Penulis: Veronica Roth
4
Aku tiba di kompleks perumahanku lima menit lebih awal dari
biasanya, menurut jam tanganku—satu-satunya perhiasan yang boleh dipakai
seorang Abnegation, hanya karena fungsi praktisnya. Jamku bertali abu-abu dan
memiliki tutup kaca. Jika melihatnya dengan sudut yang tepat, aku hampir bisa
melihat pantulan bayanganku sendiri di sana.
Rumah-rumah di kompleks ini memiliki ukuran dan bentuk yang
sama. Rumah kami terbuat dari semen abu-abu dengan beberapa jendela murahan
berbentuk segiempat tak beraturan. Pekarangan kami ditumbuhi alang-alang dan
kotak pos terbuat dari besi yang kusam. Untuk beberapa orang, pemandangan ini
terlihat suram, tapi untukku, kesederhanaannya sungguh membuat nyaman.
Alasan atas semua kesederhanaan ini bukanlah penghinaan atas
keunikan, seperti yang terkadang diartikan oleh faksi lainnya. Semuanya—rumah,
pakaian, tatanan rambut kami—untuk membantu kami melupakan diri kami sendiri,
serta melindungi kami dari rasa sombong, serakah, dan iri yang merupakan bentuk
dari egoisme. Kalau kami hanya memiliki sedikit, menginginkan sedikit, dan kami
semua sama, kami takkan iri pada siapa pun.
Aku mencoba mencintai cara ini.
Aku duduk di undakan depan rumah dan menunggu Caleb pulang.
Aku tak menunggu lama. Semenit kemudian, aku melihat beberapa anak berjubah
abu-abu menyusuri kompleks. Terdengar suara tawa. Di sekolah, kami mencoba
untuk tidak menarik perhatian orang pada kami, tapi begitu di rumah, permainan
dan lelucon dimulai. Kecenderungan alamiku akan sarkasme masih belum dihargai.
Sarkasme selalu mengorbankan perasaan orang lain. Mungkin kaum Abnegation
berpikir lebih baik aku menekan sikap itu. Mungkin aku tak perlu meninggalkan
keluargaku. Mungkin kalau aku berjuang untuk menerapkan nilai Abnegation,
sikapku akan terasa lebih nyata.
“Beatrice!” ujar Caleb. “Apa yang terjadi? Kau tidak
apa-apa?”
“Aku baik-baik saja.” Caleb bersama Susan dan kakaknya
Robert. Susan menatapku aneh, seakan aku orang yang berbeda dengan yang ia
kenal tadi pagi. Aku mengangkat bahu. “Saat tesnya selesai, aku tidak enak
badan. Mungkin karena cairan yang mereka berikan. Tapi sekarang, aku sudah
baikan.”
Aku mencoba tersenyum mantap. Sepertinya aku berhasil
memperdaya Susan dan Robert yang sudah tak lagi mencemaskan kondisi kejiwaanku.
Namun, Caleb memicingkan mata dan menatapku. Ia selalu melakukannya saat ia
mencurigai seseorang sedang berbohong.
“Kalian berdua hari ini naik bus?” tanyaku. Aku tak peduli
bagaimana Susan dan Robert pulang dari sekolah, tapi aku harus mengganti topik.
“Ayah kami harus pulang malam,” ujar Susan, “dan ayah bilang
harus merenung sebentar sebelum Upacara besok.”
Hatiku melompat saat Upacara itu disebut.
“Kalian boleh mampir nanti kalau kalian mau,” ujar Caleb
sopan.
“Terima kasih.” Susan tersenyum pada Caleb.
Robert menaikkan alisnya ke arahku. Kami berdua sering
saling pandang setahun ini saat Susan dan Caleb saling tebar pesona dengan cara
yang sementara ini hanya diketahui oleh kaum Abnegation. Mata Caleb mengikuti
langkah Susan. Aku sampai harus meraih lengannya untuk mengalihkan
pandangannya. Aku mengajaknya masuk ke rumah dan menutup pintu.
Ia berbalik menatapku. Alisnya yang hitam dan lurus saling
bertaut dan membuat dahinya berkerut. Saat ia bekernyit seperti itu, ia lebih
mirip ibu daripada ayah. Dalam sekejap, aku bisa membayangkannya menjalani
hidup seperti ayah: tetap tinggal di Abnegation, belajar berdagang, menikahi
Susan, dan memiliki keluarga. Pasti akan indah.
Aku mungkin tak bisa ikut menyaksikannya.
