Divergent (Divergent #1) (12)

Penulis: Veronica Roth

12


Aku menggeliat di atas kasur dan menghela napas. Sudah dua hari sejak pertarunganku dengan Peter. Memarku sekarang berwarna ungu kebiruan. Aku sudah terbiasa merasakan nyeri tiap bergerak, jadi sekarang aku bisa bergerak lebih baik. Namun, aku masih jauh dari kata sembuh.

Walau aku masih cedera, hari ini aku harus bertanding lagi. Untungnya kali ini aku dipasangkan dengan Myra yang tak bisa melayangkan sebuah tinju dengan baik. Dalam dua menit pertama, aku bisa memukul dengan baik. Ia terjatuh dan terlalu pusing untuk bangkit kembali. Seharusnya aku merasakan kemenangan, tapi rasanya bukan kemenangan jika memukul gadis seperti Myra.

Begitu aku merebahkan kepala ke atas bantal, pintu kamar terbuka dan orang-orang bergegas memasuki ruangan dengan sorot lampu senter. Aku terduduk dan hampir membenturkan kepala ke dipan di atasku. Aku berkedip beberapa kali di tengah kegelapan untuk melihat apa yang terjadi.

“Semua bangun!” teriak seseorang. Lampu senter bersinar dari belakang kepalanya dan membuat cincin di telinganya mengilat. Eric. Di sekelilingnya ada beberapa Dauntless lainnya. Sebagian pernah kulihat di The Pit, sebagian lagi belum pernah kulihat. Four berdiri di antara mereka.

Matanya beralih menatapku dan tak mau berpaling. Aku balik menatapnya dan lupa kalau di sekelilingku para peserta inisiasi pindahan mulai turun dari tempat tidurnya.

“Apa kau tuli, Kaku?” teriak Eric. Aku tersentak dari lamunanku dan bergegas keluar dari balik selimut. Aku senang, aku tidur dengan pakaian lengkatp, karena Christina berdiri di samping tempat tidur kami hanya mengenakan kaus. Ia melipat lengannya dan menatap ke arah Eric. Tiba-tiba aku berharap aku bisa menatap seseorang begitu berani saat hampir tak mengenakan apa-apa, tapi aku takkan pernah bisa melakukannya.

“Kalian punya waktu limat menit untuk berpakaian dan menemui kami di jalur kereta,” ujar Eric. “Kita akan berjalan-jalan lagi.”

Aku menjejalkan kaki ke sepatu dan berlari, di belakang Christina menuju kereta dengan sesekali mengernyit kesakitan. Setetes keringat mengalir turun di belakang leherku saat kami menyusuri jalur setapak di dinding The Pit. Kami menerobos melewati beberapa anggota Dauntless lainnya. Mereka sepertinya tak terkejut melihat kami. Aku jadi penasaran berapa banyak orang berlarian seperti kesurupan yang mereka lihat setiap minggunya.

Kita berhasil mencapai jalur kereta tepat di belakang peserta inisiasi asli Dauntless. Di sebelah jalur ada tumpukan berwarna hitam. Samar-sama kulihat ada setumpuk senjata laras panjang dan penahan pemicunya.

“Apa kita akan menembak sesuatu?” desis Christina di telingaku.

Di samping tumpukan itu ada beberapa kotak yang sepertinya berisi amunisi. Aku mendekat untuk membaca tulisan di kotak itu. Di sana tertulis “PAINTBALLS”.

Aku belum pernah mendengarnya, tapi namanya sendiri pun sudah menjelaskan maknanya. Aku tertawa.

“Semua ambil senjatanya!” teriak Eric.

Kami bergegas menghampiri tumpukan. Aku yang paling dekat, jadi kuraih saja senjata pertama yang bisa kutemukan. Senjatanya berat, tapi tak terlalu berat untuk kuangkat. Aku juga mengambil sekotak bola cat. Aku selipkan kotak itu ke saku dan mengalungkan senjata di punggung sehingga tali penahannya melintang di dadaku.

“Estimasi waktu?” Eric bertanya pada Four.

Four memeriksa jam tangannya. “Sebentar lagi. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk mengingat jadwal kereta?”

“Buat apa kalau aku punya kau untuk mengingatkanku?” kata Eric membenturkan bahunya ke bahu Four.

Dari kejauhan, seberkas lingkaran cahaya muncul di sebelah kiri. Cahaya itu makin besar dan bayangannya mendekat. Cahaya itu terpantul di sisi wajah Four dan menciptakan bayangan di lubang cekung pipinya.

Ia yang pertama kali naik ke kereta dan aku berlari di belakangnya tanpa menunggu Christina, Will, atau Al. Four berbalik saat aku tersandung di samping gerbong dan mengulurkan tangan. Aku meraih tangannya dan ia menarikku masuk. Otot-otot di lengan bawahnya tertarik dan menonjol.

Tanpa melihatnya, kulepaskan peganganku cepat-cepat dan duduk di sisi lain gerbong.

Setelah semuanya masuk, Four mulai berbicara.

“Kita akan dibagi dalam dua kelompok untuk bermain tangkap bendera. Setiap kelompok akan memiliki jumlah anggota gabungan yang sama, baik itu peserta inisiasi Dauntless asli atau pindahan. Tim pertama akan mulai duluan dan mencari tempat untuk menyembunyikan bendera mereka. Lalu, tim kedua akan bergabung dan melakukan hal yang sama.” Gerbongnya berguncang dan Fou berpegangan di sisi pintu agar tetap seimbang. “Ini tradisi Dauntless, jadi kuharap kalian melakukannya dengan serius.”

