Divergent (Divergent #1) (23)

Penulis: Veronica Roth

23


Malam itu aku tak kembali ke asrama. Tidur satu ruangan dengan mereka yang baru menyerangku supaya terlihat berani itu sama saja bodoh. Four tidur di lantai dan aku tidur di ranjangnya, menghirup wangi sarung bantalnya. Wanginya aroma deterjen dan wangi jantan yang khas, kuat, dan manis.

Ritme napasnya melambat dan aku bangun untuk melihat apakah ia sudah tertidur. Four tidur telungkup dengan satu tangan menutupi kepalanya. Matanya terpejam. Bibirnya sedikit terbuka. Untuk pertama kalinya, ia terlihat sesuai dengan usianya. Dan, aku bertanya-tanya siapa ia sebenarnya. Siapa ia ketika belum menjadi seorang Dauntless, sebelum menjadi instruktur, sebelum menjadi Four, sebelum menjadi apa pun?

Siapa pun ia, aku menyukainya. Sekarang, bagiku lebih mudah mengakuinya, di dalam kegelapan seperti ini, setelah apa yang terjadi. Ia memang bukan sosok yang manis, lembut, dan baik. Tapi, ia pintar dan pemberani, walaupun ia baru saja menyelamatkanku, ia memperlakukanku seakan aku ini masih kuat. Cuma itu yang perlu kutahu.

Aku menatap otot di punggungnya yang naik turun sampai akhirnya jatuh tertidur.

Aku bangun dengan rasa sakit dan nyeri di tubuhku. Aku mengernyit saat bangkit untuk duduk, sambil memegangi tulang rusukku, dan berjalan menuju kaca kecil yang tergantung di dinding. Aku sedikit terlalu pendek untuk melihat bayanganku, tapi jika berjinjit, aku bisa melihat wajahku. Seperti yang kuduga, ada memar kebiruan di pipiku. Aku tak suka dengan kenyataan masuk ke ruang makan seperti ini, tapi instruksi Four terus terngiang. Aku harus memperbaiki pertemananku. Aku butuh perlindungan dengan cara kelihatan lemah.

Kugulung rambutku ke belakang. Pintu terbuka dan Four melangkah masuk. Ia membawa handuk dan rambutnya berkilau basah oleh air mandi. Ada ketegangan menggeliat di perutku dan aku sedikit melihat tubuhnya saat ia mengangkat tangannya  untuk mengeringkan rambut. Aku memaksakan diri untuk melihat wajahnya.

“Hai,” sapaku. Suaraku terdengar kaku. Kuharap sebaliknya.

Ia menyentuh pipiku yang memar dengan ujung jarinya. “Tidak buruk,” ujarnya. “Bagaimana kepalamu?”

“Baik,” ujarku. Aku bohong—kepalaku berdenyut-denyut. Kusentuh benjol di kepalaku dan rasa nyeri langsung menusuk kulit kepalaku. Bisa jadi lebih buruk. Aku bisa saja berakhir mengapung di sungai.

Setiap otot di tubuhku menegang saat tangannya menyentuh samping tubuhku, tepat di mana aku ditendang. Ia melakukannya dengan santai, tapi aku tak bisa bergerak.

“Dan di samping sini?” tanyanya dengan suara rendah.

“Sakit kalau aku menarik napas.”

Ia tersenyum. “Tak banyak yang bisa kau lakukan.”

“Peter mungkin akan mengadakan pesta kalau aku mati.”

“Ya,” ujarnya, “aku baru mau datang kalau ada kue.”

Aku tertawa, lalu mengernyit. Tangan Four menyentuh rusukku untuk meredakan sakitnya. Ia perlahan menggerakkan tangannya. Ujung jemarinya membelai sisi tubuhku. Saat jemarinya terangkat, ada rasa sakit di dadaku. Begitu saat ini berakhir, aku harus mengingat apa yang terjadi semalam. Dan, aku ingin berada di sini bersamanya.

Four mengangguk ringan dan melangkah keluar mendahuluiku.

“Aku akan masuk duluan,” ujarnya saat kami berdiri di luar ruang makan. “Sampai ketemu lagi, Tris.”

