Divergent (Divergent #1) (34)

Penulis: Veronica Roth

34


Aku bersandar tak berdaya pada Tobias. Sepucuk senjata ditempelkan tepat di tulang punggungku, mendorongku melewati pintu depan markas Abnegation. Sebuah gedung abu-abu berlantai dua. Darah menetes dari samping tubuhku. Aku tidak taku apa yang nanti akan menyambutku. Aku terlalu sibuk menahan sakit untuk memikirkannya.

Mocong senjata itu mendorongku menuju sebuah pintu yang dijaga dua prajurit Dauntless. Aku dan Tobias masuk ke dalam kantor kosong yang hanya berisi sebuah meja, komputer, dan dua kursi kosong. Jeanine duduk di belakang meja sambil menelepon.

“Ya, bawa sebagian dari mereka masuk kembali ke dalam kereta,” ujarnya. “Harus dijaga betul-betul, itulah yang paling penting—maksudku bukan—aku harus pergi.” Ia membanting teleponnya dan menatapku erat dengan matanya yang kelabu. Mata itu mengingatkanku pada warna baja yang meleleh.

“Pemberontak Divergent,” ujar salah satu Dauntless. Ia pasti salah seorang pemimpin Dauntless—atau mungkin anggota biasa yang direkrut dan tidak ikut dalam simulasi.

“Ya, aku bisa lihat itu,” Jeanine melepas kacamatanya, lalu melipat dan menaruhnya di atas meja. Mungkin ia memakainya untuk gaya, bukan karena memang harus memakainya, karena menurutnya kacamata akan membuatnya kelihatan lebih pintar—begitu kata ayah.

Kau,” ujarnya menunjukku. “Sudah kuduga. Semua masalah dengan hasil Tes Kecakapanmu membuatku curiga dari awal. Tapi, kau ....”

Ia menggeleng saat ia menatap Tobias.

“Kau, Tobias—atau aku harus kupanggil kau Four?—bisa lolos dariku,” ujarnya tenang. “Semua tentangmu sudah dicek: hasil tes, simulasi inisiasi, semuanya. Tapi, kau masuk pengecualian.” Ia menopang dagunya dengan tangan terlipat. “Mungkin kau bisa menjelaskan padaku bagaimana caranya?”

“Kau yang Genius,” jawab Tobias tenang. “Kenapa bukan kau yang menjelaskan?”

Jeanine tersenyum. “Teoriku, kau memang sebenarnya pantas di Abnegation. Sisi Divergent-mu itu lebih lemah.”

Ia tersenyum lebih lebar. Sepertinya senang. Aku menggertakkan gigi dan membayangkan melompati meja dan mencekiknya. Kalau tidak ada peluru di bahuku, pasti sudah kulakukan.

“Kemampuanmu mengambil kesimpulan mengagumkan,” cetus Tobias. “Anggap saja aku terkesan.”

Aku meliriknya. Aku hampir lupa tentang sisi dirinya yang ini—bagian dirinya yang lebih meledak-ledak dan pantang menyerah.

“Sekarang karena kepandaianmu sudah terbukti, kau mungkin akan membunuh kami.” Tobias memejamkan mata. “Lagi pula, sudah banyak pemimpin Abnegation uang kau bunuh.”

Kalau komentar Tobias membuat Jeanine kesal, wanita tak memperlihatkannya. Ia terus tersenyum dan perlahan bangkit. Jeanine mengenakan gaun biru yang membalut tubuhnya dari bahu ke lutut. Ruangan seperti berputar saat aku mulai menatap wajahnya dan aku tersungkur bersandar pada Tobias yang merangkulku dan menopang pinggangku.

“Jangan konyol. Tak perlu buru-buru,” ujarnya enteng. “Kalian berdua ada di sini untuk alasan yang benar-benar penting. Kalian tahu, aku bingung kenapa Divergent kebal terhadap serum yang aku kembangkan, jadi aku sedang mengerjakan penawarnya. Tadinya kupikir aku sudah menemukannya pada gelombang terakhir, tapi rupanya aku salah. Untungnya aku masih punya gelombang lainnya sebagai percobaan.

