Penulis: Veronica Roth
6
Aku terus menunduk dan berdiri di belakang para pemilih
Dauntless yang memutuskan untuk tetap berada di faksi mereka. Mereka jauh lebih
tinggi dariku, jadi bahkan ketika kudongakkan kepalaku, aku hanya bisa melihat
bahu-bahu mereka yang mengenakan pakaian hitam. Ketika gadis terakhir selesai
memilih—ia memilih Amity—sekarang waktunya pergi. Dauntless meninggalkan
ruangan terlebih dahulu. Aku berjalan melewati orang-orang berjubah abu-abu
yang tadinya berada dalam satu faksi denganku. Mataku menatap lurusk ke arah
kepala seseorang yang berjalan di depanku.
Tapi, aku harus melihat orangtuaku sekali lagi. Aku melirik
mereka dari balik bahuku di detik terkhir sebelum aku melewati mereka. Aku
mendadak menyesal melakukannya. Mata ayah menatapku tajam dengan penuh tuduhan.
Tadinya saat aku merasakan mataku panas, aku pikir ayah akan membuatku marah
dengan cara menghukumku atas apa yang telah kulakukan. Tapi tidak, hampir saja
aku menangis.
Di sebelahnya, ibuku tersenyum.
Orang-orang di belakangku terus mendorongku maju,
meninggalkan keluargaku, yang mungkin saja menjadi orang terakhir yang pergi.
Bahkan, mereka mungkin saja tetap berada di sana untuk membereskan kursi dan
membersihkan mangkuk. Aku memutar kepalaku mencari Caleb di kerumunan Erudite.
Ia bersalaman dengan anak yang berpindah faksi juga seperti dirinya. Tadinya
anak itu seorang Candor. Senyum ringan yang ia tampilkan adalah sebuah
pengkhianatan. Perutku melilit dan aku membalikkan badan. Jika ini begitu mudah
untuknya, mungkin seharusnya mudah pula bagiku.
Aku melirik ke arah anak laki-laki di sebelahku yang tadinya
seorang Erudite. Sekarang, ia terlihat sama pucat dan gugupnya seperi yang
kurasakan sekarang. Aku menghabiskan waktu untuk mencemaskan faksi mana yang
aku pilih dan tak pernah memikirkan apa yang terjadi padaku jika aku memilih
Dauntless. Siapa yang nanti menyambutku di markas pusat Dauntless?
Kerumunan Dauntless menuntun kami ke arah tangga, bukan
lift. Kupikir hanya Abnegation yang menggunakan tangga.
Lalu, semuanya mulai berlari. Aku dengar sorak-sorai,
teriakan, dan tawa di sekelilngku. Suara derap puluhan kaki yang bergerak
dengan irama berbeda. Bagi Dauntless, menggunakan tangga bukan menunjukkan
sikap tak mementingkan diri sendiri; itu adalah sifat penuh kebebasan.
Apa yang terjadi?” tanya anak laki-laki di sebelahku.
Aku menggeleng dan ikut berlari. Aku kehabisan napad saat
mencapai lantai satu dan para Dauntless pun bergegas menembus pintu keluar. Di
luar sana, udara begitu menggigit dan dingin. Langit berwarna jingga karena
senja. Cahayanya terserap oleh kaca hitam the Hub.
Para Dauntless menghambur keluar ke jalanan dan menutupi
laju sebuah bus. Aku berlari cepat untuk mengejar ketertinggalanku dari bagian
belakang kerumunan. Kebingunganku memudar saat aku berlari. Aku tak pernah lari
dalam waktu lama. Abnegation dengan tegas melarang orang-orangnya untuk
melakukan apap pun yang bersifat kesukaan. Kini, paru-paruku seperti terbakar.
Ototku terasa sakit. Namun, ada rasa senang yang membebaskan karena berlari
cepat. Aku mengikuti Dauntless lainnya menyusuri jalanan dan memutar di sudut
jalan. Tak lama aku mendengar suara yang tak asing. Peluit kereta api.
“Oh tidak,” gumam anak Erudite tadi. “Apa kita harus
melompat ke kereta itu?”
“Ya,” jawabku terengah-engah.
Untungnya aku menghabiskan banyak waktu melihat para
Dauntless tiba di sekolah. Kerumunan kami menyebar berjajar membentuk garis
panjang. Kereta melaju di atas rel baja melewati kami. Cahaya lampunya
menyilaukan mata. Suara peluitnya memekakkan telinga. Pintu setiap gerbongnya
terbuka, menunggu para Dauntless melompat masuk. Dan, mereka benar-benar
melakukannya. Satu kelompok demi satu kelompok. Sampai hanya kami, para pemilih
baru, yang tertinggal. Para pemilih asli Dauntless sudah terbiasa melakukannya.
