Divergent (Divergent #1) (37)

Penulis: Veronica Roth

37


Erudite dan Dauntless memusatkan perhatiannya di sektor kota Abnegation. Selama kami berlari menjauhi sektor kota Abnegation, kami tidak akan menemukan banyak kesulitan.

Akhirnya, bukan aku yang memutuskan siapa yang ikut denganku. Caleb pasti ikut karena ia yang tahu sebagian besar rencana Erudite. Marcus bersikeras ikut karena kemampuan komputernya yang bagus, walau sebenarnya aku menolak. Dan, ayah bersikap seakan-akan posisinya sudah ditentukan sejak awal.

Selama beberapa detik, aku melihat yang lainnya berlari ke arah berlawanan—menuju tempat yang aman, menuju Amity—dan kemudian aku berbalik menuju kota, menuju medan perang. Kami berdiri di samping jalur kereta yang akan mengantarkan kami ke tempat berbahaya.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku pada Caleb.

Ia memeriksa jamnya. “Jam tiga lewat dua belas.”

“Seharusnya sudah sampai,” kataku.

“Apa keretanya akan berhenti?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Keretanya akan berjalan pelan saat melewati kota. Kita akan berlari beberapa meter di samping gerbongnya, lalu melompat ke dalam.”

Melompati kereta sekarang mudah bagiku, terasa biasa. Takkan mudah bagi mereka bertiga, tapi kami tak bisa berhenti sekarang. Aku melirik dari bahu kiriku dan melihat sorot lampu besar berwarna kuning keemasan yang menyeruak di antara bangunan abu-abu dan jalanan. Aku melompat-lompat kecil saat cahaya itu makin lama makin dekat, kemudian saat lokomotifnya melewatiku, aku mulai berlari. Saat aku melihat gerbong yang terbuka, aku mempercepat langkahku untuk menyamai kecepatannya dan meraih pegangan di sebelah kiri dan mengayunkan tubuhku ke dalam.

Caleb melompat dan mendarat keras dan berguling ke samping saat sampai di dalam. Lalu, ia membantu Marcus. Ayah mendarat tengkurap, lalu menarik kakinya masuk. Mereka menjauh dari pintu gerbong, tapi aku berdiri di pinggir dengan satu tangan memegang handel sambil melihat kota yang makin lama makin jauh.

Kalau aku Jeanine, aku akan mengirim sebagian besar prajurit Dauntless menjaga pintu masuk Dauntless di atas The Pit, di luar gedung kaca. Akan lebih pintar kalau aku lewat jalan belakang yang bisa dicapai setelah melompat dari gedung.

“Kurasa sekarang kau menyesal memilih Dauntless,” ujar Marcus.

Aku kaget ayah tidak menanyakan pertanyaan itu, malah asyik melihat ke arah kota, seperti yang kulakukan. Kereta melewati markas Erudite yang sekarang sudah gelap. Dari kejauhan memang kelihatan damai, dan di balik tembok-tembok itu, mungkin memang benar-benar damai. Berbeda jauh dari konflik dan masalah yang telah mereka ciptakan.

Aku menggeleng.

“Tidak bahkan setelah pemimpin faksimu memutuskan bergabung dalam rencana untuk menggulingkan pemerintahan?” Marcus merendahkan.

“Ada hal-hal yang perlu kupelajari.”

“Bagaimana caranya menjadi berani?” tanya ayah pelan.

“Bagaimana caranya tidak mementingkan diri sendiri,” kataku. “Sering kali keduanya tidak jauh berbeda.”

“Itukah kenapa kau menato simbol Abnegation di bahumu?” tanya Caleb. Aku hampir saja yakin kalau aku melihat senyum di mata ayah.

Aku tersenyum samar dan mengangguk. “Dan simbol Dauntless di sisi lainnya.”

***

Gedung kaca di atas The Pit memantulkan sinar matahari ke mata. Aku berdiri dan memegangi gagang pintu untuk menjaga keseimbangan. Kami sudah hampir sampai.

“Kalau aku bilang lompat,” kataku, “kalian melompat sejauh mungkin.”

“Lompat?” tanya Caleb. “Kita sekarang setinggi gedung tujuh lantai, Tris.”

