Divergent (Divergent #1) (25)

Penulis: Veronica Roth

25

Aku berdiri di susuran pinggir jurang bersama Will dan Christina, sambil menatap ke arah jurang. Sudah larut malam, semua warga Dauntless sudah tidur. Kedua bahuku masih terasa nyeri oleh bekas tusukan jarum. Kami bertiga baru saja ditato tiga jam lalu.

Tori satu-satunya orang di salon tato, jadi aku merasa aman saat menato simbol Abnegation—sepasang tangan menengadah terbuka seakan hendak menolong orang yang berdiri dan dihiasi lingkaran—di bahu kananku. Aku tahu ini berisiko, apalagi setelah apa yang terjadi. Tapi, simbol itu adalah bagian identitasku dan menurutku penting untuk mengabadikannya di tubuhku.

Aku menaiki salah satu batang pembatas yang melintang sambil merapatkan pinggulku agar tetap seimbang. Inilah tempat Al berdiri malam sebelumnya. Aku menunduk menatap jurang, ke arah air yang gelap, ke bebatuan yang tajam mencuat. Debur air menghantam dinding batu dan tepercik mengenai wajahku. Apa ia takut saat berdiri di sini? Apa ia bersikeras untuk tetap melompat sampai sepertinya semua terasa mudah?

Christina memberiku setumpuk kertas. Aku mendapatkan salinan tiap laporan yang dikeluarkan Erudite selama enam bulan terakhir. Melemparkan semua kertas ini ke jurang memang takkan membuat mereka berhenti selamanya, tapi mungkin bisa membuatku lebih baik.

Aku menatap laporan yang pertama. Ada gambar Jeanine, wakil Erudite. Matanya yang menarik tapi terlihat tajam itu balik menatapku.

“Kau pernah bertemu dengannya?” aku bertanya pada Will. Christina meremas laporan pertama menjadi sebuah gumpalan kusut dan melempatkannya ke sungai.

“Jeanine? Sekali,” jawabnya. Will mengambil laporan berikutnya dan merobeknya kecil-kecil. Potongan kertas itu mengambang di sungai. Ia melakukannya tidak dengan geram seperti Christina. Aku merasa satu-satunya alasan Will ikut melakukannya adalah untuk membuktikan padaku kalau ia tak setuju pada taktik faksi lamanya. Belum jelas apakah ia percaya apa yang dikatakan semua laporan itu atau tidak. Aku pun takut untuk bertanya.

“Sebelum ia menjadi pemimpin, ia bekerja bersama kakak perempuanku. Mereka mencoba mengembangkan serum simulasi jangka panjang,” ujarnya. “Jeanine sangat pintar. Kau bisa tahu itu bahkan sebelum ia berkata apa-apa. Seperti ... komputer berjalan.”

“Apa ...” aku melemparkan salah satu kertas itu melewati susuran. Bibirku merapat erat. Aku hanya perlu bertanya. “Apa pendapatmu tentang semua yang ia katakan?”

Will mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin ide bagus bila ada lebih dari satu faksi untuk mengatur pemerintahan. Dan, mungkin akan lebih bagus kalau kita punya banyak mobil dan ... buah segar dan ....”

“Tapi, kau tahu kan tidak ada gudang rahasia tempat menyimpan semuanya, kan?” tanyaku dengan wajah memanas.

“Ya, aku tahu,” ujarnya. “Aku cuma berpikir kalau rasa nyaman dan kemakmuran bukan prioritas Abnegation. Mungkin akan jadi prioritas bila faksi lain ikut diajak mengambil keputusan.”

“Karena memberi mobil untuk seorang anak Erudite itu lebih penting dari memberi makan untuk factionless,” bentakku.

“Hei kalian,” ujar Christina sambil mengusap bahu Will. “Seharusnya ini jadi sesi simbolis penghancuran dokumen yang menyenangkan, bukan debat politik.”

