Penulis: Veronica Roth
35
Aku terbangun di tengah kegelapan, meringkuk di pojokan.
Lantai terasa halus dan dingin. Kupegang kepalaku yang berdenyut-denyut dan
sesuatu menetes meluncur di ujung jariku. Warnanya merah—darah. Ketika
kuturunkan lenganku, sikuku membentur tembok. Aku di mana?
Cahaya berkelip-kelip di atasku. Bohlamnya bersinar kebiruan
dan cahayanya remang-remang. Kulihat dinding tangki di sekelilingku dan ada
bayang-bayangku di depan. Ruangan ini kecil dengan berdinding beton dan tanpa
jendela. Cuma ada aku seorang diri. Ya, tidak juga—sebuah kamera video kecil
terpasang di salah satu dinding beton.
Kulihat ada bukaan kecil di dekat kakiku. Bukaan itu
tersambung ke sebuah saluran yang tersambung ke sudut ruangan. Sebuah tangki
besar.
Ujung jariku mulai gemetar, alau menjalar ke lengan. Dalam
sekejarp seluruh tubuhku bergidik ngeri.
Kali ini aku bukan ada di dalam simulasi.
Lengan kananku mati rasa. Saat aku memaksakan diri menjauhi
sudut ruangan, kulihat ada genangan darah di tempatku duduk tadi. Aku tidak boleh
panik. Aku berdiri sambil bersandar di dinding dan menarik napas. Hal terburuk
yang sekarang bisa terjadi padaku adalah tenggelam di dalam tangki ini. Aku
menempelkan dahi di dinding kaca dan tertawa. Itulah hal terburuk yang bisa
kubayangkan. Tawaku berubah menjadi tangisan.
Kalau sekarang aku menolak untuk menyerah, aku akan
kelihatan berani oleh siapa pun yang melihatku dengan kamera itu. Tapi,
terkadang bukan bertarunglah yang membuat seseorang berani, tapi bagaimana kau
menghadapi kematian yang pasti datang. Aku menangis di depan kaca. Aku tidak
takut mati, tapi aku ingin mati dengan cara yang lain, cara yang berbeda.
Lebih baik berteriak daripada menangis, jadi aku berteriak
dan menendang dinding di belakangku. Kakiku terpental dan aku menendang lagi.
Tendanganku begitu keras sampai tumitku terasa sakit. Aku terus dan terus
menendang, lalu melangkah mundur dan membentur bahu kiriku di dinding.
Hempasannya membuka luka di bahu kananku terasa perih seakan tertusuk besi
tempa panas.
Air mulai mengucur masuk ke dalam tangki.
Kamera video itu artinya mereka sedang mengawasiku—bukan,
mereka sedang mempelajariku, karena hanya itu yang diinginkan Erudite. Untuk
melihat apakah reaksiku di keadaan sesungguhnya sesuai dengan reaksiku di dalam
simulasi. Untuk membuktikan apa aku seorang pengecut.
Aku melonggarkan kepalan tangan dan membiarkannya jatuh
begitu saja. Aku bukan pengecut. Kudongakkan kepala dan menatap kamera di
hadapanku. Kalau berkonsentrasi bernapa, aku bisa melupakan kenyataan kalau aku
akan mati. Aku menatap kamera sampai pandanganku menyempit dan hanya itulah
yang kulihat. Air merendam pergelangan kakiku, betis, lalu paha. Air terus naik
melewati ujung jariku. Aku menarik napas; lalu kuembuskan. Airnya terasa
selembut sutra.
Aku menarik napas. Air ini akan membersihkan lukaku.
Kuembuskan napas keluar. Ibu pernah memasukkan aku ke dalam air saat aku masih
bayi, untuk memasrahkanku kepada Tuhan. Sudah lama aku tidak memikirkan Tuhan,
tapi sekarang Tuhanlah yang kupikirkan. Tiba-tiba aku senang tadi aku menembak
kaki Eric, bukan kepalanya. Ajaran ibu masih melekat di diriku.
Tubuhku mulai terendam. Alih-alih mengayun-ayunkan kaki agar
tinggiku sejajar dengan tinggi air, aku malah menarik napas panjang dan
menyelam. Air memenuhi telingaku. Aku bisa merasakan aliran air menyentuh
wajahku. Kubayangkan air menderas memasuki paru-paruku sehingga aku bisa mati
lebih cepat, tapi aku tak bisa melakukannya. Kuembuskan napas, berupa
gelembung-gelembung, dari mulutku.
Tenang. Aku
memejamkan mata. Paru-paruku terasa perih.
Kubiarkan tanganku mengapung ke bagian atas tangki.
Kubiarkan saja air memelukku seperti tangan-tangan terbalut sutra.
Waktu aku kecil dulu, ayah sering mengangkatku tinggi-tinggi
di atas kepala dan ikut berlari bersamaku sehingga rasanya aku seperti terbang.
Aku masih ingat bagaimana angin berembus melewati tubuhku dan aku tidak takut.
Aku membuka mata.