Jadi dalam waktu sekejap, hanya para pemilih dari faksi berbeda yang tersisa.
Aku melangkah ke depan dengan beberapa anak lainnya dan
mulai berlari. Kami berlari mengikuti gerbong dan mulai berlari. Kami berlari
mengikuti gerbong beberapa langkah, lalu melompat ke dalamnya. Aku tidak
setinggi atau sekuat yang lain, jadi aku tak bisa cukup kuat mendorong diriku
masuk ke gerbong. Aku meraih pegangan di dekat pintu masuk. Bahuku membentur
gerbong dengan keras. Lenganku gemetar dan akhirnya seorang gadis Candor menarik
tanganku masuk ke dalam. Sambil terengah-engah, aku berterima kasih.
Terdengar teriakan dan aku menoleh ke belakang. Seorang anak
laki-laki Erudite berambut merah mengulurkan tangannya untuk mengejar kereta.
Lalu, seorang anak perempuan Erudite mengulurkan tangan untuk meraihnya. Ia
mengulurkan sejauh mungkin. Tapi, pemuda itu terlalu jauh. Ia tersungkur di
samping rel saat kami melaju menjauh. Ia hanya membenamkan kepala di tangannya.
Rasanya aku hampir muntah. Anak itu baru saja gagal dalam
inisiasi Dauntless. Sekarang, ia menjadi factionless. Itu bisa terjadi kapan
saja.
“Kau baik-baik saja?” tanya gadis Candor yang tadi
menolongku. Gadis itu tinggi, berkulit gelap dengan rambut pendek. Gadis yang
cantik.
Aku mengangguk.
“Aku Christina,” ujarnya sambil menjulurkan tangan.
Sudah lama aku tak bersalaman. Abnegation saling memberi
salam dengan menganggukan kepala. Itu tanda hormat. Aku menyalaminya. Sedikit
ragu, tapi kuayunkan tanganku dua kali. Semoga aku tidak menggenggamnya terlalu
kuat atau terlalu lemah.
“Beatrice,” kataku.
“Apa kau tahu kita mau ke mana?” ia harus berteriak menembus
deru angin yang bertiup makin kencang melalui pintu terbuka. Keretanya melaju
makin cepat. Aku duduk. Akan lebih mudah menjaga keseimbangan jika posisiku
lebih rendah. Gadis itu menatapku.
“Kereta yang cecpat menimbulkan angin yang besar,” kataku.
“Angin bisa membuatmu terlempar keluar. Duduk sini.”
Christina duduk di sampingku, sedikit lebih mundur sembari
bersandar di dinding.
“Kurasa kita menuju markas besar Dauntless,” kataku, “tapi,
aku tak tahu di mana.”
“Apa ada yang tahu?” ia menggeleng sambil tersenyum lebar.
“Sepertinya mereka muncul begitu saja dari lubang di dalam tanah atau
semacamnya.”
Lalu, angin mendadak menyeruak masuk ke dalam gerbong.
Beberapa anak pindahan faksi lain terhempas angin itu dan saling tersungkur
menimpa satu sama lain. Aku melihat Christina tertawa tanpa bisa mendengarnya.
Aku mencoba tersenyum.
Dari balik bahu kiriku, ada cahaya senja berwarna jingga
yang memantul di gedung-gedung kaca. Samar-samar, aku bisa melihat barisan
rumah-rumah bercat abu-abu yang dulunya rumahku.
Sekarang, giliran Caleb menyiapkan makan malam. Siapa yang
akan menggantikannya—ibu atau ayah? Dan, saat mereka membersihkan kamarnya, apa
yang akan mereka temukan? Bisa kubayangkan buku-buku berjejeran di antara
lemari dan dinding. Ada juga di bawah kasur. Rasa haus Erudite akan ilmu
pengetahuan telah mengisi seluruh tempat tersembunyi di kamar itu. Apa ia
selalu tahu kalau ia akan memilih Erudite? Dan jika benar, bagaimana bisa ku
sampai tidak tahu?
Caleb aktor Ulung. Hal itu membuatku sakit perut. Bahkan,
meski aku juga meninggalkan ayah ibu, setidaknya aku tidak berpura-pura.
Setidaknya mereka tahu aku bukan orang yang tanpa pamrih.