“Apa yang kami dapat kalau menang?” teriak seseorang.

“Kedengarannya seperti pertanyaan yang ditanyakan oleh seseorang yang bukan dari Dauntless,” ujar Four dengan alis bekernyit. “Tentu saja kau dapat kemenangan.”

“Aku dan Four akan menjadi kapten tim kalian,” ujar Eric. Ia melihat ke arah Four. “Ayo bagi anak pindahan dulu.”

Aku tersentak. Jika mereka memilih kami, aku akan dipilih paling terakhir. Aku tahu itu.

“Kau duluan,” ujar Four.

Eric mengangkat bahu. “Edward.”

Four bersandar di panel pintu dan mengangguk. Cahaya bulan membuat matanya bersinar terang. Ia melihat ke arah kelompok pemilih pindahan, lalu berkata, “Aku mau si Kaku.”

Samar-samar ada tawa tertahan memenuhi gerbong. Pipiku terasa panas. Aku tak tahu harus marah pada mereka yang menertawakanku atau tersanjung karena ia memilihku pertama kali.

“Mau membuktikan sesuatu?” tanya Eric dengan senyum licik khasnya. “Atau, kau memilih yang lemah karena jika kau kalah, ada orang yang bisa kau salahkan?”

Four mengangkat bahu. “Seperti itulah.”

Marah. Aku seharusnya benar-benar marah. Aku menatap tanganku dengan kesal. Apa pun strategi Four, itu pasti karena aku lebih lemah dari yang lainnya. Dan, itu membuat mulutku pahit. Aku harus membuktikan kalau ia salah—aku harus.

“Giliranmu,” ujar Four.

“Peter.”

“Christina.”

Itu seperti mengacaukan strateginya sendiri. Christina bukan salah satu yang terlemah. Apa yang sebenarnya ia lakukan?

“Molly.”

“Will,” ujar Four menggigit kuku jempolnya.

“Al.”

“Drew.”

“Yang tersisa cuma Myra. Jadi, ia ikut denganku,” kata Eric. “Selanjutnya pemilih asli Dauntless.”

Aku berhenti mendengarkan begitu mereka tak memilih kami lagi. Jika Four tidak sedang mencoba membuktikan sesuatu dengan memilih yang lemah, apa yang ia lakukan? Aku menatap satu demi satu orang yang ia pilih. Apa persamaan yang kami miliki?

Begitu mereka setengah jalan memilih para peserta inisiasi asli Dauntless, aku menyadari apa persamaan itu. Selain Will dan dua orang lainnya, kami memiliki tipe tubuh yang sama: bahu sempit dan potongan tubuh kecil. Semua orang di kelompok Eric lebar dan kuat. Baru kemarin Four memberitahuku kalau aku cepat. Kami semua akan lebih cepat dari tim Eric yang mungkin bagus untuk menangkap bendera—aku tak pernah memainkan ini sebelumnya, tapi aku tahu ini permainan tentang kecepatan, bukannya kekuatan yang membabi buta. Aku menutupi senyumku dengan tangan. Eric mungkin lebih kejam dari Four, tapi Four lebih pintar.

Mereka selesai memilih anggota tim dan Eric tersenyum licik ke arah Four.

“Timmu bisa ambil giliran kedua,” ujar Eric.

“Jangan bantu aku,” balas Four. Ia sedikit tersenyum. “Kau tahu aku tak berharap mereka akan menang.”

“Tidak. Aku tahu kau akan kalah tak peduli kau mulai giliran pertama atau kedua,” kata Eric sambil menggigit salah satu cincin di bibirnya. “Bawa tim kerempengmu dan jalan duluan.”

Kami semua berdiri. Al menatapku sedih dan aku tersenyum kembali yang kuharap bisa membuatnya tenang. Jika ada dari kami berempat harus bernasib satu tim dengan Eric, Peter, dan Molly, untungnya itu Al. Setidaknya mereka tidak akan mengganggunya.

Kereta akan menukik ke bawah. Aku bertekad untuk melompat dan mendarat dengan kaki tegap.

Tepat sebelum melompat, seseorang mendorong bahuku dan aku hampir terjungkal keluar gerbong kereta. Aku tak menengok ke belakang untuk melihat siapa itu—Molly, Drew, atau Peter, tak penting yang mana. Sebelum mereka mencobanya lagi, aku melompat. Kali ini aku siap dengan momentum yang diberikan kereta padaku. Aku berlari beberapa langkah untuk tetap menjagai keseimbanganku. Rasa senang menjalari tubuhku dan aku tersenyum. Ini memang pencapaian kecil, tapi membuatku merasa sebagai Dauntless.

Salah seorang peserta inisiasi asli Dauntless menyentuh pudak Four dan bertanya, “Saat timmu menang, di mana kau menaruh benderanya?”

“Memberitahumu takkan sungguh-sungguh memberikan semangat latihan, Marlene,” ujarnya tenang.

“Ayolah Four,” ia merengek. Gadis itu melemparkan senyum menggoda. Four menepis tangan gadis itu dari lengannya, dan entah kenapa, aku tersenyum lebar.

“Navy Pier,” teriak salah seorang peserta inisiasi asli Dauntless. Ia tinggi dengan kulit cokelat dan mata hitam. Tampan. “Kakakku pernah memenangkan permainan ini sebelumnya. Mereka menyimpan bendera di komidi putar.”

“Jadi, ayo ke sana,” ujar Will.

