25
Aku berdiri di susuran pinggir jurang bersama Will dan
Christina, sambil menatap ke arah jurang. Sudah larut malam, semua warga
Dauntless sudah tidur. Kedua bahuku masih terasa nyeri oleh bekas tusukan
jarum. Kami bertiga baru saja ditato tiga jam lalu.
Tori satu-satunya orang di salon tato, jadi aku merasa aman
saat menato simbol Abnegation—sepasang tangan menengadah terbuka seakan hendak
menolong orang yang berdiri dan dihiasi lingkaran—di bahu kananku. Aku tahu ini
berisiko, apalagi setelah apa yang terjadi. Tapi, simbol itu adalah bagian
identitasku dan menurutku penting untuk mengabadikannya di tubuhku.
Aku menaiki salah satu batang pembatas yang melintang sambil
merapatkan pinggulku agar tetap seimbang. Inilah tempat Al berdiri malam
sebelumnya. Aku menunduk menatap jurang, ke arah air yang gelap, ke bebatuan
yang tajam mencuat. Debur air menghantam dinding batu dan tepercik mengenai
wajahku. Apa ia takut saat berdiri di sini? Apa ia bersikeras untuk tetap
melompat sampai sepertinya semua terasa mudah?
Christina memberiku setumpuk kertas. Aku mendapatkan salinan
tiap laporan yang dikeluarkan Erudite selama enam bulan terakhir. Melemparkan
semua kertas ini ke jurang memang takkan membuat mereka berhenti selamanya,
tapi mungkin bisa membuatku lebih baik.
Aku menatap laporan yang pertama. Ada gambar Jeanine, wakil
Erudite. Matanya yang menarik tapi terlihat tajam itu balik menatapku.
“Kau pernah bertemu dengannya?” aku bertanya pada Will.
Christina meremas laporan pertama menjadi sebuah gumpalan kusut dan
melempatkannya ke sungai.
“Jeanine? Sekali,” jawabnya. Will mengambil laporan
berikutnya dan merobeknya kecil-kecil. Potongan kertas itu mengambang di
sungai. Ia melakukannya tidak dengan geram seperti Christina. Aku merasa
satu-satunya alasan Will ikut melakukannya adalah untuk membuktikan padaku
kalau ia tak setuju pada taktik faksi lamanya. Belum jelas apakah ia percaya
apa yang dikatakan semua laporan itu atau tidak. Aku pun takut untuk bertanya.
“Sebelum ia menjadi pemimpin, ia bekerja bersama kakak
perempuanku. Mereka mencoba mengembangkan serum simulasi jangka panjang,”
ujarnya. “Jeanine sangat pintar. Kau bisa tahu itu bahkan sebelum ia berkata
apa-apa. Seperti ... komputer berjalan.”
“Apa ...” aku melemparkan salah satu kertas itu melewati
susuran. Bibirku merapat erat. Aku hanya perlu bertanya. “Apa pendapatmu
tentang semua yang ia katakan?”
Will mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Mungkin ide bagus
bila ada lebih dari satu faksi untuk mengatur pemerintahan. Dan, mungkin akan
lebih bagus kalau kita punya banyak mobil dan ... buah segar dan ....”
“Tapi, kau tahu kan tidak ada gudang rahasia tempat
menyimpan semuanya, kan?” tanyaku dengan wajah memanas.
“Ya, aku tahu,” ujarnya. “Aku cuma berpikir kalau rasa
nyaman dan kemakmuran bukan prioritas Abnegation. Mungkin akan jadi prioritas
bila faksi lain ikut diajak mengambil keputusan.”
“Karena memberi mobil untuk seorang anak Erudite itu lebih
penting dari memberi makan untuk factionless,”
bentakku.
“Hei kalian,” ujar Christina sambil mengusap bahu Will.
“Seharusnya ini jadi sesi simbolis penghancuran dokumen yang menyenangkan,
bukan debat politik.”
Aku tak jadi mengucapkan apa yang tadi terlintas di kepalaku
dan menatap kumpulan kertas di tanga. Will dan Christina belakangan sering bersentuhan.
