Penulis: Veronica Roth
2
Tesnya mulai setelah makan siang. Kamu semua duduk di meja
panjang kafetaria dan para penguji akan memanggil sepuluh nama sekaligus.
Masing-masing menempati satu ruang pengujian. Aku duduk di samping Caleb. Di
seberangku ada tetangga kami, Susan.
Ayah Susan bepergian ke penjuru kota untuk bekerja, jadi
beliau memiliki mobil untuk mengantar jemput Susan setiap hari. Beliau menawari
kami juga, tapi seperti kata Caleb, kami lebih suka berangkat lebih siang dan
tak ingin membuatnya repot.
Para penjaga tes kebanyakan pekerja sukarela dari Abnegation
walau ada juga seorang Erudite di salah satu ruang uji. Ada pula seorang
Dauntless di ruang uji lainnya untuk menguji kami yang berasal dari Abnegation,
karena peraturannya menyatakan kami tak boleh diuji oleh penguji yang berasal
dari faksi yang sama. Peraturan juga menyatakan kami tak boleh mempersiapkan
apa pun untuk tes itu, jadi aku tak tahu apa yang akan diujikan.
Pandanganku beralih dari Susan ke arah meja Dauntless di
seberang ruangan. Mereka tertawa, berteriak, dan bermain kartu. Di barisan meja
lainnya, kaum Erudite sibuk berdiskusi di antara tumpukan buku dan koran,
mengejar ilmu pengetahuan tanpa henti.
Sekelompok gadis-gadis Amity berpakaian kuning dan merah
duduk melingkat di lantai kafetaria. Mereka memainkan semacam pernainan tepuk
tangan dengan lagu berirama. Tiap beberapa menit, aku mendengar tawa mereka
saat harus ada yang dieliminasi dan duduk di tengah lingkaran. Di meja sebelah
mereka, anak-anak laki-laki dari Candor sibuk merentangkan tangan. Mereka
sepertinya berdebat tentang sesuatu, tapi pasti bukan masalah yang serius,
karena beberapa dari mereka masih tersenyum.
Di meja Abnegation, kami duduk tenang dan menunggu. Aturan
faksi kami mengatur bagaimana kami bersikap hingga menentukan preferensi
pribadi. Aku ragu apakah semua Erudite mau belajar setiap saat atau setiap
Candor menikmati debat penuh semangat, tapi mereka pun tak bisa menentang norma
faksi seperti aku.
Nama Caleb yang berikutnya dipanggil. Dengan penuh percaya
diri, ia berjalan menuju pintu keluar. Aku tak perlu mendoakan semoga ia
beruntung atau meyakinkannya kalau ia tak perlu merasa gugup. Caleb tahu di
mana tempatnya, dan sejauh yang kutahu, ia selalu tahu. Kenangan pertamaku
tentangnya adalah saat kami berumur empat tahun. Ia memarahiku karena aku tak
mau memberikan tali permainanku pada seorang anak perempuan di taman yang tak
memiliki apa pun untuk dimainkan. Ia tak lagi sering memarahiku sekarang, tapi
aku masih terkenang tatapannya yang penuh teguran.
Aku pernah mencoba menjelaskan padanya kalau instingku tak
sama sepertinya—bahkan tak terpikir olehku untuk memberikan kursi pada seorang
pria Candor di dalam bus tadi—tapi ia tak mengerti. “Lakukan apa yang harus kau
lakukan,” ia selalu berkata seperti itu. Mudah baginya. Seharusnya mudah
bagiku.
Perutku melilit. Aku menutup mata dan terus terpejam sampai
sepuluh menit sampai akhirnya Caleb kembali duduk.
Ia kelihatan pucat. Ia mengusapkan telapak tangan di celana
seperti yang biasa kulakukan untuk menghapus keringat. Setelah selesai mengusap
tangannya, jemarinya gemetar. Aku membuka mulut untuk bertanya sesuatu, tapi
tak ada kata yang keluar. Aku tak diizinkan untuk menanyakan hasil tesnya, dan
ia dilarang untuk memberitahuku.
Seorang sukarelawan Abnegation menyebut nama-nama putaran
selanjutnya. Dua dari Dauntless, dua dari Erudite, dua dari Amity, dua dari
Candor, dan kemudian: “Dari Abnegation: Susan Black dan Beatrice Prior.”
Aku bangkit karena memang itu yang harus kulakukan. Tapi,
jika semua terserah aku, aku lebih suka tetap di kursi sampai semua selesai.