“Lompat ke atap,” tambahku. Melihat wajahnya yang terkejut, aku berkata, “inilah kenapa mereka menyebutnya tes keberanian.”

Sebagian dari keberanian itu masalah perspektif saja. Pertama kali aku melakukannya, ini adalah salah satu hal tersulit yang pernah kulakukan. Sekarang, setiap melompat dari kereta yang meluncur itu bukan apa-apa karena aku sudah melakukan banyak hal yang jauh lebih sulit beberapa minggu terakhir ini. Belum lagi apa yang akan kulakukan di markas Dauntless nanti. Kalau aku bisa bertahan, tanpa ragu aku akan melakukan hal yang jauh lebih sulit dari itu, seperti hidup tanpa faksi, sesuatu yang dulu kupikir tak mungkin kulakukan.

“Ayah duluan,” kataku sambil mundur supaya ayah bisa berdiri di pinggir. Kalau ayah dan Marcus melompat duluan, aku bisa memperkirakan waktu supaya mereka melompati jarak terpendek. Kuharap aku dan Caleb bisa melompat cukup jauh karena kami lebih muda. Ini risiko yang harus kuambil.

Jalur kereta menukik dan saat kereta melintas di dekat pinggir atap, aku berteriak, “Lompat!”

Ayah menekuk lututnya dan mendorong dirinya ke depan. Aku tak menunggu untuk melihat apakah ayah bisa melakukannya. Aku mendorong Marcus ke depan dan berteriak, “Lompat!”

Ayah mendarat di atap, begitu dekat dengan pinggirannya, sampai membuatku tercekat. Ia terduduk di pinggiran berbatu. Aku mendorong Caleb ke depan. Ia berdiri di pinggir gerbong dan melompat tanpa kusuruh. Aku mengambil beberapa langkah ke belakang untuk tumpuan, berlari dan melompat keluar dari gerbong tepat saat kereta melaju meninggalkan atap.

Aku sekejap berada di udara, lalu kakiku mendarat di pelataran semen dan aku berguling ke samping menjauhi pinggiran atap. Lututku terasa sakit dan entakannya membuat tubuh dan bahuku berdenyut-denyut nyeri. Aku terduduk sambil berusaha menarik napas. Aku menatap ke pinggir atap. Caleb dan ayah berdiri di pinggir. Tangan mereka memegangi lengan Marcus. Ia tak berhasil mendarat, tapi belum jatuh ke jurang.

Ada sesuatu di dalam diriku, sebuah suara bernada jahat yang berteriak berulang-ulang: jatuh, jatuh, jatuh.

Tapi, Marcus tidak jatuh. Ayah dan Caleb menariknya. Aku berdiri sambil menepuk-nepuk kerikil di celanaku, memikirkan apa yang harus kami lakukan. Menyuruh orang lompat dari kereta memang luar biasa, tapi dari atap ke bawah?

Bagian yang berikutnya adalah alasan kenapa aku tanya apa kalian takut ketinggian,” kataku sambil berjalan ke pinggir atap. Kudengar suara seret kaki mereka menuju pinggir ata. Angin berembus kencang dari bawah atap di sisi gedung dan meniup kausku. Aku menunduk menatap lubah di tanah, sejauh tujuh lantai di bawahku. Aku pun memejamkan mata saat angin menerpa wajahku.

“Ada jaring di bawah sana,” kataku sambil melirik ke belakang. Mereka kelihatan bingung. Mereka belum tahu hal apa yang akan kuminta mereka lakukan.

“Jangan berpikir apa-apa,” kataku. “Lompat saja.”

Aku berbalik, kucondongkan tubuh ke belakang sambil mengatur keseimbangan. Aku jatuh  seperti sebongkah batu. Mataku tertutup. Salah satu lenganku terulur untuk merasakan angin. Aku melemaskan otot sebisa mungkin sebelum bahuku membentur jaring yang rasanya seperti menghantam lapisan semen. Aku menggertakkan gigi dan berguling ke samping sambil memegangi tiang penyangga. Kuayunkan kaki ke samping. Lututku mendarat terlebih dahulu, sakitnya membuat mataku berair.

Caleb terpekik saat jaring itu membelit dan meregang di bawah tubuhnya. Susah payah aku berdiri.