Tak ada yang keberatan, jadi kami berjalan ke timur ke arah rawa yang tadinya sebuah danau. Waktu aku kecil, aku mencoba membayangkan seperti apa saat rawa ini masih berupa danau, tanpa pagar yang dipasang di kubangan lumpur untuk menjaga kota tetap aman. Tapi, sulit membayangkan pernah ada air sebanyak itu di suatu tempat.

“Kita mendekat ke arah wilayah kediaman Erudite, kan?” tanya Christina menyenggol bahu Will dengan bahunya sendiri.

“Iya. Ke arah selatan dari sini,” ujarnya. Ia melirik dari balik bahunya dan sejenak raut wajahnya seperti dipenuhi kerinduan. Lalu hilang.

Jarakku dengan Caleb kuran dari satu kilometer. Sudah lewat satu minggu sejak kami sedekat itu. Aku sedikit menggeleng untuk mengeluarkan pikiran itu dari kepala. Hari ini aku tak bisa memikirkannya, di saat aku harus fokus untuk melewati tahap satu. Aku tak boleh memikirkan Caleb kapan pun.

Kami melintasi jembatan. Kami masih membutuhkan jembatan itu karena lumpur dibawahnya masih terlalu basah untuk dilewati. Aku bertanya-tanya sudah berapa lama sejak sungai mengering.

Begitu kami melewati jembata, kota kelihatan berubah. Di belakang kami, sebagian besar gedung-gedung masih digunakan. Dan bahkan jika tidak digunakan, gedung-gedung itu kelihatan dirawat dengan baik. Di depan kami terhampar jajaran bangunan beton yang ambruk dan kaca-kacanya pecah. Keheningan di bagian kota ini membuat ngeri. Rasanya seperti ada di dalam mimpi buruk. Sulit melihat ke mana arahku pergi karena sekarang sudah lewat tengah malam dan semua lampu kota sudah dimatikan.

Marlene mengeluarkan senter dan mengarahkan sinarnya ke jalanan di depan kami.

“Takut gelap, Mar?” goda seorang anak asli Dauntless bermata hitam.

“Kalau kau mau menginjak pecahan kaca, Uriah, silakan saja,” bentaknya. Tapi, ia mematikan senternya.

Aku sudah menyadari bahwa salah satu cara menjadi Dauntless adalah membuat segalanya lebih sulit bagi diri sendiri untuk memenuhi rasa puas diri. Tak ada nilai apa pun, selain keberanian, dari kelayapan di jalan gelap tanpa senter. Namun, kami tak seharusnya membutuhkan bantuan, bahkan dari cahaya sekalipun. Seharusnya kami bisa melakukan segala hal.

Aku suka itu. Karena mungkin saja nanti ada hari di mana tidak ada senter, tidak ada senjata, dan tidak ada tangan pemandu. Dan, aku ingin menyiapkan diri untuk menghadapi hal itu.

Jajaran bangunan berakhir sebelum mencapai rawa. Jalan setapak terlihat menonjol keluar dari rawa. Di jalan itu ada sebuah roda puthi besar dengan lusinan kereta merah yang bergantungan dengan interval yang sama. Sebuah kincir Bianglala.

“Coba pikir. Dulu orang-orang biasa naik ke sana. Untuk senang-senang,” ujar Will menggeleng.

“Pasti mereka Dauntless,” kataku.

“Yeah, tapi Dauntless versi payah.” Christina tertawa. “Bianglala khas Dauntless takkan memiliki kabin. Kau Cuma perlu bergantungan dengan tangan kosong dan semoga berhasil.”

Kami menyusuri sisi dermaga. Semua bangunan di sebelah kiriku kosong. Papan namanya retak dan jendela-jendelanya tertutup. Tapi, ini kosong yang rapi. Siapa pun yang meninggalkan tempat ini pergi karena pilihannya sendiri dan di saat waktu luang. Beberapa tempat di kota tak seperti ini.

“Kutantang kau lompat ke rawa,” ujar Christina pada Will.

“Kau duluan.”

Kami tiba di komidi putar. Beberapa kuda kayunya tergores dan koyak oleh cuaca. Ekor-ekornya patah atau sadelnya tercungkil. Four mengeluarkan bendera dari sakunya.

“Dalam waktu sepuluh menit, tim yang lain akan menentukan lokasinya,” ujarnya. “Kusarankan kalian menggunakan waktu ini untuk merancang strategi. Kita mungkin bukan Erudite, tapi kesiapan mental adalah salah satu aspek dari latihan Dauntless kalian. Bisa dibilang, inilah aspek terpenting.”

Ia benar tentang itu. Apa gunanya tubuh yang terlatih jika kau memiliki pikiran yang berantakan?

Will mengambil bendera dari Four.

“Beberapa orang harus tetap di sini dan menjaga. Yang lainnya harus pergi dan mengintai lokasi tim lawan,” ujar Will.

“Yeah? Kau pikir begitu?” Marlene menarik bendera dari jari-jari Will. “Siapa yang memberimu wewenang, Anak Pindahan?”

“Tidak ada,” ujar Will. “Tapi, seseorang harus melakukannya.”

“Mungkin kita harus membuat strategi yang lebih defensif. Kita tunggu saja mereka datang, lalu kita habisi mereka,” saran Christina.

“Itu cara yang lembek,” kata Uriah. “Aku memilih kita semua pergi keluar. Sembunyikan bedera ini dengan baik sehingga mereka tak bisa menemukannya.