Aku tak jadi mengucapkan apa yang tadi terlintas di kepalaku dan menatap kumpulan kertas di tanga. Will dan Christina belakangan sering bersentuhan. Aku menyadarinya. Apa mereka menyadarinya?

“Tapi, semua yang Jeanine katakan tentang ayahmu,” lanjut Will, “membuatku tak menyukainya. Aku tak habis pikir apa bagusnya mengatakan banyak hal buruk seperti itu.”

Aku tahu jawabnya. Kalau Jeanine bisa membuat orang lain percaya kalau ayah dan para petinggi Abnegation lainnya korup dan buruk, ia akan mendapatkan dukungan untuk revolusi apa pun yang akan ia mulai, itu pun jika benar-benar menjadi rencananya. Namun, aku tidak mau berdebat lagi. Jadi, aku cuma mengangguk dan melemparkan sisa kertas-kertas itu ke jurang. Semua kertas itu berhamburan, melayang-layang, sampai akhirnya jatuh ke sungai.

“Waktunya tidur,” ujar Christina tersenyum. “Mau balik sekarang? Kurasa aku mau merendam tangan Peter di semangkuk air hangat untuk membuatnya ngompol nanti malam.”

Aku melangkah pergi dari pinggir jurang dan melihat bayangan bergerak di sisi kanan The Pit. Ada seseorang yang menaiki atap kaca, dan dilihat dari cara jalannya yang teratur, seakan kakinya tak menyentuh tanah, aku tahu itu Four.

“Kedengarannya bagus, tapi aku harus membicarakan sesuatu dengan Four,” kataku sambil menunjuk bayangan yang menaiki jalan setapak. Mata Christina mengikuti arah jariku.

“Kau yakin, kau mau berkeliaran sendirian di sini selarut ini?” tanyanya.

“Aku kan tidak sendirian. Aku bersama Four.” Aku menggigit bibirku sendiri.

Christina melihat Will. Will balik menatapnya. Mereka berdua sepertinya tak terlalu mendengarkanku.

“Baiklah,” ujar Christina datar. “Ya, sampai ketemu nanti.”

Christina dan Will berjalan menuju asrama. Christina mengacak-acak rambut Will dan Will memukul pinggang Christina. Aku memandangi mereka sejenak. Rasanya aku sedang melihat sebuah awal dari sesuatu, tapi aku tak yakin ke mana arahnya.

Aku berlari kecil di jalan setapak di sebelah kanan The Pit dan mulai ke atas. Aku mencoba melangkah sehening mungkin. Tidak seperti Christina, berbohong bukan masalah besar untukku. Aku tidak berniat berbicara dengan Four—setidaknya tidak sampai aku tahu ke mana ia pergi selarut ini. Ia mengarah ke gedung kaca di atas sana.

Aku berlari tanpa suara. Setibanya di tangga, aku sudah kehabisan napas. Aku berdiri di salah satu sisi ruangan kaca dan Four berada di sisi lainnya. Dari jendela aku bisa melihat cahaya lampu kota yang bersinar, tapi mulai meredup saat aku melihatnya. Semua lampu harus dimatikan saat tengah malam.

Di seberang ruangan, Four berdiri di ruangan menuju ruang ketakutan. Ia membawa sebuah kotak hitam di salah satu tangannya dan sebuah jarum suntik di tangan lainnya.

“Karena kau ada di sini,” ujarnya tanpa melirik, “kau mungkin harus ikut juga bersamaku.”

Aku menggigit bibirku sendiri. “Ke dalam ruang ketakutanmu?”

“Ya.”

Saat aku mendekatinya, aku bertanya, “Aku bisa melakukannya?”

“Serum ini menghubungkanmu dengan programnya,” ujarnya, “tapi, program ini menentukan ruang ketakutan mana yang kau lalui. Dan sekarang, semua diatur untuk membawa kita masuk ke ruang ketakutanku.”

“Kau membiarkanku melihatnya?”

“Menurutmu kenapa lagi aku masuk kemari?” tanyanya pelan. Ia terus menunduk. “Ada yang ingin kutunjukkan padamu.”

