Divergent (Divergent #1) (18)

Penulis: Veronica Roth

18


Sejauh yang kuketahui, inisiasi tahap kedua adalah duduk di lorong gelap bersama para peserta inisiasi lainnya dan bertanya-tanya apa yang terjadi di belakang pintu yang tertutup.

Uriah duduk di seberangku, diapit Marlene di sebelah kiri dan Lynn di sebelah kanan. Peserta inisiasi asli Dauntless dan pindahan dipisahkan di tahap satu, tapi kami akan berlatih bersama-sama mulai sekarang. Itulah yang Four katakan sebelum menghilang di balik pintu.

“Jadi,” kata Lynn sambil menggesek-gesekkan sepatunya di lantai. “Siapa ranking satu di tempat kalian?”

Pertanyaannya disambut keheningan, lalu Peter berdeham.

“Aku,” ujarnya.

“Taruhan aku bisa mengalahkanmu,” ujar Lynn santai sambil memutar-mutar cincin di alisnya dengan ujung jari. “Aku urutan kedua, tapi aku berani taruhan siapa un dari kami bisa mengalahkan kalian, Anal Pindahan.”

Aku hampir saja tertawa. Jika aku masih ada di Abnegation, komentarnya terasa kasar dan tidak pada tempatnya, tapi di antara Dauntless, tantangan adalah hal biasa. Aku pun hampir mulai berharap mendapatkannya.

“Kalau aku jadi kamu, aku takkan begitu yakin,” jawab Peter dengan mata berkilat-kilat. “Siapa yang pertama?”

“Uriah,” kata Lynn. “Dan aku yakin kami lebih baik. Kalian tahu berapa lama kami telah mempersiapkan hal ini?”

Jika Lynn berniat mengintimidasi, maka ia berhasil. Aku sudah merasa merinding.

Sebelum Peter sempat membalas, Four membuka pintu dan berkata, “Lynn.” Ia memberi isyarat pada Lynn dan gadis itu menyusuri lorong. Cahaya lampu di ujung lorong membuat kepala pelontosnya mengilat.

“Jadi, kamu urutan pertama,” kata Will pada Uriah.

Uriah mengangkat bahu. “Yeah. Dan?”

“Dan, tidakkah kau pikir sedikit tidak adil jika kalian menghabiskan seumur hidup kalian untuk mempersiapkan ini semua, dan kami diminta mempelajarinya dalam beberapa minggu?” ujar Will sambil menyipitkan mata.

“Tidak juga. Tahap pertama tentang keterampilan, tapi tak seorang pun yang bisa mempersiapkan diri untuk tahap kedua,” ujarnya. “Setidaknya, itulah yang kudengar.”

Tidak ada yang menjawab. Kami duduk tanpa berkata apa-apa selama dua puluh menit. Aku menghitung tiap menitnya di jam tanganku. Lalu, pintunya terbuka lagi dan Four memanggil nama lainnya.

“Peter,” ujarnya.

Setiap menit berlalu lama sekali. Perlahan jumlah kami berkurang. Tinggal aku, Uriah, dan Drew. Kaki Drew bergoyang-goyang dan jari-jari Uriah mengetuk-ngetuk lutut. Aku mencoba duduk tegak. Yang bisa kudengar hanayalah suara gumaman dari ruangan di ujung lorong. Aku menduga ini salah satu permainan yang mereka mainkan pada kami. Membuat kami takut setiap saat.

Pintu terbuka dan Four menunjukkan. “Ayo, Tris.”

Aku berdiri. Punggungku sakit karena terlalu lama bersandar di dinding. Aku berjalan melewati peserta inisiasi lainnya. Drew menjulurkan kakiknya untuk menjegalku, tapi aku bisa melompatinya.

Four menyentuh bahuku, untuk mengantarku memasuki ruangan dan menutup pintu.

Saat aku melihat isi ruangan, aku langsung tersentak mundur. Bahuku membentur dadanya/

Di dalam ruangan itu ada kursi besi dan sandaran panjang yang mirip dengan kursi yang kududuki saat Tes Kecakapan. Di sampingnya ada mesin yang tidak asing. Ruangan ini tak memiliki kaca dan hampir tak ada cahaya. Ada layar komputer di atas meja di sudut ruangan.