“Caleb!” bisikku. “Sebelah sini!”

Caleb merangkak ke sisi jaring sambil terengah-engah, lalu jatuh ke pelataran dengan keras. Ia memaksakan diri untuk berdiri sambil mengernyitkan mata. Ia menatapku. Mulutnya menganga.

“Berapa kali ... kau ... melakukan itu?” tanyanya sambil terengah-engah.

“Sekarang dua kali,” kataku.

Ia menggeleng takjub.

Saat ayah mendarat di atas jaring, Caleb membantunya turun. Begitu bisa berdiri di atas pelataran, ayah membungkuk dan muntah. Aku menuruni tangga, dan setibanya aku di bawah, kudengar Marcus mendarat di atas jaring sambil mengerang.

Gua ini kosong dan lorongnya membentang di tengah kegelapan.

Yang kutangkap dari kata-kata Jeanine adalah tidak ada prajurit di markas Dauntless, kecuali mereka yang ia kirim pulang lagi ke markas untuk menjaga komputer pengendali. Kalau bisa menemukan prajurit Dauntless, kami bisa menemukan komputernya. Aku melirik. Markus berdiri di pelataran, wajahnya pucat pasi, tapi keadaannya baik-baik saja.

“Jadi, ini markas Dauntless,” ujar Marcus.

“Ya,” kataku. “Lalu?”

“Dan, aku tidak pernah membayangkan akan melihatnya,” jawabnya. Tangannya meraba dinding. “Tidak perlu galak begitu, Beatrice.”

Aku tak pernah menyadari sebelumnya betapa dinginnya matanya.

“Kau punya rencana, Beatrice?” tanya ayah.

“Ya.” Dan itu memang benar. Aku punya rencana walau aku tidak yakin saat membuatnya.

Aku juga tidak yakin renca itu akan berhasil. Aku bisa mengandalkan beberapa hal: Tidak banyak prajurit Dauntless di markas, para Dauntless juga terkenal akan kesembronoannya, dan aku akan melakukan apa pun untuk menghentikan mereka.

Kami menyusuri lorong menuju The Pit yang diterangi lampu setiap tiga meter. Saat kami mendekati lampu yang pertama, terdengar suara tembakan dan langsung tiarap ke lantai. Seseorang pasti melihat kami. Aku merayap menuju bagian gelap yang tidak tersorot lampu. Percikan yang timbul dari tembakan itu dipantulkan pintu yang mengarah ke The Pit.

“Semua baik-baik saja?” tanyaku.

“Ya,” ujar ayah.

“Kalau begitu, kalian di sini saja.”

Aku berlari ke sisi ruangan. Lampu menyorot tajam dari dinding, jadi sudut yang tepat di bawahnya tertutup bayang-bayang. Aku cukup kecil untuk menyelinap di sisi ruangan dan mengejutkan penjaga yang menembaki kami sebelum ia punya kesempatan menyarangkan peluru di otakku. Mungkin.

Satu hal yang membuatku berterima kasih pada Dauntless adalah kesiapan mental yang bisa mengurangi rasa takutku.

“Siapa pun yang ada di sana,” teriak seseorang, “serahkan senjatamu dan angkat tangan!”

Aku memiringkan tubuh dan bersandar di dinding batu. Aku menyelinap cepat ke jalan di samping, selangkah demi selangkah. Aku menyipitkan mata agar bisa melihat di kegelapan. Tembakan lainnya memecah keheningan. Aku sampai di lampu sorot terakhir dan sejenak berdiri di balik bayang-bayangnya sambil membiarkan mataku menyesuaikan dengan cahaya.

Aku tak bisa menang kalau bertarung, tapi aku bisa bergerak cukup cepat. Aku tak perlu bertarung. Langkahku ringan. Aku mendekati penjaga di samping pintu. Setelah beberapa meter, aku baru sadar kalau aku kenal rambut gelap yang selalu terlihat mengilat itu, bahkan di tempat gelap seperti ini, juga hidung mancung yang menyempit ke pangkal.

Peter.

Kulitku merinding, dan terus menjalar sampai ke hati dan tepat ke dalam perutku.

