Divergent (Divergent #1) (15)

Penulis: Veronica Roth

15


Hari Kunjungan. Saat aku membuka mata, itulah yang kuingat. Hatiku melompat, lalu melesak jatuh saat aku melihat Molly berjalan terpincang-pincang melewati kamar. Di balik plester lukanya hidungnya memar keunguan. Setelah kulihat ia pergi, aku memeriksa Peter dan Drew. Mereka tak ada di kamar, jadi aku berganti pakaian dengan cepat. Selama mereka tak ada di sini, aku tak peduli siapa yang melihatku memakai pakaian dalam. Aku tak peduli lagi.

Yang lainnya berpakaian dalam diam. Bahkan, Christina tidak tersenyum. Kami semua tahu kalau kami mungkin saja pergi ke The Pit dan mencari tiap wajah dan tak akan menemukan raut muka yang kita kenal.

Aku merapikan tempat tidurku dengan rapi seperti yang pernah ayah ajarkan. Saat aku merapikan bantal dari helai rambut, Eric memasuki ruangan.

“Perhatian!” teriaknya sambil mengibaskan helai rambut hitam yang jatuh menutupi matanya. “Aku ingin menasihati kalian tentang hari ini. Jika ada keajaiban dan keluarga kalian datang berkunjung ....” Ia melihat wajah-wajah kami dan tersenyum. “... aku ragu itu akan terjadi, lebih baik untuk tidak kelihatan terlalu kehilangan. Akan lebih mudah bagimu dan lebih mudah bagi mereka. Kami juga menganggap kalimat ‘Faksi Lebih Penting dari Pertalian Darah’ sangat serius di sini. Terlalu dekat dengan keluargamu menunjukkan bahwa kau tidak sepenuhnya senang dengan faksimu yang baru, yang artinya memalukan. Mengerti?”

Aku mengerti. Aku mendengar ancaman di balik suara tegas Eric. Bagian dari kata-kata yang Eric maksud adalah kalimat terakhir: Kami adalah Dauntless dan kami harus bersikap seperti itu.

Saat aku keluar dari kamar, Eric mencegatku.

“Aku terlalu meremehkanmu, Kaku,” ujarnya. “Kau melakukannya dengan baik kemarin.”

Aku menatapnya. Untuk pertama kalinya setelah mengalahkan Molly, rasa bersalah mengaduk-aduk isi perutku.

Kalau Eric berpikir aku melakukan sesuatu yang benar, pasti aku telah melakukan sesuatu yang salah.

“Terima kasih,” kataku. Aku bergegas keluar dari kamar.

Begitu mataku menyesuaikan dengan redupnya cahaya lorong, aku melihat Christina dan Will di depanku. Will tertawa, mungkin menertawakan lelucon yang Christina buat. Aku tak mencoba mengejar mereka. Entah kenapa, aku merasa salah jika bergabung dengan mereka sekarang.

Al menghilang. Aku tak melihatnya di kamar dan ia tidak sedang menuju The Pit. Mungkin ia sudah ada di sana.

Aku menyisir rambutku dengan jari dan mengikatnya menjadi sebuah gelung kecil.  Aku memeriksa pakaianku—apakah aku sudah tertutup? Celanaku ketat dan tulang bahuku terlihat. Orangtuaku takkan setuju.

Siapa yang peduli jika mereka setuju? Aku mengencangkan rahangku. Ini adalah faksiku sekarang. Inilah pakaian yang dikenakan orang-orang di Faksi Dauntless. Aku berhenti tepat di ujung terowongan.

Kumpulan keluarga berdiri di lantar dasar The Pit. Sebagian besar keluarga Dauntless yang menemui para peserta inisiasi asli Dauntless. Bagiku mereka masih saja kelihatan aneh—seorang ibu yang alisnya ditindik, seorang ayah yang lengannya ditato, seorang anak yang berambut ungu, dan sebuah keluarga utuh berkumpul. Aku melihat Drew dan Molly berdiri sendiri di satu sudut ruangan, dan menahan senyum. Setidaknya keluarga mereka tidak datang.

Tapi, keluarga Peter datang. Ia berdiri di samping seorang pria tinggi dengan alis tebal dan seorang wanita pendek berambut merah yang kelihatannya penurut. Kedua orangtuanya tak mirip dengan Peter. Mereka mengenakan celana hitam dan kaus putih, pakaian khas Candor. Ayahnya berbicara begitu keras sampai-sampai aku bisa mendengarnya dari tempatku berdiri. Apa mereka tahu orang macam apa anaknya itu?