Semua membuka mulut untuk bicara pada saat yang bersamaan. Detik berlalu dan suara mereka makin kencang. Christina membela rencana Will. Anak asli Dauntless memilih untuk menyerang. Semuanya berdebat tentang siapa yang seharusnya membuat keputusan. Four duduk di pinggiran komidi putar sambil bersandar pada kaki kuda plastik. Mata mendongak menatap langit yang tak berbintang. Hanya ada bulan bulat yang menyembul dari selapis awan tipis. Otot-otot di lengannya kelihatan santai. Tangannya bersilang di balik leher. Ia hampir kelihatan nyaman sambil membawa senjata di bahunya.

Aku menutup mataku sejenak. Mengapa ia begitu mudah mengalihkan perhatianku? Aku harus fokus.

Apa yang akan kukatakan jika aku bisa berteriak lebih keras dari keributan di belakangku? Kami tak bisa bergerak sampai kami tahu di mana tim lawan. Mereka bisa di mana saja dalam radius dua mil meski jelas bikan di daerah rawa. Cara terbaik untuk menemukan mereka bukan dengan berdebat bagaimana caranya mencari mereka atau berapa banyak yang dikirim di dalam kelompok yang bertugas mencari.

Caranya memanjat setinggi mungkin.

Aku melihat dari balik bahuku untuk memastikan tak ada yang melihat. Tak ada yang melihatku, jadi aku berjalan ke arah Bianglala dengan langkah ringan tanpa suara. Aku menekan senjata ke punggung dengan satu tangan untuk mencegahnya menimbulkan bunyi.

Saat aku menatap Bianglala itu dari tanah, tenggorokanku terasa kering. Lebih tinggi dari yang kukira. Begitu tinggi sampai aku hampir tak bisa melihat kabin yang bergelantungan di atas. Satu-satunya hal baik tentang tampat tinggi ini hanyalah kenyataan bahwa tempat ini dibangun untuk menahan beban. Jika aku memanjatnya, kincir ini takkan roboh menimpaku.

Jantungku berdegup makin kencang. Apakah aku akan benar-benar mempertaruhkan hidupku untuk ini—memenangi permainan para Dauntless?

Keadaan begitu gelap sampai-sampai aku tak bisa melihat yang lain. Tapi, saat kulihat penyangga besar berkarat yang menahan kincir Bianglala dengan baik, aku melihat sebuah jalinan tangga. Setiap penyangga memiliki lebar yang sama dengan pundakku. Tak ada susuran untukku berpegangan. Namun, menaiki tangga lebih baik daripada memanjat jeruji kincir.

Aku memegang sebuah anak tangga. Berkarat, tipis, rasanya bisa kuremukkan dengan tangan. Aku menginjak di anak tangga terendah untuk mencobanya dan melompat untuk memastikan anak tangga ini bisa menahanku ke atas. Gerakan ini membuat rusukku nyeri dan aku mengernyit.

“Tris,” ujar suara rendah di belakangku. Aku tak tahu mengapa suaranya tak mengejutkanku. Mungkin karena aku berubah menjadi Dauntless dan kesiapan mental adalah sesuatu yang seharusnya aku kembangkan. Mungkin karena suaranya rendah, lembut, dan hampir menyejukkan. Apa pun alasannya, aku melirik dari balik bahu. Four berdiri di belakangku dengan senjata yang menggantung di punggung, seperti senjataku.

“Ya?” kataku.

“Aku ke sini untuk mencari tahu apa yang akan kau lakukan.”

“Aku mencari tempat yang lebih tinggi,” kataku. “Kurasa aku tidak melakukan apa-apa,”

Aku melihat senyumnya di tengah kegelapan. “Baik. Aku ikut.”

Aku berhenti sejenak. Ia tak melihatku dengan cara yang sama seperti yang Will, Christina, dan Al kadang lakukan—seakan aku terlalu kecil dan terlalu lemah untuk melakukan sesuatu dan mereka mengasihaniku karenanya. Tapi, kalaupun Four bersikeras untuk ikut denganku, mungkin karena ia meragukanku.

“Aku akan baik-baik saja,” kataku.

“Tak diragukan lagi,” balasnya. Aku tak mendengan adanya sarkasme, tapi aku tahu itu ada. Pasti ada.

Aku memanjat dan setelah aku beberapa meter dari tanah, ia menyusulku. Ia bergerak lebih cepat dariku dan tak lama tangannya menyentuh pijakan tangga yang tadi baru kuinjak.

“Jadi, katakan padaku ...” ujarnya tenang saat kami memanjat. Kedengarannya ia kehabisan napas. “Apa pendapatmu tujuan dari latian ini? Permainannya, maksudku, bukan memanjatnya.”

Aku menunduk menatap pelataran. Kelihatannya sudah jauh, tapi aku bahkan belum mencapai sepertiganya. Di atasku ada platform, tepat di bawah pusat kincir. Itulah tujuanku. Aku bahkan tidak berpikir bagaimana caraku turun nanti. Angin yang mengembus pipiku tadi sekarang menghempas sisi tubuhku. Semakin tinggi kami naik, semakin kuat embusannya. Aku harus siap.

“Belajar tentang strategi,” kataku. “Mungkin, kerja sama.”

“Kerja sama,” ualngnya. Suara tawa seperti terjepit di tenggorokannya. Kedengarannya seperti tarikan napas panik.

“Mungkin bukan.” Kataku. “Kerja sama sepertinya bukan prioritas Dauntless.”

Anginnya sekarang makin kuat. Aku mendekatkan tubuhku ke tiang penyangga supaya aku tidak jatuh, tapi ini malah membuatku makin sulit memanjat. Di bawahku, komidi putar kelihatan kecil. Aku hampir tak bisa melihat timku di bawah tenda. Sebagian dari mereka tidak ada—tim pencari pasti telah pergi.