Aku menyadarinya. Apa mereka menyadarinya?
“Tapi, semua yang Jeanine katakan tentang ayahmu,” lanjut
Will, “membuatku tak menyukainya. Aku tak habis pikir apa bagusnya mengatakan
banyak hal buruk seperti itu.”
Aku tahu jawabnya. Kalau Jeanine bisa membuat orang lain
percaya kalau ayah dan para petinggi Abnegation lainnya korup dan buruk, ia
akan mendapatkan dukungan untuk revolusi apa pun yang akan ia mulai, itu pun
jika benar-benar menjadi rencananya. Namun, aku tidak mau berdebat lagi. Jadi,
aku cuma mengangguk dan melemparkan sisa kertas-kertas itu ke jurang. Semua
kertas itu berhamburan, melayang-layang, sampai akhirnya jatuh ke sungai.
“Waktunya tidur,” ujar Christina tersenyum. “Mau balik
sekarang? Kurasa aku mau merendam tangan Peter di semangkuk air hangat untuk
membuatnya ngompol nanti malam.”
Aku melangkah pergi dari pinggir jurang dan melihat bayangan
bergerak di sisi kanan The Pit. Ada seseorang yang menaiki atap kaca, dan
dilihat dari cara jalannya yang teratur, seakan kakinya tak menyentuh tanah,
aku tahu itu Four.
“Kedengarannya bagus, tapi aku harus membicarakan sesuatu
dengan Four,” kataku sambil menunjuk bayangan yang menaiki jalan setapak. Mata
Christina mengikuti arah jariku.
“Kau yakin, kau mau berkeliaran sendirian di sini selarut
ini?” tanyanya.
“Aku kan tidak sendirian. Aku bersama Four.” Aku menggigit
bibirku sendiri.
Christina melihat Will. Will balik menatapnya. Mereka berdua
sepertinya tak terlalu mendengarkanku.
“Baiklah,” ujar Christina datar. “Ya, sampai ketemu nanti.”
Christina dan Will berjalan menuju asrama. Christina
mengacak-acak rambut Will dan Will memukul pinggang Christina. Aku memandangi
mereka sejenak. Rasanya aku sedang melihat sebuah awal dari sesuatu, tapi aku
tak yakin ke mana arahnya.
Aku berlari kecil di jalan setapak di sebelah kanan The Pit
dan mulai ke atas. Aku mencoba melangkah sehening mungkin. Tidak seperti
Christina, berbohong bukan masalah besar untukku. Aku tidak berniat berbicara
dengan Four—setidaknya tidak sampai aku tahu ke mana ia pergi selarut ini. Ia
mengarah ke gedung kaca di atas sana.
Aku berlari tanpa suara. Setibanya di tangga, aku sudah
kehabisan napas. Aku berdiri di salah satu sisi ruangan kaca dan Four berada di
sisi lainnya. Dari jendela aku bisa melihat cahaya lampu kota yang bersinar,
tapi mulai meredup saat aku melihatnya. Semua lampu harus dimatikan saat tengah
malam.
Di seberang ruangan, Four berdiri di ruangan menuju ruang
ketakutan. Ia membawa sebuah kotak hitam di salah satu tangannya dan sebuah
jarum suntik di tangan lainnya.
“Karena kau ada di sini,” ujarnya tanpa melirik, “kau
mungkin harus ikut juga bersamaku.”
Aku menggigit bibirku sendiri. “Ke dalam ruang ketakutanmu?”
“Ya.”
Saat aku mendekatinya, aku bertanya, “Aku bisa
melakukannya?”
“Serum ini menghubungkanmu dengan programnya,” ujarnya,
“tapi, program ini menentukan ruang ketakutan mana yang kau lalui. Dan
sekarang, semua diatur untuk membawa kita masuk ke ruang ketakutanku.”
“Kau membiarkanku melihatnya?”
“Menurutmu kenapa lagi aku masuk kemari?” tanyanya pelan. Ia
terus menunduk. “Ada yang ingin kutunjukkan padamu.”
