Penulis: Veronica Roth
8
Hal pertama yang hari ini akan kalian pelajari adalah cara
menembakkan senjata. Yang kedua adalah bagaimana memenangkan perkelahian.” Four
menjejalkan senjata ke telapak tanganku tanpa melihat dan terus berjalan.
“Bagusnya, jika kalian ada di sini, kalian sudah tahu bagaimana cara naik dan
turun dari kereta yang berjalan, jadi aku tak perlu mengajari kalian hal itu.”
Seharusnya aku tidak kaget bahwa Dauntless langsung
mengharapkan kami mengejar ketertinggalan dan menyesuaikan diri. Tapi, aku
berharap seandainya bisa tidur lebih dari enam jam agar bisa mengejar
ketertinggalan. Tubuhku masih berat digelayuti
kantuk.
“Inisiasi dibagi tiga tahap. Kami akan mengujur kemajuan
kalian dan me-ranking kalian
berdasarkan performa kalian di tiap tahap. Setiap tahap tidak dianggap sama
rata untuk menentukan ranking final
kalian, jadi mungkin saja, walau sulit, untuk meningkatkan peringkat kalian
secara drastis di tiap tahap berbeda.”
Ali melihat senjata di tanganku. Seumur hidupku, tak pernah
kubayangkan memegang senjata, apalagi menembakkannya. Sepertinya berbahaya
bagiku, seakan-akan hanya dengan menyentuhnya, aku bisa melukai seseorang.
“Kami percaya persiapan akan mengurangi rasa pengecut, yang
kami anggap sebagai kegagalan untuk bertindak di tengah rasa takut,” ujar Four.
“Oleh karena itu, tiap tahap inisiasi ditujukan untuk mempersiapkan kalian
dengan cara yang berbeda. Tahap pertama diutamakan untuk fisik; tahap kedua
diutamakan untuk emosi; ketiga untuk mental.”
“Tapi, apa ...” Peter menguap di tengah kata-katanya. “Apa
hubungannya menembakkan senjata dengan ... keberanian?”
Four memutar senjata di tangannya, mengarahkan moncongnya ke
dahi Peter, dan menarik pelatuknya. Peter membeku.
“Bangun,” bentak Four. “Kau sedang memegang senjata berisi
peluru, bodoh. Bersikaplah seperti itu.”
Ia menurunkan senjata. Begitu senjata itu tak lagi
mengancamnya, mata hijau Peter menajam. Aku terkejut Peter bisa menahan diri
untuk tidak menjawab, setelah sebelumnya terbiasa meneriakkan pikirannya saat
berada di Candor, tapi ia menahan diri. Pipinya memerah.
“Menjawab pertanyaanmu ... kemungkinan kau ngompol di celana
dan menangis memanggil ibuku semakin mengenil jika kau punya persiapan membela
diri.” Four berhenti berjalan du ujung barisan, lalu membalikkan tubuh. “Ini
juga informasi yang mungkin kau butuhkan nanti di tahap pertama. Jadi,
perhatikan!”
Ia menghadap tembok yang dipasangi target—sebuah tripleks
persegi dengan tiga lingkaran merah. Masing-masing anak mendapatkan satu papan
target. Ia berdiri dengan kaki terbuka lebar, memegang senjatanya, dan
menembak. Suaranya begitu kencang sampai telingaku terasa sakit. Aku
menjulurkan leher untuk melihat targetnya. Pelurunya menembus lingkaran tengah.
Aku menatap targetku sendiri. Keluargaku takkan pernah
setuju aku menembakkan senjata. Mereka akan berkata senjata digunakan untuk
bela diri, kalau tidak bisa dibilang untuk kekerasan, dan itulah kenapa senjata
termasuk pemuasan diri sendiri.
Aku berusaha mengusir bayangan keluargaku, lalu mengambil
posisi kaki terbuka selebar bahu. Dengan lembut, kugenggam gagang senjata
dengan kedua tangan. Memang berat dan sulit mengangkatnya, tapi aku mau
senjatanya sejauh mungkin dari wajahku. Aku menarik pelatuknya, awalnya sedikit
ragu, tapi kutarik lebih kuat. Terdengar bunyi mendenting melesat dari
senjataku. Suaranya memekakkan telinga dan hempasannya mendorong tanganku ke
belakang ke arah hidung. Aku terjungkal dan tanganku berpegangan di dinding
belakangku untuk keseimbangan. Aku tak tahu ke mana arah peluruku, tapi aku
tahu itu bukan di dekat target.
