Divergent (Divergent #1) (30)

Penulis: Veronica Roth

30


Aku siap. Aku melangkah masuk ke dalam ruangan, bukan berbekal senjata atau pisau, tapi dengan rencana yang telah kubuat semalam. Tobias pernah bilang tahap ketiga berhubungan dengan persiapan mental—aku sudah mempersiapkan strategi untuk mengalahkan rasa takutku.

Kuharap aku tahu urutan kemunculan rasa takut itu. Aku melompat-lompat kecil sambil menunggu rasa takut yang pertama muncul. Aku malah sudah terengah-engah gugup.

Lantai yang kuinjak berubah. Rumput-rumput tumbuh dari lantai beton dan berayun-ayun ditiup angin yang tidak bisa kurasakan. Langit kehijauan menggantikan pipa-pipa yang malang-melintang di atasku. Aku mendengar suara burung di kejauhan. Kubisa merasakan rasa takutku samar-samar, jantung berdegup kencang, dan dadaku terasa sesak. Tobias memberitahuku untuk mencari tahu apa makna simulasi ini. Ia benar.  Ini bukan tentang burung. Ini tentang pengendalian diri.

Terdengar suara kepak sayap di samping telingaku dan cakar burung gagak tiba-tiba mencengkeram bahu.

Kali ini, aku tidak memukul burung itu sekeras mungkin. Aku membungkuk sambil mendengarkan gemuruh kepak-kepak sayap di belakangku. Aku memegang rumput di tanah. Apa yang mengalahkan ketidakberdayaan? Kekuatan itu sendiri. Dan, untuk pertama kalinya aku merasa kuat saat berada di markas Dauntless adalah saat aku memegang senjata.

Tenggorokanku tercekat dan aku ingin cakar-cakar itu segera lepas. Gagak-gagak itu memekik dan perutku terasa seperti terpelintir. Namun, kemudian aku merasakan sesuatu yang keras dan dingin seperti logam, di balik rerumputan. Pistolku.

Aku membidik ke arah burung yang bertengger di bahuku dan burung itu langsung jatuh, darah dan bulu-bulu semburat tak karuan. Kakiku berputar dan aku membidik ke langit. Kulihat sekumpulan kelepak bulu-bulu  hitam mendekat. Aku menarik pelatuk, terus dan terus menembak ke lautan burung-burung di atasku. Bangkai-bangkai hitam mereka jatuh bergelimpangan di atas rumput.

Ketika membidik dan menembak, aku merasakan gelora kekuatan yang sama seperti saat pertama kali menembak. Jantungku tak lagi berdegup kencang; lalu lapangan, senjata, dan burung itu menghilang. Sekali lagi aku berdiri di kegelapan.

Aku bergeser dan sepatuku berdecit. Aku berlutut dan menyentuh lantai yang kuinjak; panel halus yang dingin—kaca. Aku menyentuh kaca di sisi tubuhku yang lain. Lagi-lagi akuarium. Aku tidak takut tenggelam. Ini bukan airnya; ini tentang ketidakmampuanku untuk keluar dari akuarium ini. Ini tentang rasa tidak berdaya. Aku hanya perlu meyakinkan diriku kalau aku cukup kuat untuk memecahkan kaca.

Cahaya biru menyeruak. Air mulai masuk memenuhi lantai. Tapi, aku takkan membiarkan simulasi ini berlanjut. Aku memukul dinding di hadapanku dengan telapak tangan; berharap semoga jendelanya pecah.

Tanganku terpental. Tak terjadi apa-apa.

Jantungku berdegup kencang. Bagaimana jika yang bisa terjadi di simulasi pertama tidak terjadi di sini? Bagaimana kalau ternyata aku tak bisa memecahkan kaca ini, kecuali jika aku di bawah tekanan? Air makin naik menyentuh pergelangan kaki, makin lama makin deras. Aku harus tenang. Tenang dan fokus. Aku bersandar di dinding dan menendang sekuat mungkin. Lalu, menendang lagi. Kakiku berdenyut-denyut nyeri, tak tak terjadi apa-apa.