Ia memegang jarum suntiknya dan aku memiringkan kepala agar
leherku terlihat. Nyeri menusuk saat jarum itu menembus kulitku, tapi aku sudah
terbiasa. Setelah selesai, ia memberiku kotak hitam tadi. Di dalamnya ada jarum
lainnya.
“Aku belum pernah melakukannya,” kataku sambil mengeluarkan
jarum itu dari kotak. Aku tak mau menyakitinya.
“Di sini,” ujarnya sambil menyentuh satu titik di lehernya.
Aku berjinjint dan menyuntiknya. Tanganku sedikit gemetar. Four bahkan tak
berkedip.
Ia terus menatapku, dan setelah aku selesai Four meletakkan
kedua jarum itu kembali ke dalam kotak dan menaruhnya di pintu. Ia tahu kalau
aku akan mengikutinya kemari. Tahu atau berharap. Keduanya bukan masalah
buatku.
Four mengulurkan tangan dan aku meraihnya. Jari-jarinya
dingin dan rapuh. Rasanya aku ingin mengatakan sesuatu, tapi aku terlalu
terpesona dan tak bisa berkata apa-apa. Ia membuka pintu dengan tangan satunya
dan aku mengikutinya masuk ke dalam kegelapan. Sekarang, aku terbiasa memasuki
ruang asing tanpa ragu. Aku menjaga napasku teratur dan mengenggam tangan Four
kuat-kuat.
“Coba lihat apa kau bisa menebak kenapa aku dipanggil Four,”
ujarnya.
Terdengar suara klik pintu tertutup dan semuanya langsung
gelap gulita. Udara di ruang ini dingin. Aku bisa mengatakan partikelnya
memasuki paru-paru. Aku mendekat ke arah Four sehingga lengan kami saling
bersentuhan dan daguku ada di bahunya.
“Siapa namamu yang sebenarnya?” tanyaku.
“Coba kau tebak itu juga.”
Simulasi mulai membawa kami masuk ke dalam ketakutan Four.
Tanah tempatku berdiri tak lagi dibuat dari semen. Tanahnya berkeretak saat
diinjak seperti logam. Ada cahaya menyorot dari segala sudut. Di hadapan kami,
terbentang jalan ke kota. Gedung-gedung kaca. Jalur-jalur kereta api. Dan, kami
berada jauh di atas. Aku tak pernah melihat langit biru belakangan ini, jadi
saat langit terhampat seluas ini, aku merasa udara serempak masuk ke dalam
paru-paru. Membuatku pusing.
Kemudian, angin mulai bertiup. Anginnya sangat kencang
sampai-sampai aku harus berpegangan pada Four supaya tetap bisa berdiri. Ia
melepaskan genggamannya dan merangkul pundakku. Tadinya kupikir Four ingin
melindungiku—tapi tidak, ia sendiri susah bernapas dan ia memerlukanku untuk
membantunya. Ia memaksakan diri untuk bernapas dengan mulut terbuka. Giginya
gemeretak.
Bagiku ketinggian itu hal menyenangkan. Tapi kalau aku
berada di sini, artinya ini salah satu mimpi terburuknya.
“Kita harus lompat, kan?” teriakku di tengah deru angin.
Ia mengangguk.
“Di hitungan ketiga, oke?”
Ia mengangguk lagi.
“Satu ... dua ... tiga!” aku menariknya bersamaku saat aku
mulai berlari. Setelah kami menjejakkan langkah pertama, selebihnya semua
terasa mudah. Kami berdua melompat dari tepi gedung. Kami jatuh seperti dua
buah batu, cepat dan terhempas angin. Daratan makin mendekat. Kemudian,
semuanya menghilang dan aku berlutut di lantai sambil menyeringai lebar. Aku
suka gelora yang kurasakan di hari saat aku memilih Dauntless dan aku masih
menyukainya sekarang.
Di sampingku, Four terkesiap dan memegangi dadanya.
Aku bangkit dan membantunya berdiri. “Berikutnya apa?”
