Divergent (Divergent #1) (20)

Penulis: Veronica Roth

20


Aku bernapas melalui hidung. Tarik napas. Embus. Tarik napas lagi.

“Ini cuma simulasi, Tris.” Ujar Four pelan.

Ia salah. Simulasi yang terakhir waktu itu sudah menjadi bagian hidupku. Baik saat bangun ataupun tidur. Mimpi-mimpi buruk, bukan hanya kemunculan burung gaga, tapi juga perasaan yang ada saat simulasi itu—teror dan tak berdaya. Aku menduga kedua hal itulah yang aku takutkan. Teror yang datang tiba-tiba ada saat di kamar mandi, sarapan, dan perjalanan menuju kemari. Kuku jariku habis kugigiti sampai kulitku terasa sakit. Dan, aku bukanlah satu-satunya yang merasakan hal itu. Anak-anak yang lain juga merasakan hal yang sama. Aku tahu itu.

Tetap saja aku mengangguk dan menutup mata. Aku berada di tengah kegelapan. Hal terakhir yang kuingat adalah kursi baja dan jarum yang menusuk lenganku. Kali ini tidak ada lapangan. Tidak ada burung gagak. Jantungku berdegup kencang menanti. Monster apa yang akan melompat dari kegelapan dan mengacaukan akal sehatku? Berapa lama aku harus menunggu?

Cahaya biru bulat bersinar beberapa meter di atasku, lalu muncul satu lagi, sehingga ruangan penuh cahaya. Aku berapa di lantai terbawah The Pit, di dekat tebing, dan banyak peserta inisiasi mengelilingiku. Lengan mereka terlipat dan wajah mereka terlihat samar. Aku mencari-cari Christina dan ia ada di tengah mereka. Tak ada yang bergerak. Mereka berdiri diam. Keheningan ini membuat tenggorokanku tercekat.

Ada sesuatu di hadapanku—bayanganku sendiri yang terlihat pucat. Aku menyentuhnya dan jemariku hanya mendapati kaca yang dingin dan halus. Aku mendongak. Ada bingkai di atas kepalaku. Aku ada di dalam kotak kaca. Aku menekan ke atas untuk memeriksa apakah aku bisa membuka kotak ini. Tak bergerak sedikit pun. Aku terkunci di dalam.

Jantungku berdetak makin kencang. Aku tidak mau terjebak. Seseorang mengetuk dinding di depanku. Four. Ia menunjuk kakiku sambil tersenyum puas.

Beberapa detik lalu kakiku kering, sekarang aku berdiri di tengah dua senti air dan kaus kakiku basah kuyup. Aku membungkuk mencari tahu dari mana datangnya air itu, tapi sepertinya air itu tidak datang dari mana-mana. Air itu makin lama makin tinggi. Aku melihat Four dan ia mengangkat bahu. Ia bergabung dengan kerumunan peserta inisiasi.

Air naik dengan cepat. Sekarang, pergelangan kakiku terendam. Aku memukul-mukul kaca dengan kepalan tangan.

“Hei!” ujarku. “Keluarkan aku dari sini!”

Airnya meninggi menutupi betidku yang telanjang. Rasanya sejuk dan lembut. Aku memukul lebih keras lagi.

“Keluarkan aku dari sini!”

Aku melihat Christina. Ia membungkuk ke arah Peter yang berdiri di sampingnya dan membisikkan sesuatu. Keduanya tertawa.

Airnya mencapai pahaku. Aku memukul kaca dengan kedua tangan. Aku tidak lagi mencoba menarik perhatian mereka; aku mencoba keluar. Aku memukuli kaca itu sekuat tenaga karena panik. Aku munduk dan mendobrak dinding kaca dengan bahuku; sekali, dua kali, tiga kali, empat kali. Aku mencobrak dinding itu sampai bahuku terasa sakil sambil berteriak minta tolong. Aku melihat airnya naik ke pinggang, ke tulang rusuk, sampai ke dada.