Aku punya pilihan lain. Aku bisa menunggu air memenuhi akuarium—sekarang sudah setinggi lutut—dan mencoba tenang saat tenggelam. Aku bersandar lagi sambil menggeleng. Tidak. Aku tidak bisa membiarkan diriku tenggelam. Tidak boleh.

Kukepalkan tangan dan sekali lagi kuhantamkan ke dinding. Aku lebih kuat dari kaca ini. Kaca ini hanya setipis lapisan es beku. Pikirankulah yang membuatnya seperti itu. Aku menutup mata. Kaca ini adalah es. Kaca ini es. Kaca ini—

Kaca ini berderak dan pecah berserakan di tanganku. Air pun langsung mengalir keluar. Kemudian, kegelapan kembali menyelimuti.

Aku menggoyang-goyangkan tangan. Itu tadi seharusnya rintangan yang mudah diatasi. Aku pernah menghadapi ini sebelumnya. Aku tidak boleh membuang-buang waktu lagi.

Aku terkesiap saat tiba-tiba dinding padat menghantamku dari samping. Aku tersungkur dan terengah-engah. Aku tak bisa berenang. Aku hanya pernah melihat air sebesar dan sekuat ini di dalam gambar. Di bawahku ada bebatuan dengan ujung-ujung mencuat dan licin oleh air. Air seakan menarik kakiku dan aku bergelantungan di bebatuuan. Ada rasa asin tepercik ke bibir. Langit hitam dan bulan semerah darah terlihat dari ujung mataku.

Ombak sekali lagi menghantam punggungku. Daguku membentur bebatuan dan aku mengernyit. Hawa laut memang dingin, tapi darahku terasa panas menyusuri leher. Kuulurkan lengan meraih pinggiran bebatuan. Air menarik kakiku dengan kekuatan yang tak terkira. Aku berpegangan sekuat mungkin, tapi aku tak cukup kuat—air laut menarikku dan ombak menghantam punggungku. Ombak bergulung menelan kepala dan lenganku ke sana kemari. Aku jatuh telentang membentur bebatuan. Air menderas menenggelamkan wajahku. Aku kehabisan udara. Kupegang erat pinggiran bebatuan sambil mendorong tubuh ke atas melewati permukaan air. Aku terkesiap dan satu ombak lagi menerjang. Kali ini ombaknya lebih kuat dari sebelumnya, tapi aku bisa berpegangan lebih baik.

Pasti air bukanlah ketakutan utamaku. Aku pasti takut kehilangan kendali. Untuk menghadapi ini, aku harus mengumpulkan lagi keberanianku.

Aku menjerit frustasi. Kuulurkan tangan dan menemukan lubang di bebatuan. Lenganku bergetar hebat saat aku mendorong tubuh ke depan. Aku menarik kakiku agar berdiri tegak sebelum sekali lagi ditarik ombak. Begitu kakiku bebas, aku bangkit dan langsung berlari. Berlari cepat. Kakiku berderap di bebatuan. Bulan kemerahan ada di depanku. Dan, laut menghilang.

Kemudian, semuanya menghilang. Tapi, tubuhku masih kaku. Terlalu kaku.

Kucoba menggerakkan lengan, tapi kedua lenganku terikat kuat di samping tubuhku. Aku menunduk dan melihat ada tali melingkar di dada, lengan, dan kakiku. Kayu-kayu bertumpuk di bawah kakiku dan tiang menempel di punggung. Aku berdiri di atas kayu-kayu itu, cukup tinggi dari dataran.

Orang-orang muncul dari balik bayang-bayang. Wajah-wajah mereka tidak asing. Para peserta inisiasi, datang membawa obor, dan Peter berada paling depan. Matanya seperti lubang hitam dan senyum penuh kemenangan tersungging terlalu lebar di wajahnya. Terdengar suara tawa di tengah kerumunan. Makin lama makin riuh ketika satu demi satu orang ikut tertawa. Tawa mereka bergaung di kepalaku.

Saat suara tawa makin lama makin keras, Peter mendekatkan obornya ke tumpukan kayu dan api mulai menyambar. Lidah api menjilat-jilat tiap potongan kayu dan melahap tiap jengkalnya. Aku tak berusaha membuka ikatan talinya seperti yang pernah kulakukan saat menghadapi ketakutan ini. Aku malah menutup mata dan menarik napas sebanyak mungkin. Ini simulasi. Takkan bisa melukaiku. Panas kobaran api mulai membubung tinggi mendekatiku. Aku menggeleng.