Sesosok tubuh berdiri di depanku. Aku pasti sudah hampir
mati karena melihat hal-hal aneh. Paru-paruku seperti tertusuk. Kehabisan udara
sungguh menyakitkan. Lalu, ada telapak tangan menempel di kaca di depan
wajahku. Sekilas kulihat melalui air yang memenuhi mataku, kurasa aku
samar-samar melihat wajah ibu.
Kudengar suara berdentum dan kaca tangki retak. Air
menerobos keluar dari lubang di dekat bagian atas tangki. Bingkainya pun retak
jadi dua. Aku berbalik saat kacanya pecah dan daya dorong air melempar tubuhku
ke tanah. Aku terkesiap, air dan udara berebutan masuk ke paru-paru. Aku
terbatuk-batuk lalu terkesiap lagi, dan kurasa ada tangan menyentuh lenganku.
Dan kudengar suaranya.
“Beatrice,” ujarnya. “Beatrice, kita harus lari.”
Ia menarik lenganku melingkari bahunya dan membantuku
berdiri. Wanita itu berpakaian seperti ibu dan kelihatan mirip ibu, tapi ia
membawa senjata. Belum lagi tatapan penuh konsentrasi di matanya kelihatan
asing bagiku. Aku bersandar padanya melewati pecahan kaca dan genangan air
menuju pintu keluar. Penjaga Dauntless tersungkur tak bernyawa di samping
pintu.
Kakiku tergelincir dan tersaruk-saruk ketika kami menyusuri
lorong secepat mungkin. Tepat saat kami berbelok, penolongku menembak dua
penjaga pintu di ujung lorong. Pelurunya tepat menembus kepala dan keduanya
tersungkur di tanah. Ia menyandarkanku di dinding dan melepaskan jaket
abu-abunya.
Di dalam, ia mengenakan kaus tanpa lengan. Saat ia
mengangkat lengannya, kulihat ada ujung tato di bawah ketiaknya. Pantas ibu tak
pernah berganti baju di hadapanku.
“Bu,” kataku dengan suara tercekat. “Ibu dulu seorang
Dauntless.”
“Ya,” kata ibu. Ibu membuat gendongan untuk lenganku dari
jaketnya. Ia mengikat lengan jaket itu melingkari leherku. “Dan, sekarang hal
itu sangat membantuku. Ayah dan Caleb dan yang lainnya bersembunyi di ruang
bawah tanah di persimpangan jalan North dan Fairfield. Kita harus ke sana.”
Aku menatap ibu. Selama enam belas tahun, aku duduk di
samping ibu di meja makan, dua kali sehari dan tak pernah sekali pun terlintas
di pikiranku kalau ibu ternyata bukan lahir sebagai Abnegation. Sebenarnya,
seberapa jauh aku mengenal ibuku sendiri?
“Nanti ada waktunya kalau kau ingin bertanya,” ujar ibu. Ibu
mengangkat kausnya dan memberikan senjata yang terselip di balik celananya
padaku. Kemudian, ibu membelai pipiku. “Sekarang, kita harus pergi.”
Ia berlari menuju lorong dan aku mengikutinya. Kami ada di
ruang bawah tanah markas besar Abnegation. Ibu sudah lama sekali bekerja di
sana, jadi aku tidak kaget kalau ibu menuntunku melewati lorong-lorong yang
gelap, menaiki tangga yang lembap menuju lantai atas yang dipenuhi cahaya tanpa
kesulitan. Berapa banyak pengawal Dauntless yang sudah ibu tembak sebelum
akhirnya menemukanku?
“Bagaimana ibu menemukanku?” tanyaku.
“Ibu sudah mengawasi kereta kalian sejak serangan dimulai,”
jawabnya sambil melirik ke arahku. “Ibu tidak tahu apa yang harus ibu lakukan
saat menemukanmu, tapi niat awal ibu hanyalah untuk menyelamatkanmu.”
Tenggorokanku tercekat. “Tapi aku berkhianat. Aku
meninggalkan ibu.”
“Kau anakku. Aku tidak peduli tentang faksi.” Ia menggeleng.
“Lihat ke mana akhirnya kita semua. Manusia sepenuhnya tak bisa lama-lama
menjadi baik sebelum akhirnya kejahatan mulai datang dan meracuni kita semua.”
Ibu berhenti di gang kecil yang bersimpangan dengan jalan
raya.
Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk ngobrol. Tapi, ada
yang harus kuketahui.
“Bu, ibu tahu tentang Divergent?” tanyaku. “Apa itu? Kenapa
....”
Ibu membuka magasin dan mengintipnya, memeriksa seberapa
banyak peluru yang masih tersissa. Kemudian, ibu mengambil beberapa peluru
tambahan dan mengisinya. Ekspresinya sama seperti ekspresinya ketika sedang
menjahit.
“Aku tahu karena aku juga seorang Divergent,” ujarnya sambil
memasukkan peluru. “Aku bisa selamat karena ibuku seorang pemimpin Dauntless.