Ia masuk dan aku sendiri. Kemarin Four menyarankan agar aku berpura-pura lemah, tapi ia salah. Aku memang lemah. Aku bersandar di dinding dan menyentuh dahi. Sulit untuk menarik napas panjang, jadi aku manrik napas pendek-pendek. Aku tak boleh membiarkan ini terjadi. Mereka menyerangku untuk membuatku merasa lemah. Aku bisa berpura-pura mereka berhasil melakukannya agar aku aman, tapi aku tak bisa membiarkan ini terjadi.

Aku berdiri tegak lagi dan memasuki ruang makan tanpa berpikir apa-apa lagi. Setelah beberapa langkah, aku ingat aku harus terlihat gemetaran, jadi aku memperlambat langkahku dan merapat ke dinding sambil menunduk. Uriah yang duduk di meja dekat Will dan Christina, melambaikan tangan padaku. Lalu, menurunkannya lagi.

Aku duduk di samping Will.

Al tak ada di sana—dia tak ada di mana-mana.

Uriah bergeser ke tempat duduk di sampingku. Ia meninggalkan muffin-nya yang baru separuh tergigit dan air yang tinggal setengah gelas di meja sebelah. Sejenak, mereka bertiga hanya memandangiku.

“Apa yang terjadi?” tanya Will sambil menurunkan volume suaranya.

Aku melirik ke arah meja di belakang meja kami. Peter duduk di sana sambil memakan sepotong roti bakar dan berbisik pada Molly. Tanganku mengepal kuat di pinggir meja. Aku ingin melukainya. Tapi bukan sekarang.

Drew tidak ada. Itu artinya ia masih ada di rumah sakit. Ada rasa puas yang jahat menjalariku saat memikirkan hal itu.

“Peter, Drew, ...” ujarku pelan, sambil menahan pinggangku saat mengulurkan tangan ke tengah meja untuk mengambil sepotong roti bakar. Rasanya sakit saat tanganku terulur, jadi aku benar-benar mengernyit dan membungkuk. “Dan ...” aku menelan ludah. “Dan Al.”

“Ya Tuhan,” ujar Christina terbelalak.

“Kau baik-baik saja?” tanya Uriah.

Mata Peter menatapku dari seberang ruang makan dan aku harus memaksakan diri untuk membuang muka. Rasanya memang pahit saat bersikap seakan ia menakutiku, tapi aku harus melakukannya. Four benar. Aku harus melakukakan apa pun agar aku tak diserang lagi.

“Tidak juga,” kataku. Mataku terasa panas dan itu bukan pura-pura. Aku mengangkat bahu. Aku percaya akan peringatan Tori sekarang. Peter, Drew, dan Al hampir melemparku ke tebing karena iri—Para pemimpin Dauntless melakukan pembunuhan pun jadi tak terasa aneh.

Aku merasa tak nyaman. Rasanya seperti mengenakan topeng orang lain. Kalau aku tidak hati-hati, aku bisa mati. Aku bahkan tak bisa memercayai pemimpin faksiku sendiri. Keluarga baruku.

“Tapi, kamu kan Cuma ...” Uriah merengut. “Tidak adil. Tiga lawan satu?”

“Yeah, dan Peter kan memang tak pernah adil. Itulah kenapa ia membekap Edward saat tidur dan menusuk matanya,” dengus Christina sambil menggeleng. “Tapi, Al? Kau yakin, Tris?”

Aku menatap piringku. Akulah Edward yang selanjutnya. Tapi, aku tak seperti dirinya. Aku akan pergi.

“Yeah,” ujarku. “Aku yakin.”

“Pasti putus asa,” ujar Will. “Ia bertingkah ... aku tak tahu. Seperti orang yang berbeda. Sejak tahap dua dimulai.”

Lalu, Drew memasuki ruang makan. Aku menjatuhkan rotiku dan aku ternganga.

Menyebut Drew mengalami “memar” itu sama saja meremehkan. Wajahnya bengkak dan babak belur. Bibirnya sobek dan ada goresan luka di alisnya. Ia berjalan menuju mejanya sambil menunduk, bahkan tak melihatku sama sekali. Aku melirik ke seberang ruangan ke arah Four. Ia memasang senyum puas yang kuharap bisa kumiliki.

