Penulis: Veronica Roth
33
Aku mencoba berduaan saja dengan Tobias setelah ranking diumumkan, tapi kerumunan para
peserta inisiasi dan anggota Dauntless terlalu banyak. Ucapan selamat
bertubi-tubi datang dan menariknya menjauh dariku. Kuputuskan menyelinap keluar
dari asrama setelah semuanya tertidur dan mencarinya, tapi Ruang Ketakutan
telah menguras tenagaku lebih dari yang kukira, jadi aku pun tertidur dengan
cepat.
Aku terbangun mendengar suara ranjang berdecit dan langkah
kaki yang diseret. Terlalu gelap sehingga aku tidak bisa melihat jelas. Tapi,
begitu mataku bisa menyesuaikan dengan cahaya, kulihat Christina mengikat tali
sepatu. Aku hampir membuka suara untuk menanyakan apa yang ia lakukan, tapi
lalu kulihat di seberangku Will memakai kaus. Semuanya bangun, tapi tak ada
yang bersuara.
“Christina,” bisikku. Ia tak melihatku, jadi kupegang dan
kuguncangkan bahunya. “Christina!”
Ia terus saja berusaha mengikat tali sepatunya.
Perutku mengejang ketika kulihat wajahnya. Matanya terbuka,
tapi kosong. Otot-otot wajahnya pun terlihat lesu. Ia bergerak tanpa melihat ke
mana arah gerakannya. Mulutnya setengah terbuka. Sepertinya bangun, tapi
sebenarnya tidak. Dan, yang lain kelihatan sama persis seperti dirinya.
“Will?” tanyaku sambil menyeberangi ruangan. Semua peserta
inisiasi berbaris setelah selesai berganti pakaian. Mereka meninggalkan asrama
tanpa berkata apa-apa. Aku menarik lengan Will untuk menahannya, tapi ia terus
maju tanpa bisa ditahan. Aku menggertakkan gigi dan terus memegangnya sekuat
mungkin. Kujejakkan kaki kuat-kuat ke lantai. Ia malah ikut menyeretku
bersamanya.
Mereka semua berjalan sambil tidur.
Kucari-cari sepatuku. Aku tak boleh di sini terlalu lama.
Kuikat sepatuku buru-buru, mengenakan jaket, dan berlari cepat keluar ruangan.
Aku berusaha mengejar barisan peserta inisiasi itu, lalu kucoba menyamakan
langkahku seperti mereka. Butuh beberapa detik untuk menyadari kalau mereka
bergerak serempak. Kaki melangkah ke depan saat lengan sisi yang sama ditarik
ke belakang. Aku berusaha menirunya, tapi ritme gerakannya terasa aneh bagiku.
Kami berduyun-duyun mengarah ke The Pit, tapi saat kami tiba
di pintu masuk, bagian depan barisan belok ke kiri. Max berdiri di lorong
sambil mengawasi kami. Jantungku langsung berdentum-dentum di dada dan aku
berusaha menatap kosong ke arah depan dan fokus dengan suara langkah kakiku. Aku
deg-degan saat melewatinya. Pasti ia tahu. Pasti ia tahu kalau aku bukan boneka
hidup seperti yang lainnya dan sesuatu yang buruk akan menimpaku, aku tahu itu.
Mata hitam Max melewatkanku.
Kami menaiki sekumpulan tangga dan melintasinya menuruni
empat koridor dengan langkah serempak. Lalu, lorong pun berujung di sebuah gua
besar. Di dalamnya penuh oleh warga Dauntless.
Ada barisan meja dengan setumpukan benda berwarna hitam. Aku
tak bisa melihat tumpukan apa itu sampai akhirnya aku tinggal satu meter dari
sana. Senjata.
Tentu saja. Eric bilang semua Dauntless disuntik kemarin.
Sekarang, semua anggota faksi jadi mayat hidup, yang patuh sekaligus terlatih
untuk membunuh. Prajurit yang sempurna.
Aku mengambil sebuah senjata, lengkap dengan sarungnya dan
ikat pinggang. Kutiru gerakan Will yang ada di depanku. Aku mencoba menyamakan
gerakan, tapi aku tak bisa memprediksi gerakan apa yang akan ia lakukan. Jadi,
aku malah kelihatan seperti meraba-raba. Aku menggertakkan gigi. Aku hanya bisa
meyakinkan diri sendiri kalau tidak ada yang melihatku.