Aku menutup mata dan membayangkan ayah ibu duduk di meja
makan tanpa berkata apa-apa. Apakah ini sedikit petunjuk dari rasa tanpa pamrih
yang kumiliki sehingga tenggorokanku seperti tercekat saat memikirkan mereka?
Atau, ini sebentuk rasa mementingkan diri sendiri karena aku tahu aku takkan
menjadi anak perempuan kesayangan mereka lagi?
***
“Mereka melompat!”
Aku mendongak. Leherku terasa sakit. Selama setengah jam aku
meringkuk sambil bersandar di dinding; mendengar suara deru angin dan melihat
bayangan kota yang menjauh. Aku membungkuk ke depan. Kereta mulai melambat
beberapa menit terakhir dan aku tahu kalau anak yang tadi berteriak benar. Para
Dauntless di gerbong depat melompat keluar saat kereta melewati atap sebuah
bangunan. Jalurnya setinggi gedung tujuh lantai.
Melompat keluar dari kereta yang sedang bergerak ke arah
atap bangunan, melihat jarak di antara ujung atap dan sisi jalur kereta,
membuatku mau muntah. Aku memaksakan diri untuk berdiri dan tersandung ke arah
sebaliknya di mana semua pemilih pindahan berdiri.
“Jadi, kita juga harus melompat,” ujar seorang gadis Candor.
Ia memiliki hidung besar dan gigi bengkok.
“Bagus,” jawab seorang pemuda Candor, “karena itu sangat
masuk akal, Molly. Lompat dari kereta ke atas atap gedung.”
“Inilah yang telah kita pilih, Peter.” Gadis itu
menjelaskan.
“Yah, aku takkan melakukannya,” ujar seorang pemuda Amity di
belakangku. Kulitnya seperti warna buah zaitun dan mengenakan kaus cokelat—ia satu-satunya pindahan dari Amity.
Pipinya dipenuhi dengan air mata.
“Kau harus melakukannya,” ujar Christina, “atau kau gagal.
Ayo, semua akan baik-baik saja.”
“Tidak akan! Lebih baik aku menjadi factionless daripada mati!” Pemuda Amity itu menggeleng.
Kedengarannya ia panik. Ia terus saja menggeleng dan menatap atap gedung yang
makin mendekat.
Aku tak setuju dengannya. Aku lebih baik mati daripada hidup
hampa seperti kaum factionless.
“Kau tak bisa memaksanya,” ujarku melirik Christina. Mata
cokelatnya membesar dan ia merapatkan bibirnya begitu kuat sampai bibirnya
memucat. Ia mengulurkan tangan padaku.
“Yuk,” ujarnya. Aku bekernyit melihat tangannya. Hampir saja
aku bilang aku tidak butuh bantuan, tapi ia melanjutkan, “aku cuma, ... tak
bisa melakukannya, kecuali seseorang menyeretku.”
Aku meraih tangannya dan kami berdiri di pinggir pintu
gerbong. Begitu mencapai atap aku menghitung, “satu, ... dua, ... tiga!”
Di hitungan ketiga, kami melompat keluar dari gerbong. Momen
melayang sejenak. Lalu, kakiku membentur tanah keras dan tulang keringku terasa
sakit. Pendaratan yang keras membuatku tersungkur di atap gedung. Pipiku
menyentuh permukaan atap yang berbatu. Kulepaskan tangan Christina. Ia tertawa.
“Tadi itu menyenangkan,” ujarnya.
Christina akan cocok menjadi kaum Dauntless yang mencari
tantangan. Aku menepuk pipiku dari butiran batu. Semua pemilih baru, kecuali
anak Amity tadi, berhasil mencapai atap dengan berbagai tahap kesuksesan. Gadis
bergigi melengkung tadi, Molly, memegangi pergelangan kakinya sambil meringis.
Peter, anak Candor yang berambut mengilat, tersenyum bangga—pasti tadi ia
mendarat mantap dengan kedua kakinya.
Lalu, kudengar suara erangan. Aku membalikkan badan dan
mencari sumber suara. Seorang gadis Dauntless berdiri di pinggir atap dan
leihat ke bawa. Ia menjerit. Di belakangnya ada pemuda Dauntless yang memegangi
pinggangnya agar ia tidak jatuh.
“Rita,” ujarnya, “Rita, tenang, Rita—“
Aku berdiri dan melongok ke bawah sana. Ada sesosok tubuh
tergeletak di trotoar bawah. Seorang gadis dengan tangan dan kaki yang menekuk
ganjil. Rambutnya tergerai di sekitar kepalanya. Perutku mual dan aku menatap
jalur kereta. Tak semuanya berhasil. Dan, bahkan Dauntless pun tidak selamat.