Four berkata, “Seharusnya menjadi prioritas. Tadinya begitu.”

Tapi, aku tak benar-benar mendengarkan karena ketinggian membuatku pusing. Tanganku terasa nyerin karena memegangi pijakan tangga dan kakiku gemetar. Aku tak tahu pasti kenapa. Bukan ketinggian yang membuatku takut—ketinggian membuatku merasa hidup dengan tambahan energi. Setiap organ, pembuluh darah, dan oto tubuhku yang bernyanyi dengan irama yang sama.

Lalu, kusadari itu. Itu karena ia. Sesuatu dari dirinya membuatku hampir jatuh. Atau mencair. Atau meledak jadi kobaran api.

Tanganku hampir tergelincir di pijakan selanjutnya.

“Sekarang katakan padaku, ...” ujarnya di tengah napas yang memburu, “menurutmu kenapa mempelajari strategi berhubungan dengan ... keberanian?”

Pertanyaan ini mengingatkanku kalau ia instrukturku dan aku seharusnya mempelajari sesuatu dari ini. Sekumpulan awan berarak melewati bulan dan cahayanya bergerak melewati tanganku.

“Itu ... mempersiapkanmu untuk beraksi,” akhirnya aku menjawab. “Kau belajar membuat strategi sehingga nanti kau bisa menggunakannya.” Kudengar ia bernapas di belakangku, keras dan cepat. “Kau baik-baik saja, Four?”

“Apa kau manusia, Tris? Ada di tempat setinggi ini, ...” ia tercekat. “Tak membuatmu takut sama sekali?”

Aku melirik ke balik bahu ke arah daratan di bawah sana. Kalau sekarang aku jatuh, aku akan mati. Tapi aku tak berpikir, aku akan jatuh.

Angin bertiup dan menekan sisi kiriku sehingga menghempas beban tubuhku ke kanan. Aku terkesiap dan menggelantung di pijakan. Aku kehilangan keseimbangan. Tangan Four yang dingin menangkap satu sisi pinggulku. Salah satu jarinya menyentuh kulitku yang sedikit tersembul dari balik keliman kaus. Ia mendorong, menegakkan tubuhku, dan perlahan mendorongku ke kiri sambil mengembalikan keseimbanganku.

Sekarang, aku tak bisa bernapas. Aku terdiam menatap tanganku. Mulutku kering. Aku merasakan jejak di mana tangan Four tadi berada. Jemarinya panjang dan kurus.

“Kau tak apa-apa?” tanyanya kalem.

“Ya,” kataku dengan suara tertahan.

Aku terus memanjat dalam diam sampai mencapai platform. Melihat pinggiran kasar balok baja itu, sepertinya tadinya di sana ada susuran, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Aku duduk dan bergeser ke sisi lainnya untuk memberikan tempat duduk bagi Four. Tanpa berpikir apa-apa, aku mengulurkan kaki melewati sisi samping. Namun, Four malah meringkuk dan bersandar di penyangga besi dengan terengah-engah.

“Kau takut ketinggian,” kataku. “Bagaimana kau bisa bertahan di markas Dauntless?”

“Aku mengabaikan rasa takutku,” ujarnya. “Saat aku membuat keputusan, aku berpura-pura itu tidak ada.”

Sejenak aku menatapnya. Aku tak sanggup menahan diri. Bagiku ada sebuah perbedaan antara tak merasa takut dengan bersikap tak memedulikan rasa takut seperti yang ia lakukan.

Aku terlalu lama menatapnya.

“Apa?” tanyanya pelan.

“Tidak apa-apa.”

Aku mengalihkan pandangan darinya ke arah kota. Aku harus fokus. Aku memanjat setinggi ini dengan sebuah alasan.

Kota kelihatan seperti lubang hitam, tapi bahkan jika kota bukan seperti itu, aku takkan bisa melihat terlalu jauh. Sebuah bangunan menghalangi pandanganku.

“Kita tak cukup tinggi,” kataku. Aku mendongak. Di atasku ada jalinan batang-batang baja bercat putih, rangka kincir. Jika memanjatnya hati-hati, aku bisa menyelipkan kakiku di antara penyangga dan tiang yang melintang sehingga aku tetap aman. Atau seaman mungkin.

“Aku akan memanjat,” kataku berdiri. Aku meraih batang di atas kepalaku dan mendorong tubuhku ke atas. Ada nyeri menjalar di sisi tubuhku yang masih memar, tapi aku mengabaikannya.

“Demi Tuhan, Kaku,” ujarnya.

“Kau tak perlu mengikutiku,” kataku sambil menatap batang-batang besi yang bersimpangan di atasku. Aku mendorong kakiku ke tempat di mana ada dua batang melintang dan menarik tubuhku ke atas. Lalu, aku memegang batang lainnya. Aku berayun sejenak. Jantungku berdegup begitu kencang sampai aku tak bisa merasakan apa-apa lagi. Semua pikiran yang kupunya memadat menjadi degup jantung itu, berdetak dengan ritme yang sama.

“Ya, aku ikut,” katanya.

Ini memang gila dan aku tahu itu. Sepersekian inci kesalahan dan setengah detik keraguan, maka hidupku akan berakhir. Rasa panas merayap di dadaku dan aku tersenyum saat meraih batang lainnya. Aku mendorong tubuhku ke atas. Lenganku gemetar. Kupaksakan kakiku menapak sehingga aku berdiri di batang yang lain. Saat aku merasa seimbang, aku menunduk melihat Four. Tapi bukannya melihatnya, aku malah melihat tanah.