Dan lagi ... orang macam apa aku ini?

Di seberang ruangan, Will berdiri bersama wanita berpakaian biru. Kelihatannya wanita itu tak cukup tua untuk menjadi ibunya, tapi ia memiliki kerutan di antara alis seperti yang Will miliki. Rambut pirang mereka juga sama. Will pernah bilang kalau ia punya kakak perempuan. Mungkin itu kakaknya.

Di sebelahnya, Christina memeluk wanita berkulit gelap dalam pakaian hitam-putih khas Candor. Di belakang Christina, berdiri seorang gadis kecil Candor. Adik perempuannya.

Apakah aku perlu repot-repot mencari-cari orangtuaku di keramaian? Aku bisa berbalik dan kembali ke kamarku.

Lalu, aku melihatnya. Ibu berdiri sendirian di tengah jalan setapak dengan tangan menangkup ke depan. Ibu kelihatan mencolok dengan celana kelabunya dan jaket abu-abu yang dikancingkan setinggi tenggorokan. Rambutnya digelung sederhana dan wajahnya tenang. Aku mendekatinya. Air mataku mulai menggenang. Ibu datang. Ibu datang menjengukku.

Aku berjalan lebih cepat. Ibu melihatku. Sedetik ekspresinya kosong seakan tak mengenaliku. Lalu, matanya berseri dan ia merentangan tangannya. Wanginya seperti wangi sabun dan deterjen cuci.

“Beatrice,” bisiknya. Jemarinya menyisir rambutku.

Jangan menangis, ujarku dalam hati. Aku memeluknya sampai aku bisa menahan air mata agar tidak menetes. Aku melepaskan pelukan dan menatap ibu. Aku tersenyum dengan bibir mengatup, seperti cara ibu tersenyum.  Ibu membelai pipiku.

“Lihat dirimu,” ujar ibu. “Kau tambah gemuk.” Ibu mengalungkan lengan ke bahuku. “Ceritakan pada ibu bagaimana kabarmu.”

“Ibu dulu.” Kebiasaan lama kembali. Aku harus membiarkan ibu bicara lebih dahulu. Aku tak boleh membiarkan pembicaraan terpusat padaku terlalu lama. Aku harus memastikan kalau ibu tak memerlukan apa-apa.

“Hari ini acara spesial,” ujarnya. “Ibu datang untuk menjengukmu, jadi mari bicara tentangmu. Ini hadiah ibu untukmu.”

Ibuku yang tak memiliki rasa pamrih. Ibu tak seharusnya memberiku hadiah, tidak setelah aku meninggalkan ayah dan ibu. Aku berjalan dengannya ke tepian jurang. Aku senang sekali bisa dekat dengannya. Aku tersadar betapa sepuluh hari kemarin aku kehilangan kasih sayang. Di rumah kami jarang saling bersentuhan satu sama lain. Dan, paling banter orangtuaku berpegangan tangan di meja makan. Tapi, kasih sayang lebih dari itu, lebih dari sekadar berada di sini.

“Cuma satu pertanyaan.” Aku merasakan tenggorokanku berdenyut. “Di mana ayah? Apa ayah mengunjungi Caleb?”

“Ah.” Ibu menggeleng. “Ayahmu harus bekerja.”

Aku menunduk. “Ibu bilang saja kalau ayah tak mau datang.”

Mata ibu menatapku. “Belakangan ini ayahmu memang egois. Tapi, bukan berarti ayah tidak sayang lagi denganmu, Ibu yakin itu.”

Aku tercengang menatap ibu. Ayah—egois? Yang lebih mengejutkan adalah ibuku sendiri yang menyebut ayah seperti itu. Aku tak tahu apakah ibu marah. Aku tak berharap aku bisa menebak ekspresi ibu. Tapi, ibu pasti marah. Kalau sampai ibu menyebut ayah egois, ibu pasti sangat marah.

“Bagaimana dengan Caleb?” kataku. “Apa nanti ibu akan mengunjunginya?”

“Seandainya ibu bisa melakukannya,” ujarnya. “Tapi, kaum Erudite melarang pengunjung Abnegation memasuki markas mereka. Jika aku mencoba, aku akan diusir dari tempat itu.”

“Apa?” teriakku. “Ibu buruk. Kenapa mereka melakukan itu?”

“Ketegangan di antara faksi kami makin kuat daripada sebelumnya,” ujarnya. “Ibu tidak berharap seperti itu, tapi tidak banyak yang bisa ibu lakukan.”