“Apa kau mau memberitahukan yang sebenarnya sekarang?” tanyanya
lembut.
“Sejujurnya,” kataku, “aku tak boleh membahasnya. Dan kau
tak seharusnya bertanya.”
“Semua peraturan pernah kau langgar, dan yang ini malah tak
bisa kau langgar? Tidak bahkan untuk sesuatu sepenting ini?” Alisnya saling
mengait dan ia menggigit ujung bibirnya. Walau kata-katanya terdengar menuduh,
kedengarannya seperti ia menyelidikuku untuk sebuah informasi—sepertinya ia
benar-benar menginginkan jawabanku.
Aku memicingkan mata. “Apa kau juga mau berbagi? Apa yang
terjadi saat tes-mu, Caleb?”
Kami saling bertatapan. Aku mendengar klakson kereta. Sangat
samar sampai mudah dibawa angin yang berembus di lorong aula. Tapi, aku tahu
saat mendengarnya. Kedengarannya seperti Dauntless memanggilku datang.
“Jangan bilang ayah ibu apa yang terjadi, oke?” kataku.
Matanya tetap menatapku beberapa detik, lalu ia mengangguk.
Aku ingin naik ke kamar dan berbaring. Ujian tadi,
perjalananku pulang barusan, dan pertemuanku dengan pria factionless tadi, membuatku lelah. Tapi, kakakku menyiapkan sarapan
pagi ini, ibu menyiapkan makan siang kami, dan ayah menyiapkan makan malam
kemarin. Jadi, malam ini giliranku memasak. Aku menarik napas panjang dan
berjalan menuju dapur untuk memasak.
Semenit kemudian, Caleb mendatangiku. Aku menggertakkan
gigi. Ia membantu menyiapkan semuanya. Yang membuatku terganggu adalah sikap
baiknya yang alami. Sikap tak mementingkan diri sendiri yang sudah ia bawa
sejak lahir.
Aku dan Caleb bekerja sama tanpa bicara. Aku memasak kacang
di atas kompor. Ia menghangatkan empat potong ayam beku. Sebagian besar yang
kami makan adalah makanan beku atau kalengan karena peternakan letaknya jauh.
Ibu pernah bilang, dulu orang-orang tak mau membeli proguk yang melalui proses
genetis buatan karena mereka pikir itu tidak alami. Sekarang, kami tak punya
pilihan.
Saat ayah ibu pulang, makan malam dan meja sudah siap semua.
Ayah menjatuhkan tasnya di pintu dan mencium kepalaku. Orang lain memandang
ayah sebagai orang berpendirian keras—terlalu keras, malah—tapi ayah juga
penyayang. Aku mencoba untuk hanya melihat sisi baiknya. Aku mencoba.
“Bagaimana tesnya?” tanyanya. Aku menuangkan kacang ke
mangkuk saji.
“Baik,” kataku. Aku tak bisa menjadi seorang Candor. Aku
terlalu gampang berbohong.
“Kudengar ada semacam masalah dengan salah satu tesnya,”
ujar ibu. Seperti ayah, ibu bekerja di pemerintahan. Bedanya, ibu mengatur proyek pengembangan
kota. Ibu merekrut para sukarelawan untuk menjalankan tes kecakapan. Namun,
sering kali juga, ibu mengatur para pekerja untuk membantu kaum factionless dengan bantuan makanan,
tempat tinggal, dan kesempatan kerja.
“benarkah?” tanya ayah. Masalah tes kecakapan jarang
terjadi.
“Aku tidak terlalu mengeti, tapi temanku, Erin bilang ada
sesuatu yang salah dengan salah satu tesnya, jadi hasil tesnya harus diberikan
secara lisan.” Ibu meletakkan satu serbet di samping setiap piring di meja.
“Sepertinya murid itu sakit dan disuruh pulang lebih awal.” Ibu mengangkat
bahu. “Aku harap mereka semua baik-baik saja. Apa kalian mendengar sesuatu
tentang itu?”
“Tidak,” ujar Caleb. Ia tersenyum pada ibu.
Kakakku juga tak bisa menjadi seorang Candor.
Kami duduk mengitari meja. Kami selalu mengoper makanan ke
kanan dan tak ada yang makan sampai semua makanan disajikan. Ayah mengulurkan
tangan ke arah ibu dan kakakku, dan mereka mengulurkan tangan pada ayah dan
aku. Ayah pun bersyukur pada Tuhan atas makanan, pekerjaan, teman-teman, dan
keluarga. Tidak semua keluarga Abnegation religius, tapi ayah selalu bilang
kami harus mencoba tidak melihat perbedaan karena itu hanya akan memecah belah
kami. Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Jadi,” kata ibu pada ayah. “Katakan padaku.”