“Duduk,” ujarnya. Ia mencengkeram lenganku dan mendorongku ke depan.

“Simulasinya apa?” tanyaku sambil menjaga suaraku tetap tenang. Aku tidak berhasil.

“Pernah dengan frasa ‘hadapi ketakutanmu’?” ujarnya. “Kami menerapkannya secara harfiah. Simulasi ini akan mengajarimu mengendalikan emosi di tengah situasi yang menakutkan.”

Aku menyentuh dahiku ragu-ragu. Simulasi tidaklah nyata. Mereka tidak akan menunjukkan ancaman yang membuatku takut. Jadi secara logika, aku seharusnya tak perlu takut. Tapi, reaksiku tak masuk akal. Butuh segenap kekuatan yang kupunya untuk menghampiri kursi itu dan duduk di sana lagi sambil menyandarkan kepalaku di sandaran. Dinginnya besi menusuk masuk menembus bajuku.

“Kau pernah membantu di Tes Kecakapan?” kataku. Sepertinya ia memenuhi syarat.

“Tidak,” jawabnya. “Aku menghindari orang Kaku sebisa mungkin.”

Aku tak tahu kenapa seseorang menghindari Abnegation. Mungkin itu berlaku untuk Dauntless dan Candor karena keberanian dan kejujuran membuat orang melakukan hal aneh. Tapi, Abnegation?

“Kenapa?”

“Kau menanyakan dengan harapan aku akan langsung menjawabnya?”

“Kenapa kau mengatakan hal-hal yang menggantung jika kau tak ingin ditanyai?”

Jemarinya menyentuh leherku. Tubuhku menegang. Belaian? Bukan—ia harus menyibakkan rambutku ke samping. Ia mengetuk-ngetuk sesuatu dan aku menengok ke belakang untuk melihat apa itu. Salah satu tangan Four memegang alat suntik berjarum panjang dan ibu jarinya menarik alat seditnya. Cairan di dalam alat suntikan berwarna oranye.

“Suntikan?” mulutku mengering. Biasanya, aku tidak takut jarum, tapi yang ini besar sekali.

“Di sini kami menerapkan simulasi yang lebih maju,” ujarnya, “serumnya berbeda. Tidak ada kabel atau elektroda untukmu.”

“Bagaimana cara kerjanya tanpa kabel?”

“Ya, aku punya kabel, jadi aku bisa tahu apa yang terjadi,” ujarnya. “Tapi untukmu, ada sedikit transmiter di dalam serum yang mengirim data ke komputer.”

Ia memegang lenganku dan pelan-pelan menyuntikkan ujung jarum ke jaringan kulit lunak di samping leherku. Ada rasa sakit yang menjalari tenggorokanku. Aku mengernyit dan mencoba fokus pada wajah senangnya.

“Serumnya akan bereaksi dalam enam puluh detik. Simulasi ini berbeda dengan Tes Kecakapan,” ujarnya. “Selain ditambahkan transmiter, serum ini menstimulasi amygdala, bagian otak yang menangani emosi negatif—seperti rasa takut—kemudian memicu halusinasi. Aktivitas elektrik otak kemudian mengirimkan sinyal ke komputerku dan menerjemahkan halusinasimu menjadi gambar simulasi yang bisa kulihat dan kumonitor. Kemudian, aku mengirim rekamannya ke pihak berwenang Dauntless. Kau akan terus berhalusinasi sampai kau tenang—yang ditandai dengan detak jantung normal dan napas yang terkontrol.”

Aku mencoba mengikuti kata-katanya, tapi pikiranku mulai kehilangan arah, aku merasakan tanda-tanda gejala ketakutan: tangan berkeringat, jantung berdebar, dada sesak, mulut kering, tenggorokan tercekat, dan susah bernapas. Ia menyentuh sisi kepalaku yang lain dan membungkuk.

“Berani, Tris,” bisiknya. “Yang pertama memang yang paling sulit.”

Dan yang terakhir kulihat hanyalah sepasang matanya.

