Penulis: Veronica Roth
22
Aku membuka
mata dan yang pertama kulihat adalah tulisan “Takutlah Hanya Kepada Tuhan”
terlukis di dinding putih polos. Aku mendengar suara air mengalir lagi, tapi
kali ini berasal dari keran, bukannya tebing. Beberapa detik berlalu sebelum
akhirnya aku bisa melihat sekelilingku dengan jelas. Garis yang membentuk daun
pintu, meja, dan langit-langit.
Rasa sakit
terus mengedut dari kepala, pipi, dan tulang rusukku. Aku tak boleh bergerak
karena hanya akan makin membuatku sakit. Selimut kain perca biru membungkus
tubuh di bawah kepalaku. Aku bekernyit saat menggerakkan kepala agar bisa
melihat dari mana asal suara air itu.
Four berdiri
di kamar mandi dengan tangan terendam di wastafel. Darah dari buku-buku jarinya
membuat air di wastafel berubah menjadi merah muda. Ujung bibirnya sedikit
sobek, tapi selebihnya ia kelihatan baik-baik saja. Espresinya tenang saat ia
memeriksa luka sobeknya, lalu mematikan keran dan mengeringkan tangan dengan
handuk.
Aku hanya
samar-samar mengingat bagaimana aku bisa berada di sini. Dan, itu pun hanya
berupa gambaran tunggal. Tinta hitam yang melingkar di salah satu lehernya,
sudut sebuah tato, dan ayunan lembut yang kusimpulkan kalau Four sedang
menggendongku.
Four
mematikan lampu kamar mandi dan mengambil sekantong es dari kulkas di sudut
ruangan. Saat ia melangkah mendekatiku, aku pikir aku akan menutup mata dan
berpura-pura tidur. Tapi, mata kami terlanjur saling menatap. Terlambat.
“Tanganmu,”
ujarku parau.
“Tanganku
bukan urusanmu,” jawabnya. Ia berlutut di atas kasur dan membungkuk ke arahku
untuk meletakkan kantong kompres itu di bawah kepalaku. Sebelum ia menarik
tangannya, aku mengulurkan tangan untuk menyentuh sudut bibirnya yang terluka.
Tapi, aku berhenti saat aku sadar apa yang akan kulakukan. Tanganku gemetar.
Apa ruginya? Tanyaku dalam hati. Aku
sedikir menyentuh bibirnya dengan ujung jari.
“Tris,”
ujarnya tanpa melepaskan sentuhanku di bibirnya, “aku baik-baik saja.”
“Kenapa kau
ada di sana?” tanyaku sambil menurunkan tangan.
“Aku baru
kembali dari ruang kendali. Kudengar ada teriakan.”
“Lalu, apa
yang kau lakukan pada mereka?”
“Aku
mengirim Drew ke rumah sakit setengah jam lalu,” ujarnya. “Peter dan Al kabur.
Drew mengaku kalau mereka cuma mencoba menakutimu. Setidaknya, kurasa itu yang
coba ia katakan.”
“Ia babak
belur?”
“Ia akan
baik-baik saja,” jawabnya. Ia menambahkan dengan nada pahit, “Tapi dalam
keadaan seperti apa, aku tak bisa bilang.”
Salah
rasanya mendoakan orang lain terluka hanya karena mereka lebih dulu
menyakitiku. Tapi, rasa kemenangan yang tak terkira menjalariku saat memikirkan
Drew ada di rumah sakit. Aku mencengkeram lengan Four.
“Bagus,”
kataku. Suaraku terdengar kaku dan galak. Rasa marah mulai memuncak seakan
menggantikan darahku dengan cairan pahit, memenuhiku, menggerogotiku. Aku ingin
membanting sesuatu, atau memukul sesuatu, tapi aku tak berani bergerak, jadi
aku hanya bisa menangis.
Four
membungkuk di samping tempat tidur dan menatapku. Tak ada simpati di matanya.
Aku bersyukur, karena aku tak menginginkan simpatinya. Four menarik tangannya,
dan yang membuatku terkejut, Four meletakkan tangannya di wajahku. Ibu jarinya
menelusuri tulang pipiku. Jemariny bergerak perlahan.
“Aku bisa
melaporkan ini,” katanya.
“Jangan,”
jawabku. “Aku tak mau mereka berpikir aku takut.”
Ia
mengangguk, membelai tulang pipiku beberapa kali. “Aku sudah tahu kau akan
bilang begitu.”
“Menurutmu
buruk tidak kalau aku duduk?”