Aku menembak lagi dan lagi, dan tak satu peluru pun yang
mendekat target.
“Menurut statistik,” ujar bocah Erudite di sampingku—namanya
Will—dengan senyum lebar, “kau seharusnya sudah mengenai target setidaknya
sekali sekarang, bahkan karena tak sengaja sekali pun.” Tambutnya kusut pirang
dan ada lipatan di antara kedua alisnya.
“Begitu ya,” kataku tanpa mengubah posisi.
“Yeah,” ujarnya. “Kurasa kau ini pengecualian.”
Aku menggertakkan gigi dan berbalik menatap target. Aku memutuskan
untuk setidaknya berdiri tegak. Jika aku tak bisa menguasai tugas pertama yang
mereka berikan, bagaimana aku akan bisa melewati tahap pertama?
Aku menarik pelatuk kuat, dan kali ini aku siap dengan
hempasannya. Hempasannya membuat tanganku terpental ke belakang, tapi kedua
kakiku tatap di tempat. Lubang peluru terlihat di pinggir target. Aku menaikkan
alis ke arah Will.
“Jadi kau lihat kan, aku benar. Statistik tak pernah boong,”
ujarnya.
Aku tersenyum kecil.
Butuh lima kali tembakan untuk menembus target bagian
tengah. Dan saat aku berhasil, ada energi menggelora di dalam tubuhku. Aku
lebih awas, mataku terbuka lebar, tanganku menghangat. Aku menurunkan senjata.
Ada kekuatan di dalam kemampuan mengendalikan sesuatu yang bisa
menghancurkan—dalam mengendalikan sesuatu, titik.
Mungkin aku cocok di sini.
Saat istirahat makan siang, lenganku berdenyut-denyut karena
terlalu lama memegang senjata dan jemariku sulit diluruskan kembali. Aku
memijatnya sambil berjalan ke ruang makan. Christina mengajak Al duduk bersama
kami. Tiap kali aku melihatnya, aku seperti mendengan tangisan lagi. Jadi, aku
berusaha untuk tidak menatapnya.
Aku mengaduk-aduk kacang dengan garpu. Pikiranku kembali
melayang ke saat tes kecakapan. Saat Tori memperingatkanku kalau menjadi
Divergent itu berbahaya. Rasanya cap itu terpasang di wajahku, jadi jika aku
menyimpang terlalu jauh, seseorang akan melihatnya. Sejauh ini tidak ada
masalah, tapi tak juga membuatku merasa aman. Tapi, bagaimana jika aku lengah
dan sesuatu yang buruk terjadi?
“Oh, ayolah. Kau tak ingat aku?” tanya Christina pada Al
sambil membuat roti lapis. “Kita di kelas Matematika yang sama beberapa hari lalu. Dan, aku bukan orang pendiam.”
“Aku sering tidur di kelas Matematika,” jawab Al. “Kelasnya
jam pertama!”
Bagaimana kalau bahaya itu datangnya tidak dalam waktu
dekat—bagaimana jika datangnya bertahun-tahun lagi dan aku tak menyadarinya?
“Tris,” ujar Christina. Ia menjentikkan jari di depan
wajahku. “Kau dengan?”
“Apa? Ada apa?”
“Aku tanya apa kau ingat pernah sekelas denganku,” ujarnya.
“Maksudku, jangan tersinggung, tapi mungkin aku takkan ingat kalau memang benar
begitu. Semua Abnegation kelihatan sama di mataku. Maksudku, mereka memang
masih seperti itu, tapi kan sekarang kau bukan bagian dari mereka lagi.”
Aku menatapnya. Seakan aku butuh diingatkan lagi bahwa aku
berasal dari Abnegation.
“Maaf, apa aku kasar?” tanyanya. “Aku terbiasa mengucapkan
apa pun yang ada di pikiranku. Ibuku pernah bilang sopan santun adalah
kepalsuan yang dikemas dengan cantik.”