Rita berlutut dan menangis. Aku berbalik menatapnya. Semakin
lama aku menatapnya, semakin aku ingin menangis, tapi aku tak boleh menangis di
depan orang-orang ini.
Aku berkata pada diriku, setegas mungkin, inilah cara hidup yang berlaku di sini.
Kita melakukan hal-hal berbahaya dan orang bisa mat. Saat ada yang mati, kami
tetap melanjutkan melakukan hal berbahaya. Semakin cepat aku memahami pelajaran
ini, kemungkinanku lebih besar untuk
bertahan melewati inisiasi.
Aku tak lagi yakin kalau aku akan bertahan melewati
inisiasi.
Aku berkata pada diriki sendiri aku akan menghitung sampai
tiga. Dan begitu hitunganku selesai, aku akan melanjutkan ini semua. Satu. Aku membayangkan tubuh gadis yang
tergeletak di pelataran. Rasa merinding merayapiku. Dua. Aku dengar isakan Rita dan gumaman semangat dari anak
laki-laki di belakangnya. Tiga.
Bibirku melengkung penuh tekad. Aku melangkah menjauh dari
Rita dan pinggiran atap.
Sikuku terasa sakit. Aku menarik lengan bajuku ke atas untuk
memerikasanya. Tanganku gemetar. Ada kulit yang tergores, tapi tidak berdarah.
“Oh, ini skandal!
Si Orang Kaku memamerkan kulitnya!”
Aku mendongak. “Orang kaku” adalah sebutan untuk Abnegation
dan akulah satu-satunya Abnegation di sini. Peter menunjukku sambil
menyeringai. Kudengar mereka menertawaiku. Pipiku langsung memerah dan aku
biarkan lengan bajuku turun.
“Dengar! Namaku Max! Aku salah satu pemimpin di faksi kalian
yang baru!” teriak seorang di sisi atap lainnya. Ia lebih tua dari yang lain.
Ada guratan di kulit gelapnya dan uban di pelipisnya. Ia berdiri di pinggir
atap seakan itu sebuah trotoar. Seakan tidak ada seseorang yang baru menemui
ajalnya di tempat itu.
“Beberapa lantai di bawah kita adalah pintu masuk anggota
faksi kita. Kalau kalian tak bisa mengumpulkan keberanian untuk melompat,
kalian tidak berhak berada di sini. Para pemilih baru mendapatkan hak untuk
melompat duluan.”
“Kau mau kita semua melompat dari sini?” tanya seorang gadis Erudite. Ia beberapa inci lebih tinggi
dariku dengan rambut cokelat tua dan bibir tebal. Mulutnya menganga.
Aku tak tahu kenapa itu mengejutkannya.
“Ya,” ujar Max. Ia kelihatan senang.
“Apa ada komlam atau semacamnya di bawah sana?”
“Siapa tahu?” Ia menaikkan alisnya.
Kerumunan Dauntless di depan para pemilih baru terbagi dua
dan memberikan jalan yang lebar untuk kami semua. Aku melihat sekeliling. Tak
ada yang kelihatannya mau melompati gedung ini—mata mereka menatap ke segala
arah, kecuali ke arah Max. Sebagian dari mereka mengelus luka kecil atau
menepuk kerikil dari pakaian mereka. Aku melirik ke arah Peter. Ia sedang
mencongkeli salah satu kukunya. Mencoba bersikap tak peduli.
Harga diriku tertantang. Mungkin ini nanti akan membuatku
terkena masalah, tapi sekarang ini membuatku berani. Aku berjalan ke pinggi
atap. Kudengar gelak tawa pecah di belakangku.
Max bergeser memberiku jalan. Aku berjalan ke tepi atap dan
melihat ke bawah. Angin melecut-lecut mengibas pakaianku. Gedung tempatku
bersiap meloncat berada di salah satu sisi segiempat dengan tiga gedung
lainnya. Di pusat segiempat ini ada lubang besar di tengah lapatnan beton. Aku
tak bisa melihat apa yang ada di dalamnya.
Ini adalah taktik yang mengerikan. Aku pasti akan mendarat
dengan aman di bawahnya. Keyakinan itu adalah satu-satunya hal yang membantuku
melangkah ke pinggir atap. Gigiku menggertak. Sekarang, aku tak bisa kembali.