Aku tak bisa bernapas.

Aku membayangkan tubuhku terpelanting dan membentur rangkaian batang baja saat meluncur ke bawah. Beberapa anggota tubuhku patas di atas pelataran, persis seperti saudara perempuan Rita saat tak bisa melompat ke atas atap. Four meraih sebuah batang baja dengan masing-masing tangannya dan menarik tubuhnya ke atas, gampang, seperti sedang sit-up di tempat tidur. Tapi, ia tak nyaman atau kelihatan biasa di sini—otot-otot di lengannya bertonjolan. Aku memikirkan hal bodoh saat aku berada 30 meter di atas tanah.

Aku meraih batang lain dan menemukan tempat untuk menjepitkan kakiku. Saat aku menatap kota lagi, gedung tadi tak menghalangi pandanganku. Aku cukup tinggi untuk melihat garis batas langit. Sebagian besar gedung-gedung berwarna hitam di tengah hamparan langit biru tua. Tapi, lampu merah di puncak The Hub menyala. Lampu-lampu itu berkedip setengah kali lebih cepat dari detak jantungku.

Di bawah gedung-gedung itu, jalanan kelihatan seperti lorong. Selama beberapa detik, aku hanya melihat selimut hitam menutupu tanah di hadapanku. Cuma ada perbedaan tipis di antara gedung, langit, jalanan, dan tanah. Lalu, kulihat kedip cahaya kecil di bawah sana.

“Lihat itu?” kataku sambil menunjuk.

Four berhenti memanjat saat ia berada tepat di belakangku dan melihat dari balik bahuku. Dagunya mendekat ke kepalaku. Napasnya menyentuh telingaku, dan sekali lagi aku gemetar seperti tadi saat aku menaiki tangga.

“Yeah,” ujarnya. Senyuman tersungging di wajahnya.

“Datangnya dari arah taman di ujung dermaga,” ujarnya. “Aku tahu sekarang. Tempat itu dikelilingi area terbuka tapi pepohonan menghalangi pandangan. Tapi, jelas sekali sepertinya kamuflasenya tak cukup.”

“Oke,” kataku. Aku melirik ke arahnya. Kami begitu dekat sampai-sampai aku lupa di mana kami sekarang. Bahkan, aku memperhatikan kalau sudur bibirnya turun seperti bibirku. Ia juga memiliki bekas luka di dagunya.

“Um,” kataku, aku berdeham. “Ayo turun. Aku akan mengikutimu.”

Four mengangguk dan menuruni pijakan. Kakinya begitu panjang sehingga dengan mudah menapakkan kakinya dan mendorong tubuhnya melewati batang-batang besi. Bahkan di kegelapan, aku melihat tangannya merah dan gemetar.

Aku turun dengan satu kaki dan bertumpu di salah satu batang melintang. Batang besi itu berdecit di bawahku, lalu terlepas. Batang itu pun jatuh dan membentur lusinan batang lainnya dan memantul di pelataran. Aku menggelantung di rangka baja dengan jari kaku terayun-ayun di udara. Napasku tercekat.

“Four!”

Aku mencoba mencari tempat lain untuk menjejakkan kaki, tapi tumpuan kaki itu jauhnya beberapa meter. Lebih jauh dari jarak uluran kakiku. Tanganku berkeringat. Aku ingat pernah mengusapkan tanganku yang berkeringat ke celana sebelum Upacara Pemilihan, sebelum Tes Kecakapan, sebelum tiap momen penting, dan menahan diri untuk tidak menjerit. Aku akan jatuh. Aku akan jatuh.

“Bertahanlah!” teriaknya. “Bertahan dulu. Aku ada ide.”

Four terus menuruni tangga. Ia bergerak ke arah yang salah. Seharusnya ia mendekat ke arahku, bukan menjauhiku. Aku melihat tanganku yang memegang batang yang sempit sampai-sampai ruas tanganku memutih. Tanganku semerah darah, bahkan hampir keunguan. Aku takkan bertahan lama.

Aku takkan bertahan lama.

Aku menutup mata. Lebih baik tak melihat. Lebih baik berpura-pura ini semua tidak terjadi. Aku mendengar decit suara sepatu Four menapak di atas besi dan suara kaki yang menuruni pijakan tangga.

“Four!” teriakku. Mungkin ia sudah pergi. Mungkin ia meninggalkanku. Mungkin ini tes untuk kekuatanku. Keberanianku. Aku menarik napas dengan hidung dan mengeluarkannya lewat mulut. Aku menghitung napasku untuk menenangkan diri. Satu. Dua. Tarik napas. Keluarkan. Ayo, Four adalah satu-satunya yang bisa kupikirkan. Ayo, lakukan sesuatu.

Lalu, aku mendengar suara mendecit dan berderak. Batang besi yang kupegang bergoyang dan aku menjerit tertahan sambil terus berusaha menggenggam.

Kincirnya bergerak.

Udara membungkus pergelangan kaki dan tanganku saat angin menderu ku atas. Aku membuka mata. Aku bergerak—menuju kebawah. Aku tertawa dan sedikit pusing karena histeris saat aku makin mendekat ke bawah. Tapi, putannya makin cepat. Jika aku tidak menjatuhkan diri di waktu yang tepat, kabin yang bergerak dan rangka baja akan menyeret tubuhku dalam putaran itu. Dan, pasti aku akan benar-benar mati.

