Penulis: Veronica Roth
36
Tiga prajurit Dauntless mengejarku. Mereka bergerak
serempak. Suara derap langkah mereka bergema di lorong. Salah satu dari mereka
menembak dan aku membungkuk menghindar. Telapak tanganku tergores aspal jalan.
Peluru itu menembus dinding batu di sebelah kananku dan pecahan batu bata
terpelanting ke mana-mana. Aku langsung bersembunyi di belokan dan memasukkan
peluru ke senjataku.
Mereka membunuh ibu.
Aku mengarahkan senjata dan menembak sekenanya. Memang bukan mereka yang
melakukannya, tapi bukan masalah—tidak boleh dipermasalahkan, dan seperti
kematian itu sendiri, tidak boleh terasa nyata sekarang.
Hanya butuh beberapa langkah sekarang. Aku mengulurkan
senjata dengan dua tangan dan berdiri di ujung gang sambil membidik ke arah
sorang prajurit Dauntless. Jemariku meremas pelatuk tidak sulit untuk menembak.
Seorang pria berlari ke arahku, sebenarnya bukan pria, lebih tepat seorang anak
laki-laki. Anak laki-laki berambut shaggy
dengan kerutan di antara kedua alisnya.
Will. Walau mata dan pikirannya kosong, tetap saja itu Will.
Ia berhenti berlari dan menatapku. Kakinya berhenti dan senjatanya teracung ke
arahku. Sekejap aku melihat jarinya menekan pelatuk dan aku menembak. Mataku
terpejam. Aku tak bisa bernapas.
Peluruku mengenainya. Tepat di kepala. Aku tahu karena di
sanalah aku membidiknya.
Aku berbalik tanpa membuka mata dan meninggalkan gang itu.
North dan Fairfield. Aku harus melihat rambu jalan supaya aku tahu di mana aku
sekarang, tapi aku tak bisa membacanya. Pandanganku mengabur. Aku berkedip
beberapa kali. Aku berdiri beberapa meter dari gedung yang menjadi tempat
persembunyian anggota keluargaku yang tersisa.
Aku berlutut di pintu. Tobias akan menyebutku sembrono
karena membuat keributan. Keributan bisa memancing prajurit Dauntless datang.
Aku menempelkan dahi di dinding, lalu berteriak. Setelah
beberapa detik, aku membekap mulutku sendiri untuk meredam suaranya, dan
berteriak lagii. Teriakan yang seperti tangisan. Senjataku terpelanting ke
tanah. Aku masih bisa melihat Will.
Dalam ingatanku, ia tersenyum. Senyum yang melengkung.
Giginya yang rapi. Matanya yang bercahaya. Tertawa, menggodaku, semuanya terasa
lebih nyata di dalam ingatan daripada dalam kenyataan. Ia atau aku. Dan, aku
memilih diriku. Tapi, aku juga ikut mati.
***
Aku mengetuk pintu—dua kali, lalu tiga kali, lalu enam kali
seperti yang disuruh Ibu.
Aku menghapus air mata dari wajahku. Ini pertama kalinya aku
akan bertemu ayah sejak terakhir kali aku meninggalkannya dan aku tak mau ayah
melihatku setengah pingsan sambil menangis.
Pintu terbuka dan ada Caleb berdiri di depan pintu.
Melihatnya membuatku terkejut. Ia menatapku beberapa detik, lalu melingkarkan
lengan di bahuku. Tangannya menekan luka di bahuku. Aku menggigit bibirku
sendiri agar tidak berteriak, tapi tetap saja aku mengerang, dan Caleb langsung
menarik tangannya.
“Beatrice. Ya Tuhan, kau tertembak?”
“Ayo masuk,” kataku lemah.
Ia menyeka air matanya dengan ibu jari. Pintu pun tertutup
di belakangnya.
Ruangan itu diterangi cahaya remang-remang, tapi aku melihat
beberapa wajah yang tidak asing. Mantan tetangga dan teman sekelas dan teman
kerja ayah. Ayahku, yang menatapku seakan aku telah tumbuh dalam waktu sekejap.