“Itu—”
Sesuatu membentur tulang punggungku. Aku terjerembap
menabrak Four. Kepalaku mengenai tulang selangkanya. Dinding-dinding mulai
bermunculan di kanan kiriku. Ruangan ini begitu sempit sampai Four harus
merapatkan lengannya di dada suapaya bisa muat. Ada atap terpasang di dinding
yang mengelilingi kami. Terdengar suara berderak. Four pun membungkuk sambil
mengerang. Ruangan ini hanya sebesar ukuran tubuhnya, tidak lebih.
“Ruang sempit,” kataku.
Ia menggeram. Aku memiringkan kepala dan sedikit mundur
untuk melihatnya. Aku tak bisa melihat wajahnya. Terlalu gelap. Udaranya pun
begitu pengap. Kami bernapas di udara yang sama. Ia mengerang seakan merasa
kesakitan.
“Hei,” kataku. “Tidak apa-apa. Sini—”
Aku menarik lengannya melingkat di tubuhku sehingga ia
memiliki ruang yang lebih luas. Ia memegangi punggungku dan wajahnya tepat
menatapku sambil terus membungkuk. Tubuhnya hangat, tapi yang kurasakan tulang
dan ototnya. Tak ada lagi yang bisa kuberikan. Pipiku memerah.
“Ini pertama kalinya aku senang badanku terlalu kecil.” Aku
tertawa. Kalau aku bercanda mungkin aku bisa membuatnya senang. Sekaligus
mengalihkan pikiranku.
“Mmm,” erang Four tertahan.
“Kita tidak bisa mendobrak keluar,” kataku. “Lebih mudah
menghadapi rasa takutmu sendiri, kan?” aku tak menunggu jawaban. “Jadi, yang
perlu kau lakukan adalah membuat ruangan ini lebih kecil. Kalau membuatnya
lebih buruk, maka semuanya akan lebih baik. Begitu, kan?”
“Ya.” Kali ini yang tercetus hanya sebuah kata pendek dan
tegang.
“Oke, jadi kita harus membungkuk. Siap?”
Aku memegang pinggangnya menariknya ikut merunduk. Aku
merasakan ronjolan tulangnya di balik tanganku dan mendengar suara derit papan
kayu saat langit-langit di atas kami ikut turun. Aku sadar kami takkan muat di
tempat sekecil ini, jadi aku membalikkan badan dan makin merunduk. Tulang
punggungku menyentuh dadanya. Salah satu lutut Four menekuk di dekat kepalaku dan
yang lainnya terlipat di bawahku, jadi aku pun duduk di pergelangan kakinya.
Kami seperti tubuh yang terlipat-lipat. Bisa kurasakan embusan napasnya di
telingaku.
“Ah,” ujar Four. Suaranya parau. “Ini tambah buruk. Ini
benar-benar ....”
“Shh,” kataku. “Sini peluk aku.”
Four melingkarkan kedua lengannya di pinggangku dengan
patuh. Aku tersenyum menghadap dinding. Aku benar-benar tidak menikmati ini.
Tidak, tak sedikit pun. Sama sekali.
“Simulasi ini mengukur respons ketakutanmu,” kataku lembut.
Aku hanya mengulangi apa yang pernah ia katakan, tapi mengingatkannya seperti
itu takkan berguna. “Jadi, kalau kau bisa menenangkan detak jantungmu.
Simulasinya akan berpindah ke ketakutan berikutnya. Ingat, kan? Jadi, coba
lupakan kalau kita ada di sini.”
“Yeah?” aku merasakan gerak bibirnya di telingaku saat ia
berbicara dan ada rasa panas menjalari tubuku. Segampang itu, ya?”
“Kau tahu, kebanyakan anak laki-laki senang sekali
terperangkap dengan seorang gadis di ruang tertutup seperti ini.”
“Orang yang klaustrofobia, tidak Tris!” sekarang ia
terdengar putus asa.
“Oke,oke.” Aku memegang tangannya dan menuntunnya ke dadaku.
Tangannya sekarang tepat berada di atas jantungku. “Coba rasakan detak
jantungku. Kau bisa merasakannya?”
