Divergent (Divergent #1) (31)

Penulis: Veronica Roth

31


Lampu menyala. Aku berdiri sendiri di ruang kosong berdinding beton. Tubuhku gemetar. Aku berlutut, mendekapkan tangan di dada. Rasanya tidak sedingin ini saat aku masuk, tapi sekarang terasa begitu dingin. Kugosok-gosok lenganku agar bulu kudukku tidak berdiri lagi.

Aku tak pernah merasa selega ini sebelumnya. Semua otot tubuhku melemas dan aku bisa bernapas lagi dengan bebas. Aku tak bisa membayangkan menghadapi ruang ketakutanku di waktu luang seperti yang Tobias lakukan. Tadinya bagiku itu kelihatan berani, tapi sekarang kelihatan seperti sadis.

Pintu terbuka dan aku bangkit. Max, Eric, Tobias, dan beberapa orang yang tidak aku kenal masuk berurutan dan berdiri berkerumun di depanku. Tobias tersenyum padaku.

“Selamat, Tris,” ujar Eric. “Kau telah berhasil menyelesaikan evaluasi akhirmu.”

Aku mencoba tersenyum. Tapi tidak bisa. Aku tidak bisa mengusir ingatan senjata tadi dari pikiranku. Aku masih bisa merasakan moncong pistol menempel di antara alisku.

“Trims,” kataku.

“Ada satu hal lagi sebelum kau pergi dan bersiap-siap ikut perjamuan selamat datang,” ujarnya. Eric memberi isyarat pada salah seorang yang tidak kukenal di belakangnya. Seorang wanita berambut biru memberi sebuah kotak hitam kecil. Ia membukanya dan mengambil alat suntik dan sebuah jarum panjang.

Aku menegang saat melihatnya. Cairan oranye kecokelatan di dalam alat suntik itu mengingatkanku pada suntikan sesaat sebelum simulasi. Seharusnya aku sudah selesai dengan ini semua.

“Setidaknya, kau tidak takut jarum,” kata Eric. “Semacam alat pelacak akan disuntikkan padamu yang akan diaktifkan hanya jika kau dilaporkan menghilang. Hanya untuk jaga-jaga.”

“Seberapa sering orang menghilang?” tanyaku.

“Tidak sering.” Eric tersenyum licik. “Ini pengembangan baru, berkat kerja keras Erudite. Kami sudah menyuntik semua Dauntless seharian ini dan kurasa semua faksi juga akan segera mengikutinya.”

Perutku seperti terpelintir. Aku tak bisa membiarkannya menyuntik apa pun padaku, apalagi dikembangkan oleh Erudite—bahkan mungkin oleh Jeanine. Tapi, aku juga tak bisa berkata tidak. Aku tidak boleh menolak, kalau tidak ia akan meragukan kesetiaanku lagi.

“Baik,” kataku. Tenggorokanku tercekat.

Eric mendekatiku sambil memegang jarum suntik. Kusibakkan rambut di leher dan kumiringkan kepala. Aku berpaling saat Eric mengusap leherku dengan tisu antiseptik dan menusukkan jarumnya menembus kulit. Rasa sakit mendalam menjalari leherku. Sakit memang, tapi tidak lama. Ia mengembalikan jarum itu kembali ke kotak dan menempelkan plester tepat di atas bekas suntikan.

“Perjamuannya dua jam lagi,” ujarnya. “Nanti ranking-mu dari peserta inisiasi lainnya, termasuk anak asli Dauntless, akan diumumkan. Semoga beruntung.”

Kerumunan itu pun satu per satu keluar ruangan, tapi Tobias tetap di sana. Ia berhenti sebentar di depan pintu dan memberiku isyarat untuk mengikutinya. Aku ikut di belakangnya. Ruang kaca di atas The Pit dipenuhi para Dauntless. Beberapa dari mereka berjalan di atas tali tepat di atas kepala kami. Ada juga yang ngobrol dan tertawa dalam beberapa kelompok. Tobias tersenyum padaku. Pasti tadi ia tak melihat simulasi barusan.

“Ada gosip kalau kau tadi cuma menghadapi tujuh tantangan,” ujarnya. “Tak pernah ada gosip seperti itu sebelumnya.”

“Kau ... kau tadi tidak melihat simulasinya?”

“Hanya dari layar. Para pemimpin Dauntlesslah yang bisa melihat semuanya,” ujarnya. “Sepertinya mereka terkesan.”

“Ya, tujuh ketakutan tidak sama mengesankannya seperti empat,” jawabku. “Tapi cukup kok.”

“Aku malah kaget kalau kau tidak jadi ranking pertama,” ujarnya.

Kami berjalan menuju ruang kaca. Masih banyak orang di sana, tapi makin banyak yang pergi setelah peserta terakhir—yaitu aku—pergi.