***

Aku berdiri di taman yang ditumbuhi rumput-rumput kering setinggi pinggang. Bau udaranya seperti bau asap dan membakar lubang hidupku. Langit di hadapanku membentang luas—penuh warna dan melihatnya membuatku dipenuhi rasa gelisah. Tubuhku mulai bergerak mundur karena takut.

Aku dengar suara berkelepak seperti suara halaman-halaman buku yang teriup angin. Tapi, tak ada angin yang bertiup. Udaranya tenang dan hening, kecuali suara berkelepak tadi. Pun udaranya tidak panas atau dingin—bahkan seperti tidak ada udara sama sekali, tapi aku masih bisa bernapas. Tiba-tiba, sebuah bayangan berkelebat di atas kepalaku.

Sesuatu bertengger di bahuku. Aku merasakan sesuatu yang berat dan cakar tajam menusuk. Kuayungkan tangan untuk mengusirnya. Tanganku membentur benda itu. Kurasakan sesuatu yang lembut dan rapuh. Berbulu. Aku menggigit bibirku dan menoleh. Seekor burung hitam seukuran lengan ikut menoleh dan menatapku dengan matanya yang bulat hitam.

Aku menggertakkan gigi dan memukul burung gagak itu sekali lagi. Burung itu malah makin mencengkeramku dengan cakarnya dan tidak bergerak. Aku berteriak, lebih karena frustasi, bukan karena sakit, dan memukul gagak itu dengan kedua tanganku. Burung itu tetap di sana, bergeming, sambil menatap mataku. Bulu-bulunya berkilauan di bawah cahaya keemasan. Suara guntur bergemuruh dan kudengar tetes hujan di tanah, tapi tak ada satu rintik pun yang turun.

Langit menjadi gelap seakan ada awan yang menutupi matahari. Aku mendongak sabil terus berusaha mengusir gagak. Sekawanan gagak terbang ke arahku. Mereka terlihat seperti pasukan tempur dengan cakar yang merentang dan paruh menganga terbuka. Burung-burung itu berkuak dan membuat suasana menjadi ramai. Kumpulan gagak itu pun menuki bersama-sama. Ratusan mata hitam terlihat berkilauan.

Aku mencoba lari, tapi kakiku seperti tertancap di tanah dan tak mau bergerak, persis seperti seekor burung gagak di bahuku. Aku menjerit saat burung-burung itu mengelilingiku. Suara kepak sayapnya memenuhi telingaku. Paruh-paruh yang mematuk bahuku. Cakar-cakar yang mencengkeram bajuku. Aku menjerit sampai-sampai air mataku bercucuran. Kuayun-ayunkan lenganku. Tanganku mengenai seekor burung, tapi tak ada gunanya. Burung-burung ini terlalu banyak. Aku cuma sendiri. Mereka menggigiti ujung jariku dan mendesak-desak tubuhku. Sayap mereka menggores bagian belakang leherku. Dan, cakar kaki mereka menarik-narik rambutku.

Aku berputar, menggeliat, dan jatuh ke tanah sambil melindungi kepala dengan tangan. Burung-burung itu memekik di sekelilingku. Aku merasa ada sesuatu yang menyelusup dari rerumputan. Seekor gagak menyeruak di bawah lenganku. Aku membuka mata dan burung itu langsung mematuk eajahku. Paruhnya menusuk hidungku. Dara menetes di rumput dan aku tersedu. Kutepis burung itu, tapi seekor gagak lainnya menyelinap di lenganku yang satu lagi dan cakarnya menghunjam di bagian depan kausku.

Aku menjerit. Aku tersedu-sedu.

“Tolong!” aku meraung. “Tolong!”

Burung-burung gagak itu mengepakkan sayapnya lebih kuat. Suaranya mirip raungan di telinga. Tubuhku seperti terbakar dan burung-burung itu ada di mana-mana. Aku tak bisa berpikir. Aku tak bisa bernapas. Aku membuka mulut menarik napas dan mulutku seperti disesaki oleh bulu-bulu. Bulu-bulu itu tertelan melewati tenggorokan dan terus turun sampai ke paru-paru. Rasanya seperti memenuhi selurh pembuluh darahku.

“Tolong!” aku terisak dan menjerit. Tidak sadar. Aku hampir mati. Aku hampir mati. Aku hampir mati.

