The Maze Runner (The Maze Runner #1) (4)

Penulis: James Dashner

4


THOMAS bersandar di pohon sembari menunggu Chuck. Dia memandang ke sekeliling lapangan Glade, mimpi buruk yang kini sepertinya ditakdirkan menjadi tempat hidupnya. Bayangan tembok-temboknya membentuk bayangan yang memanjang, hingga merambat ke sisi-sisi lain bebatuan yang ditumbuhi tanaman rambat ivy.

Setidaknya ini membantu Thomas memperkirakan arah mata angin—bangunan kayu itu berdiri di sudut barat laut, di bagian tergelap bayangan, sedangkan petak hutan kecil berada di arah barat daya. Wilayah perkebunan, tempat beberapa pekerja masih beraktivitas di antara ladang-ladang, membentang ke seluruh bagian timur laut Glade. Hewan-hewan ternak berada di sudut tenggara, melenguh, berkokok, dan menyalak.

Tepat di tengah-tengah lapangan, lubang lorong Kotak masih terbuka lebar, seolah mengundangnya untuk melompat ke sana dan pulang. Di dekatnya, kira-kira berjarak empat meter ke selatan, berdiri sebuah bangunan pendek besar yang terbuat dari beton kasar, hanya ada sebuah pintu logam menakutkan sebagai pintu masuk—sama sekali tidak ada jendela. Sebuah pegangan bundar setir baja bulat menandakan satu-satunya cara membuka pintu itu, seperti yang terdapat di bagian dalam kapal selam. Setelah semua yang dilihatnya, Thomas tidak tahu perasaan yang paling mendominasinya—keingintahuan melihat isi bangunan itu, atau ketakutan untuk mencari tahu.

Thomas baru saja mengalihkan perhatiannya pada empat celah besar di tengah tembok-tembok utama Glade saat Chuck datang, tangannya dipenuhi beberapa tangkup sandwich, apel, dan dua cangkir logam berisi air. Thomas mendadak merasa lega—setidaknya dia tidak benar-benar sendirian di tempat ini.

“Frypan tidak terlalu senang aku masuk dapurnya sebelum waktu makan malam,” kata Chuck, duduk di sebelah batang pohon, memberi isyarat agar Thomas melakukan hal yang sama. Thomas menurutinya, mengambil jatah sandwhich-nya, tetapi gerakannya terhenti saat bayangan sosok kesakitan yang dilihatnya tadi muncul di benaknya. Meskipun demikian, sesaat kemudian rasa laparnya menang dan dia mulai menggigit sandwhich-nya dengan lahap. Kelezatan daging, keju, dan mayones memenuhi mulutnya.

“Ah, enak sekali,” Thomas bergumam dengan mulut penuh. “Aku kelaparan.”

“Sudah kubilang, kan.” Chuck menggigit sandwhich-nya sendiri.

Setelah beberapa kali gigitan, Thomas akhirnya menanyakan sesuatu yang telah mengganggunya selama ini. “Apa sebenarnya yang terjadi dengan anak bernama Ben itu? Dia tak seperti manusia lagi.”

Chuck memandang sekilas rumah itu. “Tak tahu pasti,” dia bergumam tak jelas. “Aku tak melihatnya.”

Thomas menduga anak itu sedikit tak jujur, tetapi dia memutuskan untuk tidak mendesaknya. “Ya, kau tak akan mau melihatnya, percaya, deh.” Dia meneruskan makan, mengunyah apel sambil mengamati celah-celah besar di tengah tembok-tembok yang mengelilingi mereka. Meskipun tak cukup jelas dari tempatnya duduk, tampak sesuatu yang ganjil pada bingkai batu celah itu menuju jalan kecil di luar. Kepala Thomas merasa pusing menatap tembok-tembok menjelang itu, seolah dia sedang di atasnya alih-alih di lapangan.

“Ada apa di luar sana?” dia bertanya, akhirnya memecah keheningan. “Apakah ini bagian dari sebuah kastel raksasa atau semacamnya?”

Chuck ragu-ragu. Dia terlihat tak nyaman. “Eng, aku belum pernah keluar dari Glade.”

Thomas terdiam. “Kau menyembunyikan sesuatu,” akhirnya dia berkata, mengunyah habis gigitan terakhirnya, kemudian menenggak air. Rasa frustasi karena tak mendapatkan jawaban dari siapa pun mulai membuat kegelisahannya memuncak. Bahkan, jika mendapat jawaban sekalipun, dia tidak tahu apakah itu benar. “Kenapa kalian begitu menyimpan rahasia?”