“Akan
kubantu.”
Four
memegangi bahuku dengan satu tangan dan memegangi kepalaku dengan tangan yang
lainnya saat aku mendorong tubuhku bangkit. Rasa nyeri menjalari tubuhku
seketika, tapi kucoba mengabaikannya sambil mengerang tertahan.
Ia
menyodorkan kantong kompres. “Kau boleh teriak,” ujarnya. “Cuma ada aku di
sini.”
Aku
menggigit bibir bawahku. Air mata menetes di wajahku, tapi kami berdua tak
mengungkitnya atau bahkan menyadarinya.
“Kusarankan
mulai sekarang kau mengandalkan teman-teman pindahanmu untuk melindungimu,”
ujarnya.
“Tadinya
kupikir begitu,” kataku. Aku masih merasakan tangan Al di mulutku dan isakanku
membuat tubuhku tersentak. Aku meletakkan tangan di dahi dan menggosok-gosoknya
perlahan. “Tapi Al ....”
“Ia mau kau
tetap menjadi gadis kecil pendiam dari Abnegation,” ujar Four lembut. “Ia
menyakitimu karena kekuatanmu membuatnya merasa lemah. Tak ada alasan lain.”
Aku
mengangguk dan mencoba memercayainya.
“Yang
lainnya takkan iri seperti itu kalau kau menunjukkan sedikit sisi rapuh.
Bahkan, jika itu bohongan.”
Menurutmu
aku harus berpura-pura rapuh?”
tanyakui sambil mengangkat alis.
“Ya, menurutku
begitu.” Four mengambil kantong kompres itu. Jemarinya menyentuh jari-jariku
dan meletakkan kompres itu di kepalaku dengan tangannya sendiri. Aku menurunkan
tanganku. Aku terlalu ingin mengistirahatkan lenganku sampai tak merasa
keberatan sedikit pun. Four berdiri. Aku menatap keliman kausnya.
Terkadang,
aku melihatnya seperti orang biasa, dan terkadang aku merasakan keberadaannya
di dalam ulu hatiku, seperti rasa sakit yang mendalam.
“Pasti besok
kau ingin datang sarapan dan menunjukkan pada mereka yang menyerangmu kalau
mereka tak memengaruhimu,” tambahnya, “tapi, kau harus menunjukkan memar di
pipimu dan tetap menundukkan kepala.”
Ide itu
membuatku mual.
“Kurasa aku
bisa melakukannya,” jawabku enteng. Aku menatapnya.
“Harus.”
“Kurasa kau tidak mengerti.” Amarah menggelegak di
wajahku. “Mereka menyentuhku.”
Sekujur
tubuh Four menegang saat mendengar kata-kataku. Ia menggenggam kantong kompres
lebih kuat. “Menyentuhmu,” ulangnya. Matanya yang berwarna biru tua mendadak
telihat dingin.
“Bukan ... seperti
yang kau pikirkan.” Aku berdeham. Aku tak tahu saat aku mengatakannya akan
terasa secanggung ini untuk dibicarakan. “Tapi ... hampir.”
Aku
mengalihkan pandang.
Four diam
dan bergeming begitu lama sampai pada akhirnya aku harus mengatakan sesuatu.
“Ada apa?”
“Aku tak mau
mengatakan ini,” ujarnya, “tapi, seperti aku harus mengatakannya. Untuk
sementara ini, lebih baik kau aman daripada benar. Mengerti?”
Alis
kecokelatannya melengkung turun. Perutku terasa nyeri. Sebagian karena aku tahu
ia benar, tapi aku tak mau mengakuinya. Sebagian lagi karena aku ingin sesuatu
yang aku sendiri tak tahu bagaimana mengungkapkannya. Aku ingin memperkecil
jarak di antara kami sampai benar-banar hilang.
Aku
mengangguk.
“Tapi
tolong, saat kau lihat ada kesempata ...” Four menyentuh pipiku. Tangannya
dingin dan kuat. Ia menaikkan daguku ke atas sehingga aku menatap tepat ke arah
wajahnya. Matanya bersinar. Sepasang mata itu terlihat buas. “Hancurkan
mereka.”
Aku tertawa
sedikit gemetar. “Kau sedikit menakutkan, Four.”
“Tolong,”
ujarnya, “jangan panggil aku seperti itu.”
“Terus aku
harus memanggilmu apa?”
“Jangan
panggil apa-apa.” Ia melepaskan tangannya. “Jangan dulu.”[]
No comments:
Post a Comment