“Buat apa repot cari penawar?” tanyaku. Jeanine dan para pemimpin Dauntless sebelumnya dengan mudah membunuh Divergent. Kenapa sekarang berbeda?

Ia tersenyum puas menatapku.

“Ada pertanyaan yang terus mengganggu sejak pertama kali aku  memulai proyek Dauntless ini, jadi begini.” Ia bergeser melewati meja dan menyusuri permukaan meja dengan ujung jarinya. “Kenapa, dari semua faksi yang ada, sebagian Divergent berasal dari Abnegation yang bukan siapa-siapa, takut Tuhan, dan berkekuatan lemah?”

Aku tidak tahu kalau sebagian besar Divergent datang dari Abnegation dan aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Mungkin aku tidak akan hidup cukup lama untuk mengetahuinya.

“Kekuatan lemah,” dengus Tobias. “Terakhir kali kulihat, butuh kemampuan kuat untuk memanipulasi simulasi. Orang berkekuatan lemah ada mereka yang mengontrol pikiran orang lain untuk membentuk pasukannya sendiri karena melatih dirinya sendiri pun tidak sanggup.”

“Aku bukan orang bodoh,” kata Jeanine. “Faksi yang berisi para intelektual bukanlah pasukan yang baik. Kami capek didominasi oleh orang bodoh tanpa rasa pamrih yang menolak kekayaan dan kemajuan, tapi kami tak bisa melakukannya sendiri. Dan, pemimpin Dauntless kalian dengan senang hati menurutiku jika aku menjamin mereka duduk di pemerintahan baru kami yang lebih berkembang.”

“Berkembang,” ujar Tobias mendengus.

“Ya, berkembang,” ujar Jeanine. “Berkembang dan bekerja untuk mencapai dunia tempat semua orang akan hidup dalam kekayaan, kenyamanan, dan kemakmuran.”

“Dari mana asalnya?” tanyaku dengan suara berat dan hambar. “Semua kekayaan itu ... tidak datang begitu saja.”

“Sekarang, factionless mulai menghabiskan sumber daya kita,” jawab Jeanine. “Begitu juga Abnegation. Aku yakin begitu sisa-sisa orang dari faksi lamamu ditampung oleh prajurit Dauntless, Candor akan bekerja sama dan kami akhirnya akan bisa menyelesaikan banyak hal.”

Ditampung oleh prajurit Dauntless. Aku tahu apa artinya—ia ingin mengendalikan mereka juga. Ia ingin setiap orang menurut dan mudah dikendalikan.

“Menyelesaikan banyak hal,” ulang Tobias pahit. Suaranya meninggi. “Jangan melakukan hal yang salah. Kau akan mati sebelum matahari terbit, kau—”

“Mungkin kalau kau bisa mengendalikan amarahmu,” tukas Jeanine. “Kau tidak akan berada di dalam situasi seperti ini, Tobias.”

“Aku ada dalam situasi ini karena kau membuatnya begitu,” bentaknya. “Tepat saat kau memimpin penyerangan terhadap orang-orang tidak berdosa.”

“Orang-orang tidak berdosa.” Jeanine tertawa. “Menurutku sedikit lucu saat mendengarnya darimu. Tadinya kupikir anak laki-laki seorang Marcus paham bahwa tidak semua orang itu tidak berdosa.” Ia duduk dipinggir muja. Roknya tersingkap dari lututnya yang dipenuhi banyak garis-garis lemak. “Apa kau bisa bilang dengan jujur kalau kau tidak akan merasa senang menemukan ayahmu terbunuh dalam serangan ini.”

“Tidak,” ujar Tobias dengan gigi menggeretak. “Tapi, setidaknya kejahatannya tidak termasuk menyebarkan manipulasi terhadap sebuah faksi dan pembunuhan sistematis setiap pemimpin politik yang kita punya.”

Mereka saling tatap beberapa detik, cukup lama untuk membuat tegang sampai ke tulang sumsum. Kemudian, Jeanine berdeham.