“Ya.”
“Kau bisa merasakan detaknya normal?”
“Detaknya cepat.”
“Ya, tapi kan itu tak ada hubungannya dengan kitak sempit
ini.” Aku meringis setelah selesai
mengucapkannya. Aku baru saja mengakui sesuatu. Kuharap Four tidak
menyadarinya. “Tiap kali kau merasa aku menari napas, kau menarik napas juga.
Fokus di sana ya.”
“Oke.”
Aku menarik napas dalan dan dadanya naik turun bersama ritme
napasku. Setelah beberapa detik, aku dengan tenang berkata, “Kenapa kau tak
cerita padaku dari mana asal semua ketakutan ini. Mungkin dengan cara
membicarakannya akan membantu ... entah bagaimana caranya.”
Aku tak tahu bagaimana caranya, tapi memang sepertinya itu
benar.
“Um ... oke.” Ia menarik napas lagi bersamaku. “Ini dimulai
dari masa kecilku yang fantastis. Hukuman masa kecil. Lemari kecil di bawah
tangga.”
Aku merapatkan bibirku. Aku ingat pernah dihukum—disuruh ke
kamar tanpa makan malam, tidak boleh melakukan ini itu, dan teriakan yang
tegas. Aku tak pernah dikurung di lemari. Kekejaman yang jitu. Dadaku ikut
merasa sakit. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan, jadi aku mencoba tetap
santai.
“Ibuku menyimpan mantel musim dingin kami di lemari.”
“Aku tidak ...” Four terkesiap. “Aku tidak ingin
membicarakannya lagi.”
“Oke. Kalau begitu ... aku saja yang bicara. Tanya apa saja
padaku.”
“Oke.” Ia tertawa gemetar di telingaku. “Kenapa jantungmu
berdebar kencang, Tris?”
Bulu kudukku berdiri dan aku pun berkata, “Ya, aku ....” Aku
mencari-cari alasan yang tak ada hubungannya dengan lengannya yang kini
memelukku. “Aku kan tidak terlalu mengenalmu.” Tidak cukup bagus. “aku tidak mengenalmu dan aku terperangkap di
dalam kotak bersamamu, Four, menurutmu bagaimana?”
“Kalau kita ada di dalam ruang ketakutanmu,” ujarnya, “apa
aku akan ada di dalamnya?”
“Aku kan tidak takut padamu.”
“Memang tidak. Tapi, bukan itu maksudku.”
Ia tertawa lagi. Saat ia tertawa, dindingnya retak dan
berjatuhan. Terlihat ada celah bercahaya. Four menghela napas dan melepaskan
rangkulannya. Aku susah payah berdiri dan menepuk-nepuk tubuhku sendiri walau
tidak ada kotoran. Kugosokkan telapak tangan di atas celana jins. Punggungku
terasa dingin saat Four tak lagi menempel di belakangku.
Ia berdiri di depanku. Senyumnya lebar dan aku tak yakin
apakah aku suka tatapan di matanya.
“Mungkin kau cocok masuk Candor,” ujarnya, “karena kau tak
bisa berbohong.”
“Kurasa Tes Kecakapanku langsung mencoretnya.”
Ia menggeleng. “Tes Kecakapan tak memberitahumu apa-apa.”
Aku memicingkan mata. “Apa yang coba kau katakan? Hasil
tesmu bukanlah alasan kau ada di Dauntless?”
Ada rasa senang menjalari tubuhku. Seperti aliran darah di
dalam pembuluh yang menggelegak oleh harapan kalau mungkin saja ia mengaku
kalau ia Divergent. Kalau ia sepertiku. Kalau kami bisa mencari tahu maknanya
bersama-sama.
“Tidak juga, tidak,” ujarnya. “Aku ....”
Ia melirik ke belakang dan kata-katanya menggantung. Seorang
wanita berdiri beberapa meter sambil mengacungkan senjata ke arah kami. Ia
benar-benar kaki. Sosoknya biasa aja—kalaupun kami menjaud sekarang, aku takkan
mengingatnya. Di sebelah kananku, muncullah sebuah meja. Ada sebuah pistol dan
sebuah peluru di sana. Kenapa ia tak menembak kami?