Marcus. Melihatnya membuatku sakit—Tobias ....
Tidak. Aku tidak akan melakukannya; aku tidak akan
memikirkannya.
“Bagaimana kau tahu tempat ini?” tanya Caleb. “Kau bertemu
ibu?”
Aku mengangguk. Aku juga tidak mau memikirkan ibu.
“Bahuku,” kataku.
Karena sekarang aku aman, adrenali yang tadi terpompa mulai
berkurang dan rasa sakitnya makin menjadi. Aku jatuh berlutut. Ada yang menetes
dari pakaianku ke tanah berlapis semen. Terdengar suara tangisan dari dalam
diriku, ingin bebas, dan aku menahannya kuat-kuat.
Seorang wanita bernama Tessa yang tinggal di ujung jalan
menggetar matras. Ia menikah dengan seorang anggota dewan, tapi aku tak melihat
suaminya di sini. Mungkin suaminya sudah mati.
Seseorang mengambil lampu dari sudut ruangan sehingga kami
memiliki cukup cahaya. Caleb mengambil peralatan P3K dan Susan membawakan kami
sebotol air. Tak ada tempat yang lebih baik untuk mencari bantuan daripada satu
ruangan yang dipenuhi warga Abnegation. Aku melirik ke arah Caleb. Ia
mengenakan pakaian berwarna abu-abu lagi. Melihatnya di markas Erudite sekarang
terasa seperti mimpi.
Ayah mendekatiku dan mengangkat lenganku melingkari bahunya
dan membantuku masuk ke dalam.
“Kenapa kau basah?” tanya Caleb.
“Mereka mencoba menenggelamkanku,” kataku. “Kenapa kau di
sini?”
“Aku melakukan apa yang kau bilang—apa yang ibu bilang. Aku
mencari tahu serum simulasi dan menemukan kalau Jeanine sedang mengembangkan
pemancar jarak jauh untuk serum itu sehingga sinyalnya bisa makin diperjauh.
Itu membuatku mengetahui informasi mengenai Erudite dan Dauntless ....
Ngomong-ngomong, aku meninggalkan inisiasi saat aku tahu semuanya. Seharusnya
aku memperingatkanmu, tapi itu semua terlambat,” ujarnya. “Sekarang, aku factionless.”
“Bukan,” ujar ayah tegas. “Kau bagian dari kami.”
Aku berlutut dan Caleb menggunting bagian kaus yang menempel
di bahuku dengan gunting khusus medis. Perlahan Caleb mengelupas kain itu dan
yang pertama terlihat ada tato Abnegation di bahu kananku. Lalu, tato tiga
burung di tulang selangka. Caleb dan ayah sama-sama menatap kedua tato itu
dengan tatapan terpana dan terkejut, tapi tak mengatakan apa-apa.
Aku tengkurap. Caleb menggenggam telapak tanganku saat ayah
mengambil antiseptik dari kotak P3K.
“Kau pernah mengeluarkan peluru dari tubuh seseorang
sebelumnya?” tanyaku sambil tertawa gemetar.
“Hal-hal yang aku ketahui mungkin akan membuatmu terkejut,”
jawabnya.
Banyak hal tentang orangtuaku membuatku terkejut. Aku
teringat tato ibu dan aku menggigit bibirku sendiri.
“Ini akan terasa sakit,” ujarnya.
Aku tak melihat pisau itu menggores kulitku, tapi
merasakannya. Rasa sakit menjalari tubuhku dan aku menjerit tertahan sambil
meremas tangan Caleb kuat-kuat. Di tengah-tengah teriakanku, kudengar ayah
memintaku melemaskan punggungku. Air mata mulai meleleh dari sudut mataku dan
aku melakukan apa yang ia katakan. Rasa sakit itu datang lagi dan aku bisa
merasakan pisau itu bergeser di kulitku dan aku masih menjerit.