Kau yang melakukannya?” desis Will.

Aku menggeleng. “Bukan. Seseorang—aku tak pernah melihatnya—menemukanku tepat sebelum ...” aku menelan ludah. Mengatakannya keras-keras akan membuatnya kelihatan jauh lebih buruk, membuatnya sungguhan. “... aku dilempar dari tebing.”

“Mereka mau membunuh-mu?” tanya Christina dengan suara rendah.

“Mungkin. Mereka mungkin merencanakan menggantungku di sana cuma untuk menakutiku.” Aku mengangkat bahu. “Sepertinya berhasil.”

Christina menatapku sedih. Will menatap meja mereka geram.

“Kita harus melakukan sesuatu,” ujar Uriah dengan suara rendah.

“Apa, memukuli mereka?” Christina menyeringai. “Sepertinya sudah ada yang melakukannya.”

“Bukan. Itu kan rasa sakit yang bisa hilang,” jawab Uriah. “Kita harus mendepak mereka dari ranking. Itu akan menghancurkan masa depan mereka. Selamanya.”

Four bangkit dan berdiri di tengah ruangan. Percakapan langsung berhenti.

“Anak Pindahan. Kita akan melakukan sesuatu yang berbeda hari ini,” ujarnya. “Ikuti aku.”

Kami pun berdiri dan dahi Uriah berkerut. “Hati-hati,” ucapnya padaku.

“Jangan khawatir,” ujar Will. “Kami akan melindunginya.”

***

Four membawa kami keluar dari ruang makan dan menyusuri jalur yang mengelilingi The Pit. Will ada di sebelah kiriku dan Christina di sebelah kananku.

“Aku tak pernah benar-benar bilang minta maaf,” ujar Christina perlahan. “Karena mengambil bendera yang sudah kau dapatkan. Aku tak tahu ada apa denganku.”

Aku tak yakin apakah memaafkannya itu tindakan pintar atau tidak—termasuk memaafkan mereka berdua setelah apa yang mereka katakan padaku saat ranking diumumkan kemarin. Tapi, ibu pasti bilang orang memiliki kelemahan dan aku harus bersikap baik pada mereka. Dan, Four juga bilang agar aku mengandalkan teman-temanku.

Aku tak tahu siapa yang lebih kuandalkan karena aku tak yakin siapa teman sejatiku. Uriah dan Marlene yang ada di sampingku saat aku kelihatan kuat atau Christina dan Will yang selalu melindungiku saat aku kelihatan lemah?

Saat mata cokelat Christina yang lebar menatapku, aku mengangguk. “Lupakan saja yang itu.”

Aku masih ingin marah, tapi aku harus membiarkan rasa marah itu menguap.

Kami naik lebih tinggi dari yang sebelumnya, sampai wajah Will memucat tiap kali ia melihat ke bawah. Biasanya, aku suka ketinggian, jadi aku memegangi lengan Will seakan aku butuh dukungannya—tapi sebenarnya, akulah yang meminjamkan lenganku untuknya. Ia tersenyum penuh syukur padaku.

Four berbalik dan berjalan mundur beberapa langkah—mundur di jalur sempit tanpa ada pegangan. Seberapa baik ia mengenal tempat ini?

Ia melirik ke arah Drew yang berjalan susah payah di belakang barisan, lalu berkata, “Jangan ketinggalan, Drew!”

Itu lelucon yang jahat, tapi sulit bagiku untuk menahan senyum. Sampai mata Four melihat lenganku menggamit lengan Will dan humor seperti luntur dari mata Four. Ekspresinya membuatku merinding. Apa ia ... cemburu?

Kami makin lama makin mendekat ke langit-langit kaca, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku melihat matahari. Four menaiki tangga besi yang menuju lubang bukaan di atap. Tangganya berderak saat kuinjak dan aku menunduk, ke arah The Pit dan tebing di bawah sana.