“Yang ingin kukatakan adalah,” ujarnya, “tak lama lagi, puluhan orang Abnegation dan anak-anak mereka akan diurus di bawah tanggung jawabku, dan itu tidak memberikan cukup petunjuk bagiku kalau sebagian besar dari mereka mungkin saja Divergent seperti kalian. Tidak bisa dikontrol oleh simulasi.”

Ia berdiri dan berjalan beberapa langkah ke kiri. Tangannya tertangkup di depan. Kuku jarinya, seperti kuku jariku, juga habis digigiti.

“Oleh karena itu, aku perlu mengembangkan simulasi model baru yang bisa berfungsi untuk mereka. Aku terpaksa meninjau ulang asumsi awalku. Dan di sanalah kau akan berperan.” Ia melangkah beberapa langkah ke kanan. “Kau memang benar saat bilang kau berkemauan kuat. Aku memang tidak bisa mengendalikan kemauanmu. Tapi, ada beberapa hal yang bisa aku kontrol.”

Jeanine berhenti dan menghadap ke arah kami. Aku menyandarkan pelipisku di bahu Tobias. Darah meluncur menuruni punggungku. Rasa sakitnya terus-menerus kurasakan selama beberapa menit terakhir sehingga aku mulai terbiasa, seperti seseorang yang terbiasa terhadap tanda bahaya jika terus-menerus melihatnya.

Si pemimpin Erudite menangkupkan tangannya. Aku tak melihat ada kilat girang yang kejam di matanya dan tak ada tanda kesadisan seperti yang kubayangkan. Ia lebih mirip seperti mesin ketimbang maniak. Ia melihat masalah dan menyusun pemecahannya berdasarkan data yang dikumpulkan. Abnegation menentang keinginannya yang haus akan kekuasaan, maka ia menemukan cara untuk melenyapkan mereka semua. Ia tak memiliki pasukan, jadi ia membentuknya di Dauntless. Ia tahu, ia harus mengendalikan satu kelompok besar manusia agar tetap aman, maka ia mengembangkan cara melalui serum dan pemancar. Divergent hanyalah masalah berikutnya yang menunggu ia pecahkan—dan itulah yang membuatnya begitu menakutkan—karena ia cukup pintar untuk menyelesaikan semuanya, bahkan masalah tentang keberadaan kami.

“Aku bisa mengendalikan apa yang kau lihat dan dengar,” ujarnya. “Jadi, aku menciptakan serum baru yang akan menyesuaikan sekelilingmu untuk memanipulasi kemauanmu. Mereka yang menolak menerima kepemimpinan kami akan dimonitor ketat.”

Dimonitor—atau dirampas kebebasannya. Jeanine benar-benar pandai memilih kata.

“Kau akan menjadi subjek tes pertama. Tobias. Tapi Beatrice, ...” ia tersenyum. “Lukamu terlalu parah sehingga kau tak berguna lagi bagiku. Jadi, eksekusimu akan dilakukan setelah pertemuan ini selesai.”

Aku mencoba menyembunyikan bulu kudukku yang merinding saat mendengar kata “eksekusi”, bahuku makin terasa sakit, dan aku mendongak menatap Tobias. Sulit untuk menahan air mata saat aku melihat ketakutan ada di mata hitamnya yang lebar.

“Jangan,” ujar Tobias. Suaranya bergetar, tapi tatapannya tegas saat menggeleng. “Lebih baik aku mati.”

“Sayangnya kau tidak punya banyak pilihan tentang ini,” jawab Jeanine enteng.

Tobias menyentuh wajahku dan aku harus bersandar di dinding agar bisa tetap berdiri. Tanpa peringatan selain otot-ototnya yang menegang, Tobias meluncur melewati meja dan mengalungkan tangan di leher Jeanine. Dua penjaga Dauntless di pintu melompat ke arahnya sambil siap memegang senjata, dan aku menjerit.