Setiap oto di tubuhku menegang saat aku meluncur ke bawah. Saat kulihat celah di jalan setapa, aku menjatuhnya tubuh, dan tubuhku membentur tanah. Kakiku menapak terlebih dahulu dan langsung lunglai, lalu kutarik lenganku dan berguling ke samping secepat yang kubisa. Lapisan semen pelataran menggesek wajahku dan aku merunduk tepat saat kulihat sebuah kabin meluncur turun ke arahku seperti sebuah sepatu raksasa yang siap melumatku. Aku berguling lagi dan bagian bawah kabin mengenai bahuku.

Aku selamat.

Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Aku tak mencoba bangun. Jika aku melakukannya, pasti aku akan tersungkur. Aku mendengar suara langkah kaki dan tangan Four menggamit pergelangan tanganku. Kubiarkan ia menarik tangan yang menutupi mataku.

Ia meletakkan salah satu tanganku di antara genggaman dua tangannya. Kehangatan kulitnya menyelimuti rasa nyeri jemariku karena memegangi batang besi.

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya sambil mempererat genggamannya.

“Yeah.”

Ia mulai tertawa.

Sesaat kemudian, aku juga tertawa. Aku mendorong tubuhku duduk dengan tanganku yang lain. Aku tahu betapa dekatnya jarak kami berdua—kurang dari lima belas senti. Rasanya seperti ada arus listrik memercik di jarak sependek itu. Aku merasa semestinya kami lebih mendekat.

Ia berdiri dan menarikku ikut bangun. Kincirnya masih berputar dan membuat angin yang mengembus rambutku ke belakang.

“Seharusnya kau bilang kalau kincir Bianglala ini masih jalan,” kataku. Aku mencoba terdengar santai. “Kita tak perlu memanjatnya tadi.”

“Aku pasti bilang kalau aku tahu,” ujarnya. “Aku tak bisa cuma membiarkanmu bergelantungan di sana, jadi aku mengambil risiko. Ayo, waktunya merebut bendera mereka.”

Four ragu sejenak, lalu menarik lenganku. Ujung jarinya menekan bagian dalam siku tanganku. Di faksi lain, ia akan memberiku waktu untuk pulih. Tapi, ia seorang Dauntless, jadi ia hanya tersenyum padaku dan berjalan mengarah komidi putar di mana anggota tim yang lainnya menjaga bendera kami. Dan, aku setengah berlari setengah menyeret kaki di sampingnya. Aku masih merasa lemas tapi pikiranku begitu waspada, terlebih dengan tangannya yang masih menyentuhku.

Christina duduk di atas salah satu kuda mainan itu. Kakinya menyilang dan tangannya memegangi tiang penyangga dudukan komidi putar. Bendera kami ada di belakangnya. Sebuah bendere dengan segitiga emas ditengah kegelapan. Tiga anak asli Dauntless berdiri di atas patung binatang yang sudah rusak dan kotor. Di antara jarinya, ada mata kuda yang sudah penuh goresan menatapku. Ada seorang gadis Dauntless yang lebih tua duduk di pinggir komidi putar sambil menggaruk alis bertindik empat cincin dengan ibu jarinya.

“Kemana yang lain?” tanya Four.

Ia kelihatannya bersemangat seperti perasaanku. Matanya melebar penuh energi.

“Apa kalian yang menyalakan kincir tadi?” tanya gadis yang lebih tua itu. “Apa yang kalian pikirkan? Kalian sama saja seperti berteriak ‘Kami di sini! Ayo kemari tangkap kami!’” Ia menggeleng. “Kalau tahun ini aku kalah lagi, rasa malunya sudah tak tertahankan lagi. Tiga tahun berturu-turut?”

“Kincirnya tak jadi soal,” ujar Four. “Kami tahu di mana mereka.”

“Kami?” tanya Christina sambil menatapku dan Four bergantian.

“Ya. Sementara kalian semua sibuk hom pim pah, Tris memanjat kincir itu untuk mencari tim lawan,” ujarnya.

“Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya seorang anak asli Dauntless sambil menguap.

Four memandangku. Perlahan mata anggota lain termasuk Christina mengalihkan pandangan dari Four ke arahku. Aku menegakkan bahu, hampir mengangkat bahu dan berkata tidak tahu. Lalu, bayangan dermaga yang membentang di hadapanku mulai tergambar di benakku. Aku punya ide.

“Bagi dua,” kataku. “Empat orang pergi ke sisi kanan dermaga, dan tiga orang ke kiri, tim lawan ada di ujung dermaga, jadi tim yang tadi beranggotakan empat orang akan menyerang sementara yang anggotanya tiga orang menyelinap ke belakang tim lawan untuk mengambil bendera.”

Christina menatapku seakan ia tak lagi mengenaliku. Aku tak menyalahkannya.

“Kedengarannya bagus,” ujar gadis senior sambil menepukkan tangan. “Ayo cepat akhiri malam ini, oke?”

Christina bergabung denganku dalam tim yang bertugas ke arah kanan, bersama Uriah yang senyum putihnya kontras dengan kulit gelapnya. Aku tadinya tak menyadari, tapi ia memiliki tato ular di belakang telinganya. Aku sejenak melihat ekor ular itu mengelilingi daun telinganya, tapi kemudian Christina mulai berlari dan aku harus mengikutinya.

Aku harus berlari dua kali lebih cepat untuk menyamakan langkahku yang pendek dengan kaku panjangnya. Saat aku berlari, aku menyadari bahwa hanya satu dari kami yang akan merebut benderanya. Tak peduli apakah ini rencanaku dan informasiku yang menuntuk kami semua untuk mendapatkannya jika bukan aku yang mendapatkannya. Walau aku hampir tak bisa bernapas, aku berlari lebih cepat mengikuti Christina. Aku menarik senjata yang melingkar di tubuhku dan meletakkan jari di pelatuk.

