Divergent (Divergent #1) (19)

Penulis: Veronica Roth

19


Saat aku memasuki ruangan, sebagian besar peserta inisiasi—baik yang berasal dari Dauntless dan anak pindahan—berkerumunan di sekitar barisan tempat tidur mengelilingi Peter. Kedua tangannya memegang selembar kertas.

Eksodus besar-besaran anak-anak para pemimpin Abnegation tidak bisa diabaikan atau dianggap kebetulan,” ia membaca. “Perpindahan Beatrice dan Caleb Prior, anak-anak Andrew Prior, baru-baru ini menimbulkan pertanyaan atas nilai-nilai dan ajaran kaum Abnegation.

Rasa dingin menjalari punggungku. Christina yang berdiri di pinggir keramaian menoleh ke belakang dan melihatku. Ia menatapku cemas. Aku bergeming. Ayahku. Sekarang, Erudite menyerang ayahku.

Alasan apa lagi yang membuat anak-anak seorang pria terpandang memutuskan bahwa cara hidup yang telah ayah mereka tanamkan bukanlah cara hidup yang terhormat?” lanjut Peter. “Molly Atwood, sesama reka pindahan Beatrice, menyatakan, mungkin semua ini akibat cara didik yang mengganggu dan penuh kekerasan. Aku pernah mendengarnya mengigau,’ ujar Molly. ‘Ia bilang pada ayahnya untuk berhenti melakukan sesuatu. Aku tak tahu apa itu, tapi itu membuatnya bermimpi buruk.’

Jadi, inilah balas dendam Molly. Ia pasti telah mengatakan sesuatu pada reporter Erudite yang waktu itu dibentak Christina.

Ia tersenyum. Gigi Molly berantakan. Jika aku meninju mulutnya, mungkin aku bisa membantunya merapikan gigi.

“Apa?” teriakku. Atau, aku mencoba berteriak, tapi suaraku seperti tercekik dan parau. Jadi, aku harus berdeham dan mengucapkannya lagi. “Apa?”

Peter berhenti membaca dan beberapa orang membalikkan tubuh. Beberapa dari mereka, seperti Christina, menatapku kasihan. Alis dan bibir mereka melengkung turun. Tapi, sebagian besar dari mereka tersenyum penuh kemenangan dan saling melirik satu sama lain. Peter yang terakhir kali membalikkan badan dengan senyum yang lebar.

“Berikan padaku,” ujarku sambil mengulurkan tangan. Wajahku terasa panas.

“Tapi, aku belum selesai baca,” jawabnya sambil tertawa. Matanya kembali membaca kertas itu. “Namun, mungkin jawabannya bukan terletak pada pria yang telah kehilangan moral itu saja, tapi pada nilai ideal di faksi itu yang telah rusak. Mungkin jawabannya adalah kita telah memercayakan seluruh kota kita pada sekelompok tirani baru yang tidak tahu bagaimana membawa kita semua keluar dari kemiskinan dan menuju kemakmuran.

Aku bergegas mendekatinya dan mencoba merebut kertas itu dari tangannya, tapi Peter memegangnya tinggi-tinggi di atas kepalaku sehingga aku tak mungkin mengambilnya kecuali dengan melompat. Dan aku takkan melompat. Aku mengangkat kakiku dan menginjakkannya sekeras mungkin ke arah jari kaki Peter. Erangannya tertahan karena menggertakkan gigi.

Lalu, aku mendekati Molly sambil berharap ada kekuatan dari kejadian ini yang bisa membuatnya terkejut dan mengalahkannya. Tapi, sebelum aku melakukan apa-apa, seseorang dengan tangan dingin merangkul dan menarik pinggangku.

“Itu ayahku!” jeritku. “Ayahku, dasar kau pengecut!”

Will menarikku menjauh dari Molly. Napasku naik turun cepat dan aku berusaha meraih kertas itu sebelum yang lain bisa membaca kelanjutannya. Aku harus membakarnya. Aku harus menghancurkannya. Harus.

Will menyeretku keluar ruangan menuju lorong. Kukunya seperti menancap di kulitku. Setelah pintunya tertutup, baru ia melepaskanku dan aku mendorongnya sekuat mungkin.

“Apa? Kau pikir aku tak bisa menang melawan sampah Candor sialan itu?”

“Bukan begitu,” ujar Will. Ia berdiri di depan pintu. “Menurutku, aku baru saja mencegahmu berkelahi di asrama. Tenang.”

Aku tertawa kecil. “Tenang? Tenang? Mereka membicarakan keluargaku. Itu faksiku!”

“Nukan.” Ada lingkaran hitam di matanya. Ia kelihatan lelah. “Itu faksi lamamu. Dan, tak ada yang bisa kau lakukan tentang apa yang mereka katakan, jadi abaikan mereka.”