Butuh dua orang prajurit Dauntless untuk menarik Tobias dari Jeanine dan meringkusnya ke tanah. Salah satu prajurit itu menguncinya, lutunya menekan di bahu Tobias dan tangannya menekan wajah Tobias ke karpet. Aku bergegas mendekatinya, tapi penjaga satunya lagi menghantam bahuku dan mendorongku kembali ke dinding. Aku lemah karena banyak kehilangan darah dan terlalu kecil.

Jeanine bersandar di meja, gemetar dan terengah-engah. Ia menggosok tenggorokannya yang merah oleh bekas jari Tobias. Tak peduli seberapa mekanisnya ia, ia masih manusia; ada air mata menggenang saat ia mengambil sebuah kotak dari laci meja dan membukanya; sebuah jarum dan alat suntik.

Dengan napas yang masih terengah-engah, ia membawanya ke arah Tobias. Tobias menggertakkan gigi dan menohok wajah salah satu pengawal dengan siku. Pengawal itu menghantamkan gagang senjatanya ke sisi kepala Tobias dan Jeanine menancapkan jarum ke leher Tobias. Tobias pun langsung lemas.

Mulutku mengeleuarkan suara, bukan tangisan atau jeritan, melainkan erangan parau yang terdengar asing seakan meluncur dari  mulut orang lain.

“Lepaskan ia,” ujar Jeanine. Suaranya parau.

Pengawal itu berdiri, begitu pula Tobias. Ia tidak kelihatan seperti prajurit Dauntless yang berjalan sambil tidur; matanya tetap waspada. Ia melihat sekeliling beberapa detik seakan bingung dengan apa yang ia lihat.

“Tobias,” kataku. “Tobias!”

“Ia tak mengenalimu,” ujar Jeanine.

Tobias melirik ke belakang. Matanya menyipit dan ia berkalan mendekatiku dengan cepat. Sebelum pengawal bisa menghentikannya, ia mencengkeram leherku dan meremas batang tenggorokanku dengan ujung jarinya. Aku tercekik. Wajahku panas karena aliran darah yang terhambat.

“Simulasi telah memanipulasinya,” ujar Jeanine. Aku hampir tak bisa mendengarnya karena telingaku  berdenyut-denyut. “Dengan mengubah apa yang ia lihat—membuatnya bingung antara musuh atau teman.”

Seseorang menarik Tobias menjauh dariku. Aku terengah.

Tobias telah hilang. Karena dikontrol oleh simulasi, ia sekarang akan membunuh orang-orang yang tiga menit lalu ia sebut tidak berdosa. Kalau Jeanine membunuhnya, maka tidak akan terasa sepedih ini.

“Keuntungan dari simulasi versi ini,” ujar Jeanine dengan mata berbinar, “adalah ia bisa melakukan inisiatif sendiri dan itulah kenapa ini jauh lebih efektif dari prajurit yang pikirannya kosong.” Ia melihat ke arah pengawal yang memegangi Tobias. Tobias meronta-ronta, ototnya menegang, matanya mengarah padaku, tapi tidak melihatku. Bukan melihatku dengan tatapan seperti biasanya. “Bawa ia ke ruang kendali. Di sana kita perlu orang yang sadar untuk mengawasi semuanya dan sepengetahuanku, ia dulu bekerja di sana.”

Jeanine menangkupkan tangan di depan  tubuh. “Dan bawa ia ke ruang B13,” ujarnya. Ia menepuk tangan menyuruh pengawal membawaku pergi. Tepukan tangan itu memerintahkan eksekusiku, tapi baginya itu hanyalah menyelesaikan sebuah pekerjaan di daftar tugasnya. Ia telah menatapku dingin saat dua prajurit itu menarikku keluar dari ruangan.


Mereka menyeretku di sepanjang lorong. Di hati, aku mati rasa, tapi di luar aku menjerit dan meronta sekuat tenaga. Aku menggigit tangan prajurit Dauntless yang ada di sebelah kananku dan tersenyum saat ada rasa darah menyentuh bibirku. Lalu, ia memukulku. Semuanya pun menjadi gelap.[]



No comments:

Post a Comment