Aku membayangkan Caleb berdiri di antara pemilih baru Erudite dan mencari-cari ibu di tengah keramaian. Tiba-tiba perutku terasa nyeri. Sebagian dari diriku masih marah karena ia menyimpan banyak rahasia dariku, tapi aku tak mau Caleb bersedih.

“Itu buruk,” ulangku sambil menatap tebing.

Four berdiri sendirian di jalan setapak. Walau ia bukan seorang anggota inisiasi baru, sebagian besar Dauntless menggunakan hari ini untuk berkumpul dengan keluarga. Entah itu keluarganya tak suka datang mengunjunginya atau ia bukan berasal dari Dauntless. Dulu ia berasal dari faksi apa?

“Itu salah satu instrukturku.” Aku mendekat ke arah ibu dan berkata. “Dia agak mengintimidasi.”

“Ia ganteng,” ujar ibu.

Aku mengangguk tanpa banyak berpikir. Ibu tertawa dan melepaskan rangkulannya dari bahuku. Aku ingin menjauhkan ibu dari Four, tapi tepat saat aku ingin mengusulkan pada ibu untuk pindah ke tempat lain, Four menoleh ke arah kami.

Mata Four melebar menatap ibuku. Ibu mengulurkan tangan.

“Hello, namaku Natalie,” ujarnya. “Aku ibunya Beatrice.”

Aku tak pernah melihat ibuku bersalaman dengan orang lain. Four menyambut tangan ibu, sedikit kelihatan kaku, dan mengayunkan dua kali. Gerakan mereka berdua kelihatan tidak alami. Bukan, Four bukan berasal dari Dauntless jika ia tidak bisa bersalaman dengan mudah.

“Four,” ujarnya. “Senang bertemu Anda.”

“Four,” ulang ibu sambil tersenyum. “Apa itu nama panggilan?”

“Ya.” Ia tak menjelaskan lebih lanjut. Siapa nama sebenarnya? “Putri Anda melakukan semuanya dengan baik di sini. Saya yang mengawasi pelatihannya.”

Sejak kapan kata “mengawasi” termasuk melempariku pisau dan mengejekku tiap kali ada kesempatan?

“Senang mendengarnya,” ujarnya. “Aku tahu beberapa hal tentang inisiasi Dauntless dan aku mengkhawatirkannya.”

Four melihatku. Matanya bergerak menyusuri wajahku, dari hidungku, ke mulut, lalu ke dagu. Kemudian ia berkata, “Anda tak perlu khawatir.”

Tiba-tiba aku merasa pipiku panas.

Apakah Four hanya mengatakannya karena ada ibuku atau ia benar-benar yakin kalau aku mampu? Lalu, apa maksud tatapan itu barusan?

Ibu sedikit memiringkan kepala. “Entah kenapa, kelihatannya kau tidak asing, Four.”

“Saya sama sekali tidak tahu kenapa,” jawabnya. Tiba-tiba suaranya menjadi dingin. “Saya tidak biasa dikaitkan dengan orang Abnegation.”

Ibu tertawa. Tawanya ringan dan menyenangkan. “Beberapa orang memang begitu belakangan ini. Tapi, aku tidak memasukkannya ke dalam hati.”

Four kelihatannya sedikit santai. “Yah, akan kutinggalkan kalian agar menikmati reuni kalian.”

Aku dan ibu memandang pergi. Debur ombak sungai menggema di telingaku. Mungkin Four salah seorang Erudite, itulah kenapa ia membenci Abnegation. Atau, mungkin ia percaya artikel-ertikel yang ditulis oleh orang Erudite tentang kami—mereka, aku mengingatkan diriku sendiri. Tapi, tadi ia beik sekali memberi tahu ibu kalau aku melakukan semuanya dengan baik sementara aku tahu ia sendiri tidak memercayainya.

“Apa ia selalu seperti itu?” tanya ibu.

“Lebih buruk.”

“Kau sudah punya teman?” tanya ibu.

“Beberapa,” jawabku. Aku melirik ke arah Will dan Christina yang bersama keluarga mereka. Saat Christina melihatku, ia memberi isyarat dan tersenyum, lalu aku dan ibu menyusuri lantai The Pit.

Sebelum kami bertemu Will dan Christina, seorang wanita pendek agak gemuk dengan kaus bergaris hitam putih menepuk lenganku. Aku tersentak sambil menahan keinginan untuk menepis tangannya.

“Permisi,” ujarnya. “Kau kenal anak laki-lakiku? Albert?”

“Albert?” ulangku. “Oh—maksud Anda Al? Ya, aku kenal ia.”