Kami berjalan melewati kaca yang kini menjadi lantai dan bukan atap, menuju ruang silindris berdinding kaca. Sekeliling bangunan sudah setengah hancur dan kelihatannya ditinggalkan. Mungkin itulah kenapa aku tak pernah mengetahui markas Dauntless sebelumnya. Wilayah Abnegation pun jauh sekali dari sini.

Para Dauntless berkumpul di ruang kaca itu dan berbicara berkelompok. Di sisi ruangan ada dua Dauntless bertarung menggunakan kayu. Mereka tertawa saat salah satunya meleset dan hanya memukul angin belaka. Di atasku, ada dua tali terbentang melewati ruangan, salah satunya lebih tinggi beberapa meter dari yang lainnya. Mungkin ada hubungannya dengan aksi maut yang biasa dilakukan oleh anggota Dauntless.

Four membawa kami memasuki sebuah pintu. Di balik pintu itu, ada tempat luas yang lembap dengan dinding bergrafiti dan pipa-pipa terbuka. Ruangan itu diterangi serangkaian tabung pijar model lama dengan pembungkus plastik—lampu-lampu kuno.

“Ini,” ujar Four. Matanya terlihat terang di tengah cahaya temaram seperti ini, “adalah jenis simulasi yang berbeda yang dikenal sebagai ruang ketakutan. Memang sengaja tidak dinyalakan, jadi selanjutnya tak akan seperti ini lagi saat kalian masuk lagi.”

Di belakangnya, kata “Dauntless” dibentuk menggunakan cat semprot dalam tulisan artistik berwarna merah di dinding beton.

“Selama simulasi, kami telah menyimpan data tentang ketakutan terburuk kalian. Di ruang ketakutan ini, data itu diakses dan disajikan dalam serangkaian rintangan visual. Beberapa rintangan merupakan ketakutan yang pernah kalian hadapi dalam simulasi. Beberapa munkin ketakutan baru. Bedanya, di ruang ketakutan ini, kalian sekarang lebih waspada dan tahu kalau ini cuma simulasi. Jadi, kalian harus menggunakan akal untuk melewatinya.”

Artinya, semuanya akan seperti Divergent di ruang ketakutan ini. Aku tak tahu apakah ini membuatku lega karena aku takkan bisa terdeteksi, atau menjadi masalah karena aku takkan memiliki kelebihan apa pun di sini.

Four melanjutkan, “Jumlah ketakutan yang kalian hadapi di ruang ini nanti bervariasi tergantung seberapa banyak jumlah ketakutan kalian.”

Berapa macam ketakutan yang kumiliki? Aku membayangkan menghadapi burung-burung gagak itu lagi, dan aku langsung merinding walaupun udara terasa hangat.

“Aku sudah bilang sebelumnya kalau tahap ketiga inisiasi akan terfokus pada persiapan mental,” ujarnya. Aku ingat ia pernah bilang begitu. Di hari pertama. Tepat sebelum ia menodongkan pistol ke kepala Peter. Andai saja waktu itu ia benar-benar menarik pelatuknya.

“Itu karena tahap ketiga mengharuskan kalian mengendalikan baik emosi dan tubuh kalian—mengombinasikan kemampuan fisik yang kalian pelajari di tahap satu dengan penguasaan mental yang kalian pelajari di tahap dua. Agar kalian bisa naik satu tingkat.” Salah satu lampu pendar di atas kepala Four tak lagi menatap kerumunan peserta inisiasi dan terpusat menatapku.

“Minggu depan kalian akan memasuki dan mengatasi ruang ketakutan kalian secepat mungkin di depan beberapa orang pemimpin Dauntless. Itu akan menjadi tes final kalian yang akan menentukan ranking kalian di tahap tiga. Seperti tahap dua yang dinilai lebih sulit dari tahap satu, tahap tiga memiliki bobot penilaian yang paling besar dari semuanya. Mengerti?”

Kami semua mengangguk. Termasuk Drew yang kelihatannya kesakitan sekali.

Kalau berhasil di tes final nanti, aku akan memiliki kesempatan bagus masuk ke dalam sepuluh besar dan berpeluang besar menjadi anggota. Menjadi seorang Dauntless. Membayangkannya membuatku hampir sakit kepala karena rasa lega.