Ibu meraih tangan ayah dan mengusapkan ibu jarinya di atas
tonjolan tulang tangan ayah dengan gerakan melingkar. Aku menatap mereka saling
berpegangan tangan. Orangtuaku saling mencintai, tapi mereka jarang menunjukkan
kasih sayang seperti ini di depan kami. Mereka mengajari kami kalau kontak
fisik itu begitu kuat, jadi aku sudah terbiasa tidak nyaman dengan kontak fisik
sejak aku masih kecil.
“Katakan padaku apa yang mengganggumu,” tambahnya.
Aku menatap piringku. Indra peka ibuku terkadang
mengejutkanku, tapi sekarang rasanya seperti meledekku. Kenapa aku terlalu
memikirkan diriku sendiri sampai aku tidak memperhatikan sosok ayah yang kuyu
dan muram?
“Aku mengalami hari yang sulit di kantor,” ujarnya. “Ya,
sebenarnya, Marcuslah yang tadi mengalami hari yang sulit. Aku tidak seharusnya
mengakuinya sebagai hariku.”
Marcus adalah rekan kerja ayah. Mereka berdua adalah
pemimpin politik. Kota ini dipimpin oleh dewan yang terdiri dari lima puluh
orang. Seluruh anggota dewan tersusun dari wakil-wakil Abnegation; faksi
kamilah yang dianggap tidak korup karena komitmen kami untuk tidak mementingkan
diri sendiri. Pemimpin kami dipilih oleh rekan-rekannya karena karakter yang
tidak tercela, kegigihan moral, dan watak kepemimpinan. Perwakilan dari faksi
lainnya bisa berbicara di dalam sebuah pertemuan tentang masalah tertentu, tapi
keputusan sepenuhnya berada di tangan dewan. Dan, saat dewan membuat keputusan
bersama, Marcus adallah orang yang cukup berpengaruh.
Sistem ini sudah lama dianut sejak awal zaman kedamaian
akbar, saat faksi-faksi terbentuk. Kurasa sistem ini tetap dijalankan karena
kami takut apa yang mungkin terjadi jika tidak dijalankan: perang.
“Apakah ini karena laporan Jeanine Matthews?” ujar ibu.
Jeanine Matthews adalah satu-satunya wakil Erudite yang terpilih berdasarkan
nilai IQ-nya. Ayah sering mengeluh tentang wanita itu.
Aku mendongak. “Laporan?”
Caleb memberiku tatapan peringatan. Kami tidak seharusnya
berbicara di meja makan, kecuali apabila orangtua kami menanyai kami langsung.
Telinga yang suka mendengar adalah berkah, begitu kata ayahku. Mereka
memberikan kami kesempatan semacam itu setelah makan malam, di ruang keluarga.
“Ya,” ujar ayah dengan mata menyipit. “Laporan yang arogan,
mementingkan diri sendiri—“ ia berhenti sebentar dan berdehem. “Maaf. Tapi, ia
mengeluarkan laporang yang menyerang karakter Marcus.”
Aku menaikkan alis.
“Laporannya bilang apa?” tanyaku.
“Beatrice,” ujar Caleb tenang.
Aku menundukkan kepala. Aku memainkan garpu tanpa henti
sampai merah di pipiku menghilang. Aku tidak suka ditegur. Apalagi oleh
kakakku.
“Laporannya bilang,” kata ayah, “kalau kekerasan dan
kekejaman Marcus terhadap anak laki-lakinyalah yang menjadi penyebab utama
anaknya memilih Dauntless daripada Abnegation.”
Beberapa orang yang lahir di kaum Abnegation memutuskan
untuk meninggalkan faksinya. Jika ada yang melakukannya, tentu kami terus
mengingatnya. Dua tahun lalu, anak laki-laki Marcus, Tobias, meninggalkan faksi
kami untuk pindah ke Dauntless. Hati Marcus hancur sejak itu. Tobias anak
tunggalnya—dan satu-satunya keluarga yang ia punya karena istrinya meninggal
saat melahirkan anak kedua mereka. Bayi itu menyusul ibunya beberapa menit
kemudian.