Ia memegang jarum suntiknya dan aku memiringkan kepala agar leherku terlihat. Nyeri menusuk saat jarum itu menembus kulitku, tapi aku sudah terbiasa. Setelah selesai, ia memberiku kotak hitam tadi. Di dalamnya ada jarum lainnya.

“Aku belum pernah melakukannya,” kataku sambil mengeluarkan jarum itu dari kotak. Aku tak mau menyakitinya.

“Di sini,” ujarnya sambil menyentuh satu titik di lehernya. Aku berjinjint dan menyuntiknya. Tanganku sedikit gemetar. Four bahkan tak berkedip.

Ia terus menatapku, dan setelah aku selesai Four meletakkan kedua jarum itu kembali ke dalam kotak dan menaruhnya di pintu. Ia tahu kalau aku akan mengikutinya kemari. Tahu atau berharap. Keduanya bukan masalah buatku.

Four mengulurkan tangan dan aku meraihnya. Jari-jarinya dingin dan rapuh. Rasanya aku ingin mengatakan sesuatu, tapi aku terlalu terpesona dan tak bisa berkata apa-apa. Ia membuka pintu dengan tangan satunya dan aku mengikutinya masuk ke dalam kegelapan. Sekarang, aku terbiasa memasuki ruang asing tanpa ragu. Aku menjaga napasku teratur dan mengenggam tangan Four kuat-kuat.

“Coba lihat apa kau bisa menebak kenapa aku dipanggil Four,” ujarnya.

Terdengar suara klik pintu tertutup dan semuanya langsung gelap gulita. Udara di ruang ini dingin. Aku bisa mengatakan partikelnya memasuki paru-paru. Aku mendekat ke arah Four sehingga lengan kami saling bersentuhan dan daguku ada di bahunya.

“Siapa namamu yang sebenarnya?” tanyaku.

“Coba kau tebak itu juga.”

Simulasi mulai membawa kami masuk ke dalam ketakutan Four. Tanah tempatku berdiri tak lagi dibuat dari semen. Tanahnya berkeretak saat diinjak seperti logam. Ada cahaya menyorot dari segala sudut. Di hadapan kami, terbentang jalan ke kota. Gedung-gedung kaca. Jalur-jalur kereta api. Dan, kami berada jauh di atas. Aku tak pernah melihat langit biru belakangan ini, jadi saat langit terhampat seluas ini, aku merasa udara serempak masuk ke dalam paru-paru. Membuatku pusing.

Kemudian, angin mulai bertiup. Anginnya sangat kencang sampai-sampai aku harus berpegangan pada Four supaya tetap bisa berdiri. Ia melepaskan genggamannya dan merangkul pundakku. Tadinya kupikir Four ingin melindungiku—tapi tidak, ia sendiri susah bernapas dan ia memerlukanku untuk membantunya. Ia memaksakan diri untuk bernapas dengan mulut terbuka. Giginya gemeretak.

Bagiku ketinggian itu hal menyenangkan. Tapi kalau aku berada di sini, artinya ini salah satu mimpi terburuknya.

“Kita harus lompat, kan?” teriakku di tengah deru angin.

Ia mengangguk.

“Di hitungan ketiga, oke?”

Ia mengangguk lagi.

“Satu ... dua ... tiga!” aku menariknya bersamaku saat aku mulai berlari. Setelah kami menjejakkan langkah pertama, selebihnya semua terasa mudah. Kami berdua melompat dari tepi gedung. Kami jatuh seperti dua buah batu, cepat dan terhempas angin. Daratan makin mendekat. Kemudian, semuanya menghilang dan aku berlutut di lantai sambil menyeringai lebar. Aku suka gelora yang kurasakan di hari saat aku memilih Dauntless dan aku masih menyukainya sekarang.

Di sampingku, Four terkesiap dan memegangi dadanya.

Aku bangkit dan membantunya berdiri. “Berikutnya apa?”