“Kau tahu bagaimana kami bisa menemukannya?” ujarnya sambil melambai pria di belakangnya. Pria itu tinggi dan berbadan tegap. Jelas sekali ia ayah Al.

“Maaf, aku tak melihatnya tadi pagi. Mungkin Anda bisa mencari ke atas sana?” aku menunjuk ke langit-langit kaca di atas kami.

“Ya ampun,” ujar ibu Al sambil menutupi wajahnya dengan tangan. “Lebih baik aku tidak mencoba naik lagi. Aku hampir kena serangan jantung saat turun ke sini. Kenapa di jalan setapak itu tidak ada pegangannya? Apa kalian semua sudah gila?”

Aku tersenyum kecil. Beberapa minggu lalu, aku mungkin saja menganggap pertanyaan itu kasar, tapi sekarang aku sudah menghabiskan banyak waktu dengan anak-anak pindahan dari Candor jadi aku tak terkejut dengan kesembronoan itu.

“Gila sih tidak,” kataku. “Tapi inilah Dauntless. Kalau aku bertemu dengannya, akan kusampaikan kalau Anda mencarinya.”

Kulihat ibu tersenyum seperti caraku tersenyum. Ibu tidak bereaksi seperti para orangtua anak pindahan lainnya yang terheran-heran, melihat sekeliling dinding The Pit, atap The Pit, dan ke arah tebing. Tentu ibu tidak merasa penasaran—ibuku seorang Abnegation. Rasa penasaran adalah benda asing baginya.

Aku memperkenalkan ibuku pada Will dan Christina. Lalu, Christina memperkenalkanku pada ibu dan adik perempuannya. Namun, saat Will memperkenalkanku pada Cara, kakak perempuannya, ia menatapku dengan tatapan yang bisa membuat tanaman layu dan tak mengulurkan tangan untuk bersalaman denganku. Ia melirik sinis ke arah ibu.

“Aku tidak percaya kau bergaul dengan salah seorang dari mereka, Will,” ujarnya.

Ibu sedikit mengerutkan bibir, tapi tentu saja, tak mengatakan apa-apa.

“Cara,” ujar Will cemberut, “tak puerlu kasar begitu.”

“oh, tentu tidak perlu. Kau tahu siapa ia?” Cara menunjuk ibu. “Ia itu istri anggota dewan yang, ya, begitulah. Ia menjalankan ‘agensi sukarelawan’ yang seharusnya menolong para factionless. Kau pikir aku tidak tahu kalau kau sebenarnya menumpuk barang-barang yang nantinya kau bagikan ke faksimu sendiri, sementara kami tidak mendapatkan makanan segar selama sebulan, huh? Apanya yang makanan untuk para kaum factionless?”

“Maaf,” kata ibu dengan lembut. “Aku yakin Anda salah.”

“Salah!” bentak Cara. “Aku yakin kau benar-benar seperti apa yang kelihatan dari luar. Faksi yang berbahagia dengan berbuat baik tanpa memiliki sedikit pun rasa pamrih dalam dirinya. Benar.”

“Jangan bicara begitu pada ibuku,” ujarku dengan wajah memanas. Aku mengepalkan tangan. “Jangan bicara apa-apa lagi atau aku bersumpah akan mematahkan hidungmu.”

“Mundur Tris,” ujar Will. “Kau tidak boleh memukul kakakku.”

“Oh,” kataku sambil mengangkat alis. “Kau pikir begitu?”

“Oh, kau tidak boleh.” Ibu memegang bahuku. “Ayo, Beatrice. Kita tak ingin mengganggu kakak perempuan temanmu.”

Ibu terdengar lembut, tapi tangan ibu meremas lenganku begitu kuat sampai aku hampir berteriak kesakitan saat ibu mengajakku pergi. Ibu berjalan denganku. Langkahnya cepat dan menuju ruang makan. Tapi, tepat sebelum ibu sampai ke sana, ibu berbelok ke kiri dan menuruni salah satu lorong gelap yang belum pernah aku lewati.

“Bu,” ujarku. “Ibu, bagaimana ibu tahu ke mana kita pergi?”

Ibu berhenti di samping pintu yang terkunci dan berjinjit. Ibu melihat sekilas ke balik alas lampu biru yang tergantung di langit-langit. Beberapa detik kemudian, ibu mengangguk dan berbalik lagi ke arahku.

“Ibu sudah bilang tak ada pertanyaan tentang ibu. Dan ibu serius. Bagaimana kabarmu, Beatrice? Bagaimana pertarungannya? Bagaimana ranking-mu?”