Wajahnya tegang—ia tidak sedang berjalan sambil tidur. Ia menatap sekeliling. Matanya menjelajah ke tempat di atasku dan lebih jauh lagi. Dari gerakannya yang tanpa suara, ia takkan bernegosiasi dengan kami; ia akan langsung memunuh kami tanpa banyak bertanya.

Kubasahi bibirku, lalu berlari cepat di sisa jarak yang ada, lalu melayangkan tinju sekeras mungkin, tepat mengenai hidungnya, dan ia berteriak sambil menutupi muka dengan kedua tangan. Tubuhku menggeliat dipenuhi energi karena rasa gugup dan aku menendang selangkangannya saat ia menyipitkan mata melihatku. Peter jatuh berlutut dan senjatanya terjatuh. Aku meraihnya dan menodongkan senjata itu tepat di kepalanya.

“Bagaimana kau bisa sadar?” tanyaku.

Ia mendongak dan aku menarik pelatuknya sambil menatapnya dengan alis terangkat.

“Pemimpin Dauntless ... mereka mengevaluasi catatanku dan mengeluarkanku dari simulasi,” ujarnya.

“Karena mereka tahu kau pernah memiliki kecenderungan berdarah dingin dan takkan keberatan membunuh beberapa ratus orang dalam keadaan sadar,” kataku. “Masuk akal.”

“Aku tidak ... berdarah dingin!!”

“Aku tidak pernah tahu ada Candor yang pembohong.” Aku mengetukkan senjata ke kepalaya. “Di mana komputer yang mengontrol simulasi, Peter?”

“Kau takkan berani menembakku.”

“Orang-orang cenderung meremehkanku,” aku berkata pelan. “Mereka pikir, karena aku kecil, atau aku perempuan, atau aku si Kaku, aku tidak mungkin menjadi kejam. Tapi mereka salah.”

Aku menggeser senjataku tiga inci ke kiri dan menembak lengannya.

Jeritannya memenuhi lorong. Darah muncrat dari bekas tembakannya dan ia berteriak lagi sambil menempelkan dahi ke tanah. Aku menggeser senjataku lagi ke belakang kepalanya dan mengabaikan pedihnya rasa bersalah di dadaku.

“Sekarang karena kau sudah tahu kesalahanmu,” kataku, “aku akan memberimu kesempatan untuk menjelaskan yang perlu kutahu sebelum kutembak kau lagi di tempat yang lebih buruk.”

Satu hal lagi yang bisa kumanfaatkan: Peter bukan orang yang tanpa pamrih.

Ia menengok ke belakang dan menatapku dengan mata berkilat. Giginya menggigit bibir bawahnya dan napasnya gemetaran.

“Mereka dengar,” ia meludah. “Kalau kau tidak membunuhku, mereka yang akan melakukannya. Satu-satunya cara aku akan memberitahumu jika kau mengeluarkanku dari sini.”

“Apa?”

“Bawa aku ... ahh ... bersamamu,” ujarnya, menangis kesakitan.

“Kau ingin aku membawa-mu,” kataku, “orang yang pernah mencoba membunuhku, ... bersama-ku?”

“Ya,” ia mengerang. “Kalau kau ingin mencari apa yang kau ingin tahu.”

Kelihatannya seperti sebuah pilihan, tapi bukan. Setiap menit yang kuhabiskan untuk menatap Peter, memikirkan bagaimana ia menghantui mimpi-mimpi burukku, serta akibat dari perbuatan buruknya padaku, puluhan warga Abnegation akan mati di tangan prajurit Dauntless yang dikendalikan simulasi kejam.

“Baik,” ujarku dengan kata-kata yang hampir tercekat di tenggorokan. “Baik.”

Aku mendengar suara langkah di belakangku. Sambil terus memegang senjata itu kuat-kuat, aku melirik ke belakang. Ayah dan yang lainnya berjalan menuju kami.

Ayah merobek kaus lengan panjangnya. Di balik kaus itu, ayah mengenakan kaus pendek abu-abu. Ia membungkuk di samping Peter dan melingkarkan kain itu di lengan Peter, lalu mengikatnya kuat-kuat. Saat ia menempelkan kain itu di atas darah yang mengalir di lengan Peter, ayah mendongak padaku dan berkata, “Apa kau benar-benar perlu menembaknya?”