“Itu—”

Sesuatu membentur tulang punggungku. Aku terjerembap menabrak Four. Kepalaku mengenai tulang selangkanya. Dinding-dinding mulai bermunculan di kanan kiriku. Ruangan ini begitu sempit sampai Four harus merapatkan lengannya di dada suapaya bisa muat. Ada atap terpasang di dinding yang mengelilingi kami. Terdengar suara berderak. Four pun membungkuk sambil mengerang. Ruangan ini hanya sebesar ukuran tubuhnya, tidak lebih.

“Ruang sempit,” kataku.

Ia menggeram. Aku memiringkan kepala dan sedikit mundur untuk melihatnya. Aku tak bisa melihat wajahnya. Terlalu gelap. Udaranya pun begitu pengap. Kami bernapas di udara yang sama. Ia mengerang seakan merasa kesakitan.

“Hei,” kataku. “Tidak apa-apa. Sini—”

Aku menarik lengannya melingkat di tubuhku sehingga ia memiliki ruang yang lebih luas. Ia memegangi punggungku dan wajahnya tepat menatapku sambil terus membungkuk. Tubuhnya hangat, tapi yang kurasakan tulang dan ototnya. Tak ada lagi yang bisa kuberikan. Pipiku memerah.

“Ini pertama kalinya aku senang badanku terlalu kecil.” Aku tertawa. Kalau aku bercanda mungkin aku bisa membuatnya senang. Sekaligus mengalihkan pikiranku.

“Mmm,” erang Four tertahan.

“Kita tidak bisa mendobrak keluar,” kataku. “Lebih mudah menghadapi rasa takutmu sendiri, kan?” aku tak menunggu jawaban. “Jadi, yang perlu kau lakukan adalah membuat ruangan ini lebih kecil. Kalau membuatnya lebih buruk, maka semuanya akan lebih baik. Begitu, kan?”

“Ya.” Kali ini yang tercetus hanya sebuah kata pendek dan tegang.

“Oke, jadi kita harus membungkuk. Siap?”

Aku memegang pinggangnya menariknya ikut merunduk. Aku merasakan ronjolan tulangnya di balik tanganku dan mendengar suara derit papan kayu saat langit-langit di atas kami ikut turun. Aku sadar kami takkan muat di tempat sekecil ini, jadi aku membalikkan badan dan makin merunduk. Tulang punggungku menyentuh dadanya. Salah satu lutut Four menekuk di dekat kepalaku dan yang lainnya terlipat di bawahku, jadi aku pun duduk di pergelangan kakinya. Kami seperti tubuh yang terlipat-lipat. Bisa kurasakan embusan napasnya di telingaku.

“Ah,” ujar Four. Suaranya parau. “Ini tambah buruk. Ini benar-benar ....”

“Shh,” kataku. “Sini peluk aku.”

Four melingkarkan kedua lengannya di pinggangku dengan patuh. Aku tersenyum menghadap dinding. Aku benar-benar tidak menikmati ini. Tidak, tak sedikit pun. Sama sekali.

“Simulasi ini mengukur respons ketakutanmu,” kataku lembut. Aku hanya mengulangi apa yang pernah ia katakan, tapi mengingatkannya seperti itu takkan berguna. “Jadi, kalau kau bisa menenangkan detak jantungmu. Simulasinya akan berpindah ke ketakutan berikutnya. Ingat, kan? Jadi, coba lupakan kalau kita ada di sini.”

“Yeah?” aku merasakan gerak bibirnya di telingaku saat ia berbicara dan ada rasa panas menjalari tubuku. Segampang itu, ya?”

“Kau tahu, kebanyakan anak laki-laki senang sekali terperangkap dengan seorang gadis di ruang tertutup seperti ini.”

“Orang yang klaustrofobia, tidak Tris!” sekarang ia terdengar putus asa.

“Oke,oke.” Aku memegang tangannya dan menuntunnya ke dadaku. Tangannya sekarang tepat berada di atas jantungku. “Coba rasakan detak jantungku. Kau bisa merasakannya?”