“Kurasa itulah kenapa faksi kami jarang berhubungan dengan
yang lain,” ujarku tertawa pendek. Candor dan Abnegation tidak saling membenci
seperti hubungan Erudite dan Abnegation. Tapi, lebih pada saling menghindari.
Musuh Candor sebenarnya adalah Amity. Mereka bilang, kaum yang selalu mencari
kedamaian di atas segalanya akan selalu berbohong untuk menjaga suasana tetap
tenang.
“Apa aku boleh duduk di sini?” tanya Will sambil mengetuk
meja dengan jarinya.
“Apa? Kau tak mau bergabung dengan teman-teman Eruditemu?”
tanya Christina.
“Mereka bukan temanku,” ujar Will sambil meletakkan
piringnya. “Kalau kami berasal dari faksi yang sama, bukan berarti kami akur.
Ditambah lagi, Edward dan Myra itu pacaran dan aku lebih baik tidak menjadi
orang ketiga.”
Edward dan Myra, dua pindahan dari Erudite lainnya, duduk
dua meja dari kami. Mereka duduk begitu dekat sampai siku mereka bertabrakan
saat mengiris makanan. Myra berhenti untuk mencium Edward. Aku menatap mereka.
Aku hanya pernah beberapa kali melihat orang berciuman seumur hidupku.
Edward memalingkan wajahnya dan mencium bibir Myra. Aku
menghela napas dan mengalihkan pandangan. Sebagian dari diriku menunggu mereka
ditegur. Sebagian lagi bertanya-tanya, dengan sedikit putus asa, bagaimana
rasanya jika ada yang menciumku?”
“Kenapa mereka begitu terbuka?”
tanyaku.
“Myra cuma menciumnya.” Al mengernyit ke arahku. Saat ia
melakukannya, alis tebalnya menyentuh bulu mata.
“Ciuman tidak seharusnya dilakukan di depan umum.”
Al, Will, dan Christina, semuanya melemparkan senyuman penuh
arti padaku.
“Apa?” kataku.
“Sifat Abnegationmu muncul,” ujar Christina. “Kita semua
tidak masalah menunjukkan sedikit kasih sayang di depan umum.”
“Oh.” Aku mengangkat bahu. “Ya, ... kurasa aku harus
membiasakan diri.”
“Atau kau bisa tetap dingin,” ujar Will. Mata hijaunya
mengerling nakal. “Kau tahu. Jika kau mau.”
Christina melemparkan makanan ke arahnya. Will menangkapnya
dan memakannya.
“Jangan jahat padanya,” ujarnya. “Sikap dingin itu sudah
kodratnya. Seperti sikap sok tahumu.”
“Aku tidak dingin!”
teriakku.
“Jangan khawatir,” ujar Will. “Itu menarik kok. Lihat,
wajahmu memerah.”
Komentar itu hanya membuat wajahku makin merah padam.
Semuanya tertawa. Aku terpaksa ikut tertawa, dan setelah beberapa detik, tawaku
terdengar apa adanya.
Senang rasanya bisa tertawa lagi.
Setelah makan siang, Four membawa kami ke sebuah ruangan
baru. Ruangannya besar dangan lantai kayu yang retak dan berderak, serta ada
lingkaran besar tergambar di tengahnya. Di dinding sebelah kiri ada papan
hijau—papan tulis. Guru pendidikan dasarku pernah mengajar menggunakan itu,
tapi aku tak pernah melihatnya lagi. Mungkin ini ada hubungannya dengan
prioritas Dauntless: latihan dulu, baru mengembangakn teknologi.
Nama kami ditulis di papan itu berdasarkan urutan abjad. Di
sisi lain ruangan, ada sansak tinju berwarna hitam pudar tergantung sertiap
interval satu meter.
Kami berbaris di belakang sansak itu dan Four berdiri di
tengah, agar kami semua bisa melihatnya.
“Seperti yang sudah kubilang tadi pagi,” ujar Four,
“selanjutnya kalian akan belajar bagaimana caranya bertarung. Tujuannya untuk
mempersiapkanmu beraksi; mempersiapkan tubuhmu bereaksi pada ancaman dan
tantangan—yang akan kau butuhkan jika kau berniat bertahan hidup sebagai
seorang Dauntless.”