“Apa kau tadi tidak dengar?” Panas di wajahku menghilang dan napasku mulai tenang. “Faksi lamamu yang bodoh itu tidak cuma menghina Abnegation. Mereka ingin menggulingkan pemerintahan.”

Will tertawa. “Tidak, mereka tidak begitu. Mereka itu memang arogan dan membosankan, dan itulah sebab aku meninggalkan mereka. Tapi, mereka bukan tipe revolusioner. Mereka cuma ingin mengatakan sesuatu, itu saja, dan mereka kesal karena Abnegation tidak mau mendengarkan mereka.”

“Mereka tak mau orang-orang mendengar, mereka mau orang-orang untuk setuju,” jawabku. “Dan, kau seharusnya tidak memaksa orang lain supaya setuju denganmu.” Aku menyentuh pipi dengan telapak tanganku. “Aku tak percaya kakakku bergabung dengan mereka.”

“Hei. Mereka tidak semuanya buruk,” ujarnya tajam.

Aku mengangguk, tapi aku tak percaya padanya. Aku tak bisa membayangkan ada orang Faksi Erudite yang baik, tapi Will kelihatan baik-baik saja.

Pintu kembali terbuka. Christina dan Al keluar.

“Sekarang giliranku ditato,” ujar Christina. “Mau ikut?”

Aku merapikan rambutku. Aku tak bisa kembali ke asrama. Bahkan jika Will membiarkanku, aku pasti kalah jumlah. Pilihanku adalah pergi bersama mereka dan mencoba melupakan apa yang terjadi di luar markas Dauntless. Banyak hal yang harus kupikirkan selain mencemaskan keluargaku.

***

Di depanku, Al membiarkan Christina menaiki punggungnya seperti kuda-kudaan. Christina meringkik saat Al menyeruak menembus keramaian. Orang-orang memberikannya jalan yang lebar sebisa yang mereka lakukan.

Bahuku masih seperti terbakar. Christina tadi menunjukku ikut ditato segel Dauntless. Bentuknya seperti lingkaran dengan nyala api di dalamnya. Ibu bahkan tidak menanggapi tato di tulang selangkaku, jadi aku tak menahan diri untuk ditato. Inilah bagian hidup di sini. Merupakan bagian dari inisiasiku, seperti belajar bertarung.

Christina juga memaksaku membeli kaus yang memamerkan bahuku. Tak lupa juga mewarnai garis mataku dengan pensil hitam. Aku tak repot-repot menolak usahanya mendandaniku lagi. Terutama setelah aku mendapati kalau diriku sendiri ternyata menikmatinya.

Aku dan Will berjalan di belakang Al dan Christina.

“Aku tak percaya kau ditato lagi hari ni,” ujar Will sambil menggeleng.

“Kenapa?” kataku. “Karena aku si Kaku?”

“Bukan. Karena kau biasanya ... berpikiran panjang.” Ia tersenyum. Giginya putih dan berbaris rapi. “Jadi, kau takut apa hari ini, Tris?”

“Terlalu banyak gagak,” jawabku. “Kamu?”

Ia tertawa. “Terlalu banyak cairan asam.”

Aku tak bertanya apa maksudnya itu.

“Benar-benar luar biasa cara semuanya bekerja,” ujarnya. “Pada dasarnya ada pergulatan di otak, antara bagian thalamus, yang memicu rasa takut, dan frontal lobe yang membuat keputusan. Tapi, simulasi ini adanya di dalam kepalmu, jadi walaupun kau merasa ada seseorang melakukan sesuatu padamu, itu cuma ....” suaranya menghilang. “Maafkan. Aku kedengaran seperti seorang Erudite. Kebiasaan.”

Aku mengangkat bahu. “Menarik.”

Al hampir menjatuhkan Christina sehingga gadis itu meraih apapun yang bisa ia pegang, dan ternyata itu wajah Al. Ia meringis dan menyesuaikan pegangannya di kaki Christina. Sekilas Al kelihatan bahagia, tapi sepertinya ada yang membebaninya, bahkan saat tersenyum. Aku mengkhawatirkannya.

Aku melihat Four berdiri di tebing jurang ditemani beberapa orang. Ia tertawa keras sekali sampai harus memegangi susuran agar tidak jatuh. Melihat dari botol di tangannya dan wajahnya yang ceria, ia mungkin mabuk atau sebentar lagi mabuk. Tadinya aku menganggap Four orang yang kaku seperti prajurit dan lupa kalau ia juga berumur delapan belas tahun.

“Uh-oh,” ujar Will. “Awas ada instruktur.”

“Paling tidak itu bukan Eric,” kataku. “Mungkin ia akan menyuruh kita bermain permainan pengecut atau semacamnya.”

“Tentu, tapi Four menakutkan. Iangat waktu ia menodongkan pistol ke kepala Peter? Aku rasa Peter sampat ngompol.”