“Memang begini keadaannya. Segalanya aneh di tempat ini, dan sebagian besar dari kami tak tahu tentang apa pun. Separuhnya.”

Thomas merasa terganggu karena Chuck sepertinya tidak peduli dengan perkataannya. Seolah anak itu acuh tak acuh dengan kenyataan bahwa kehidupannya telah direnggut. Ada apa dengan orang-orang ini? thomas berdiri dan mulai berjalan ke celah tembok di sebelah timur. “Ya, tak seorang pun melarangku melihat-lihat.” Dia harus mencari tahu atau dia bisa gila.

“Wow, tunggu!” Chuck berteriak, berlari menyusulnya. “Hati-hati, benda-benda itu sebentar lagi akan menutup.” Dia terengah-engah.

“Menutup?” ulang Thomas. “Apa maksudmu?”

“Pintu-pintu itu, Bodoh.”

“Pintu? Aku tak melihat satu pun pintu.” Thomas tahu Chuck tidak mengada-ada—dia tahu ada sesuatu yang tak dilihatnya. Dia mulai merasa cemas dan tak sadar melambatkan langkahnya, tak terlalu berminat menyentuh tembok-tembok itu lagi.

“Kau akan sebut apa celah-celah di tembok itu?” Chuck menunjuk ke atas ke arah celah raksasa di tembok-tembok itu. Jarak mereka kini hanya sekitar sembilan meter.

“Aku akan menyebutnya celah besar,” sahut Thomas, mencoba melawan kegelisahannya dengan berkata sinis, tetapi kecewa karena tak berhasil.

“Ya, itu adalah pintu-pintu. Dan, mereka menutup setiap malam,”

Thomas berhenti, mengira Chuck salah bicara. Dia mendongak, mengamati sisi-sisinya, mengamati lempengan batu raksasa sementara kecemasannya meningkat menjadi ketakuta. “Apa maksudmu, mereka akan menutup?”

“Lihat saja sendiri sebentar lagi. Para Pelari akan kembali tak lama lagi, dan kemudian tembok-tembok raksasa itu akan bergerak hingga celahnya tertutup.”

“Pembual,” Thomas menggerutu. Tidak mungkin tembok-tembok raksasa seperti ini dapat bergerak—dia merasa yakin Chuck sedang mengerjainya.

Mereka sampai di celah besar yang menuju luar ke jalan berbatu berikutnya. Thomas ternganga, pikirannya kosong saat melihat keseluruhannya secara langsung.

“Ini disebut Pintu Timur,” ujar Chuck, seakan-akan mempersembahkan dengan bangga salah satu mahakaryanya.

Thomas nyaris tak mendengarkannya, terlalu takjub melihat betapa besarnya celah itu dari dekat. Panjangnya sekitar enam meter, membentuk celah di dinding itu ke atas dan ke bawah. Sisi-sisinya halus kecuali ada bagian yang berpola ganjil di kedua sisinya. Di sebelah kiri Pintu Timur, lubang-lubang dalam dengan berdiameter beberapa sentimeter serta berjarak sekitar setengah meter tampak terbenam dalam batu cadas, mulai dari dekat tanah hingga terus ke atas.

Di bagian kanan Pintu, besi-besi sepanjang setengah meter mencuat dari sisi dinding, juga berdiameter beberapa sentimeter, dengan pola sama dengan lubang yang berhadapan di sisi lain. Kegunaannya sudah jelas.

“Kau bercanda, ya?” tanya Thomas, rasa takut kembali menyurutkan keberaniannya. “Kau tak sedang mempermainkanku, kan? Tembok-tembok ini sungguh-sungguh bergerak?”

Memangnya apa lagi yang kumaksud?”

Thomas harus bersusah payah memikirkan kemungkinan itu. “Aku tak tahu. Aku memperkirakan ada daun pintu yang terayun menutup atau sebuah tembok kecil yang keluar dari tembok lebih besar. Bagaimana mungkin tembok-tembok ini bergerak? Mereka luar biasa besar, dan sepertinya telah berdiri sejak ribuan tahun.” Dan, bayangan tentang tembok-tembok yang bergerak dan memerangkapnya di dalam tempat yang disebut Glade ini benar-benar mengerikan.