Tak lama kemudian, mereka memperhatikanku. Aku tetap berada di samping Tobias, tapi aku tak bisa berjalan buru-buru untuk menghindari sorak-sorai, tepukan pundak, dan ucapan selamat. Ketika kutatap mereka semua, aku sadar betapa anehnya mereka bagi ayah dan kakakku; tapi kelihatan normal di mataku walau ada banyak cincin logam di wajah mereka dan tato di sepenjuru lengan, leher, dan dada. Aku balik tersenyum ke arah mereka.

Kami menuruni tangga menuju The Pit dan aku berkata, “Aku mau tanya.” Kugigit bibirku sendiri. “Seberapa banyak mereka memberitahumu tentang Ruang Ketakutanku?”

“Tidak ada. Kenapa?” ujarnya.

“Tidak apa-apa.” Aku menendang kerikil ke samping jalan setapak.

“Kau benar-benar harus kembali ke asrama?” tanya Tobias. “Karena kalau kau ingin damai dan tenang, kau bisa ikut aku sampai nanti perjamuan dimulai.”

Perutku mengejang.

“Kenapa?” tanyanya.

Aku tak ingin kembali ke asrama dan aku tak mau takut terhadapnya.

“Ayo,” kataku.

***

Tobias menutup pintu dan melepaskan sepatunya.

“Mau minum?” ujarnya.

“Tidak, terima kasih.” Aku menyilangkan lengan di depan dada.

“Kau baik-baik saja?” ujarnya sambil menyentuh pipiku. Tangannya membelai sisi kepalaku. Jemarinya yang panjang menyusuri helai-helai rambutku. Tobias tersenyum dan memegangi kepalaku saat menciumku. Perlahan tubuhku terasa hangat. Dan, ketakutan itu bergetar seperti alarm di dadaku.

Bibirnya masih memagut dan ia menarik lepas jaketku. Aku mengernyit saat mendengar suara jaket membentur lantai dan mendorongnya menjauh. Mataku terasa panas. Aku tak tahu kenapa aku merasakan hal ini. Aku tak merasakannya saat ia menciumku di kereta. Aku menutupi wajah dengan tangan, menutupi kedua mataku.

“Kenapa? Ada yang salah?”

Aku menggeleng.

“Jangan bilang tidak apa-apa.” Suaranya berubah dingin. Tobias meraih lenganku. “Hei, lihat aku.”

Aku menurunkan tangan dari wajah dan mendongak menatapnya. Rasa sakit di matanya dan kemarahan yang terkumpul di rahangnya yang mengatup kencang membuatku terkejut.

“Kadang aku bertanya-tanya,” ujarku setenang mungkin, “apa artinya ini semua untukmu. Ini ... apa pun ini semua.”

“Apa artinya untukku,” ulang Tobias. Ia mundur sambil menggeleng. “Kau ini bodoh, Tris.”

“Aku tidak bodoh,” kataku. “Karena itu, aku tahu ini sedikit aneh, dari semua gadis yang bisa kau pilih, kau malah memilihku. Jadi, kalau kau cuma mencari ... um, kau tahu ... hal itu ....”

“Apa? Seks?” cibirnya. “Kau tahu, kalau cuma itu yang kucari, kau mungkin bukan orang pertama yang kucari.”

Rasanya seperti ia baru memukul perutku. Tentu saja aku bukan orang pertama yang ia cari—bukan yang pertama, bukan yang paling cantik, bukan yang paling didambakan. Aku memegangi perut dan menatap di kejauhan. Aku bukan tipe cengeng. Aku juga bukan tipe histeris. Aku mengedipkan mata beberapa kali, menurunkan tangan, dan menatapnya.

“Aku mau pergi,” ujarku pelan dan berbalik ke arah pintu.

“Jangan, Tris.” Ia memegangi tanganku dan menarikku kembali. Aku mendorongnya menjauh, mendorongnya keras, tapi Tobias menarik tanganku yang lainnya. Tangan kami saling bertautan.

“Maaf tadi aku bilang begitu,” ujarnya. “Maksudku kau bukan seperti itu. Dan, aku tahu itu saat pertama kali melihatmu.”

“Kau tadi menjadi rintangan di Ruang Ketakutanku.” Bibir bawahku gemetar. “Kau tahu itu?”

“Apa?” Tobias melepaskan pergelangan tanganku dan tatapan penuh sakit itu pun kembali. “Kau takut aku?”

“Bukan kau,” kataku. Aku menggigit bibirku agar tidak makin gemetar. “Bersamamu ... bersama siapa pun. Aku tidak pernah berhubungan dengan siapa pun sebelumnya, dan ... kau lebih tua, dan aku tidak tahu apa keinginanmu, dan ....”

“Tris,” ujarnya tegas, “aku tidak tahu tahu apa yang kau khayalkan, tapi ini juga hal baru untukku.”