“Peter layak mendapatkannya,” kataku tegas.

Will tidak mendebatku. Mungkin beberapa minggu lalu ia akan mendebatku, tapi sekarang kami semua telah melihat siapa sebenarnya  Peter.

“Tris!” Four memanggil. Aku dan Will bepandangan. Setengah kaget dan setengah takut. Four menjauh dari susuran dan berjalan ke arahku. Di depan kami, Al dan Christina berhenti berlari dan Christina meluncur jatuh ke tanah. Aku tak menyalahkan mereka karena melihat kami. Kami berempat dan Four hanya berbicara padaku.

“Kau kelihatan beda.” Kata-katanya yang biasanya tajam, sekarang terdengar agak diseret.

“Kau juga,” kataku. Dan, memang, ia kelihatan lebih santai dan lebih muda. “Apa yang kau lakukan?”

“Bermain-main dengan kematian,” jawabnya sambil tertawa. “Minum dekat tebing, mungkin bukan ide yang bagus.”

“Memang bukan.” Aku tak yakin aku menyukai Four yang seperti ini. Ada sesuatu yang terasa labil.

“Aku tidak tahu kau punya tato,” ujarnya sambil melihat ke tulang selangkaku.

Four menenggak botol itu sekali lagi. Wangi napasnya tajam dan kuat.

Gagak,” ujarnya. Ia melirik ke arah teman-temannya dari balik bahunya yang terus saja melanjutkan urusan mereka sendiri. Tidak seperti teman-temanku. “Tadinya aku mau mengajakmu ikut bergabung, tapi kau tak seharusnya melihatku seperti ini.”

Aku hampir saja menanyakan alasan kenapa ia ingin aku bergabung dengannya, tapi aku rasa jawabannya ada hubungannya dengan botol di tangannya.

“Seperti apa?” tanyaku. “Mabuk?”

“Yeah ,,, ya tidak sih,” suaranya melembut. “Apa adanya, kurasa.”

“Aku akan berpura-pura tidak melihat.”

“Kau baik sekali.” Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berkata, “Kau kelihatan cantik, Tris.”

Kata-katanya membuatku terkejut. Hatiku langsung melambung. Seandainya saja dia tidak sedang mabuk, karena dari cara matanya menelusuri mataku, Four tak menyadari apa yang ia katakan. Aku tertawa. “Bantu aku. Jauhi tebing, oke?”

“Tentu.” Kerlingnya.

Aku tak bisa menahan diri. Aku tersenyum. Will berdeham tapi aku tak mau berpaling dari Four, bahkan setelah ia kembali pada teman-temannya.

Lalu, Al bergegas menghampiriku seperti bongkahan batu besar, mengangkatku dan menyampirkanku ke bahunya seperti sekarung gandum. Aku menjerit, wajahku terasa panas.

“Ayo, Gadis Kecil,” ujarnya. “Aku akan mengajakmu makan malam.”

Aku menyandarkan siku di punggung Al dan melambai ke arah Four saat Al mengajakku pergi.

“Kupikir tadi aku harus menyelamatkanmu,” kata Al saat kami berjalan bersama. Ia menatapku. “Tadi itu apa?”

Al berusaha bersikap biasa saja, tapi nada suaranya sedih. Ia masih memperhatikanku.

“Yeah, kurasa kita semua ingin tahu jawabannya,” ujar Christina dengan nada datar. “Tadi ia bilang apa?”

“Tidak bilang apa-apa.” Aku menggeleng. “Ia mabuk. Ia tak tahu yang ia katakan.” Aku berdeham. “Itulah kenapa aku tersenyum. Lucu melihatnya seperti itu.”

“Ya benar,” ujar Will. “Tidak mungkin karena ia—”

Aku menyikut tulang rusuk Will kuat-kuat sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Tadi ia cukup dekat untuk mendengar kata-kata Four tentang aku yang kelihatan cantik. Aku tak mau ia mengatakannya pada semua orang, terlebih pada Al. Aku tak mau membuat Al merasa lebih buruk.

Di rumah, biasanya aku menghabiskan malam-malam yang menyenangkan dan tenang bersama keluargaku. Ibu merajut scarf untuk anak-anak tetangga. Ayah membantu Caleb mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ada api yang menyala di perapian dan mendamaikan hatiku. Seakan aku melakukan persis apa yang seharusnya aku lakukan. Dan, semuanya dilakukan penuh ketenangan.

Aku tak pernah digendong oleh seorang anak laki-laki bertubuh besar, tertawa sampai perutku sakit di meja makan atau mendengarkan riuhnya saat seratur orang berbicara dalam waktu yang bersamaan. Kedamaian itu penuh batasan; inilah kebebasan.[]


No comments:

Post a Comment