusi untuk tiap sektor masyarakat yang
berbeda. Abnegation memenuhi kebutuhan kita akan pemimpin tanpa pamrih di
pemerintahan. Candor memberikan kita pemimpin vokal dan bisa dipercaya di dunia
hukum. Erudite menyediakan guru-guru dan para penliti yang pandai. Amity
memberikan para konselor dan perawat yang penuh pengertian. Dan, Dauntless
memberikan kita semua perlindungan, baik dari dalam maupun luar dunia kita
sendiri. Tapi, pencapaian masing-masing faksi itu tak terbatas hanya di area
itu. Kami memberikan satu sama lain lebih dari yang bisa dirangkum. Difaksi
kitalah, kita menemukan makna. Kita menemukan tujuan. Kita menemukan hidup.”
Terbesit di pikiranku moto yang kubaca dari buku cetak
Sejarah Faksi: Faksi Lebih Penting dari
Pertalian Darah. Lebih dari keluarga. Faksi adalah tempat kami sesungguhnya
berada. Apa mungkin benar seperti itu?
Marcus menambahkan, “Tanpa faksi, kita takkan bertahan
hidup.”
Keheningan yang mengikuti kata-kata Marcus barusan lebih
berat dari keheningan mana pun. Berat oleh ketakutan terbesar kami, bahkan
lebih besar dari ketakutan akan kematian: menjadi factionless, tanpa Komunitas.
Marcus melanjutkan, “Oleh karena itu, hari ni diperingati
sebagai perayaan membahagiakan—hari di mana kita menerima para peserta inisiasi
baru yang akan bekerja sama dengan kita untuk masyarakat yang lebih baik dan
dunia yang lebih baik.”
Tepuk tangan menggema. Suaranya seakan menenangkan. Aku
mencoba tetap berdiri tegak karena kakiku seperti terkunci dan tubuhku kaku.
Aku tidak gemetar. Marcus membaca nama pertama, tapi aku tak bisa mendengar
satu demi satu suku katanya. Bagaimana aku akan tahu kalau ia nanti memanggil
namaku?
Satu demi satu anak berumur enam belas tahun keluar dari
barisan dan berjalan menuju tengah ruangan. Gadis pertama yang memilih,
memutuskan memilih Amity, faksi tempatnya berasal. Aku melihat tetes darahnya
jatuh ke atas tanah dan ia berdiri di belakang kursi Amity seorang diri.
Ruangan ini terus bergerak. Nama yang baru dan orang baru
yang memilih. Sebilah pisau dan sebuah pilihan varu. Aku mengenali sebagian
besar dari mereka, tapi aku ragu mereka mengenalku.
“James Tucker,” ujar Marcus.
James Tuckes dari Dauntless adalah orang pertama yang
terjungkal saat melangkah menuju mangkuk. Ia menjulurkan tangan ke depan dan
mendapatkan lagi keseimbangannya sebelum tersungkur di lantai. Wajahnya memerah
dan ia berjalan cepat ke tengah ruangan. Saat ia berada di sana, ia mengalihkan
padangan dari mangkuk Dauntless menuju mangkuk Candor.
Marcus memberikan pisau padanya. James Tucker menarik napas
panjang—aku bisa melihat dadanya naik—dan saat ia menghela napa, ia menerima
pisau itu. Kemudian, ia menorehkannya ke telapak tangan sambil bergidik dan
menahan lengannya yang terjulur ke salah satu sisi. Darahnya menetes di atas
kaca. Ialah yang pertama yang berpindah faksi. Perpindahan faksi yang pertama.
Gumaman menggema dari bagian Dauntless dan aku menunduk menatap lantai.
Mulai sekarang, mereka akan melihat James sebagai
pengkhianat. Keluarga Dauntlessnya akan memiliki pilihan untuk mengunjunginya
di faksinya yang baru, selama sepuluh hari pada Hari Kunjungan. Tapi,
keluarganya takkan melakukan itu karena ia telah meninggalkan mereka.
Ketidakhadirannya akan menghantui lorong aula keluarga. Ia akan menjadi tempat
kosong yang tak bisa digantikan oleh siapa pun. Dan saat waktu berlalu, lubang
itu menghilang, seperti saat organ tubuh diambil dan digantikan cairan tubuh ke
tempat kosong itu. Manusia tidak bisa menghadapi kekosongan dalam waktu lama.
“Caleb Prior,” ujar Marcus.
Caleb meremas tanganku sekali lagi untuk yang terakhir kali.