“Tolong!” teriakku. “Kumohon! Tolong!”

Aku menampar dinding kaca itu. Aku akan mati di dalam akuarium ini. Tanganku gemetaran, mengusap rambut dengan gugup.

Aku melihat Will berdiri di antara peserta inisiasi dan sesuatu berkelebat di benakku. Sesuatu yang pernah ia katakan. Berpikirlah. Aku berhenti mencoba memecahkan kaca. Memang sulit untuk bernapas, tapi aku harus mencoba. Aku akan membutuhkan udara sebanyak mungkin, karena beberapa detik lagi air akan menenggelamkan kepalaku.

Tubuhku mengambang tanpa beban di dalam air. Aku mengapung lebih dekat ke atap kotak dan menaikkan kepala saat air mencapai dagu. Sambil terengah-engah, aku menekan wajahku ke lapisan kaca di atasku sambil mencoba mengambil udara sebanyak yang aku bisa. Kemudian, air menyelimutiku dan mengunciku di dalam kotak ini.

Jangan panik. Tak ada gunanya—jantungku berdegup kencang dan pikiranku kacau. Aku menyelam ke dalam air dan memukul dinding. Aku menendang kaca itu sekuat yang aku bisa, tapi air melambatkan gerakanku. Simulasi ini hanya ada di dalam kepalamu.

Aku menjerit dan air memenuhi mulutku. Jika ini adanya di kepalaku, maka aku bisa mengendalikannya. Air mulai membuat mataku pedih. Wajah-wajah diam peserta inisiasi menatapku. Mereka tak peduli.

Aku berteriak sekali lagi dan aku mendorong dinding itu dengan telapak tanganku. Terdengar sesuatu. Suara retakan. Saat aku menarik tangan, ada garis di permukaan kaca. Aku memukul di titik sebelah retakan pertama dan membuat retakan kedua di permukaan kaca. Retakan kedua ini menyebar keluar dari telapak tanganku mengikuti alur jemariku. Dadaku terasa terbakar seperti baru saja menelan api. Aku menendang kaca. Jari-jari kakiku sakit karenanya dan aku mendengar erangan panjang dan pelan.

Kaca itu semburat pecah dan tekanan air mendorongku ke depan. Akhirnya, ada udara lagi.

Aku terkesiap dan duduk. Aku di kursi. Rasanya aku habis menelan air dan tanganku gemetar. Four berdiri di sebelah kananku. Tapi bukannya membantuku bangun, ia hanya menatapku.

“Apa?” tanyaku.

“Bagaimana kau melakukannya?”

“Melakukan apa?”

“Memecahkan kaca.”

“Aku tidak tahu.” Four akhirnya mengulurkan tangan membantuku. Aku mengayunkan kaki ke samping kursi dan saat berdiri, aku merasa seimbang. Tenang.

Four menghela napas dan memegang sikuku, setengah mengajak setengah menyeret, keluar ruangan. Kami berjalan menyusuri lorong dengan cepat. Kemudian, aku berhenti dan menarik lenganku. Ia menatapku diam. Four takkan memberitahuku sebelum aku bertanya.

“Apa?” teriakku.

“Kau Divergent,” jawabnya.

Aku menatapnya. Ketakutan menjalariku seperti arus listrik. Ia tahu. Bagaimana ia tahu. Pasti aku keceplosan. Mengatakan sesuatu yang salah.

Aku berusaha bersikap biasa. Aku menyandarkan bahuku ke dinding dan bertanya, “Apa itu Divergent?”

“Jangan pura-pura bodoh,” katanya. “Tadinya aku sudah menduga, tapi kali ini jelas sekali. Kau memanipulasi simulasi. Kau seorang Divergent. Aku akan menghapus catatannya. Kecuali, kau mau berakhir mati dikempar dari tebing, lebih baik kau mencari cara bagaimana cara menyembunyikannya selama simulasi! Sekarang, aku harus pergi.”