Aku bahkan tak bisa membayangkan hidup sebagai seorang
Dauntless. Yang cuma kupikirkan adalah melewati inisiasi ini.
“Kita akan mempelajari tekniknya hari ini dan besok kalian
akan mulai bertarung,” ujar Four. “Jadi, kusarankan kalian memperhatikan. Yang
tidak cepat belajar akan cepat terluka.”
Four menyebutkan beberapa macam tinju yang berbeda,
menunjukkan masing-masing tinju itu. Masing-masing jenis dengan dua kali tinju.
Satu ke udara, lalu satu ke arah sansak.
Pemahamanku kian bagus saat berlatih. Seperti senjata tadi,
aku butuh beberapa kali usaha untuk mengetahui bagaimana menopang tubuhku dan
bagaimana mengatur tubuhku seperti yang tadi ia tunjukkan. Tendangan lebih
sulit walau ia hanya mengajari kami dasarnya. Sansak membuat tangan dan kakiku
sakit, dan kulitku kemerahan. Sansaknya hampir tak bergerak sekeras apap pun
aku menghantamnya. Yang ada di sekelilingku hanyalah suara debam kulit
menghantam kain.
Four berkeliling di antara para peserta inisiasi dan melihat
kami berlatih. Lalu, ia berhenti di depanku. Rasanya seperti ada yang
mengaduk-aduk perutku dengan garpi. Ia menatapku. Matanya melihatku dari ujung
rambut sampai ujung kaki tanpa berhenti di satu titik—sebuah tatapan singkat
dan ilmiah.
“Kau tak punya banyak otot,” ujarnya, “artinya, lebih baik
kau gunakan lutut dan siku. Kau bisa menambahkan kekuatan di titik itu.”
Tiba-tiba ia menyentuh perutku. Tangannya begitu panjang
sampai ujung jarinya bisa menyentuh satu sisi rusukku, walau pergelangan
tangannya berada di satu sisi rusuk lainnya. Hatiku berdebar kencang sampai
dadaku terasa sakit. Aku membelalakkan mata ke arahnya.
“Jangan lupa mengencangkan tekanan di sini,” ujarnya dengan
kalem.
Four mengangkat tangannya dan terus melangkah. Aku masih
bisa merasakan tekanan telapak tangannya, bahkan setelah ia pergi. Aneh, tapi
aku harus berhenti sejenak dan menarik napas selama beberapa detik sebelum aku
mulai berlatih lagi.
Saat Four mengakhiri kelas untuk makan malam, Christina
menyikutku.
“Aku kaget tadi ia tak mematahkanmu jadi dua,” ujarnya. Ia
mengerutkan hidung. “Ia benar-benar membuatku takut. Suara kalemnya itu lho.”
“Yeah. Ia ...” aku melirik ke belakang. Four memang pendiam
dan bisa menguasai diri. Tapi, aku tak takut ia akan menyakitiku. “...
benar-benar membuatku terindimidati,” akhirnya aku berbicara.
Al, yang ada di depan kami, membalikkan badan saat kami
mencapai The Pit dan berkata, “Aku mau tato.”
Dari belakang kami, Will bertanya, “Tato apa?”
“Aku tidak tahu.” Al tertawa. “Aku cuma ingin merasa kalau
aku sebenarnya sudah meninggalkan faksiku yang lama. Berhenti menangisinya.”
Saat kami tak menjawab, ia menambahkan, “Aku tahu kalian mendengarku menangis.”
“Yeah, cobalah untuk tenang, bisa kan?” Christina mencolek
lengan kekar Al. “Kupikir kau benar. Sekarang kita setengah keluar, setengah
masuk. Kalau kita benar-benar ingin masuk, kita harus kelihatan seperti itu.
Ia menatapku.
“Tidak. Aku tidak akan memotong rambutku,” kataku, “atau
mengecatnya dengan warna yang aneh. Atau menindik wajahku.”
“Bagaimana dengan pusarmu?” ujarnya.
“Atau putingmu?” dengus Will.
Aku mengerang.
Karena sekarang latihan hari ini sudah selesai, kami bisa
melakukan apa pun sampai waktunya tidur. Hal itu hampir membuatku pusing
walaupun mungkin karena kelelahan.