“Ya.”

“Kau bisa merasakan detaknya normal?”

“Detaknya cepat.”

“Ya, tapi kan itu tak ada hubungannya dengan kitak sempit ini.” Aku meringis  setelah selesai mengucapkannya. Aku baru saja mengakui sesuatu. Kuharap Four tidak menyadarinya. “Tiap kali kau merasa aku menari napas, kau menarik napas juga. Fokus di sana ya.”

“Oke.”

Aku menarik napas dalan dan dadanya naik turun bersama ritme napasku. Setelah beberapa detik, aku dengan tenang berkata, “Kenapa kau tak cerita padaku dari mana asal semua ketakutan ini. Mungkin dengan cara membicarakannya akan membantu ... entah bagaimana caranya.”

Aku tak tahu bagaimana caranya, tapi memang sepertinya itu benar.

“Um ... oke.” Ia menarik napas lagi bersamaku. “Ini dimulai dari masa kecilku yang fantastis. Hukuman masa kecil. Lemari kecil di bawah tangga.”

Aku merapatkan bibirku. Aku ingat pernah dihukum—disuruh ke kamar tanpa makan malam, tidak boleh melakukan ini itu, dan teriakan yang tegas. Aku tak pernah dikurung di lemari. Kekejaman yang jitu. Dadaku ikut merasa sakit. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan, jadi aku mencoba tetap santai.

“Ibuku menyimpan mantel musim dingin kami di lemari.”

“Aku tidak ...” Four terkesiap. “Aku tidak ingin membicarakannya lagi.”

“Oke. Kalau begitu ... aku saja yang bicara. Tanya apa saja padaku.”

“Oke.” Ia tertawa gemetar di telingaku. “Kenapa jantungmu berdebar kencang, Tris?”

Bulu kudukku berdiri dan aku pun berkata, “Ya, aku ....” Aku mencari-cari alasan yang tak ada hubungannya dengan lengannya yang kini memelukku. “Aku kan tidak terlalu mengenalmu.” Tidak cukup bagus. “aku tidak mengenalmu dan aku terperangkap di dalam kotak bersamamu, Four, menurutmu bagaimana?”

“Kalau kita ada di dalam ruang ketakutanmu,” ujarnya, “apa aku akan ada di dalamnya?”

“Aku kan tidak takut padamu.”

“Memang tidak. Tapi, bukan itu maksudku.”

Ia tertawa lagi. Saat ia tertawa, dindingnya retak dan berjatuhan. Terlihat ada celah bercahaya. Four menghela napas dan melepaskan rangkulannya. Aku susah payah berdiri dan menepuk-nepuk tubuhku sendiri walau tidak ada kotoran. Kugosokkan telapak tangan di atas celana jins. Punggungku terasa dingin saat Four tak lagi menempel di belakangku.

Ia berdiri di depanku. Senyumnya lebar dan aku tak yakin apakah aku suka tatapan di matanya.

“Mungkin kau cocok masuk Candor,” ujarnya, “karena kau tak bisa berbohong.”

“Kurasa Tes Kecakapanku langsung mencoretnya.”

Ia menggeleng. “Tes Kecakapan tak memberitahumu apa-apa.”

Aku memicingkan mata. “Apa yang coba kau katakan? Hasil tesmu bukanlah alasan kau ada di Dauntless?”

Ada rasa senang menjalari tubuhku. Seperti aliran darah di dalam pembuluh yang menggelegak oleh harapan kalau mungkin saja ia mengaku kalau ia Divergent. Kalau ia sepertiku. Kalau kami bisa mencari tahu maknanya bersama-sama.

“Tidak juga, tidak,” ujarnya. “Aku ....”

Ia melirik ke belakang dan kata-katanya menggantung. Seorang wanita berdiri beberapa meter sambil mengacungkan senjata ke arah kami. Ia benar-benar kaki. Sosoknya biasa aja—kalaupun kami menjaud sekarang, aku takkan mengingatnya. Di sebelah kananku, muncullah sebuah meja. Ada sebuah pistol dan sebuah peluru di sana. Kenapa ia tak menembak kami?