Saat Hari Pemilihan, ibuku menyuruhku meninggalkan Dauntless dan memilih faksi
yang lebih aman. Aku memilih Abnegation.” Ia menyimpan peluru tambahan di dalam
saku dan berdiri lebih tegak. “Tapi, ibu mau kau membuat keputusanmu sendiri.”
“Aku tidak mengerti kenapa kita menjadi ancaman bagi para
pemimpin?”
“Setiap faksi mengatur setiap anggotanya untuk berpikir dan
bersikap dengan cara tertentu. Dan, sebagian besar melakukannya. Bagi sebagian
orang, memang tidak sulit mempelajarinya, untuk menemukan pola pikir yang
sesuai dan tetap hidup seperti itu.” Ibu menyentuh bahuku yang tidak terluka
dan tersenyum. “Tapi, pikiran kita bergerak ke banyak arah yang berbeda. Kita
tidak bisa dikungkung dalam satu cara pikir dan itu membuat para pemimpin
takut. Artinya, kita tidak bisa dikontrol. Dan, itu artinya apa pun yang mereka
lakukan, kita akan selalu menimbulkan masalah bagi mereka.”
Rasanya seperti ada yang mengembuskan napas baru ke dalam
paru-paruku. Aku memang bukan Abnegation. Aku juga bukan Dauntless.
Aku Divergent.
Dan aku tak bisa dikontrol.
“Mereka datang,” ujar ibu sambil melihat balik belokan. Aku
mengintip dari bahunya dan melihat beberapa prajurit Dauntless membawa senjata
dan bergerak dengan irama sama, sedang meunju ke arah kami. Ibu melihat ke
belakang. Jauh di belakang kami, sekelompok Dauntless lainnya menuruni lorong
menuju ke arah kami dan bergerak saling menyusul.
Ibu memegang tanganku dan menatap mataku. Aku menatap bulu
mata ibu bergerak naik turun saat berkedip. Kuharap aku mewarisi sedikit dari
keteguhannya di wajahku yang kecil dan polos. Tapi, setidaknya aku memiliki bagian
dari dirinya di dalam otakku.
“Cari ayah dan kakakmu. Gangnya ada di sebelah kanan, lalu
turun ke ruang bawah tanah. Ketuk dua kali, lalu tiga kali, lalu enam kali.”
Ibu pun mengecup pipiku. Tangan ibu dingin; telapak tangannya terasa kasar.
“Ibu akan mengalihkan perhatian mereka. Kau harus berlari secepat mungkin.”
“Tidak.” Aku menggeleng. “Aku tidak akan ke mana-mana tanpa
ibu.”
Ibu tersenyum. “Jadilah pemberani, Beatrice. Ibu menyayangimu.”
Aku merasakan bibir ibu mengecup dahiku, lalu ibu berlari ke
tengah jalan. Ia mengacungkan senjatanya tinggi-tinggi dan melepaskan tiga
tembakan ke udara. Para Dauntless pun mulai berlari.
Aku berlari cepat menyeberangi jalan menuju gang itu. Saat
aku berlari, aku melirik ke belakang untuk melihat apakah ada Dauntless yang
mengikutiku. Tapi, ibu menembak ke arah sekelompok prajurit dan mereka terlalu
sibuk dengan ibu sehingga tak memperhatikanku.
Aku langsung membalikkan kepala ke belakang saat kudengar
mereka melepaskan tembakan. Langkahku goyah, lalu berhenti.
Tubuh ibu mengejang. Punggungnya melengkung. Darah menderas
semburat dari luka di perutnya. Kausnya ternoda warna merah tua. Lalu, sebentuk
darah juga menyebar di bahu ibu. Aku berkedip dan di benakku berkelebat senyum
ibu saat ia menyapu dan mengumpulkan potongan rambutku.
Ibu terjatuh, lututnya membentur pelataran, lalu lengannya
terkulai di samping tubuh. Kemudian, tersungkur di jalanan dan tergolek tak
bergerak seperti boneka perca. Ibu tak bergerak. Tak bernapas.
Aku menutup mulut dengan tangan dan menjerit tertahan.
Pipiku terasa panas dan basah oleh air mata yang entah kapan mulai menetes.
Darahku, sesuatu yang ia wariskan padaku, bergejolak dan memaksaku kembali
padanya. Lalu, kudengar kata-kata ibu di benakku yang menyuruhku untuk menjadi
pemberani.
Rasa sakit menusuk-nusuk tubuhku saat melihat orang yang
melahirkanku roboh begitu saja. Seluruh dunia sejenak terasa berhenti. Jalanan
berbatu menggores lututku. Kalau sekarang aku menyerah, semua ini bisa
berakhit. Mungkin Eric benar. Memilih jalan kematian itu sama saja seperti
menjelajahi tempat yang tidak kita ketahui dan terasa asing.
Aku masih bisa merasakan belaian Tobias di rambutku sesaat
sebelum simulasi pertama. Aku mendengarnya menyuruhku berani. Aku mendengar ibu
juga menyuruhku berani.
Para Dauntless itu berbalik seakan digerakkan satu pikiran
yang sama. Entah kenapa, aku langsung bangkit dan mulai berlari.
Aku berani.[]
No comments:
Post a Comment