The Pit sesak oleh banyak orang. Christina bilang kalau ia
dan aku akan menemui Al dan Will di salon tato. Lalu, ia menyeretku ke bagian
pakaian. Kami menempuh jalan setapak, naik lebih tinggi dari lantai The Pit.
Beberapa kerikil berguguran terinjak sepatu kami.
“Apa yang salah dengan pakaianku?” tanyaku. “Aku tak lagi
memakai warna abu-abu.”
“Pakaianmu jelek dan kebesaran.” Ia menghela napas. “Biarkan
aku membantumu oke? Kalau kau tak suka pakaian yang kupilihkan, kau tak perlu
lagi memakainya selamannya. Aku janji.”
Sepuluh menit kemudian, aku berdiri di depan kaca fi gudang
baju sambil mengenakan gaun terusan selutut berwarna hitam. Roknya tidak
mengembang, tapi tak pula melekat di pahaku—tak seperti yang pertama ia
pilihkan dan aku tolak mentah-mentah. Lenganku yang terbuka merinding.
Christina melepas tali rambutku dan aku mengibaskan kepangannya sehingga
rambutku menggantung di bahuku.
Lalu, ia memegang pensil hitam.
“Eyeliner,” ujarnya.
“Kau tak bisa membuatku kelihatan cantik. Kau tahu itu,
kan?” Kataku sembari memejamkan mata dan diam. Ia menorehkan ujung pensil di
garis bulu mataku. Aku membayangkan berdiri di depan keluargaku dengan pakaian
seperti ni. Perutku langsung terpelintir.
“Siapa yang peduli tentang cantik? Niatku untuk menarik
perhatian.”
Aku membuka mata dan pertama kalinya menatap bayanganku di
cermin. Jantungku langsung berdebar kencang seperti baru saja melanggar
peraturan dan akan dihukum karenanya. Akan sulit menghilangkan kebiasaan pola
pikir Abnegation yang masih kumiliki. Seperti menarik sehelai benang dari
sebuah karna sulaman yang rumit. Tapi, aku akan menemukan kebiasaan baru, cara
berpikir baru, dan peraturan baru. Aku akan menjadi sesuatu yang berbeda.
Sebelumnya mataku berwarna biru, tapi biru kelabu yang
pucat. Eyeliner membuat warna mataku
makin menonjol. Dengan rambut yang terurai membingkai wajahku, sosoku kelihatan
lebih lembut dan berisi. Aku tidak cantik—mataku terlalu besar dan hidungku
terlalu panjang—tapi aku tahu Christina benar. Wajahku menarik perhatian.
Melihat diriku yang sekarang tak seperti melihat diriku
untuk pertama kalinya. Ini seperti melihat orang lain untuk pertama kalinya.
Beatrice adalah sosok gadis yang kulihat diam-diam mencuri pandang di kaca,
yang pendiam di meja makan. Yang ini seseorang yang matanya berkata inilah aku dan jangan lepaskan aku;
inilah Tris.
“Lihat kan?” ujarnya. “Kau ... keren.”
Itulah pujian terbaik yang bisa ia berikan padaku. Aku
tersenyum padanya dari cermin.
“Kau suka?” tanyanya.
“Yeah,” aku mengangguk. “Aku seperti ... orang yang
berbeda.”
Ia tertawa. “Itu bagus atau jelek?”
Aku menatap bayanganku lagi. Untuk pertama kalinya keinginan
untuk meninggalkan identitas Abnegation tak membuatku gugup. Justru memberiku
harapan.
“Hal yang baik.” Aku menggeleng. “Maaf, aku hanya tak pernah
diizinkan untuk menatap bayanganku sendiri di cermin selama itu.”
“Masa?” Christina menggeleng. “Kuberi tahu kau, Abnegation
itu faksi yang aneh.”
“Ayo lihat Al ditato,” kataku. Walau kelihatannya aku telah
meninggalkan faksi lamaku, aku masih belum mau mengkritiknya.
Di rumah, ibu dan aku mengambil tumpukan pakaian yang hampir
serupa tiap enam bulan sekali. Mudah untuk mengatur pembagian sumber daya apa
pun saat semuanya mendapatkan hal yang sama. Tapi, semua lebih bervariasi di
markas Dauntless. Tiap Dauntless mendapatkan sejumlah poin tertentu untuk
dibelanjakan dan pakaian termasuk salah satu yang bisa dibelanjakan.