Oh, pikirku.
Ketakutan kali ini tak ada hubungannya dengan ancaman untuk Four. Tapi,
berhubungan dengan senjata di atas meja.
“Kau harus membunuhnya,” ujarku pelan.
“Selalu.”
“Ia tidak nyata.”
“Kelihatannya sungguhan.” Ia menggigit bibirnya. “Rasanya
sungguhan.”
“Kalau ia sungguhan, ia pasti sudah membunuhmu.”
“Oke.” Ia mengangguk. “Aku cuma ... harus melakukannya. Ini
tidak ... tidak begitu buruk. Tidak seburuk kalau kau merasa panik.”
Tidak begitu panik, tapi takut. Aku bisa melihat dari matanya
saat ia mengambil senjata itu dan membuka tempat pelurunya seakan ia sudah
pernah melakukannya seribu kali—dan mungkin memang begitu. Ia memasukkan peluru
ke dalam sarangnya dan mengulurkan senjata ke depan. Kedua tangannya memegang
senjata itu. Ia menutup salah satu matanya dan perlahan menarik napas.
Saat ia menghela napas, ia melepaskan tembakan. Kepala
wanita itu tersentak ke belakang. Aku melihat warna merah berhambur di udara
dan langsung memalingkan muka. Aku mendengar debum suara tubuhnya terjatuh di
lantai.
Four langsung melempar senjatanya. Kami menatap tubuhnya
yang tergeletak. Yang ia katakan benar—memang terasa sungguhan. Jangan konyol. Aku menarik tangannya.
“Ayo,” kataku. “Ayo pergi. Terus jalan.”
Setelah aku menarik lengannya lagi, barulah buyar lamunannya
dan Four pun mengikutiku. Saat kami melewati meja itu, tubuh wanita itu
menghilang. Tapi, tidak dari ingatan kami. Bagaimana rasanya jika harus
membunuh seseorang setiap aku memasuki ruang ketakutanku sendiri? Mungkn nanti
aku akan tahu.
Tapi, ada yang membuatku bingung. Ini seharusnya menjadi
ketakutan terburuk Four. Dan, walaupun tadi ia panik saat berada dalam kotak
dan di atap, ia membunuh wanita itu tanpa banyak kesulitan. Sepertinya simulasi
ini mencoba mendapatkan ketakutan apa pun yang bisa ditemukan di dalamnya, dan
ternyata memang tidak terlalu banyak dan bisa ditunjukkan.
“Ini dia,” bisiknya.
Sesosok tubuh berjalan mendekati kami. Perlahan merayap di
pinggir cahaya lampu sambil menunggu kami melangkah lebih dekat. Siapa itu?
Siapa yang sering menghantui Four di dalam mimpi-mimpinya?
Pria yang muncul bertubuh tinggi kurus dengan potongan
rambut cepak. Ia memegang sesuatu di balik punggungnya, dan mengenakan jubah
abu-abu Abnegation.
“Marcus,” bisikku.
“Di sinilah bagian,” ujar Four dengan suara gemetar, “di
mana kau tahu siapa namaku.”
“Apa ia ...” Aku mengalihkan pandangan dari Marcus yang
berjalan perlahan medekati kami ke arah Four yang perlahan ikut melangkah
mundur. Dan, semuanya menjadi jelas. Marcus memiliki anak laki-laki yang
bergabung dengan Dauntless. Namanya ... “Tobias.”
Marcus mengulurkan tangannya. Ada ikat pinggang yang
melingkari kepalan tangannya. Perlahan ia membuka ikat pinggang itu dengan
jarinya.
“Ini untuk kebaikanmu sendiri,” ujarnya dan suaranya bergema
berkali-kali.
Muncullah belasan Marcus di bawah lampu. Semuanya memegang
ikat pinggang yang sama. Semuanya tanpa ekspresi. Saat Marcus mengedipkan mata
lagi, matanya berubah menjadi hitam kelam. Ikat pinggang itu menggelantung
sampai ke lantai yang sekarang berwarna putih. Aku merinding. Erudite pernah
menuduh Marcus orang yang kejam. Dan untuk pertama kalinya, Erudite benar.