Kami mencapai ujung dermaga dan aku menutupi mulutku untuk menghalangi suara napasku yang memburu. Kami memperlambat langkah agar suara jejak kami tak terlalu keras dan aku mencari cahaya yang berkedip-kedip itu lagi. Sekarang, aku lebih mudah dilihat. Aku menunjuk dan Christina mengangguk. Ia mengarah ke tempat itu.

Lalu, aku mendengar rangkaian teriakan. Begitu keras sampai membuatku melompat. Aku mendengar embusan udara saat bola cat melayang dan pecah begitu menumbuk sasarannya. Tim kami sudah menyerang. Tim lawan berlari mencari kami dan benderanya hampir tak ada yang menjaga. Uriah mulai membidik dan menembak penjaga terakhir di paha. Penjaga itu seorang gadis berambut ungu melemparkan senjatanya ke tanah dengan marah.

Aku berlari cepat mengejar Christina. Benderanya menggantung di sebuah cabang pohon. Aku meraihnya, begitu pula Christina.

“Ayolah Tris,” ujarnya. “Kau sudah menjadi pahlawan hari ini. Dan, kau tahu bagaimanapun kau tak bisa mengambilnya.”

Ia menatapku dengan tatapan meremehkan, sama seperti tatapan orang yang sok dewasa kepada anak-anak, lalu meraih bendera itu dari cabang pohon. Tanpa melihatku, ia berbalik dan berteriak penuh kemenangan. Uriah juga ikut berteriak dan aku mendengar rangkaian teriakan dari kejauhan.

Uriah menepuk pundakku dan aku mencoba melupakan tatapan Christina barusan. Mungkin ia benar. Aku sudah membuktikan diriku sendiri hari ini. Aku tak mau jadi rakus. Aku tak mau seperti Eric yang ketakutan dengan kekuatan orang lain.

Teriakan kemenangan ini menyebar cepat dan aku ikut berteriak sambil berlari ke anggota tim yang lain. Christina memegang bendera itu tinggi-tinggi dan semuanya mengerumuninya. Mereka memegangi lengannya untuk mengangkat bendera itu lebih tinggi. Aku tak bisa mendekatinya, jadi aku berdiri di pinggir dengan tersenyum lebar.

Seseorang menyentuh pundakku.

“Bagus,” ujar Four kalem.

 ***

“Aku tak percaya aku ketinggalan tadi!” ujar Will lagi sambil menggeleng. Angin berembus dari pintu gerbong kereta dan meniup rambutnya berantakan ke segala arah.

“Kau melakukan pekerjaan yang sangat penting dengan cara menyingkir dari kami,” ujar Christina berseri-seri.

Al mengerang. “Kenapa aku harus berada di tim lain?”

“Karena hidup memang tidak adil, Albert. Dan, dunia ini berkonspirasi untuk melawanmu,” ujar Will. “Hei, bisa aku lihat benderanya sekali lagi?”

Peter, Molly, dan Drew duduk di sudut seberang anggota lainnya. Dada dan punggung mereka dipenuhi bercak cat biru dan merah mudah; mereka kelihatan kesal. Mereka berbisik-bisik, melirik diam-diam ke arah kami, apalagi ke arah Christina. Rupanya ada untungnya aku tidak memegang bendera itu—aku tidak target siapa-siapa. Atau setidaknya, tidak lebih dari biasanya.

“Jadi, kau tadi memanjat Bianglala, huh?” tanya Uriah. Ia tersandung ke tengah gerbong dan duduk di sampingku. Marlene, gadis dengan senyum menggoda itu, mengikutinya.

“Ya,” kataku.

“Kau lumayan pintar. Seperti ... pintarnya Erudite,” ujar Marlene. “Aku Marlene.”

“Trism” jawabku. Di rumah, akan menjadi sebuah hinaan jika aku dibandingkan dengan Erudite. Tapi ia mengatakannya seakan itu pujian.

“Yeah, aku tahu siapa kau,” ujarnya. “Orang yang pertama kali melompat biasanya akan selalu diingat.”

Rasanya seperti sudah bertahun-tahun sejak aku melompati gedung dengan seragam Abnegationku. Rasanya seperti beberapa dekade telah berlalu.

Uriah mengambil salah satu bola cat dari senjatanya dan meremasnya dengan ibu jari dan jari tengah. Kereta menukik ke kiri dan Uriah jatuh menimpaku. Jarinya menekan bola cat itu sampai tumpahan cat merah muda berbau tajam mengenai wajahku.

Tawa Marlene langsung memecah. Aku menghapus sedikit cat dari wajahku, dan, dengan perlahan kucorengkan ke muka Uriah. Aroma minyak ikan mencuat ke seluruh gerbong.

“Ew!” Uriah memencet bola itu sekali lagi ke arahku, tapi mengarah ke sudut yang salah dan catnya mengenai mulutnya sendiri. Ia terbatuk dan mengerang tertahan.

Aku mengelap wajahku dengan lengan baju dan tertawa keras sekali sampai perutku sakit.

Jika sepanjang hidupku seperti ini, tawa keras, aksi berani, dan rasa lelah setelah melewati hari yang keras tapi tetap memuaskan, aku akan merasa puas. Saat  Uriah menjilat ujung jarinya, aku menyadari bahwa yang harus kulakukan hanyalah lolos inisiasi dan hidup semacam ini akan menjadi kehidupanku.[]


No comments:

Post a Comment