Christina dan aku bergegas menuruni jalur sempit menuju
tempat tato. Sesampainya di sana, Al sudah duduk di kursi, didampingi seorang
pria yang memiliki tatonya lebih banyak dari kulit aslinya. Pria itu menggambar
seekor laba-laba di lengan Al.
Will dan Christina membuka-buka buku contoh gambar dan
saling menyikut saat mereka menemukan gambar yang bagus. Saat mereka duduk
berdampingan, aku menyadari betapa berlawanannya mereka. Christina berkulit
gelap dan ramping, sementara Will berkulit pucat dan berisi. Tapi, mereka
memiliki senyum renyah yang sama.
Aku mengelilingi ruangan dan melihat hasil karya yang ada di
dinding. Di masa kini, pekerja seni banyak yang tinggal di Amity. Abnegation
memandang seni sebagai sesuatu yang tidak praktis dan waktu yang dihabiskan
untuk mengapresiasinya bisa digunakan untuk menolong orang lain. Jadi, walaupun
aku pernah melihat hasil karya seni di buku teks sekolah, aku tak pernah berada
di ruangan penuh dekorasi seperti ini. Dekorasinya membuat udara menjadi padat
dan hangat. Aku bisa saja tersesat di sini berjam-jam tanpa ada yang tahu. Aku
menyusuri gambar-gambar di dinding dengan ujung jari. Gambar elang di salah
satu dinding mengingatkanku pada tato Tori. Di bawahnya ada sketsa burung yang
sedang terbang.
“Itu burung gagak,” ujar suara di belakangku. “Cantik, kan?”
Aku berbalik dan mendapati Tori berdiri di sana. Rasanya
seperti kembali di ruang tes kecakapan dengan cermin mengelilingiku dan
kabel-kabel menancap di dahi. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya lagi.
“Halo.” Ia tersenyum. “Tidak kusangka akan bertemu denganmu
lagi. “Beatrice, kan?”
“Sebenarnya, Tris,” kataku. “Kau kerja di sini?”
“Ya. Aku cuti untuk membantu ujian itu. Sebagian besar
waktuku di sini.” Ia mengetuk dagunya dengan jari. “Aku kenal nama itu. Kau
pelompat pertama, kan?”
“Ya, aku pelompat pertama.”
“Bagus.”
“Trims.” Aku menyentuh sketsa burung itu. “Dengar—aku ingin
bicara padamu tentang ...” aku melirik ke arah Will dan Christina. Aku tak bisa
mengajak Tori berbicara di sudut sekarang. Mereka akan bertanya-tanya. “...
tentang sesuatu. Kapan-kapan.”
“Aku tak yakin itu bijaksana,” ujarnya kalem. “Aku membantumu
sebanyak yang kubisa dan sekarang kau harus melakukannya sendiri.”
Bibirku mengerut. Ia punya jawabannya. Aku tahu ia punya.
Jia ia tak mau memberikannya sekarang, aku akan mencari cara untuk membuatnya
mengatakannya suatu hari nanti.
“Mau tato?” ujarnya.
Sketsa burung itu menarik perhatianku. Aku tak pernah
berniat ditindik atau ditato saat aku datang kemari. Aku tahu jika aku
melakukannya, itu akan menjadi pemisah untukku dan keluarga yang takkan pernah
bisa kuhapus. Dan, jika hidupku berlanjut di tempat ini, itu akan menjadi
penghalang terakhir di antara kami.
Namun, aku paham sekarang apa yang Tori maksud tentang tato
yang mewakili kekuatan yang telah ia taklukkan—semacam pengingat dari mana ia
berasal, sebagaimana pengingat di mana tempatnya sekarang. Mungkin ada jalan
untuk menghormati hidupku di masa lalu sebagaimana aku menerima hidupku
sekarang.
“Ya,” kataku. “Tiga sketsa burung yang sedang ini.”
Aku menyentuh tulang selangkaku. Memberi tanda jalur arah
terbang mereka—menuju hatiku. Satu gambar untuk satu anggota keluarga yang
telah kutinggalkan.[]
No comments:
Post a Comment