“Dapat,” ujar Caleb. Ia menjatuhkan sesuatu di lantai.
Terdengar suara berdenting.
Caleb menatap ayah, lalu menatapku, kemudian ia tertawa. Aku
sudah lama tak mendengarnya tertawa sampai-sampai suara tawanya bisa membuatku
menangis.
“Apa yang lucu?” kataku terisak.
“Aku tak pernah membayangkan akan bertemu kalian lagi,”
ujarnya.
Ayah membersihkan kulit di sekitar lukaku dnegan sesuatu
yang dingin. “Waktunya menjahit lukamu,” ujarnya.
Aku mengangguk. Ayah memasukkan benang ke dalam jarum seakan
telah melakukannya ribuan kali.
“Satu,” ujar ayah, “dua ... tiga.”
Aku mengatupkan rahang dan tetap diam. Semua rasa sakit yang
kualami hari ini—rasa sakit karena tertembak, hampir tenggelam, dan
mengeluarkan peluru, lalu rasa sakit karena bertemu sekaligus kehilangan ibu
dan Tobias, inilah rasa sakit yang paling mudah ditahan.
Ayah selesai menjahi lukaku, menyimpul mati benangnya dan
menutupi bekas jahitan dengan perban. Caleb membantuku duduk dan melepaskan
salah satu dari dua kaus yang ia pakai. Ia menarik kaus lengan panjangnya dan
memerikannya padaku.
Ayah membantuku memasukkan lengan kanan ke dalam kau dan aku
tinggal menariknya melewati kepala. Kausnya longga dan aromanya segar. Wanginya
seperti wangi Caleb.
“Jadi,” tanya ayah pelan. “Mana ibu?”
Aku menunduk. Aku tak mau menyampaikan berita ini. Aku tidak
mau berita ini menjadi pembuka pertemuan kami.
“Ibu meninggal,” kataku. “Ibu menyelamatkanku.”
Caleb memejamkan mata dan menarik napas panjang.
Sekilas ayah terlihat terpukul, lalu menenangkan diri sambil
mengalihkan pandangannya yang berkaca-kaca dan mengangguk.
“Itu bagus,” kata ayah. Suaranya tercekat. “Kematian yang
indah.”
Kalau sekarang aku mengatakan sesuatu, pertahananku akan
runtuh. Aku tak bisa melakukannya. Jadi, aku cuma mengangguk.
Eric menyebut bunuh diri Al itu pemberani dan ia salah.
Kematian ibukulah yang pemberani. Aku ingat betapa tenangnya ibu, betapa
teguhnya ibu. Bukan semata karena keberanianlah ibu rela mati untukku; ibu
berani karena melakukannya tanpa mengatakan apa pun, tanpa ragu, dan tanpa
memikirkan pilihat lainnya.
Ayah membantuku berdiri. Waktunya menemui semua yang ada di
dalam ruangan. Ibu memintaku menyelamatkan mereka. Karena itu, dan karena aku
seorang Dauntless, sekarang tugaskulah untuk memimpin. Aku tak tahu bagaimana
melakukan hal seberat itu.
Marcus berdiri. Gambaran saat ia mencambuk lenganku dengan
ikat pinggang kembali berkelebat saat aku menatapnya, dan dadaku terasa sesak.
“Kita sudah lama aman berada di sini,” akhirnya Marcus
mengatakan sesuatu. “Kita harus keluar kota. Pilihan terbaik kita adalah pergi
ke markas Amity dengan harapan mereka akan menerima kita. Apa kau tahu strategi
Dauntless, Beatrice? Apa mereka akan berhenti berperang saat malam tiba?”
“Ini bukan strategi Dauntless,” kataku. “Ini semua didalangi
oleh Erudite. Dan, bukan mereka yang memberi perintah.”
“Bukan mereka yang memberi perintah?” ujar ayah. “Apa
maksudmu?”