Tidak ketika semua orang di belakangku bertaruh aku akan gagal. Tanganku meraba
kerah jubah dan aku menyentuh kancing yang mengaitkannya. Setelah beberapa kali
mencoba, aku melepaskan kaitan kerah dan melepas jubahku.
Di balik itu aku mengenakan kaus abu-abu. Kausnya lebih
ketat dari pakaian mana pun yang kupunya. Tak satu pun yang pernah melihatku
mengenakannya. Aku menggulung jubahku dan melirik ke arah Peter di belakangku.
Aku melemparkan gulungan itu sekeras yang kubisa. Rahangku mengatup keras.
Jubahku membentur tepat di dadanya. Peter menatapku. Terdengar ejekan dan
teriakan di belakangku.
Kulihat lubang itu sekali lagi. Bulu di lengan pucatku merinding
dan perutku mengejang. Jika tidak kulakukan sekarang, aku takkan bisa
melakukannya sama sekali. Aku menelan ludah susah payah.
Aku tidak berpikir. Aku hanya menekuk lututku dan melompat.
Udara bergemuruh di telingaku saat daratan di bawah sana terasa
makin dekat. Membesar dan melebar. Atau, sebenarnya akulah yang melayang
mendekati tanah. Jantungku berdebar terlalu keras sampai terasa sakit. Setiap
otot di tubuhku menegang saat sensasi jatuh ini seakan menarik perutku ke
bawah. Lubang itu langsung menelanku dan aku jatuh di kegelapan.
Aku membentur sesuatu yang keras. Rasanya seperti menelanku
dan mengayun tubuhku. Benturannya mengembuskan angin dan aku terkesiap berusaha
untuk menarik napas lagi. Lengan dan kakiku terasa sakit.
Jaring. Ada jaring di bagian bawah lubang. Aku mendongak ke
arah gedung itu dan tertawa. Setengah lega, setengah histeris. Tubuhku bergetar
dan aku menutup wajah dengan tangan. Aku baru saja melompat dari atap.
Aku harus berdiri di tanah padat lagi. Aku melihat beberapa
tangan terulur ke arahku di pinggir jaring. Jadi, kutarik tangan pertama yang
bisa kuraih dan langsung mendorong diriku sendiri ke depan. Aku berguling dan
pasti aku sudah tersungkur dengan wajah membentur lantai kayu jika pria itu tak
menangkapku.
“Pria itu” adalah seorang pemuda pemilik tangan yang tadi
kuraih. Ia memiliki bibir atas yang tipis dan bibir bawah yang penuh. Sepasang
mata sayu dan bulu mata yang sangat lentik. Matanya berwarna biru, warna yang
mewakili mimpi, tidur, dan penantian.
Tangannya menggenggam lenganku, tapi ia melepaskanku tak
lama setelah aku bisa berdiri tegak lagi.
“Terima kasih,” kataku.
Kami berdiri di sebuah platform setinggi tiga meter di bawah
tanah. Di sekeliling kami adalah gua terbuka.
“Tak bisa dipercaya,” sebuah suara terdengar dari balik pria
itu. Asalnya dari seorang gadis berambut gelap dengan dindikan tiga cincin di
alisnya. Ia menyeringai padaku. “Si Kaku ini, yang pertama kali melompat? Belum
pernah mendengar yang seperti ini.”
“Ada alasannya kenapa ia meninggalkan kaumnya, Lauren,” ujar
pemuda tadi. Suaranya berat dan bergemuruh. “Siapa namamu?”
“Um ...” aku tak tahu kenapa aku ragu. Namun, “Beatrice”
sepertinya tidak lagi cocok.
“Pikirkan,” ujarnya. Ada senyum kecil tersungging di
bibirnya. “Nanti kau tak bisa menggantinya lagi.”
Tempat baru, nama baru. Aku bisa lahir kembali di sini.
“Tris,” jawabku mantap.
“Tris,” ulang Lauren, menyeringai. “Umumkan, Four.”
Pemuda yang tadi menangkapku—Four—berteriak, “Pelompat
pertama—Tris!”
Kerumunan mulai terlihar jelas di antara kegelapan saat
mataku mulai menyelesaikan dengan keremangan. Mereka bersorak dan mengacungkan
tinju ke atas. Lalu, orang selanjutnya jatuh ke dalam jaring. Jeritannya
menggema. Christina. Semua tertawa, tapi mereka tertawa ceria.
Four menepuk punggungku dan berkata, “Selamat datang di
Dauntless.”[]
No comments:
Post a Comment