“Kau bisa menciumnya, hei Kaku?” tanya Peter. Suaranya terdengar lebih keras dari suara tawa di sekelilingnya.

“Tidak,” kataku. Apinya makin berkobar.

Ia mendengus. “Itu bau kulitmu yang terbakar.”

Saat aku membuka mata, pandanganku mengabur karena air mata.

“Tahu apa yang kucium?” Aku berusaha berteriak lebih kencang dari suara tawa di sekelilingku. Lenganku berkedut dan aku ingin melepaskan talinya. Tapi tidak. Aku tidak akan menghabiskan tenaga dengan sia-sia. Aku tidak akan panik.

Aku menatap Peter melalui kobaran api. Panas kobaran apinya membuat darahku mendidih sampai terasa ke ujung kulit, menghempasku, dan melelehkan ujung sepatuku.

“Aku mencium bau hujan,” kataku.

Petir menyambar di atas kepala dan aku menjerit saat api menyentuh ujung jari. Sakit mengiris-iris kulitku. Aku memiringkan kepala dan memusatkan pikiran pada awan yang mulai berkumpul di atas. Makin lama awan makin tebal, penuh mengandung hujan. Seberkas kilat membelah langit dan aku merasakan tetes hujan pertama di dahiku. Lebih cepat, lebih cepat! Tetes hujan menuruni batang hidungku, dan tetes  berikutnya mengenai bahuku. Tetes hujannya terasa berat seakan terbuat dari bongkahan es atau batu.

Tetes-tetes hujan membasahiku dan aku mendengar suara berdesis di antara suara tawa mereka. Aku tersenyum, lega, melihat hujan memadamkan api dan mendinginkan luka bakar di tanganku. Talu yang mengikatku terjuntai lepas ke bawah dan aku merapikan rambut yang basah.

Kuharap aku seperti Tobias yang hanya memiliki empat rasa takut, tapi aku tidak sepemberani itu.

Aku merapikan kausku, dan saat mendongak, aku berdiri di tengah kamarku, di sektor kota Abnegation. Aku belum pernah menghadapi rasa takut yang ini sebelumnya. Lampu padam, tapi ruangan ini diterangi cahaya bulan yang menyelinap lewat jendela. Ada cermin terpasang di salah satu dinding. Aku berjalan mendekatinya. Bingung. Ini tidak benar. Aku tidak diizinkan memiliki cermin.

Aku menatap bayangang di dalam cermin: mataku yang lebar, ranjang berlapis seprai abu-abu yang ditata rapi, lemari yang menyimpan pakaianku, rak buku, dan dinding kosong. Mataku beralih ke arah jendela di belakangku.

Dan pria yang berdiri tepat di luar jendela.

Ada rasa dingin merayapi punggungku, seperti setitik keringat, dan tubuhku membeku. Aku mengenalinya. Itu pria berwajah codet yang kulihat di Tes Kecakapan. Ia mengenakan pakaian hitam dan bergeming seperti patung. Aku berkedip dan muncullah dua orang di samping kanan kirinya, sama bergemingnya seperti ia, tapi wajah mereka tak berwujud—hanya tengkorak berbungkus kulit.

Aku membalikkan tubuh dan mereka berdiri di dalam kamar. Aku mundur menempel cermin.

Ruangan mendadak sunyi sejenak. Kemudian, terdengar seseorang memukul-mukul kaca jendelaku. Bukan dua. Atau empat. Atau enam. Tapi, puluhan tangan terkepal membentur-bentur jendela. Riuh itu terasa sampai membentur-bentur tulang dadaku. Begitu kencang. Kemudian, pria berwajah codet dan dua pengikutnya mulai mendekatiku dengan langkah perlahan dan hati-hati/

Mereka kemari untuk membawaku, seperti Peter, Drew, dan Al; untuk membunuhku. Aku tahu itu.