Oh, pikirku. Ketakutan kali ini tak ada hubungannya dengan ancaman untuk Four. Tapi, berhubungan dengan senjata di atas meja.

“Kau harus membunuhnya,” ujarku pelan.

“Selalu.”

“Ia tidak nyata.”

“Kelihatannya sungguhan.” Ia menggigit bibirnya. “Rasanya sungguhan.”

“Kalau ia sungguhan, ia pasti sudah membunuhmu.”

“Oke.” Ia mengangguk. “Aku cuma ... harus melakukannya. Ini tidak ... tidak begitu buruk. Tidak seburuk kalau kau merasa panik.”

Tidak begitu panik, tapi takut. Aku bisa melihat dari matanya saat ia mengambil senjata itu dan membuka tempat pelurunya seakan ia sudah pernah melakukannya seribu kali—dan mungkin memang begitu. Ia memasukkan peluru ke dalam sarangnya dan mengulurkan senjata ke depan. Kedua tangannya memegang senjata itu. Ia menutup salah satu matanya dan perlahan menarik napas.

Saat ia menghela napas, ia melepaskan tembakan. Kepala wanita itu tersentak ke belakang. Aku melihat warna merah berhambur di udara dan langsung memalingkan muka. Aku mendengar debum suara tubuhnya terjatuh di lantai.

Four langsung melempar senjatanya. Kami menatap tubuhnya yang tergeletak. Yang ia katakan benar—memang terasa sungguhan. Jangan konyol. Aku menarik tangannya.

“Ayo,” kataku. “Ayo pergi. Terus jalan.”

Setelah aku menarik lengannya lagi, barulah buyar lamunannya dan Four pun mengikutiku. Saat kami melewati meja itu, tubuh wanita itu menghilang. Tapi, tidak dari ingatan kami. Bagaimana rasanya jika harus membunuh seseorang setiap aku memasuki ruang ketakutanku sendiri? Mungkn nanti aku akan tahu.

Tapi, ada yang membuatku bingung. Ini seharusnya menjadi ketakutan terburuk Four. Dan, walaupun tadi ia panik saat berada dalam kotak dan di atap, ia membunuh wanita itu tanpa banyak kesulitan. Sepertinya simulasi ini mencoba mendapatkan ketakutan apa pun yang bisa ditemukan di dalamnya, dan ternyata memang tidak terlalu banyak dan bisa ditunjukkan.

“Ini dia,” bisiknya.

Sesosok tubuh berjalan mendekati kami. Perlahan merayap di pinggir cahaya lampu sambil menunggu kami melangkah lebih dekat. Siapa itu? Siapa yang sering menghantui Four di dalam mimpi-mimpinya?

Pria yang muncul bertubuh tinggi kurus dengan potongan rambut cepak. Ia memegang sesuatu di balik punggungnya, dan mengenakan jubah abu-abu Abnegation.

“Marcus,” bisikku.

“Di sinilah bagian,” ujar Four dengan suara gemetar, “di mana kau tahu siapa namaku.”

“Apa ia ...” Aku mengalihkan pandangan dari Marcus yang berjalan perlahan medekati kami ke arah Four yang perlahan ikut melangkah mundur. Dan, semuanya menjadi jelas. Marcus memiliki anak laki-laki yang bergabung dengan Dauntless. Namanya ... “Tobias.”

Marcus mengulurkan tangannya. Ada ikat pinggang yang melingkari kepalan tangannya. Perlahan ia membuka ikat pinggang itu dengan jarinya.

“Ini untuk kebaikanmu sendiri,” ujarnya dan suaranya bergema berkali-kali.