Rasanya seperti ada gelembung di dadaku yang membesar dalam hitungan detik,
siap menghancurkan tubuhku dari dalam. Aku mengikuti Susan menuju pintu keluar.
Orang-orang yang kulewati mungkin tak bisa membedakan kami. Kami mengenakan
pakaian sama dan menata rambut kami dengan cara yang sama. Satu-satunya
perbedaan adalah Susan tidak merasa hampir muntah. Dan, dari yang bisa aku
simpulkan, tangannya tidak gemetar hebat sampai harus menggenggam pinggiran
kemejanya agar tetap tenang.
Di luar kafetaria ada sepuluh ruangan berjajar. Ruangan itu
semua hanya digunakan untuk Tes Kecakapan, jadi aku tak pernah berada di
dalamnya. Tak seperti ruangan lain di sekolah ini, ruangan ini dipisahkan oleh
cermin, bukan kaca, Aku melihat diriku sndiri, pucat dan ketakutan, berjalan
menuju salah satu pintu. Susan menyeringai gugup padaku saat ia memasuki ruang
5 dan aku masuk ruang 6, di mana seorang wanita Dauntless menungguku.
Wajah wanita itu tak sekeras wajah para Dauntless muda yang
pernah kulihat. Matanya kecil, hitam, dan tajam. Ia mengenakan blazer
hitam—seperti setelan pria—dan jins. Hanya saat ia menutup pintu, aku bisa
melihat tato di balik lehernya. Tato berupa elang hitam putih dengan mata merah
menyala. Jika jantungku tidak terasa seperti mau loncat ke tenggorokan, aku
akan menanyakan apa artinya. Pasti ada artinya.
Cermin-cermin itu menutupi bagian dalam dinding ruangan. Aku
bisa melihat bayanganku dari semua sudut. Jubah abu-abu ini menutupi
punggungku, leher jenjangku, jemariku yang gemetaran. Langit-langit memendarkan
warna putih. Di tengah ruangan, ada kursi dengan sandaran punggung seperti yang
ada di dokter gigi, dengan sebuah mesin di sampingnya. Sepertinya tempat di
mana sebuah kejadian buruk akan terjadi.
“Jangan khawatir,” ujar wanita itu, “tidak sakit.”
Rambutnya hitam dan lurus, tapi saat tertimpa cahaya,
kutemukan beberapa helai uban.
“Duduklah dan santai saja” ujarnya. “Namaku Tori.”
Aku duduk di kursi itu dengan kikuk dan bersandar.
Kuletakkan kepalaku di sandaran kepala. Lampunya membuatku silau. Tori sibuk
dengan mesin di sebelah kananku. Aku mencoba fokus padanya dan bukan pada
kabel-kabel di tangannya.
“Apa artinya elang itu?” aku keceplosan saat ia menempelkan
kabel elekroda di dahiku.
“Aku belum pernah ketemu Abnegation yang ingin tahu
sepertimu sebelumnya,” ujarnya sambil mengangkat alis ke arahku.
Aku merinding. Bulu kuduk di lenganku seperti berdiri semua.
Rasa ingin tahuku adalah kesalahan. Sebuah pengkhianatan untuk nilai-nilai
Abnegation.
Sambil bersenandung kecil, ia menempelkan kabel elektroda
lainnya di dahiku dan menjelaskan, “Di beberapa belahan dunia di masa lalu,
elang adalah simbol matahari. Saat aku memperoleh tato ini, aku tahu kalau aku
selalu memiliki matahari di dalam diriku, aku takkan takut akan gelap.”
Aku mencoba menahan diri untuk menanyakan pertanyaan
selanjutnya, tapi tidak bisa. “Kau takut gelap?”
“Aku pernah takut
akan gelap,” ia mengoreksi ucapanku. Ia menempelkan elektroda lainnya ke
dahinya sendiri dan menyambungkannya dengan sebuah kabel. Ia mengangkat bahu.
“Sekarang, tato itu mengingatkanku pada rasa takut yang sudah bisa kuatasi.”
Ia berdiri di belakangku. Aku mencengkeram sandaran tangan
begitu kuat sampai tanganku memucat. Ia menarik beberapa kabel ke arahnya, lalu
memasangkannya padaku, padanya sendiri, juga pada mesin di belakangnya.
Kemudian, ia menyodorkan sebotol cairan bening.
“Minum ini,” ujarnya.
“Apa ini?” rasanya tenggorokanku seperti bengkak. Susah
payah aku menelannya. “Apa yang akan terjadi?”
“Tak bisa kuberi tahu. Percayalah padaku.”