Simulasi. Ini simulasi. Jantungku berdegup kencang di dada. Aku memegang erat kaca di belakangku dan menggesernya ke kiri. Ini bukan cermin, melainkan pintu geser lemari. Dalam hati, aku menentukan di mana letak pistol. Pistolku menggantung di tembok kanan, beberapa senti dari tanganku. Aku tak melepaskan pandang dari pria berwajah codet itu, tapi aku menemukan pistol itu dengan meraba dan langsung menggenggam larasnya.

Aku menggigit bibirku dan menembak pria berwajah codet itu. Aku tidak menunggu untuk memastikan apakah peluruku mengenainya—selanjutnya aku membidik ke arah dua pria lain secepat mungkin. Bibirku terasa sakit karena kugigit terlalu kuat. Suara gedoran jendela berhenti. Tapi, ganti terdengar suara cakaran dan goresan. Tangan-tangan yang terkepal tadi terbuka, jari-jarinya bengkok dan menggores jendela, seakan hendak mendobrak. Kacanya mulai retak, terdesak tangan-tangan mereka, kaca berderak lalu pecah berhamburan.

Aku menjerit.

Aku tak punya cukup peluru di dalam senjataku.

Tubuh-tubuh pucat—tubuh manusia, tapi koyak di sana-sini, lengan mereka bengkok ke sudut yang tidak beraturan, mulut menganga dengan gigi mencuat, rongga mata kosong—merangsek maju, satu demi satu dan menyeret kakinya mendekatiku. Aku mundur ke dalam lemari dan menutup pintunya. Solusi. Aku butuh sebuah solusi. Aku meringkuk dan menempelkan sisi pistolku di kepalaku. Aku tak bisa melawan mereka, jadi aku harus tenang. Ruang Ketakutan akan menangkap detak jantung yang melambat dan napas yang beraturan sehingga aku bisa berlanjut ke rintangan selanjutnya.

Aku duduk di lantai lemari. Dinding di belakangku retak. Aku mendengar suara debam—kepalan tangan kembali menggedor-gedor pintu lemari. Aku berbalik dan mengintip dari balik panel kayu di belakangku. Ini bukan dinding, melainkan sebuah pintu. Aku mendorongnya ke samping dan menemukan lorong tangga. Tersenyum, aku merangkak melewati lubang pintu dan berdiri. Tercium bau makanan dipanggang. Aku ada di rumah.

Sambil menarik napas panjang, aku melihat rumahku mulai memudar, sejenak aku lupa, kalau aku ada di markas Dauntless.

Kemudian, Tobias  berdiri di hadapanku.

Tapi, aku kan tidak takut pada Tobias. Aku melirik ke belakang. Mungkin ada sesuatu di belakangku yang harus kuwaspadai. Tapi tidak—di belakangku hanya ada ranjang segiempat biasa.

Ranjang?

Tobias melangkah mendekatiku perlahan.

Apa yang terjadi?

Aku menatapnya. Badanku tak bisa bergerak. Ia tersenyum menatapku. Senyum yang manis. Senyum yang terasa begitu akrab.

Ia menciumku dan aku membalas. Kupikir aku tak mungkin lupa kalau aku sebenarnya ada di dalam simulasi. Aku salah; Tobias membuat semuanya tidak beraturan.

Tangannya terulur dan melepaskan jaketku. Oh, cuma itu yang bisa kupikirkan, saat ia menciumku lagi. Oh.

Aku takut bersamanya. Seumur hidupku aku selalu berhati-hati dengan segala bentuk kasih sayang, tapi aku tak menyadari seberapa dalam perasaan takutku itu.

Tapi, rintangan ini terasa berbeda dengan yang lainnya. Ini ketakutan yang berbeda—panik yang membuatmu gugup bukan sekadar teror biasa.

Tobias menurunkan tangannya dan merangkul pinggangku. Aku merinding.

Perlahan kudorong dia dan kuletakkan tangan di dahiku. Baru saja aku diserang gagak dan orang berwajah aneh; aku hampir saja dibakar oleh anak yang hampir saja melemparku dari tebing; aku hampir tenggelam—dua kali—tapi malah ini yang tidak bisa aku atasi? Inikah ketakukan yang tidak ada jalan keluarnya untukku? Ketakutan bila pemuda yang aku suka ingin ... bermesraan denganku?

Tobias dalam simulasi mencium leherku?