Aku tak pernah bertemu Tobias. Ia jarang mendatangi acara
komunitas dan tak pernah ikut datang bersama ayahnya ke rumah kami untuk makan
malam. Ayah dulu sering menganggapnya aneh, tapi sekarang itu bukan masalah.
“Kejam? Marcus?” ibu menggelengkan kepala. “Kasihan pria
malang itu. Ia tak perlu diingatkan atas kehilangannya itu.”
“Atas pengkhianatan putranya, maksudmu?” tanya ayah dingin.
“Di titik ini aku takkan terkejut. Orang Erudite itu telah menyerang kita
dengan laporan semacam itu beberapa bulan ini. Dan ini bukanlah yang terakhir.
Akan ada lagi. Aku jamin itu.”
Aku tak seharusnya bicara lagi, tapi aku tak bisa menahan
diri. Aku keceplosan, “Kenapa mereka melakukan ini?”
“Kenapa kau tak menggunakan kesempatan ini untuk
mendengarkan ayahmu, Beatrice?” ujar ibu lembut. Kalimat itu diucapkan seperti
sebuah saran, bukannya perintah. Aku menatap ke seberang meja ke arah Caleb
yang juga menatapku tidak setuju.
Aku menatap kacang-kacangku. Aku tidak yakin aku bisa hidup
di kehidupan yang penuh peraturan seperti ini lebih lama lagi. Aku tidak cukup
baik untuk itu.
“Kau tahu alasannya,” ujar ayah. “Karena kita memiliki apa
yang mereka mau. Menghargai ilmu pengetahuan di atas segalanya akan berakhir
dengan keinginan untuk kekuasaan. Dan, itulah yang mendorong seseorang ke dalam
tempat kosong dan gelap. Kita seharusnya bersyukur karena kita memahaminya
lebih baik.”
Aku mengangguk. Aku tahu, aku takkan memilih Erudite, walau
hasil tesku mengatakan kalau aku bisa memilihnya. Aku anak perempuan kesayangan
ayah.
Ayah dan ibu membersihkan meja setelah makan malam. Mereka
bahkan tak membiarkan Caleb membantu karena kami seharusnya menyendiri di kamar
daripada di ruang keluarga, sehingga kami bisa memikirkan tentang hasil tes
tadi.
Keluargaku mungkin bisa membantuku memilih, jika aku mau
bicara tentang hasilnya. Tapi, aku tidak bisa. Peringatan Tori terbayang-bayang
di ingatanku tiap kali keinginanku untuk menutup mulut goyah.
Aku dan Caleb menaiki tangga dan begitu kami sampai di atas,
saat kami memisahkan diri menuju kamar kami masing-masing, ia menghentikanku
dengan satu sentuhan di pundak.
“Beatrice,” ujarnya sambil menatap mataku tajam. “Kita harus
memikirkan keluarga kita.” Ada penekanan di nada bicaranya. “Tapi, kita juga
harus memikirkan diri kita sendiri.”
Untuk sejenak, aku menatapnya. Aku tak pernah melihatnya
memikirkan diri sendiri. Tak pernah mendengarnya memaksakan sesuatu selain
sikap tidak mementingkan diri sendiri.
Aku begitu terkejut dengan komentarnya sampai aku hanya
mengatakan apa yang seharusnya kukatakan: “Tes itu tak perlu mengubah pilihan
kita.”
Ia sedikit tersenyum. “Tapi memang begitu, kan?”
Ia meremas bahuku dan berjalan menuju kamarnya. Aku
menemaninya menuju kamar dan melihat tempat tidur yang belum rapi dan setumpuk
buku di meja. Ia menutup pintu. Kuharap aku bisa memberitahunya kalau kita
sedang menghadapi masalah yang sama. Kuharap aku bisa mengatakan sesuatu
padanya tepat seperti apa yang kuinginkan, bukannya seperti apa yang seharusnya
aku katakan. Tapi, mengakui kalau aku butuh bantuan terslalu besar untuk
ditanggung, jadi aku berbalik.
Aku masuk ke kamar. Saat aku menutup pintunya, aku sadar,
pilihannya mungkin sederhana. Akan butuh rasa tidak mementingkan diri sendiri
yang begitu besar untuk memilih Abnegation, atau rasa keberanian yang besar
untuk memilih Dauntless. Mungkin memilih salah satu dari dua hal itu akan
membuktikan tempat mana seharusnya aku berada. Besok, kedua sifat itu akan
bertarung di dalam diriku. Dan, hanya satu yang bisa menang.[]
No comments:
Post a Comment