Muncullah belasan Marcus di bawah lampu. Semuanya memegang ikat pinggang yang sama. Semuanya tanpa ekspresi. Saat Marcus mengedipkan mata lagi, matanya berubah menjadi hitam kelam. Ikat pinggang itu menggelantung sampai ke lantai yang sekarang berwarna putih. Aku merinding. Erudite pernah menuduh Marcus orang yang kejam. Dan untuk pertama kalinya, Erudite benar.

Aku menoleh ke Four—atau Tobias—dan ia kelihatannya membeku. Sosoknya seperti lunglai. Four kelihatan beberapa tahun lebih tua, sekaligus jauh lebih muda. Marcus mulai menarik tangannya ke belakang. Ikat pinggan itu mengayun melewati bahunya saat ia bersiap untuk mencambuk. Tobias mundur dan memasang lengannya ke depan untuk melindungi wajah.

Aku bergegas berdiri di depannya dan ikat pinggang itu mencambuk dan membelit pergelangan tanganku. Ada rasa panas membakar lenganku sampai ke siku. Akku menggertakkan gigi dan menariknya sekuat mungkin. Marcus melepaskan genggamannya, jadi aku langsung melepaskan ikat pinggang itu dan mencengkeram mata gespernya.

Aku mengayunkan lenganku sekuat mungkin. Bahuku terasa sakit karena gerakan tiba-tiba itu. Ikat pinggang itu mencambuk bahu Marcus. Ia berteriak dan menerjangku dengan tangan terulur. Kukunya terlihat seperti cakar binantang. Tobias mendorongku ke belakang sehingga ia berdiri di antara aku dan Marcus. Ia kelihatan marah, bukannya takut.

Tiba-tiba semua bayangan Marcus menghilang. Cahaya pun menyeruak dan yang terbentang di hadapan kami ruang sempit yang panjang dengan dinding bata dan lantai semen.

“Cuma itu?” kataku. “Itu ketakutan terburukmu? Kenapa kau cuma punya empat ...” kata-kataku terputus. Cuma ada empat ketakutan.

“Oh.” Aku meliriknya. “Itulah kenapa mereka memanggilmu—”

Kata-kataku terpotong saat aku melihat ekspresinya. Matanya melebar dan kelihatannya seperti rapuh di tengah sorot lampu ruangan. Bibirnya menganga. Kalau kami tak ada di sini, aku pasti sudah mengartikan tatapannya seperti terpana. Tapi, aku tak mengerti kenapa Four menatapku terpana seperti itu.

Four menggenggam siku lenganku. Jari-jarinya dengan kuat menggenggam kulit lembut lengan atasku dan menarikku mendekat. Rasanya ikat pinggang tadi seperti sungguhan. Kulit di sekitar pergelangan tanganku masih terasa sakit. Tapi, warnya sudah berubah sama pucatnya seperti kulit tubuhku biasanya. Bibirnya perlahan bergerak mendekat pipiku. Kemudian, dengan lengannya merangkul erat bahuku, Four membenamkan wajahnya di leherku. Napasnya langsung menyentuh kulitku.

Aku bergeming beberapa detik, lalu ikut melingkarkan lenganku merangkulnya sambil menghela napas.

“Hei,” ujarku lembut. “Kita sudah melewatinya.”

Four mengangkat kepala dan menyisir rambutku dengan jari menyelipkan rambutku di belakang telinga. Kami saling menatap. Jemarinya bergerak perlahan di antara helai-helai rambutku.

“Kau membuatku bisa melewatinya,” akhirnya ia membuka suara.

“Ya.” Tenggorokanku terasa kering. Aku mencoba mengabaikan sensasi gugup yang menjalariku seperti aliran listrik, setiap kali Four menyentuhku. “Kan gampang saja untuk berani kalau itu bukan rasa takutku sendiri.”

Aku membiarkan tanganku turun dan menggosokkannya dengan santai ke celana jinsku. Semoga ia tak menyadarinya.

Kalaupun ia menyadarinya, Four tak mengatakannya. Ia langsung menggenggam jari-jariku.

“Ayo,” ujarnya. “Ada lagi yang ingin kutunjukkan padamu.”[]




No comments:

Post a Comment