Kulitku perih dan berdarah. Suara pekik burung-burung begitu nyaring sampai telingaku berdenging, tapi aku belum mati. Aku pun ingat kalau ini tidak nyata, tapi rasanya seperti sungguhan. Teasa nyata. Berani. Suara Four menggema di benakku. Aku berteriak memanggilnya, tapi aku hanya bisa menelas bulu dan menjerit “Tolong!”Tapi, takkan ada bantuan. Aku sendirian.

Kau akan terus berhalusinasi sampai kau tenang, suara Four terus menggema di benakku. Aku terbatuk-batuk. Wajahku dibasahi oleh air mata. Satu burung gagak menyelinap lagi di balik lenganku dan aku merasakan ujung paruh tajamnya di mulutku. Paruhnya menembus masuk ke bibirku dan menggores gigiku. Gagak itu memasukkan kepalanya ke mulutku dan aku menggigit sesuatu yang keras, rasanya busuk. Aku meludah dan merapatkan gigiku untuk menjaga tak ada yang masuk lagi ke mulutku. Tapi, sekarang burung gagak keempat mendorong kakiku dan burung gagak kelima mematuki tulang rusukku.

Tenang. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa. Kepalaku berdenyut-denyut.

Tarik napas. Aku terus menutup mulut dan bernapas melalui hidung. Rasanya sudah berjam-jam sejak aku sendirian di dalam lapangan itu. Rasanya sudah berhari-hari. Aku mengembuskan udara lewat hidung. Jantungku berdetak kencang di dada. Aku harus menenangkan diri. Aku menarik napas lagi. Wajahku sudah basah oleh air mata.

Aku terisak sekali lagi dan memaksakan diri untuk bangun. Bangkit dari rerumputan yang tajam-tajam menusuk kulitku. Aku mengulurkan lenganku dan bernapas. Burung-burung gagak itu mendorong dan mendesakku dari samping, menyelinap dari balik tubuhku dan aku membiarkannya. Kubiarkan saja suara kepak sayap, pekikan, kemudian berlanjut dengan mematuk dan mendorong. Aku sejenak melemaskan otot sambil berusaha agar tidak menjadi balok untuk dipatuki.

Rasa sakit itu membuatku kewalahan.

Aku membuka mata, dan aku duduk di kursi logam lagi.

Aku menjerit dan memukuli lengan, kepala, dan kaki untuk mengusir burung-burung itu menjauh. Burung-burung itu sudah menghilang. Aku masih bisa merasakan bulu-bulunya menyentuh belakang leherku, cakarnya di bahuku, dan kulitku yang terasa perih. Aku meraung dan menekuk kaki ke dada; kubenamkan wajahku ke lutut.

Seseorang menyentuh bahuku dan aku langsung menepisnya. Aku mengenai sesuatu yang kuat tapi lembut. “Jangan sentuh aku!” isakku.

“Sudah selesai,” ujar Four. Tangannya canggung membelai rambutku dan aku teringat cara ayah saat membelai rambutku saat memberiku ciuman selamat malam. Aku pun ingat ibu menyentuh rambutku saat ibu akan memotongnya. Aku menggosok lenganku sambil berusaha menghilangkan bekas bulu, walaupun aku tahu tak ada satu helai pun di sana.

“Tris.”

Aku mengayunkan tubuh ke depan dan ke belakang.

“Tris, aku akan membawamu kembali ke asrama, oke?”

“Tidak!” bentakku. Aku menoleh dan menatapnya walau aku tak bisa melihatnya karena pandanganku buram oleh air mata. “Mereka tidak boleh melihatku ... tidak dalam keadaan seperti ini ....”

“Oh, tenanglah,” ujarnya. Four memutar matanya. “Aku akan mengantarkanmu keluar lewat pintu belakang.”

“Aku tidak perlu bantuanmu ....” Aku menggeleng. Tubuhku gemetar dan aku merasa begitu lemah sampai aku tak yakin apa aku bisa berdiri, tapi aku harus mencobanya. Aku tidak boleh menjadi satu-satunya orang yang perlu dipapah kembali ke asrama. Bahkan, jika mereka tak melihatku, mereka akan tahu. Mereka akan membicarakanku—

“Yang benar saja.”