“Khayalan?” ulangku. “Maksudmu, kau belum pernah ...” alisku bekernyit. “Oh. Oh. Kaupikir ....” Karena aku begitu tertarik padanya, berarti semua orang juga akan tertarik padanya. “Um. Kau tahu kan.”

“Ya, pikiranmu salah.” Ia memalingkan muka. Pipinya memerah, sepertinya ia malu. “Kau bisa cerita apa saja padaku, kau tahu kan,” ujarnya. Ia menyentuh wajahku. Ujung jarinya dingin dan telapak tangannya hangat. “Aku lebih baik dari yang kau lihat saat latihan. Sumpah.”

Aku percaya padanya. Tapi, ini tak ada hubungannya dengan kebaikannya.

Tobias menciumku di antara kedua alis, kemudian di ujung hidupku. Seperti ada aliran listrik, bukan darah, menjalari pembuluh darahku.  Aku ingin ia menciumku; tapi aku takut ke mana arah hubungan ini.

Tangan Tobias bergeser menyentuh bahuku dan jemarinya menyentuh pinggiran perban di badanku. Ia mundur dengan alis berkerut.

“Kau terluka?” tanyanya.

“Bukan. Itu tato baru. Baru saja sembuh, aku cuma ... ingin menjaganya tetap tertutup.”

“Boleh kulihat?”

Aku mengangguk. Tenggorokanku tercekat. Kutarik lengan bajuku. Tobias menatap bahuku sejenak, kemudian menyentuhnya. Jemarinya mengikuti lekuk tulangku. Sensasi baru menggelitik perutku. Bukan hanya ketakutan, tapi ada perasaan lainnya. Rasa mendamba.

Tobias melepas perban di bahuku. Matanya menjelajahi tiap sudut tato simbol Abnegation dan ia tersenyum.

“Aku punya yang seperti ini,” ujarnya sambil tertawa. “Dipunggungku.”

“Benarkah? Boleh kulihat?”

Ia menempelkan kembali perban di atas tato itu dan menarik kausku kembali menutupi bahu.

Dengan satu gerakan cepat, Tobias melepas kausnya lewat kepala. Sebuah gambar api Dauntless yang berkobar terpampang di sisi kanan dadanya.

Punggungnya ada lebih banyak tato daripada kulit. Simbol setiap perkumpulan terlukis di sana—Dauntless ada di puncak tulang punggungnya, Abnegation tepat di bawahnya, dan ketika perkumpulan lainnya, di gambar lebih kecil di bawahnya. Beberapa detik aku menatap gambar timbangan yang mewakili Candor, mata yang menggambarkan Erudite, dan pohon yang melambangkan Amity. Kalau Tobias menato dirinya dengan simbol Dauntless sebagai tempat pelariannya dan bahkan simbol Abnegation sebagai tempat asalnya, memang masuk akal, seperti yang kulakukan. Tapi, tiga perkumpulan lainnya?

“Kupikir kita sudah membuat kesalahan,” ujar Tobias menjelaskan. “Kita semua mulai merendahkan kebaikan nilai faksi lain dalam proses pemahaman nilai kebajikan faksi kita sendiri. Aku tidak mau seperti itu. Aku mau menjadi berani, dan tak memikirkan diri sendiri, dan pintar, dan baik, dan jujur.” Ia berdeham. “Aku masih terus berjuang menjadi baik.”

“Tidak ada orang yang sempurna,” bisikku. “Bukan seperti itu caranya. Saat satu hal buruk pergi, maka hal buruk lainnya akan datang.”

Aku telah menukarkan rasa pengecut dengan kekejaman. Aku menukarkan kelemahan untuk keberingasan.

Aku membelai tato simbol Abnegationnya dengan ujung jari. “Kau tahu, kita harus memperingatkan mereka. Secepatnya.”

“Aku tahu,” ujarnya. “Kita akan melakukannya.”

Ia mendekat. Aku ingin menyentuhnya, tapi aku takut.

“Ini membuatmu takut, Tris?”

“Tidak,” ujarku parau. Aku berdeham. “Tidak juga. Aku cuma ... taku dengan keinginanku.”

“Suatu hari nanti,” ujarnya, “kalau kau masih menyukaiku, kita bisa ....” Ia berhenti sebentar, berdeham. “Kita bisa ....”

Aku tersenyum kecil dan memeluknya sebelum ia selesai.

“Mungkin kau tidak akan ada lagi di Ruang Ketakutanku,” gumamku.

Ia menunduk dan perlahan menciumku.

“Lalu, semua orang bisa memanggilmu Six—enam,”

“Four dan Six,” kataku.


Kami berciuman lagi, dan kali ini, ciumannya terasa akrab. Aku tahu pasti bagaimana kami saling mengisi satu sama lain. Kami berdua sama-sama menyimpan kenangan ini.[]

No comments:

Post a Comment