Chuck mengangkat tangannya, tampak jelas putus asa. “Aku tak tahu, mereka bergerak begitu saja. Dengan suara yang sangat bising. Hal yang sama juga terjadi di Maze—rangkaian jalan yang bercabang sangat banyak—semua dinding di sana juga bergerak setiap malam.”

Thomas, perhatiannya seketika teralih oleh sebuah detail baru, berpaling ke anak yang lebih muda daripadanya itu. “Apa yang baru saja kau bilang?”

“Eh?”

“Kau baru saja menyebutnya Maze—kau bilang, ‘hal yang sama juga terjadi di maze’.”

Wajah Chuck memerah. “Cukup. Sudah cukup.” Dia membalikkan badan dan berjalan ke pohon yang tadi mereka tinggalkan.

Thomas mengabaikannya, jauh lebih tertarik degan bagian luar Glade. Sebauh maze? Di hadapannya, melalui Pintu Timur, dia dapat mencari jalan keluar ke kiri, kanan, dan lurus. Dan, tembok lorong itu mirip dengan tembok yang mengelilingi Glade, lantainya terbuat dari susunan batu kokoh seperti di lapangan ini. Tanaman rambat ivy di sana terlihat jauh lebih lebat. Di kejauhan, tampak beberapa celah di bagian tembok lain yang menuju jalan setapak berikutnya, dan lebih jauh lagi, mungkin seratus meter atau lebih, jalan itu buntu.

“Seperti sebuah maze,” bisik Thomas, nyaris menertawakan dirinya sendiri. Seolah segala yang dia lewati belum cukup aneh. Mereka menghapus ingatannya dan meletakkannya di dalam sebuah maze raksasa. Semuanya sungguh gila seolah ini hanya gurauan.

Jantungnya seperti melompat saat seorang anak laki-laki secara tak terduga muncul dari balik celah di depannya, masuk dari salah satu cabang sebelah kanan, berlari ke arahnya dari Glade. Dengan keringat membanjiri badannya, wajahnya tampak memerah dan baju melekat ke tubuhnya, anak itu tidak mengurangi kecepatannya, nyaris tak melirik Thomas saat memelesat melewatinya. Dia langsung menuju bangunan beton pendek yang berdiri di dekat Kotak.

Thomas berbalik saat anak itu berlari, matanya terpaku pada pelari yang kelelahan itu, tak mengerti mengapa perkembangan ini terasa sangat mengejutkannya. Mengapa orang-orang tidak pergi ke luar saja dan menelusuri maze itu? Kemudian, dia menyadari masih ada beberapa anak lagi yang masuk melalui tiga celah Glade yang terbuka, semuanya berlari dan tampak selusuh anak yang tadi melewati Thomas. Maze itu sepertinya cukup sulit jika dilihat dari semua anak itu kembali dengan tampang letih dan kepayahan.

Dia memperhatikan, dengan penuh rasa ingin tahu, saat mereka mencapai pintu logam bangunan kecil itu; salah seorang anak memutar roda pegangan yang berkarat, menggeram saat berusaha. Chuck sebelumnya telah mengatakan soal para Pelari. Apa yang mereka lakukan di luar sana?

Pintu besar itu akhirnya mengayun terbuka, dan diiringi suara berkeriut benturan logam yang memekakan telinga, anak-anak itu melompat masuk. Mereka menghilang ke dalam, menarik pintu menutup di belakang mereka dengan bunyi berdentang keras. Thomas terpaku, benaknya berputar mencari segala kemungkinan penjelasan atas semua yang baru saja disaksikannya. Sia-sia, tetapi ada sesuatu tentang bangunan tua menyeramkan itu yang menghantui dan membuatnya mengigil gelisah.

Seseorang menarik lengannya, memecah lamunannya; Chuck telah kembali.

Tanpa sempat berpikir, Thomas memberondongnya dengan pertanyaan. “Siapa anak-anak itu dan apa yang mereka lalukan? Apa isi bangunan itu?” Dia memutar tubuh dan menunjuk Pintu Timur. “Dan, kenapa kalian tinggal di dalam sebuah maze mengerikan?” Dia merasakan tekanan menghadapi kebuntuan, membuat kepalanya seperti akan pecah.

“Aku tak akan bilang apa-apa lagi,” sahut Chuck, suaranya kini bernada berkuasa. “Kurasa sebaiknya kau tidur lebih awal—kau membutuhkan istirahat. Ah.” Dia terdiam, mengangkat satu jari, menajamkan pendengaran telinga kanannya—“saatnya sebentar lagi.”