Aku tidak menjawab.

“Kadang-kadang, rasa sakit itu perlu untuk kebaikan yang lebih besar,” ujar Marcus tenang.

Di kepalaku, aku membayangkan Marcus berdiri di depan Tobias dengan memegang ikat pinggang dan suaranya menggema. Ini untuk kebaikanmu sendiri. Aku menatapnya beberapa detik. Apa Marcus benar-benar memercayai itu? Sepertinya itu sesuatu yang dikatakan seorang Dauntless.

“Ayo,” kataku. “Bangun, Peter.”

“Kau menyuruhnya jalan?” sergah Caleb. “Apa kau gila?”

“Apa aku menembak kakinya? Kataku. “Tidak, ia jalan. Kita ke mana, Peter?”

Caleb membantu Peter berdiri.

“Gedung kaca,” ujarnya mengernyit. “Lantai delapan.”

Ia mengajak kami melewati pintu.

Aku berjalan melewati sungai yang berdebur kencang dan sinar kebiruan di The Pit yang sekarang lebih kosong dari yang pernah kulihat. Aku mengamati dinding-dindingnya dan mencari tanda-tanda kehidupan, tapi aku tak melihat ada gerakan dan tidak ada yang berdiri di tengah kegelapan. Aku tetap memegang senjataku dan mulai menaiki jalan setapak yang mengarah ke langit-langit kaca. Kekosongan ini membuatku merinding. Mengingatkanku pada padang rumput yang tak berujung dalam mimpi burukku tentang gagak.

“Apa yang membuatmu berpikir kau memiliki hak untuk menembak seseorang?” ujar ayah saat mengikuti naik ke jalan setapak. Kami melewati tempat tato. Di mana Tori sekarang? Dan Christina?

“Sekarang, bukan waktunya berdebat masalah etika,” kataku.

“Sekarang waktu yang tepat,” tukas ayah, “karena nanti kau akan menemui kesempatan untuk menembak orang lagi, dan kalau kau tidak menyadari—”

“Menyadari apa?” kataku tanpa berbalik. “Kalau setiap detik yang kuhabiskan di sini berarti ada seorang Abnegation mati dan seorang Dauntless yang berubah menjadi pembunuh? Aku sadar itu. Sekarang giliran ayah.”

“Ada cara yang benar dalam melakukan sesuatu.”

“Apa yang membuat ayah begitu yakin kalau ayah tahu bagaimana caranya?” kataku.

“Kumohon jangan bertengkar,” tegur Caleb. “Kita punya hal yang lebih penting untuk dilakukan sekarang.”

Aku terus naik. Pipiku terasa panas. Beberapa bulan lalu, aku tidak akan berani membantah ayah. Beberapa jam lalu mungkin aku juga tidak berani. Tapi, sesuatu berubah saat mereka menembak ibu. Saat mereka merenggut Tobias.

Aku mendengar ayah menghela napas berat di balik suara debur ombak. Aku lupa ayah lebih tua dariku. Lupa kalau tubuhnya tak bisa lebih lama menahan berat badannya sendiri.

Sebelum aku menaiki tangga besi yang membawaku naik ke langit-langit kaca, aku menunggu di tengah kegelapan dan melihat cahaya matahari yang menyorot ke dalam dinding The Pit. Aku melihatnya sampai bayang-bayang di dinding yang disinari matahari itu bergerak dan menghitung sampai berapa lama sosok bayang-bayang lainnya muncul. Para pengawal berkeliling setiap satu setengah menit, lalu berdiri selama dua puluh detik, dan kemudian bergerak lagi.

“Ada orang bersenjata di atas sana. Kalau mereka melihatku, mereka akan membunuhku,” ujarku pada ayah dengan tenang. Aku menatap matanya. “Apa aku perlu membiarkan mereka melakukannya?”

Ayah menatapku beberapa detik.

“Pergilah,” ujar ayah, “dan semoga Tuhan membantumu.”

Aku menaiki tangga dengan hati-hati dan berhenti tepat sebelum kepalaku muncul. Aku menunggu sambil melihat bayangan selanjutnya bergerak. Saat salah satu bayang-bayang berhenti. Aku naik, membidikkan senjata, dan menembak.