Ia berjalan menjauh sambil melihatku dari balik bahunya. Aku melihat langkahnya
yang makin mendekati bagian tengah ruangan. Tangannya terlihat mantap saat
menerima pisau dari Marcus. Tangannya pun terlihat terampil saat menggoreskan
pisau itu ke telapak tangan satunya. Ia berdiri dengan darah menggenang di
tangan dan bibir tergigit menahan sakit.
Ia mengembuskan napas. Lalu menariknya. Dan, ia menjulurkan
tangan ke atas mangkuk Erudite dan darahnya menetes ke dalam air. Air dalam
mangkuk memerah.
Aku mendengan gumaman yang menjelma seperti pekikan penuh
amarah. Aku hampir tak bisa berpikir jernih. Kakakku, kakakku yang memiliki
pamrih, berpindah faksi? Kakakku, yang terlahir sebagai seorang Abnegation,
kini seorang Erudite?
Saat aku menutup mata, aku melihat tumpukan buku di atas
meja Caleb. Lalu, tangannya yang gemetar saat diusapkan ke celana selepas Tes
Kecakapan. Kenapa aku tak menyadarinya saat kemarin ia berkata padaku untuk
memikirkan masa depanku sendiri, sebenarnya ia sedang memberi nasihat untuk
dirinya sendiri?
Aku mengedarkan pandangan ke kumpulan Erudite—mereka
tersenyum penuh kepuasan dan saling menyikut satu sama lain. Abnegation, yang
biasanya begitu tenang, saling berbisik satu sama lain dengan nada tinggi dan
melirik ke seberang ruangan ke arah faksi yang telah menjadi musuh mereka.
“Permisi,” ujar Marcus, tapi tak ada yang mendengarkannya.
Ia berteriak, “Mohon tenang!”
Ruangan menjadi hening. Kecuali, ada suara berdenging yang
terus mengusik.
Kudengar namaku disebut dan rasa merinding mendorongku ke
depan. Setelah jalan sebelum mencapi mangkuk itu, aku yakin aku akan memilih
Abnegation. Aku bisa melihatnya sekarang. Aku melihat diriku sendiri tumbuh
menjadi wanita yang mengenakan jubah Abnegation, menikahi kakak Susan, Robert,
melakukan kerja sukarela di akhir pekan, kegiatan rutinitas yang menenangkan,
makan-malan tenang yang dihabiskan di depan perapian, kepastian kalau hidupku
akan aman. Dan, jika itu semua tidak cukup, aku akan menjadi lebih baik dari
diriku yang sekarang.
Suara denging itu, baru kusadari, datangnya dari telingaku
sendiri.
Aku menatap Caleb yang sekarang berdiri di kursi Erudite. Ia
menatapku balik dan sedikit mengangguk, seakan ia tahu apa yang kupikirikan,
dan menyetujuinya. Langkahku meragu. Jika seorang Caleb pun tak merasa cocok
hidup di Abnegation, bagaimana aku bisa melakukannya? Tapi, pilihan apa yang
kupunya. Sekarang, Caleb sudah meninggalkan kami semua dan hanya aku yang
tersisa. Ia tak memberikanku pilihan lain.
Aku mengeraskan tahangku. Aku akan menjadi anak yang
memutuskan untuk tetap tinggal. Aku harus melakukan ini untuk ayah dan ibu.
Harus.
Marcus memberiku pisau. Aku menatap matanya—matanya biru
tua, warna yang aneh—dan mengambil pisau itu. Ia mengangguk dan aku berbalik
menghadap barisan mangkuk. Api Dauntless dan batu Abnegation, keduanya ada di
sebelah kiriku. Satu di depan bahuku dan satu di belakangku. Aku memegang pisau
dengan tangan kanan dan menekan bilahnya ke telapak tangan. Sambil
menggertakkan gigi kuat-kuat, aku menggoreskan pisau itu. Rasanya memang sakit,
tapi aku hampir tak memedulikannya. Aku meletakkan kedua tanganku di dada dan
helaan napasku berikutnya membuatku gemetar.
Aku membuka mata dan mengulurkan tangan. Darahku menetes di
atas karpet di antara kedua mangkuk. Lalu dengan satu tarikan napas yang tak
bisa kutahan, aku menggerakkan tanganku ke depan, dan darahku berdesis di atas
batu bara yang berpijar.
Aku memang egois. Aku pemberani.[]
No comments:
Post a Comment