Four kembali menuju ruang simulasi dan membanting pintu. Rasanya jantungku meloncat sampai ke tenggorokan. Aku tadi memanipulasi simulasi. Aku tadi memecahkan kacanya. Aku tidak tahu kalau itu semua tindakan seorang Divergent.

Bagaimana ia bisa tahu?

Aku mendorong tubuhku ke depan dan menuruni lorong. Aku butuh jawaban dan aku tahu siapa yang memilikinya.

***

Aku langsung menuju tempat tato di mana aku bertemu Tori terakhir kali.

Tidak terlalu banyak orang di sana karena sekarang siang bolong dan sebagian besar orang-orang berada di tempat kerja atau di sekolah. Ada tiga orang di tempat tato ini; seorang seniman tato yang sedang menggambar seekor singa di lengan seorang pelanggan dan Tori yang sedang merapikan setumpuk kertas di meja konter. Ia mendongak saat aku menghampirinya.

“Hello, Tris,” ujarnya. Ia melirik ke arah seniman tato lainnya yang terlalu berkonsentrasi dengan apa yang ia kerjakan sehingga tak memperhatikan kami. “Ayo ke belakang.”

Aku mengikutinya ke balik tirai yang memisahkan dua ruangan. Di ruangan itu ada beberapa kursi, jarum-jarum baru, tinta, lapisan kertas, dan hasil karya seni yang dibingkai. Tori menutup tirainya dan duduk di salah satu kursi. Aku duduk di sampingnya dan mengentak-entakkan kaki ke lantai.

“Apa yang terjadi?” tanyanya. “Bagaimana simulasinya?”

“Baik-baik saja.” Aku mengangguk beberapa kali. “Sedikit terlalu baik.”

“Ah.”

“Tolong bantu aku mengerti,” ujarku pelan. “Apa artinya menjadi seorang ...” aku ragu. Aku tak seharusnya mengucapkan kata “Divergent” di sini. “Aku ini apa? Apa hubungannya dengan simulasi?”

Sikap Tori berubah. Ia menyandarkan tubuhnya dan melipat tangannya. Ekspresinya berubah waspada.

“Selain hal-hal lainnya, kau ... kau akan menyadari kalau saat berada di dalam simulasi, bahwa yang kau alami itu tidak nyata,” ujarnya. “Seseorang yang kemudian bisa memanipulasi simulasi atau bahkan menghentikannya. Dan juga ...” ia membungkukkan tubuh ke depan melihat tepat ke mataku. “Karena kau juga seorang Dauntless, kau bisa saja mati karenanya.”

Dadaku seperti ditimpa beban berat. Rasanya setiap kalimat yang ia ucapkan memenuhi dadaku. Ketegangan memuncak di dalam diriku sampai aku tak bisa menahannya lagi—aku harus menangis atau berteriak atau ....

Aku tertawa kecil yang langsung surut seketika, dan berkata, “Jadi, aku akan mati?”

“Belum tentu,” ujarnya. “Para pemimpin Dauntless belum tahu tentangmu. Aku langsung menghapus tes kecakapanmu dari sistem dan memasukkan hasilmu secara manual bahwa kau Abnegation. Tapi jangan salah—kalau mereka sampai tahu siapa kau sebenarnya, mereka akan membunuhmu.”

Aku terdiam menatapnya. Tori tak kelihatan gila. Ia terdengar tenang meski agak khawatir dan aku tak pernak berpikir ia tak waras; tapi apa lagi kemungkinannya? Tak pernah ada pembunuhan di kota ini seumur hidupku. Bahkan, jika ada tidak mungkin pemimpin sebuah faksi yang melakukannya.

“Kau paranoid,” kataku. “Para pemimpin Dauntless takkan membunuhku. Orang-orang tidak ada yang melakukannya. Tidak lagi. Itulah tujuan didirikannya ... semua faksi ini.”