Aku menoleh ke Four—atau Tobias—dan ia kelihatannya membeku.
Sosoknya seperti lunglai. Four kelihatan beberapa tahun lebih tua, sekaligus
jauh lebih muda. Marcus mulai menarik tangannya ke belakang. Ikat pinggan itu
mengayun melewati bahunya saat ia bersiap untuk mencambuk. Tobias mundur dan
memasang lengannya ke depan untuk melindungi wajah.
Aku bergegas berdiri di depannya dan ikat pinggang itu
mencambuk dan membelit pergelangan tanganku. Ada rasa panas membakar lenganku
sampai ke siku. Akku menggertakkan gigi dan menariknya sekuat mungkin. Marcus
melepaskan genggamannya, jadi aku langsung melepaskan ikat pinggang itu dan
mencengkeram mata gespernya.
Aku mengayunkan lenganku sekuat mungkin. Bahuku terasa sakit
karena gerakan tiba-tiba itu. Ikat pinggang itu mencambuk bahu Marcus. Ia
berteriak dan menerjangku dengan tangan terulur. Kukunya terlihat seperti cakar
binantang. Tobias mendorongku ke belakang sehingga ia berdiri di antara aku dan
Marcus. Ia kelihatan marah, bukannya takut.
Tiba-tiba semua bayangan Marcus menghilang. Cahaya pun
menyeruak dan yang terbentang di hadapan kami ruang sempit yang panjang dengan
dinding bata dan lantai semen.
“Cuma itu?” kataku. “Itu ketakutan terburukmu? Kenapa kau
cuma punya empat ...” kata-kataku terputus. Cuma ada empat ketakutan.
“Oh.” Aku meliriknya. “Itulah kenapa mereka memanggilmu—”
Kata-kataku terpotong saat aku melihat ekspresinya. Matanya
melebar dan kelihatannya seperti rapuh di tengah sorot lampu ruangan. Bibirnya
menganga. Kalau kami tak ada di sini, aku pasti sudah mengartikan tatapannya
seperti terpana. Tapi, aku tak mengerti kenapa Four menatapku terpana seperti itu.
Four menggenggam siku lenganku. Jari-jarinya dengan kuat
menggenggam kulit lembut lengan atasku dan menarikku mendekat. Rasanya ikat
pinggang tadi seperti sungguhan. Kulit di sekitar pergelangan tanganku masih
terasa sakit. Tapi, warnya sudah berubah sama pucatnya seperti kulit tubuhku
biasanya. Bibirnya perlahan bergerak mendekat pipiku. Kemudian, dengan
lengannya merangkul erat bahuku, Four membenamkan wajahnya di leherku. Napasnya
langsung menyentuh kulitku.
Aku bergeming beberapa detik, lalu ikut melingkarkan
lenganku merangkulnya sambil menghela napas.
“Hei,” ujarku lembut. “Kita sudah melewatinya.”
Four mengangkat kepala dan menyisir rambutku dengan jari
menyelipkan rambutku di belakang telinga. Kami saling menatap. Jemarinya
bergerak perlahan di antara helai-helai rambutku.
“Kau membuatku bisa melewatinya,” akhirnya ia membuka suara.
“Ya.” Tenggorokanku terasa kering. Aku mencoba mengabaikan
sensasi gugup yang menjalariku seperti aliran listrik, setiap kali Four
menyentuhku. “Kan gampang saja untuk berani kalau itu bukan rasa takutku
sendiri.”
Aku membiarkan tanganku turun dan menggosokkannya dengan
santai ke celana jinsku. Semoga ia tak menyadarinya.
Kalaupun ia menyadarinya, Four tak mengatakannya. Ia
langsung menggenggam jari-jariku.
“Ayo,” ujarnya. “Ada lagi yang ingin kutunjukkan padamu.”[]
No comments:
Post a Comment