Aku menarik udara dari paru-paru dan menenggak isi botol
itu. Mataku terpejam.
***
Saat mataku terbuka, sekejap saja, tapi aku seperti berada
di tempat lain. Aku berada di kafetaria sekolah lagi, tapi tak ada lagi
meja-meja panjang. Aku melihat ke luar melalui dinding kaca, salju turun di
luar. Di meja di hadapanku ada dua keranjang. Salah satunya berisi sebongkah
keju dan yang lainnya berisi sebilah pisau sepanjang lengan bawahku.
Di belakangku, terdengar suara seorang wanita, “Pilih.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Pilih,” ulangnya.
Aku melihat ke belakang, tapi tak ada siapa pun. Aku
berbalik ke arah keranjang itu lagi. “Apa yang harus kulakukan dengan
benda-benda ini?”
“Pilih!” teriaknya.
Saat ia berteriak padaku, rasa takutku hilang dan sikap
keras kepalaku muncul. Aku marah dan menyilangkan tangan di dada.
“Terserah kau,” ujarnya.
Kedua keranjang itu menghilang. Aku mendengar ada suara
pintu terbuka dan langsung berbalik untuk melihat siapa yang datang. Yang
kulihat bukan “siapa”, melainkan “apa”. Seekor anjing berhidung mencuat berdiri
beberapa langkah di hadapanku. Anjing itu membungkuk rendah dan bergerak
perlahan ke arahku. Menyeringai, memperlihatkan taringnya. Terdengar suara
menggeram dan sekarang aku paham kenapa keju tadi bisa berguna. Atau juga
pisaunya. Tapi sekarang sudah terlambat.
Aku berpikir untuk lari, tapi anjing itu akan berlari lebih
cepat. Aku tak bisa pula bergulat dengan anjing itu. Kepalaku berdenyut-denyut.
Aku harus membuat keputusan. Kalau aku bisa melompati salah satu meja itu dan
menggunakannya sebagai pelindung—tidak, aku terlalu pendek untuk melompati meja
dan tak terlalu kuat untuk mengangkatnya.
Anjing itu menggeram. Aku hampir bisa merasakan suaranya
bergema di kepalaku.
Buku pelajaran Biologi pernah menyebutkan kalau anjing bisa
mencium rasa takut karena ada sejenis zat kimia yang dikeluarkan kelenjat
manusia dalam bentuk rasa takut, zat kimia yang sama yang disekresikan mangsa
anjing pada umumnya. Mencium rasa takut bisa mendorong anjing untuk menyerang.
Anjing itu sudah mendekat beberapa inci. Kukunya menggures-gores lantai.
Aku tak bisa lari. Aku tak bisa berkelahi. Aku malah menarik
napas dengan udara yang dipenuhi napas anjing dan berusaha tidak berpikir apa
yang baru saja dimakan anjing itu. Tak ada warna putih di bola matanya. Hanya
ada kilatan hitam.
Apalagi yang kutahu tentang anjing? Aku tak seharusnya
melihat matanya. Itu tanda penyerangan. Aku ingat pernah meminta anjing
peliharaan pada ayah waktu aku masih kecil. Dan sekarang, saat menatap mata
anjing itu, aku tak bisa ingat mengapa aku pernah meminta hal seperti itu.
Anjing itu makin mendekat dan masih menggeram. Jika melihat matanya adalah
tanda penyerangan, lalu apa tanda kepatuhan?
Napasku masih terdengar kencang, tapi mulai tenang. Aku
berlutut. Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah berbaring di depan anjing
itu—berusaha membuat giginya sama tinggi dengan wajahku—tapi itulah pilihan
terbaik yang kupunya. Aku menjulurkan kakiku ke belakang dan menopang tubuh
dengan siku. Anjing itu makin mendekat dan makin dekat, sampai aku merasakan
hangat napasnya di wajahku. Lenganku bergetar hebat.
Anjing itu menggonggong di telingaku dan aku menggertakkan
gigi, menahan diri agar tidak teriak.
Ada sesuatu yang kasar dan basah menyentuh pipiku.
Gonggongan anjing berhenti. Saat aku mendongakkan kepala untuk melihat sekali lagi,
anjing itu terengah-engah. Menjilati wajahku. Aku jongkok sambil mengernyitkan
dahi. Anjing itu menaikkan kakinya ke lututku dan menjilati daguku. Sejenak aku
merinding saat menghapus tetesan liur dari kulitku, dan akhirnya tertawa.
“Kau bukan hewan liar yang mengerikan, ya?”