Pelurunya tidak mengenai penjaga, tetapi menembus dan memecahkan jendela di belakangnya. Aku menembak lagi dan meunduk saat pelurunya mengenai lantai di sekelilingku. Untung saja langit-langit kaca itu antipeluru, kalau tidak kacanya pasti sudah retak dan aku pasti jatuh lalu mati.

Satu penjaga mati. Aku menarik napas dalam dan menempelkan tangan di langit-langit sambil melihat targetku melalui kaca. Aku menarik senjataku ke belakang dan menembak penjaga yang berlari ke arahku. Peluruku mengenai lengannya. Untungnya itu lengan yang dipakainya untuk menembak, karena ia lansung menjatuhkan senjatanya hingga senjata itu membentur di lantai.

Tubuhku gemetar. Aku membungkuk melalui lubang di langit-langit dan mengambil senjata yang jatuh tadi sebelum pria itu bisa mengambilnya. Sebuah peluru melesat di kepalaku, begitu dekat hampir mengenaiku sampai-sampai kurasakan di helai rambutku. Mataku melebar. Aku memutar lengan kananku dan memaksakan diri menahan sakit yang menjalari tubuhku dan menembak ke belakang tiga kali. Ajaibnya, salah satu pelurunya mengenai seorang penjaga dan air mataku mulai mengalir tak tertahankan karena rasa sakit di bahuku itu. Jahitanku robek. Aku yakin itu.

Seorang penjaga lainnya berdiri di depanku. Aku berbaring tengkurap dan mengacungkan kedua denjata itu ke arahnya. Lenganku menempel di lantai. Aku menatap lubang kecil hitam yang ternyata adalah moncong senjata.

Kemudian, ada sesuatu yang mengejutkan terjadi. Ia mengayunkan dagunya ke samping. Menyuruhku pergi.

Ia pasti seorang Divergent.

“Semua aman!” teriakku.

Penjaga tadi menyelinap memasuki Ruang Ketakutan dan menghilang.

Perlahan aku berdiri sambil menempelkan lengan kanan di dada. Aku membayangkan sesuatu. Aku akan berlari di sepanjang jalur ini dan aku tidak akan bisa berhenti, tidak akan bisa memikirkan apa-apa sampai aku menemukan ujungnya.

Aku memberikan sebuah senjata pada Caleb dan menyelipkan yang lainnya di balik ikat pinggang.

“Kurasa kau dan Marcus harus tetap berada di sini bersama-nya,” ujarku sambil memiringkan kepala ke arah Peter. “Ia hanya akan memperlambat kita. Pastikan tidak ada yang mengikuti kami.”

Kuharap ia tidak mengerti apa yang akan kulakukan—menyuruhnya di sini agar ia tetap aman, walau Caleb akan dengan senang hati mengorbankan nyawanya. Kalau aku ke atas, mungkin aku tidak akan bisa lagi ke bawah. Hal terbaik yang bisa kuharapkan adalah menghancurkan simulasinya sebelum seseorang membunuhku. Kapan aku memutuskan ikut dalam misi bunuh diri ini? kenapa waktu kuputuskan itu, tidak terasa sesulit ini?

“Aku tidak bisa tetap tinggal di sini sementara kau ke atas dan mengorbankan nyawamu,” ujar Caleb.

“Aku ingin kau tetap di sini,” kataku.

Peter meringkuk ke arah lututnya. Wajahnya mengilap oleh keringat. Sesaat aku hampir merasa tidak enak, tapi saat kuingat Edward, dan rasa gatal kain yang menutup mataku saat penyerangku mengikat mataku, rasa simpatiku menghilang karena kebencian. Akhirnya, Caleb mengangguk.

Aku mendekati salah satu penjaga yang sudah mati dan mengambil senjatanya. Sebisa mungkin aku tak menatap luka yang telah membunuhnya. Jantungku berdebar. Aku belum makan; aku belum tidur; aku belum menangis atau menjerit atau bahkan berhenti sebentar. Aku mengigit bibirku dan memaksakan diriku masuk ke lift di samping kanan ruangan. Lantai delapan.

Saat pintu lift tertutup, aku menyandarkan kepala ke dinding kaca.