“Apa?” tanya Thomas, merasa janggal melihat Chuck mendadak bersikap seperti orang dewasa alih-alih seorang bocah yang membutuhkan teman seperti yang ditampakkannya beberapa saat yang lalu.

Bunyi dentuman keras di udara membuat Thomas terlonjak. Dentuman itu diikuti suara mendesau dan berderak yang mengerikan. Dia melangkah muncur, terjatuh ke tanah. Sepertinya seluruh permukaan bumi berguncang; dia menoleh ke segala arah dengan panik. Tembok-tembok itu menutup. Semuanya benar-benar menutup—memerangkapnya di dalam Glade. Perasaan takutnya akan ruang tertutup melandanya seketika, menekan paru-parunya, seolah-olah air memenuhi rongganya.

“Tenang. Anak-Bawang,” Chuck berteriak mengatasi semua kebisingan itu. “Itu hanya tembok-tembok, kok!”

Thomas nyaris tak mendengarnya, terlalu terpukau dan terperanjat melihat semua Pintu itu menutup. Dia merangkak berdiri kembali dan mundur semporongan berusaha melihat dengan lebih baik, sulit percaya dengan pemandangan yang dilihatnya.

Tembok-tembok batu raksasa di sebelah kanan mereka seolah melawan semua hukum fisika saat bergeser di atas tanah, menimbulkan beberapa percikan dan kepulan debu saat bergerak, gesekan antara batu dengan batu. Bunyi berderak itu menggetarkan tulang-tulang Thomas. Anak itu menyadari bahwa tembok itulah yang bergerak, ke kiri sisi pasangannya, siap menutup dengan memasukkan batang besi ke lubang-lubang di seberangnya. Dia memandangi celah tembok yang lain di sekelilingnya. Seolah-olah kepalanya berputar lebih cepat daripada tubuhnya, dan lambungnya terasa mual karena pusing. Pada keempat sisi Glade, hanya tembok-tembok bagian kanan yang bergerak, menuju arah kiri, menutup celah semua Pintu.

Tidak mungkin, pikir Thomas. Bagaimana cara mereka melakukannya? Anak itu berusaha menahan keinginannya untuk berlari, memelesat melewati tembok batu itu sebelum menutup, meninggalkan Glade. Kesadaran menghampirinya—maze itu jauh lebih asing daripada keadaan dirinya di sini.

Dia berusaha membayangkan proses bekerjanya Pintu-Pintu itu. Tembok batu kokoh, dengan ketinggian hampir seratus meter, bergerak seperti pintu kaca yang bergeser—sebuah kenangan dari masa lalunya mendadak melintas di benaknya. Dia berusaha menangkap kenangan itu, menahannya, mengingat wajah-wajah di dalamnya, nama-nama, sebuah tempat, tetapi semua samar-samar. Tiba-tiba kesedihan mencuat di antara perasaannya yang campur aduk.

Dia memandangi tembok sebelah kanan telah mencapai sisi sebelahnya, batang-batang besi penghubungnya masuk ke lubang dengan tepat, tanpa cela. Bunyi dentuman bergema di penjuru Glade saat keempat Pintu menutup malam itu. Thomas merasakan akhir dari kegelisahan dan ketakutannya, yang lantas menguap.

Perasaan tenang yang mengherankan menyelimuti dirinya; dia mendesah panjang. “Wow,” katanya, merasa bodoh mengeluarkan pernyataan seperti itu.

“Itu biasa saja, seperti yang dikatakan Alby,” Chuck bergumam. “Kau lama-lama akan terbiasa.”

Thomas memandang berkeliling sekali lagi, perasaannya terhadap tempat ini sekarang jauh berbeda saat keempat tembok telah menutup rapat semua jalan keluar. Dia berusaha memikirkan alasan hal ini dilakukan, dan tak tahu mana yang lebih buruk—bahwa mereka dikurung di dalam atau bahwa mereka dilindungi dari sesuatu di luar. Pikiran itu membuat ketenangannya menguap, otaknya membayangkan jutaan kemungkinan tentang sesuatu yang mungkin hidup dalam maze di luar, semuanya tampak menyeramkan. Rasa takut kembali melandanya.

Ayo,” kata Chuck, menarik lengan Thomas untuk kali kedua. “Percaya kepadaku, saat malam tiba, kau akan berharap ada di atas tempat tidurmu.”


Thomas tahu dia tak punya pilihan. Dia berusaha menekan semua perasaannya dan berjalan mengikuti Chuck.[]


No comments:

Post a Comment