“Maksudku,” kataku, “sembilan puluh persen Dauntless
sekarang sedang berjalan sambil tidur. Mereka ada di dalam simulasi dan tidak
tahu apa yang mereka lakukan. Satu-satunya alasan aku tidak seperti mereka
adalah karena aku ...” aku ragu mengucapkan kata itu. “Pengendalian pikiran itu
tidak ada pengaruhnya untukku.”
“Pengendalian pikiran? Jadi, mereka tidak tahu kalau sedang
membunuh orang sekarang?” tanya ayah dengan mata melebar.
“Tidak.”
“Itu ... mengerikan.” Marcus menggeleng. Nada simpatiknya
terdengar palsu untukku. “Kau bangun dan menyadari apa yang sudah kau lakukan
...”
Ruangan itu mendadak hening. Mungkin semua Abnegation
membayangkan diri mereka berada di posisi prajurit Dauntless. Tepat saat itulah
semua terlintas di kepalaku.
“Kita harus membangunkan mereka semua,” kataku.
“Apa?” kata Marcus.
“Kalau kita berhasil membangunkan Dauntless, mereka mungkin
akan berbalik arah saat menyadari apa yang mereka lakukan,” aku menjelaskan.
“Erudite tidak akan memiliki pasukan. Abnegation tidak akan dibunuh. Ini semua
akan selesai.”
“Tidak akan sesederhana itu,” ujar ayah. “Bahkan tanpa
bantuan Dauntless, Erudite akan menemukan cara lain untuk—”
“Dan, bagaimana caranya membangunkan mereka semua?” ujar
Marcus.
“Kita harus menemukan komputer yang mengendalikan simulasi
dan menghancurkan semua data,” ujarku. “Programnya. Semuanya.”
“Ngomong memang lebih gampang,” ujar Caleb. “Komputernya
bisa di mana saja. Kita tidak bisa begitu saja muncul di markas Erudite dan
berulah macam-macam.”
“Itu, ...” aku mengernyit. Jeanine. Jeanine bilang sesuatu
yang penting saat aku dan Tobias masuk ke dalam ruangannya. Sesuatu yang cukup
penting sehingga ia harus menutup telepon. Kau
tak bisa meninggalkannya tanpa penjagaan. Dan kemudian, saat ia mengirim
Tobias pergi: Bawa ia ke ruang kendali.
Ruang kendali di mana Tobias biasanya bekerja. Dengan monitor keamanan
Dauntless. Dan dengan komputer Dauntless.
“Ada di markas Dauntless,” ujarku. “Masuk akal. Itulah
tempat di mana semua data Dauntless disimpan, jadi kenapa tidak mengendalikan
mereka dari sana?”
Setengah sadar aku berkata, mereka. Kemarin aku baru saja resmi menjadi seorang Dauntless, tapi
sekarang aku tidak merasa menjadi bagian dari mereka. Dan, aku juga bukan dari
Abnegation.
Kurasa itulah siapa aku sebenarnya. Bukan Dauntless, bukan
Abnegation, bukan factionless. Tapi
Divergent.
“Kau yakin?” tanya ayah.
“Itu cuma tebakan,” kataku, “dan teori itu terbaik yang
kupunya.”
“Jadi, kita harus putuskan siapa yang pergi ke sana dan
siapa yang terus pergi ke Amity,” ujar ayah. “Bantuan apa yang kau butuhkan,
Beatrice?”
Pertanyaan itu membuatku terkejut, begitu pula dengan
ekspresi aya. Ayah menatapku seakan aku sebayanya. Ayah berbicara padaku seakan
aku ini temannya. Entah itu karena ayah sudah bisa menerima aku sekarang orang
dewasa, atau ayah sudah menerima aku bukan lagi putrinya. Sepertinya lebih
condong pada pilihan kedua dan rasanya sungguh menyakitkan.
“Siapa pun yang bisa dan mau menembak,” kataku, dan tidak
takut ketinggian.”[]
No comments:
Post a Comment