Aku mencoba berpikir. Aku harus menghadapi rasa takut ini. Aku harus mengendalikan situasi ini dan menemukan cara untuk membuat hal ini tidak terlalu menakutkan.

Aku menatap Tobias palsu dan berkata tegas, “Aku tidak akan bermesraan denganmu di halusinasi, oke?”

Lalu, aku memegang bahunya dan berbalik sambil mendorongnya ke arah ranjang. Aku merasakan sesuatu, tapi bukan rasa takut—sesuatu yang menggelitik perutku. Seperti tawa. Aku mendekat dan menciumnya, merangkulnya. Tobias terasa kuat. Ia terasa ... menyenangkan.

Dan ia hilang.

Aku menutup mulutku yang tertawa sampai wajahku memerah. Pasti aku satu-satunya peserta inisiasi dengan rasa takut seperti ini.

Lalu, terdengar suara pelatuk ditarik.

Aku hampir lupak ketakutanku yang satu ini. Aku merasakan pistol yang besar tergenggam erat di tangan. Cahaya menyorot dari langit-langit, entah dari mana asalnya. Ibu, ayah, dan Caleb berdiri ditengah lingkaran cahaya itu.

“Lakukan,” desis suara di sampingku. Suara perempuan, tapi terdengar kasar seperti gesekan suara batu dan pecahan kaca. Suaranya seperti suara Jeanine.

Moncong pistol menempel di pelipisku. Aku bisa merasakan dinginnya mulut senjata di kulitku. Rasa dingin menjalari tubuhku, membuat bulu kudukku merinding. Aku mengelap tanganku yang basa oleh keringat ke celana jins dan melirik ke arah wanita itu. Itu Jeanine. Kacamatanya miring dan matanya menatap dingin.

Ketakukan terbesarku: keluargaku akan mati dan akulah yang bertanggung jawab atas hal itu.

“Lakukan,” ujarnya lagi. Kali ini lebih tegas. “Lakukan atau kubunuh kau.”

Aku menatap Caleb. Ia mengangguk. Alisnya berkerut penuh simpati. “Lakukan, Tris,” ujarnya lembut. “Aku mengerti. Tidak apa-apa.”

Mataku mulai terasa panas. “Tidak,” kataku. Tenggorokanku tercekat sampai terasa sangat sakit. Aku menggeleng.

“Kuberi kau sepuluh detik!” teriak wanita itu. “Sepuluh! Sembilan!”

Aku mengalihkan pandang dari kakakku ke ayah. Terakhir kali aku bertemu dengannya, ayah menatapku kesal, tapi sekarang matanya lebar dan lembut. Aku tak pernah melihatnya seperti itu di kehidupan nyata.

“Tris,” ujarnya. “Kau tak punya pilihan lain.”

“Delapan!”

“Tris,” panggil ibu. Ibu tersenyum. Ibu memiliki senyum yang manis. “Kami menyayangimu.”

“Tujuh!”

“Diam!” teriakku sambil mengacungkan pistol. Aku bisa melakukannya. Aku bisa menembak mereka. Mereka mengerti. Mereka yang memintaku. Mereka takkan memintaku mengorbankan diriku sendiri untuk mereka. Mereka bahkan tidak nyata. Ini semua simulasi.

“Enam!”

Ini bukan sungguhan. Ini tak ada artinya apa-apa. Mata kakakku yang penuh kasih seakan dua mata bor yang melubangi kepalaku. Keringat membuat senjataku terasa licin.

“Lima!”

Aku tak punya pilihan lain. Aku menutup mata.  Pikir. Aku harus berpikir. Kegentingan ini membuat jantungku berdegup kencang, dan itu bergantung pada satu hal. Hanya satu hal: ancaman terhadap nyawaku sendiri.

“Empat! Tiga!”

Apa yang Tobias pernah katakan padaku? Rasa tidak mementingkan diri sendiri dan keberanian tidak terlalu berbeda.

“Dua!”

Aku menjatuhkan pistolku. Sebelum aku kehilangan keberanian, aku berbalik dan menempelkan dahiku sendiri ke moncong pistol yang diacungkan wanita itu.

Tembak saja aku.

“Satu!”

Kudengar suara pelatuk ditari, dan DOR![]




No comments:

Post a Comment