Begitu selesai, aku mengikuti Will dan peserta inisiasi
lainnya menuju pintu keluar.
Aku tidak boleh berperang melawan Abnegation. Melawan
keluargaku sendiri. Lebih baik aku mati. Ruang Ketakutanku telah membuktikannya.
Daftar pilihanku menyempit dan aku melihat jalur yang harus kuambil. Aku harus
berpura-pura selama mungkin sampai mencapai sektor kota Abnegation. Aku akan
menyelamatkan keluargaku. Dan, aku tak peduli apa pun yang terjadi selama itu.
Seberkas rasa tenang pun menyelimutiku.
Barisan peserta inisiasi melewati lorong gelap. Aku tak bisa
melihat Will di depanku, atau apa pun yang ada di depannya. Kakiku tersandung
sesuatu yang keras. Aku hampir terjungkal dengan tangan terjulur. Lututku
membentur sesuatu—anak tangga. Aku langsung bangkit, sangat tegang,
sampai-sampai gigiku hampir menggeretak. Mereka tak melihatnya. Terlalu gelap.
Semoga saja terus gelap seperti ini.
Saat tangganya berbelok, cahaya mulai menyeruak masuk ke
dalam gua sampai aku akhirnya bisa melihat bahu Will yang ada di depanku. Aku
fokus menyamakan ritme gerakanku dengannya saat aku tiba di atas tangga dan
melewati pemimpin Dauntless karena hanya merekalah yang benar-benar terjaga.
Ya memang, bukan mereka satu-satunya. Aku juga terbangun
karena aku seorang Divergent. Dan kalau aku terbangun, berarti Tobias juga,
kecuali kalau penilaianku tentangnya salah.
Aku harus menemukannya.
Aku berdiri di sampi jalur kereta, bersama barisan warga
Dauntless yang membentang lebih jauh dari batas penglihatanku. Kereta berhenti
di depan kami. Pintu gerbongnya terbuka. Teman-teman inisiasiku satu demi satu
memasuki gerbong-gerbong ini.
Aku tak bisa menoleh untuk mencari-cari Tobias, tapi aku
terus melirik. Wajah-wajah di sebelah kiriku terlihat asing. Tapi, kulihat ada
anak laki-laki tinggi berambut pendek beberapa meter di sebelah kananku.
Mungkin saja itu bukan ia, aku tidak yakin, tapi itulah kesempatan terbaik yang
kupunya. Aku tidak tahu bagaimana mendekatinya tanpa menarik perhatian. Aku
harus mendekatinya.
Gerbong di depanku penuh dan Will berjalan ke arah gerbong
di sampingnya. Aku meniru gerakannya, tapi aku bukannya berhenti di tempat di
mana ia berhenti. Aku malah bergeser beberapa langkah ke kanan. Orang-orang di
sekelilingku lebih tinggi, mereka akan menutupiku. Aku melangkah ke kanan lagi
sambil merapatkan rahang kuat-kuat. Terlalu banyak bergerak. Mereka akan
menangkapku. Semoga mereka tidak
menangkapku.
Seorang Dauntless berwajah tanpa ekspresi di gerbong samping
mengulurkan tangannya untuk anak laki-laki di dekatku. Ia meraihnya. Gerakannya
kaku seperti robot. Aku memegang tangan berikutnya tanpa melihat dan melompat
naik secepat mungkin untuk masuk ke gerbong.
Aku berdiri menghadap ke arah orang yang tadi membantuku
naik. Mataku berkedip sejenak untuk melihat wajahnya. Tobias. Wajahnya sama
kosongnya seperti yang lain. Apa aku salah? Ia bukan Divergent? Mataku mulai
berkaca-kaca dan aku berkedip agar air mata itu tidak tumpah saat aku
memalingkan wajah.
Orang-orang terus masuk dan mengelilingiku. Kami berdiri
dalam empat barus, berdiri saling berjajar. Lalu, ada sesuatu yang ganjil
terjadi; ada jemari-jemari yang menggandeng jemariku. Tangannya meremas
tanganku. Tobias. Ia menggenggam tanganku.
Tubuhku seperti bangkit dialiri energi. Aku menggenggam
tangannya lebih kuat dan ia membalasnya. Ia sadar. Aku benar.
Aku ingin menatapnya, tapi aku memaksakan diri untuk
bergeming dan melihat ke depat saat kereta mulai bergerak. Ibu jarinya bergerak
memutar perlahan di atas punggung tanganku. Ia ingin membuatku tenang, tapi ini
malah membuatku frustrasi. Aku harus berbicara padanya. Aku harus melihatnya.