Four memegang lenganku dan membantuku turun dari kursi. Aku berkedip dan setetes air mata keluat, kuseka pipi dengan punggung tangan. Aku biarkan ia menuntunku menuju pintu di belakang layar komputer.

Kami menyusuri lorong tanpa suara. Saat kami beberapa ratus meter dari ruangan itu, aku menarik lenganku dan berhenti.

“Kenapa kau lakukan itu padaku?” tanyaku. “Apa gunanya? Aku tidak tahu kalau aku memilih Dauntless, aku akan menjalani beberapa minggu penuh siksaan!”

“Menurutmu menaklukkan rasa pengecut itu mudah?” ujar Four tenang.

“Ini bukan menaklukkan rasa pengecut! Pengecut adalah bagaimana kau mengambil keputusan di dunia nyata. Dan di dalam kehidupan nyata, aku tidak akan dipatuk burung gagak sampai mati, Fourr!” aku menutupi wajah dengan tangan dan mulai menangis.

Ia tak melakukan apa-apa. Ia hanya berdiri di sana saat aku menangis. Aku butuh beberapa detik sebelum bisa berhenti dan menyeka wajahku lagi. “Aku mau pulang,” ujarku lemas.

Tapi, rumahku bukanlah sebuah pilihan. Pilihanku adalah di sini atau perkampungan factionless.

Ia tak menatapku dengan penuh simpati. Ia hanya melihatku. Matanya kelihatan gelap di tengah remang cahaya koridor. Mulutnya terlihat keras menahan sesuatu.

“Belajar bagaimana caranya berpikir di tengah rasa takut,” ujarnya, “adalah satu pelajaran yang semua orang, termasuk keluargamu yang kaku itu, harus pelajari. Itulah yang kami coba ajarkan padamu. Kalau kau tak bisa belajar, kau harus pergi dari sini karena kami tidak menginginkanmu.”

“Aku berusaha,” bagian bawah bibirku gemetar. “Tapi aku gagal. Aku akan gagal.”

Four menghela napas. “Menurutmu berapa lama tadi kau berhalusianasi, Tris?”

“Aku tidak tahu,” aku menggeleng. “Setengah jam?”

“Tiga menit,” jawabnya. “Kau keluar lebih cepat tiga menit dari peserta lainnya. Entah bagaimana kau melihat dirimu sendiri, kau bukanlah pecundang.”

Tiga menit?

Ia tersenyum kecil. “Besok kau akan lebih baik dari ini. Lihat saja.”

“Besok?”

Ia menyentuh punggungku dan menuntunku kembali ke asrama. Aku bisa merasakan ujung jarinya menembus kausku. Sentuhannya yang lembut sejenak membuatku lupa akan burung-burung tadi.

“Apa halusinasi pertamamu?” tanyaku sambil meliriknya.

“Itu bukan ‘apa’ dan juga ‘siapa’.” Four mengangkat bahu. “Tidak penting.”

“Dan kau bisa menguasainya sekarang?”

“Belum.” Kami mencapai pintu asrama dan ia bersandar di dinding dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. “Mungkin aku takkan pernah bisa.”

“Jadi, ketakutanmu tidak hilang?”

“Kadang-kadang hilang. Dan, kadang-kadang ketakutan baru menggantikannya.” Ibu jarinya mengait di lubang ikat pinggang. “Tapi, tak memiliki rasa takut bukanlah tujuannya. Tak mungkin kita seperti itu. Yang penting adalah belajar bagaimana mengendalikan rasa takutmu dan bagaimana bebas dari rasa itu.”

Aku mengangguk. Dulu kupikir Dauntless tidak punya rasa takut. Lagi pula, memang mereka kelihatan seperti itu. Tapi yang kulihat sebagai tanpa rasa takut itu sebenarnya adalah pengendalian rasa takut itu sendiri.

“Ngomong-ngomong, ketakutanku tadi jarang muncul di simulasi,” tambahnya.

“Apa maksudmu?”