Aku melirik ke ayah sekilas.

“Terima kasih. Telah melindungi Caleb,” kata ayah. “Beatrice, ayah—”

Lift tiba di lantai delapan dan pintunya terbuka. Dua penjaga berdiri sambil siap membawa senjata di tangan. Wajah mereka kosong. Mataku melebar dan aku merunduk tengkurap saat tembakan dilepaskan. Aku mendengar suara peluru mengenai kaca. Ia itu tersungkur di tanah. Seorang masih hidup sambil mengerang, yang satunya langsung mati. Ayah berdiri di atas mereka. Senjatanya masih terulur.

Aku tersandung. Penjaga berlari di lorong sebelah kiri. Kalau melihat dari keseragaman suara langkah kaki, mereka sedang dikendalikan oleh simulasi. Aku bisa berlari menyusuri lorong sebelah kanan, tapi kalau ia datang dari sebelah kiri, itu artinya di sanalah komputer itu berada. Aku merunduk di antara penjaga yang baru saja ditembak ayah dan berbaring tanpa banyak gerak.

Ayah melompat keluar dari lift dan berlari menyusuri lorong sebelah kanan. Ayah menarik perhatian para Dauntless agar mengejarnya. Aku langsung membekap mulutku sendiri agar tidak berteriak. Lorong itu buntu.

Aku mencoba merundukkan kepala sehingga aku tak perlu melihatnya, tapi tidak bisa. Aku mengintip dari balik mayat penjaga. Ayah menembak beberapa kali ke belakang ke arah para pengerjarnya, tapi ayah tak cukup cepat. Salah seorang dari mereka menembak perutnya dan ayah mengerang keras sampai aku hampir bisa merasakannya di dadaku.

Ayah memegangi perutnya. Bahu ayah membentur dinding, lalu ia menembak lagi. Dan algi. Penjaga ada di bawah pengaruh simulasi; mereka akan terus bergerak walau terkena peluru, terus bergerak sampai detak jantung mereka berhenti, tapi mereka tidak mendekat ke arah ayah. Darah mengalir membasahi tangannya dan wajah ayah mulai memucat. Ayah menembak lagi dan penjaga terakhir pun tumbang/

“Ayah,” kataku. Aku ingin berteriak, tapi yang terdengar hanya bisikan.

Ayah tersungkur di tanah. Mata kami saling bertatapan seakan kami tak berjarak.

Mulut ayah terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian dagunya jatuh menyentuh dada dan tubuhnya melemas tidak bergerak.

Mataku perih dan aku terlalu lemah untuk bangun. Aroma keringat dan darah membuatku muak. Aku ingin merebahkan kepala di tanah dan membiarkan semuanya ini berakhir. Aku ingin tidur dan tidak terbangun lagi.

Tapi, yang tdai kukatakan pada ayah benar—setiap detik yang kuhabiskan, ada seorang Abnegation yang mati. Hanya satu hal yang tersisa yang harus kulakukan di dunia ini, dan itu adalah menghancurkan simulasinya.

Aku memaksa diri bangun dan menyusuri lorong dan berbelok ke kanan. Hanya ada satu pintu di depan. Aku membukannya. Dinding di hadapanku dipenuhi oleh layar-layar, yang panjang dan lebarnya hampir satu meter. Ada puluhan layar. Masing-masing menunjukkan bagian kota yang berbeda. Pagar yang membatasi kota. The Hub. Jalanan di sektor kota Abnegation yang sekarang dipenuhi prajurit Dauntless. Lantai dasar gedung di bawah kami, tempat Caleb, marcus, dan Peter menungguku kembali. Gambaran dari semua yang pernah kulihat, semua yang pernah kuketahui/

Di salah satu layar ada sebaris kode, bukan gambar. Kodenya berjalan lebih cepat daripada kecepatanku membaca. Itulah simulasinya. Kode yang dikumpulkan dan bentuk daftar perintah rumit, mengantisipasi dan menghadapi ribuan hasil yang berbeda.

Di depan layar penuh kode itu ada sebuah meja dan kursi. Di kursi itu, duduklah seorang prajurit Dauntless.


“Tobias,” panggilku.[]



No comments:

Post a Comment