Aku tak bisa melihat ke mana arah kereta ini pergi karena
gadis yang berdiri di depanku begitu tinggi. Jadi, aku menatap bagian belakang
kepalanya dan memusatkan perhatian pada genggaman tangan Tobias sampai rel
berdecit. Aku tak tahu sudah berapa lama aku berdiri di sini. Punggungku terasa
sakit, artinya memang sudah cukup lama. Kereta mendecit tanda berhenti dan
jantungku berdetak kencang sampai aku tak bisa bernapas.
Tepat sebelum kami melompat turun dari gerbong, kulihat dari
ujung mataku Tobias menoleh dan aku sekilas menatapnya. Matanya yang hitam
menatapku tajam saat ia berkata, “Lari.”
“Keluargaku,” kataku.
Aku melihat lurus ke depan lagi dan melompat turun dari
gerbong saat tiba giliranku. Tobias berjalan di depanku. Aku seharusnya
berkonsentrasi menatap bagian belakang kepalanya. Namun, jalanan yang kulesati
sekarang ini begitu akrab di ingatan. Dan, barisan Dauntless yang kuikuti mulai
menghilang dari pikiranku. Aku melewati tempat ini setiap enam bulan sekali
bersama ibu untuk mengambil beberapa
pakaian baru untuk keluarga kami; halte bus yang dulu pernah tiap pagi
kudatangi sebelum berangkat sekolah; sering aku dan Caleb lompati untuk
melewatinya, seperti permainan lompat-lompatan.
Semuanya sekarang berbeda. Bangunan-bangunannya gelap dan
kosong. Jalanan dipenuhi pasukan Dauntless. Semuanya berbaris dengan ritme yang
sama, kecuali beberapa petugas yang berdiri tiap beberapa ratus meter. Mereka
mengawasi kami yang lewat atau bergerombol membahas sesuatu. Sepertinya tidak
ada yang melakukan apa-apa. Apa kami benar-benar di sini untuk berperang?
Aku berjalan setengah mil sampai akhirnya aku memperoleh
jawaban untuk pertanyaan itu.
Suara-suara meletup mulai terdengar. Aku tak bisa menoleh
untuk mencari dari mana asalnya, tapi semakin jauh aku melangkah, suara itu
makin keras dan jelas. Dan, aku menyadari itu suara senjata. Aku merapatkan
rahangku. Aku harus terus jalan; aku harus terus menatap lurus ke depan.
Di kejauhan, aku melihat seorang tentara Dauntless mendorong
pria berjubah abu-abu berlutut. Aku mengenalnya—ia salah seorang anggota dewan.
Prajurit itu menarik senjatanya dan dengan tatapan kosong, melepaskan tembakan
tepat di belakang kepala anggota dewan itu.
Ada helai rambut abu-abu di kepala sang Tentara. Itu Tori.
Langkahku hampir saja goyah.
Terus jalan.
Mataku terasa pedih. Terus jalan.
Kami berbaris melewati Tori dan jasad anggota dewan yang
sudah tersungkur. Saat aku menginjak tangan jasad itu, air mataku hampir saja
jatuh bercucuran.
Kemudian, prajurit di depanku berhenti berjalan. Maka, aku
ikut berhenti. Aku berdiri setegak mungkin. Tapi, yang kuinginkan hanyalah
mencari Jeanine, Eric, dan Max, lalu menembak mati mereka semua. Tanganku
gemetar dan aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku menarik napas pendek-pendek.
Terdengar suara tembakan lagi. Dari sudut mata kiriku, aku
melihat samar-samar sosok abu-abu kembali tersungkur di tanah. Semua Abnegation
akan mati jika ini berlanjut.
Para prajurit Dauntless melakukan perintah tanpa berucap,
tanpa ragu, dan tanpa pertanyaan. Beberapa orang Abnegation dewasa digiring ke
arah gedung terdekat, bersama para anak-anak Abnegation. Sekumpulan prajurit
berbaju hitam menjaga pintunya. Yang tidak kulihat hanyalah para pemimpin
Abnegation. Mungkin mereka semua sudah mati.
Satu demi satu, prajurit Dauntless di depanku melangkah
menjauh untuk melakukan tugasnya. Para pemimpin Dauntless akan segera tahu
kalau aku tidak mendapatkan sinyal apa pun yang diterima Dauntless lainnya. Apa
yang harus kulakukan jika itu semua terjadi?