Ranking?” kataku. “Ibu tahu kalau aku bertarung? Ibu tahu aku di-ranking?”

“Proses inisiasi Dauntless bukanlah rahasia.”

Aku tidak tahu bagaimana mudahnya untuk mencari tahu apa yang dilakukan faksi lain selama inisiasi, tapi kutebak pasti tidak semudah itu. Perlahan aku menjawab, “Posisiku hampir terbawah, Bu.”

“Bagus.” Ibu mengangguk. “Tak ada yang akan memperhatikan mereka yang ranking bawah. Sekarang, ini yang paling penting, Beatrice: Apa hasil Tes Kecakapanmu?”

Peringatan Tori menggema di kepalaku. Jangan bilang siapa-siapa. Aku seharusnya bilang pada ibu kalau hasilku Abnegation karena itulah yang Tori masukkan ke dalam sistem.

Aku menatap mata ibu yang berwarna hijau pucat dan dibingkau dengan garis bulu mata. Ia memiliki garis-garis halus di bibirnya, tapi selebihnya, ibu tak kelihatan setua umurnya. Garis-garis halus itu makin jelas saat ibu bersenandung. Biasanya, ibu bersenandung saat mencuci piring.

Ini ibuku.

Aku bisa memercayai ibu.

“Hasilnya tak bisa disimpulkan,” jawabku pelan.

“Ibu juga berpikir begitu.” Ibu menghela napas. “Banyak anak yang dibesarkan dengan cara Abnegation menerima hasil semacam itu. Kami tak tahu mengapa. Tapi, kau harus berhati-hati saat tahap inisiasi selanjutnya, Beatrice. Tetaplah berada di ranking tengah, apa pun yang kau lakukan. Jangan menarik perhatian orang. Kau mengerti?”

“Bu, apa yang terjadi?”

“Ibu tidak peduli faksi apa yang kau pilih,” ujarnya sambil membelai pipiku. “Aku ini tetap ibumu dan ibu ingin kau aman.”

“Apa ini karena aku seorang—” aku hampir mengatakannya, tapi ibu menutup mulutku dengan tangannya.

“Jangan pernah menyebut kata itu,” bisiknya. “Selamanya.”

Jadi, Tori benar. Divergent adalah hal yang berbahaya. Aku tak tahu kenapa atau bahkan apa artinya tapi tetap saja.

“Kenapa?”

Ibu menggeleng. “Ibu tak bisa bilang.”

Ibu menoleh ke belakang, di mana cahaya dari lantai The Pit samar-samar terlihat. Aku mendengar teriakan, percakapan, suara tawa, dan derap langkah kaki. Aroma dari ruang makan melayang-layang di hidungku. Aroma yang manis dan seperti roti: Roti bakar. Saat ibu membalikkan tubuh melihatku kembali, rahangnya mengencang.

“Ada sesuatu yang ibu ingin kau lakukan,” ujarnya. “Ibu tidak bisa menjenguk kakakmu, tapi kau bisa, setelah inisiasi selesai. Jadi, ibu mau kau mencarinya dan memberitahunya untuk meneliti serum simulasi. Oke? Kau bisa melakukan itu untuk ibu?”

“Tidak kecuali ibu menjelaskan sedikit padaku, Bu!” aku melipat lenganku. “Kalau ibu mau aku berjalan-jalan ke markas Erudite selama sehari, ibu sebaiknya memberikan alasan yang jelas padaku!”

“Ibu tidak bisa. Maafkan ibu.” Ibu mencium pipiku dan membelai rambut yang jatuh dari gelungan di belakang telingaku. “Ibu harus pergi. Akan lebih baik bagimu jika kita tidak kelihatan dekat satu sama lain.”

“Aku tidak peduli bagaimana mereka melihatku,” ujarku.

“Kau harus peduli,” jawab ibu. “Ibu rasa mereka sudah mulai mengawasimu.”

Ibu berjalan menjauh dan aku terlalu terpaku untuk mengejarnya. Di ujung lorong, ibu berbalik dan berkata, “Makanlah kue untuk ibu, oke? Yang rasa cokelat. Rasanya enak.” Ibu melemparkan senyum yang aneh dan penuh arti, lalu menambahkan, “Kau tahu kalau ibu sayang padamu.”

Lalu, ibu pergi.

Aku berdiri sendirian di bawah sorot lampu biru di atasku, dan aku mengerti:

Ibu pernah ke markas ini sebelumnya. Ibu ingat lorong ini. Ibu tahu proses inisiasi di sini.

Ibuku dulu seorang Dauntles.[]


No comments:

Post a Comment