“Yaaa, apa kau benar-benar takut pada burung gagak?” ujarnya setengah tersenyum padaku. Ekspresinya cukup menghangatkan sinar matanya sampai aku lupa kalau ia instrukturku. Ia seperti anak laki-laki biasanya, yang berbicara santai, yang mengantarkanku ke asrama. “Saat kau melihat seekor gagak, apa kau langsung berlari dan menjerit?”

“Tidak. Kurasa tidak.” Aku berpikir untuk melangkah mendekat ke arahnya, bukan karena alasan yang penting. Tapi, hanya karena aku ingin tahu bagaimana rasanya berdiri dekat dengannya; hanya karena aku ingin melakukannya.

Bodoh, ujar suara di dalam kepalaku.

Aku melangkah mendekat dan juga bersandar di dinding sambil menoleh melihatnya. Seperti yang kulakukan di Kincir Bianglala, aku tahu pasti berapa jarak yang membentang di antara kami. Lima belas senti. Aku bersandar. Kurang dari 15 senti. Aku merasa lebih hangat seakan Four memancarkan semacam energi yang hanya bisa dirasakan olehku.

“Jadi, sebenarnya aku takut apa?” tanyaku.

“Aku tidak tahu,” ujarnya. “Cuma kau yang tahu.”

Aku mengangguk pelan. Ada kemungkinan belasan alasan, tapi tak tahu pasti yang mana, atau jika memang benar ada alasannya.

“Aku tidak tahu menjadi Dauntless akan sesulit ini,” ujarku dan sedetik kemudian aku terkejut telah mengatakannya. Aku terkejut, aku mengakuinya. Aku menggigit bagian dalam pipiku dan melihat Four lebih cermat. Apakah salah mengatakan hal itu padanya?

“Mereka bilang tadinya tak selalu seperti ini,” ujarnya sambil mengangkat bahu. Pengakuanku sepertinya tak membuatnya terganggu. “Maksudku, menjadi Dauntless.”

“Apanya yang berubah?”

“Kepemimpinan,” ujarnya. “Orang yang mengendalikan pelatihan mengatur perilaku standar Dauntless. Enam tahun lalu, Max dan pemimpin lainnya mengubah metodenya untuk membuat para Dauntless lebih kompetitif dan brutal. Mereka bilang itu tadinya untuk mengukur kekuatan orang. Dan, itu mengubah keseluruhan prioritas Dauntless. Dan, kurasa kau bisa menebak siapa anak didik para pemimpin itu.”

Jawabannya jelas: Eric. Mereka melatihnya untuk menjadi kejam dan sekarang ia akan melatih kami semua menjadi kejam juga.

Aku melihat Four. Pelatihan mereka tak berhasil untuknya.

“Jadi, jika kau mendapat ranking pertama di kelas inisiasimu,” kataku, “berapa peringkat Eric?”

“Kedua.”

“Jadi, ia itu pilihan kedua untuk posisi pemimpin.” Aku mengangguk pelan. “Kaulah pilihan pertama.”

“Kenapa kau berpikir seperti itu?”

“Cara Eric bertingkah saat makan malam di hari pertamku. Iri, bahkan setelah ia mendapatkan apa yang ia mau.”

Four tidak menyangkalnya. Pasti aku benar. Aku ingin bertanya kenapa ia tak mengambil posisi pemimpin yang ditawarkan padanya; kenapa ia begitu antikepemimpinan, padahal ia kelihatannya berjiwa pemimpin secara alami. Tapi, aku tahu bagaimana perasaan Four mengenai pertanyaan yang sifatnya pribadi.

Aku mendengus. Sekali lagi aku mengusap wajahku dan merapikan rambut.

“Apa aku kelihatan habis menangis?” tanyaku.

“Hmm.”  Ia membungkuk mendekatiku sambil menyipitkan mata seakan hendak memeriksa wajahku. Ada senyum terukir di sudut bibirnya. Ia makin mendekat, sampai-sampai kami menarik napas dari udara yang sama—itu pun jika aku masih ingat untuk menarik napas.

“Tidak, Tris,” ujarnya. Tatapan yang lebih serius menggantikan senyumnya barusan saat ia melanjutkan, “Kau kelihatan setegar karang.”[]


No comments:

Post a Comment