“Ini gila,” ujar pria di sisi kananku. Ada helai-helai
rambut berminyak yang panjang dan anting perak. Itu Eric. Ia menusuk pipiku
dengan jari telunjuknya dan aku sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menepis
tangannya jauh-jauh.
“Mereka benar-benar tak bisa melihat kita? Atau mendengar
kita?” tanya seorang perempuan.
“Oh, mereka bisa melihat dan mendengar. Mereka cuma tidak
memproses apa yang mereka lihat dan dengar sebagaimana mestinya,” ujar Eric.
“Mereka menerima perintah dari komputer kami dengan pemancar yang kami tanam
...” kali ini, ia menyentuh bekas suntikan di leherku untuk menunjukkan pada
perempuan itu di mana pemancarnya ditanam. Jangan
bergerak, aku berkata dalam hati.
Diam. Diam. Diam. “... dan melaksanakannya tanpa protes.”
Eric bergeser ke samping dan membungkuk ke arah wajah Tobias
sambil tersenyum lebar.
“Sekarang, ini baru pemandangan bagus,” ujarnya. “Four yang
legendaris. Takkan ada yang ingat kalau aku ada di posisi kedua, kan? Takkan
ada lagi yang bertanya, ‘bagaimana rasanya melatih anak baru dengan lelaki yang
hanya memiliki empat rasa takut?’” ia
menarik senjata dan menempelkannya tepat di pelipis kanan Tobias. Jantungku
berdegup kencang sampai terasa hampir menjebol kepala. “Menurutmu, ada yang
tahu kalau ia tidak sengaja tertembak?”
“Tembak saja,” ujar wanita itu terdengar bosan. Ia pasti
seorang pemimpin Dauntless kalau bisa memberi izin seperti itu pada Eric. “Ia
bukan siapa-siapa sekarang.”
“Sayang sekali kau tidak ambil saja tawaran Max, Four. Yah sayang sekali,” ujar Eric perlahan saat
ia menarik pelatuknya.
Paru-paruku terbakar. Aku menahan napas hampir satu menit.
Aku melihat tangan Tobias berkedut di ujung mataku, tapi tanganku terlanjur
memegang senjata. Aku meletakkan moncongnya ke dahi Eric. Matanya melebar.
Wajahnya melemas, dan untuk sejenak Eric kelihatan seperti prajurit tidur
Dauntless lainnya.
Telunjukku gemetar di atas pelatuk.
“Jauhkan senjatamu,” kataku.
“Kau takkan menembakku,” jawab Eric.
“Teori yang menarik,” kataku. Tapi, aku tak bisa
membunuhnya. Tak bisa. Aku menggertakkan gigi dan menurunkan senjataku,
menembak kakinya. Eric berteriak dan memegangii kaki dengan kedua tangan.
Begitu senjata eric terjatuh, Tobias langsung menarik senjatanya dan menembak
kaki teman Eric. Aku tidak menunggu untuk melihat apakah pelurunya tepat
sasaran. Aku menarik tangan Tobias dan berlari secepat mungkin.
Kalau bisa mencapai bukit, kami bisa menghilang di antara
bangunan dan mereka takkan menemukan kami. Masih dua ratus meter lagi. Suara
langkah kaki mengejar kami, tapi aku tak menengok ke belakang. Tobias
menggenggam tanganku, menarikku. Aku tak pernah berlari secepat ini, lebih
cepat dari kemampuanku. Aku pun terjungkal di belakangnya. Terdengar letusan
senjata.
Rasa sakit menghunjam tiba-tiba, pertama menembus bahuku dan
langsung menjalar ke mana-mana. Jeritanku tercekat di tenggorokan, dan aku
tersungkur. Pipiku menggores tanah. Aku mendongar dan melihat Tobias berlutut
di hadapanku, dan aku berteriak, “Lari!”
Suaranya pelan dan tenang saat menjawab, “Tidak.”
Beberapa detik kemudian, kami terkepung. Tobias membantuku
berdiri dan menopang tubuhku. Aku tak bisa berkonsentrasi dengan rasa sakit
ini. Pasukan Dauntless mengelilingi kami dan mengacungkan senjata.
“Dasar pemberontak Divergent,” ujar Eric sambil berdiri satu
kaki. Wajahnya pucat pasi. “Serahkan sejata kalian.”[]
No comments:
Post a Comment