Aku bangun perlahan agar tak mengejutkannya. Tapi,
sepertinya anjing ini bukan anjing yang tadi kulihat beberapa detik yang lalu.
Aku mengulurkan tangan hati-hati agar aku bisa cepat menariknya kembali jika
diperlukan. Anjing itu menyentuhkan kepalanya ke tanganku. Mendadak aku senang,
tadi aku tidak memilih pisau.
Aku mengedipkan mata dan membukanya, seorang anak kecil
berbaju putih berdiri di seberang ruangan. Ia mengulurkan kedua tangannya dan
berteriak, “Anak anjing!”
Saat anak perempuan itu berlari mendekati anjing di dekatku,
aku membuka mulut untuk mengingatkannya. Tapi, aku terlambat. Anjing itu
membalikkan badan. Bukannya menggeram, anjing itu langsung menggonggong.
Menggertak. Dan menyerang. Otot-otot tubuhnya melengkung seperti kabel gulung.
Anjing itu siap-siap melompat. Aku tak berpikir apa-apa lagi, aku melompat;
mendorong tubuhku ke bagian atas tubuh anjing, berusaha meraih leher besarnya
dengan rengkuhan lenganku.
Kepalaku membentur tanah. Anjingnya menghilang, juga gadis
kecil itu. Yang ada hanya aku sendiri—sekarang berada di dalam ruang uji yang
kosong. Aku membalikkan tubuh perlahan dan tak menemukan bayanganku sendiri.
Tak ada cermin. Aku mendorong pintu dan berjalan menuju aula. Tapi, ini bukan
aula. Ini bus dan semua kursinya penuh.
Aku berdiri di lorong bus dan berpegangan di tiang. Di
sebelahku, duduk seorang pria dengan korannya. Aku tak bisa melihat wajahnya
yang tertutup koran, tapi aku bisa melihat tangannya. Penuh bekas luka, seperti
bekas luka bakar. Tangan itu mencengkeram lembaran koran kuat-kuat seakan ia
ingin meremasnya.
“Kau kenal pria ini?” tanyanya. Ia mengetuk gambar di
halaman depan koran. Headline-nya
tertulis: “Pembunuh Brutal Akhirnya Tertangkap!”
Aku menatap kata “Pembunuh”. Sudah lama sejak terakhir
kalinya aku membaca kata itu, tapi itu pun masih bisa membuatku ketakutan.
Gambar di bawah headline
adalah gambar seorang pria muda berjenggot. Rasanya aku kenal ia, tapi aku tak
ingat bagaimana bisa aku mengenalnya. Dan, pada saat yang bersamaan, aku rasa
bukan ide yang baik untuk mengatakannya pada pria itu.
“Jadi?” aku dengar nada marah di suaranya. “Kau
mengenalnya?”
Ide buruk—bukan, ide yang sangat buruk. Jantungku
berdebar-debar dan aku menggenggam tiang itu lebih kuat agar tanganku tak makin
gemetar dan membuatku menyerah. Jika aku memberitahunya kalau aku kenal pria di
dalam artikel itu, sesuatu yang buruk akan terjadi padaku. Tapi, aku bisa
menyakinkannya kalau aku tak kenal. Aku bisa berdeham dan mengangkat bahu—tapi
itu berarti aku harus berbohong.
Aku berdehem.
“Kau kenal?” ulangnya.
Aku mengangkat bahu.
“Jadi?”
Aku gemetar. Ketakutanku tak masuk akal; ini cuma tes. Tidak
nyata. “Nggak,” ujarku, sewajar
mungkin. “Tidak tahu siapa ia.”
Ia berdiri dan akhirnya aku bisa melihat wajahnya. Ia
mengenakan kacamata hitam dan mulutnya melengkung menyeringai. Pipinya dipenuhi
bekas luka, persis seperti yang ada di tangannya. Ia membungkuk ke arahku.
Napasnya bau rokok. Tidak nyata, aku
mengingatkan diriku sendiri. Tidak nyata.
“Kau bohong,” ujarnya. “Kau bohong!”
“Tidak.”
“Aku bisa tahu dari matamu.”
Aku menegakkan tubuhku. “Kau tidak tahu apa-apa.”
“Kalau kau kenal dengannya,” ujarnya dengan suara rendah,
“kau bisa menyelamatkanku. Kau bisa menyelamatkan-ku.”
Aku memicingkan mata. “Yah,” ujarku. Aku mengatupkan
rahangku. “Aku tidak kenal.”[]
No comments:
Post a Comment