“Kalian bisa melewati setiap rintangan dengan salah satu dari dua cara. Entah itu kalian bisa tetap tenang sehingga saat simulasi nanti detak jantung kalian normal dan wajar. Atau, kalian menemukan cara untuk mengatasi ketakutan kalian, yang akan mendorong simulasinya bergerak. Salah satu cara menghadapi rasa takut tenggelam adalah dengan berenang lebih dalam, misalnya begitu.” Four mengangkat bahu. “Jadi, kusarankan kalian menggunakan waktu minggu depan untuk memikirkan ketakutan kalian dan mengembangkan strategi untuk menghadapinya.”

“Itu kedengarannya tidak adil,” ujar Peter. “Bagaimana jika satu orang cuma memiliki tujuh rasa takut, sedangkan yang lainnya punya dua puluh? Itu kan bukan salah mereka.”

Four menatapnya beberapa detik, lalu tertawa. “Apa kau benar-benar ingin berbicara apa yang adil denganku?”

Kerumunan peserta inisiasi memberi jalan saat Four melangkah mendekati Peter dengan tangan terlipat dan berujar dalam suara mematikan, “Aku mengerti kenapa kau khawatir, Peter. Kejadian semalam benar-benar membuktikan kalau kau memang pengecut yang menyedihkan.”

Peter balik menatapnya tanpa ekspresi.

“Jadi, sekarang kita semua tahu,” ujar Four pelan, “kalau kau takut pada seorang gadis kecil kurus dari Abnegation.” Senyum tersungging di bibirnya.

Will merangkulku. Bahu Christina berguncang menahan tawa. Dan, ada bagian di dalam diriku yang ikut tersenyum juga.

***

Saat kami kembali ke asrama siang itu, Al ada di sana.

Will berdiri di belakangku dan memegangi bahuku—memegangiku dengan ringan, seakan mengingatkanku kalau ia di sana. Christina bergeser mendekatiku.

Mata Al digelayuti kantung hitam dan wajahnya bengkak karena banyak menangis. Ada rasa nyeri menusuk-nusuk perutku saat kulihat ia. Aku bergeming. Aroma lemongrass dan sage, yang tadinya aroma yang menyenangkan, berubah menjadi aroma kecut menusuk hidungku.

“Tris,” ujar Al memecah keheningan. “Boleh aku bicara denganmu?”

“Kau bercanda?” Will meremas bahuku. “Kau tak boleh mendekatinya lagi, selamanya.”

“Aku tak akan menyakitimu. Aku tak pernah berniat ...” Al menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Aku cuma mau bilang aku minta maaf. Aku benar-benar menyesal aku tidak ... aku tidak tahu apa yang salah denganku, aku ... tolong maafkan aku, kumohon ...”

Ia mengulurkan tangan seakan mau menyentuh bahu atau tanganku. Wajahnya sembap penuh air mata.

Di lubuk hatiku, ada sosok yang pemaaf dan memberi ampun. Ada bagian diriku yang berupa seorang gadis yang mencoba mengerti apa yang sedang orang lain alami, yang menerima kenyataan bahwa orang bisa berbuat jahat, dan rasa putus asa telah membawa mereka memasuki ruang terkelam yang belum pernah mereka bayangkan. Aku bersumpah bagian diri itu masih ada. Dan, bagian di itu akan ikut terluka saat melihat pemuda penuh penyesalan yang sekarang berdiri di hadapanku.

Tapi, jika aku mendapati sosok seperti itu, aku takkan mengenalinya.

“Jauhi kau,” kataku pelan. Tubuhku terasa kaku dan dingin. Aku bukannya marah. Bukan juga terluka. Aku tak merasakan apa-apa. Dengan suara rendah aku berkata, “Jangan pernah dekati aku lagi.”

Kami saling menatap. Matanya hitam dan kosong. Aku tak merasakan apa-apa.


“Kalau kau nekat, aku bersampah akan membunuhmu,” ujarku. “Dasar pengecut.”[]



No comments:

Post a Comment