“Oh, menurutmu begitu?” Tori meletakkan tangan di atas lutut dan melihat ke arahku. Sosoknya menjadi tegang dan tiba-tiba terlihat galak. “Mereka melakukannya pada saudara laki-lakiku, kenapa kau tidak, huh? Apa yang membuatmu spesial?”

“Saudaramu?” kataku sambil memicingkan mata.

“Yeah. Saudara laki-lakiku. Aku dan ia sama-sama pindahan dari Erudite. Hanya saja, hasil tes kecakapannya tak bisa disimpulkan. Hari terakhir simulasi, mereka menemukan tubuhnya di tebing. Mereka bilang ia bunuh diri. Hanya saja, saudaraku itu sukses dalam pelatihannya, kencan dengan peserta inisiasi lainnya, ia bahagia.” Ia menggeleng. “Kau punya kakak laki-laki, kan? Menurutmu kau pasti tahu kan kalau ia punya niat bunuh diri?”

Aku membayangkan Caleb bunuh diri. Bahkan, bagiku ide itu kedengarannya terlalu konyol. Kalau sekalipun ia memang sengsara, bunuh diri bukanlah pilihan.

Lengan baju Tori tergulung, jadi aku bisa melihat tato sungai di lengan kanannya. Apakah ia menatonya setelah saudaranya tewas? Apakah sungai adalah ketakutan lainnya yang coba ia taklukkan?

Ia mengecilkan volume suaranya. “Di latihan tahap dua, Georgie benar-benar bagus. Benar-benar cepat. Ia bilang simulasi itu bahkan tak membuatnya takut ... simulasi itu seperti permainan. Jadi, para instruktur Dauntless menaruh perhatian khusus padanya. Daripada membiarkan instrukturnya yang melaporkan hasil simulasinya, mereka masuk ke ruangan setiap kali saudaraku disimulasi. Selalu menyebutnya setiap saat. Di hari terakhir simulasi, salah satu pemimpin Dauntless datang untuk melihatnya sendiri. Dan keesokan harinya, Georgie menghilang.”

Aku memang bisa hebat saat simulasi, jika aku bisa menguasai kekuatan apa pun yang membantuku memecahkan kaca. Aku bisa saja kelihatan begitu bagus sehingga semua instruktur memperhatikanku. Aku memang bisa, tapi akankah aku mau?

“Cuma itu?” kataku. “Cuma karena mengganti simulasinya?”

“Aku tak yakin,” ujarnya, “tapi itulah yang kutahu.”

“Berapa orang yang tahu tentang ini?” ujarku sambil memikirkan Four. “Tentang memanipulasi simulasi?”

“Dua kelompok orang,” ujarnya. “Mereka yang ingin kau mati. Atau, mereka yang pernah mengalaminya sendiri, baik itu langsung atau lewat tangan kedua seperti aku.”

Four bilang ia akan menghapus catatan diriku yang memecahkan kaca. Ia tak mau aku mati. Apa ia seorang Divergent? Atau, anggota keluarganya seperti itu? Teman? Pacar?

Aku mengesampingkan pikiran itu. Aku tak bisa membiarkan Four mengacaukan pikiranku.

“Aku tak mengerti,” kataku lambat, “kenapa pemimpin Dauntless mau ambil pusing bagaimana caranya aku bisa memanipulasi simulasi.”

“Kalau aku tahu, aku pasti sudah memberitahumu sekarang.” Ia merapatkan bibirnya. “Yang kutahu adalah bukan mengubah simulasinya yang membuat mereka peduli; itu hanyalah pertanda dari sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih mereka pedulikan.”

Tori meraih tanganku dan meletakkannya di antara kedua telapak tangannya.

“Coba pikir,” ujarnya. “Orang-orang ini mengajarimu cara bertarung. Mereka pasti tak akan segan-segan menyatikimu, kan? Juga membunuhmu?”

Tori melepaskan tangannya dan berdiri.
“Aku harus pergi atau Bud akan banyak bertanya. Hati-hati, Tris.”[]


No comments:

Post a Comment