Penulis: Veronica Roth
9
“Karena hari ini jumlah kalian ganjil, ada satu di antara
kalian yang tidak akan berkelahi hari ini,” ujar Four sambil melangkah jauh
dari papan di ruang latihan. Ia
menatapku. Tidak ada nama yang tertulis di sebelah namaku.
Simpul di perutku terasa terbuka. Rasanya seperti lolos dari
hukuman mati.
“Ini tidak bagus,” ujar Christina menyikutku. Ujung sikunya
menusuk salah satu ototku yang nyeri—pagi ini rasanya aku punya lebih banyak
otot nyeri daripada yang tidak nyeri—dan aku bekernyit.
“Ow.”
“Maaf,” ujarnya. “Tapi lihat, aku melawan Tank.”
Aku dan Christina duduk bersebelahan saat sarapan.
Sebelumnya, dia menutupiku dari seluruh penghuni kamar yang lain saat aku
berganti baju. Aku tak memiliki teman sepertinya sebelumnya. Susah lebih suka
bergaul dengan Caleb daripada denganku, dan Robert hanya mengikut ke mana pun
Susan pergi.
Kurasa aku tak pernah benar-benar memiliki teman, titik.
Sulit untuk memiliki teman sejati saat tak seorang pun merasa diperbolehkan
untuk menerima bantuan, atau bahkan berbicara tentang dirinya sendiri. Rasanya
aku lebih mengenal Christina daripada aku mengenal Susan, padahal ini baru dua
hari.
“Tank?” kulihat nama Christina di papan. Yang tertulis di
sebelahnya “Molly”.
“Yeah, kaki tangan Peter yang kelihatan sedikir feminin
itu,” ujarnya sambil mengangguk ke arah sekumpulan orang di sisi lain ruangan.
Molly tinggi seperti Christina, tapi hanya itu persamaannya. Molly memiliki
bahu lebar, kulit kecokelatan, dan hidung bulat.
“Tiga orang itu”—Christina menunjuk Peter, Drew, dan Molly
bergantian—“anggap saja, tak terpisahkan sejah lahir. Aku benci mereka.
Will dan Al berdiri saling berhadapan di masing-masing sudut
arena. Mereka mengangkat tangan ke wajah untuk melindungi diri sendiri, seperti
yang diajarkan Four, dan bergerak melingkar satu sama lain. Al setengah kaki
lebih tinggi dari Will dan dua kali lebih lebar. Saat aku menatapnya, aku sadar
bahkan seluruh bagian wajahnya besar—hidung besar, bibirnya besar, dan matanya
pun besar. Pertarungan ini takkan berlangsung lama.
Aku melirik Peter dan teman-temannya. Drew lebih pendek dari
Peter dan Molly, tapi posturnya seperti bongkahan batu dengan pundak yang
selalu membungkuk. Rambutnya oranye kemerahan seperti warna wortel yang sudah
matang.
“Ada apa dengan mereka?” tanyaku.
“Peter itu sangat jahat. Saat kami masih kecil, ia sering
berkelahi dengan anak-anak dari faksi lain. Saat orang dewasa datang melerai,
ia akan menangis dan mengarang cerita kalau anak yang lain yang memulainya. Dan
tentu saja, orang dewasa memercayainya karena kami dari Candor dan kami tidak
boleh bohong.”
Christina mengerutkan hidung dan menambahkan, “Drew cuma
anak buahnya. Aku ragu ia memiliki pikiran sendiri. Dan Molly ... ia sejenis
orang yang membakar semut dengan kaca pembesar hanya untuk melihat semut-semut
itu menggelepar.”
Di arena, Al meninju rahang Will dengan keras. Aku
bekernyit. Di seberang ruang, Eric menyeringai ke arah Al dan memainkan salah
satu cincin di alisnya.
Will terjungkal ke samping. Tangannya menekan wajah dan
menahan tinju Al selanjutnya dengan tangannya yang lain. Dari seringai di
wajahnya, menahan pukulan itu sepertinya sama sakitnya dengan pukulannya yang
diterimanya tadi. Pukulan Al memang pelan, tapi penuh tenaga.
Peter, Drew, dan Molly diam-diam menatap ke arah kami, lalu
saling mendekatkan kepala untuk membisikkan sesuatu.
“Kurasa mereka tahu kalau kita membicarakan mereka,” kataku.
“Lalu? Mereka sudah tahu aku membenci mereka.”
“Mereka tahu? Kok bisa?”
Christina memasang senyum palsu dan melambaikan tangan. Aku
menunduk dengan pipi memerah. Aku tidak seharusnya bergosip. Bergosip itu
tindakan menyenangkan diri sendiri.
Will mengulurkan kaki dan menjegal kaki Al sampai Al jatuh
tersungkur ke tanah. Ia jaruh menimpa kakinya sendiri.
“Karena aku pernah bilang pada mereka,” ujar Christina
sambil menggertakkan gigi. Giginya rapi di bagian atas, tetapi gigi bawahnya
gingsul. Ia menatapku. “Kami belajar untuk benar-benar jujur atas perasaan kami
di Candor. Banyak orang yang bilang padaku kalau mereka tak suka aku. Dan, ada
beberapa orang juga yang belum berkata apa-apa. Siapa peduli?”
“Hanya saja, kita ... tak seharusnya menyakiti hati orang
lain,” kataku.
“Aku lebih suka menganggap kalau aku menolong mereka dengan
cara membenci mereka,” ujarnya. “Aku mengingatkan mereka kalau mereka bukan
anugerah Tuhan untuk umat manusia.”
Aku sedikit tertawa mendengarnya dan fokus ke arena lagi.
Will dan Al saling berhadapan beberapa detik lebih lama. Keraguan mereka lebih
besar daripada sebelumnya. Will mengibas helai pucat rambutnya dari mata.
Mereka menatap Four seakan mereka menunggunya untuk menghentikan pertarungan,
tapi Four tetap berdiri dengan lengan terlipat tanpa respons apa-apa. Beberapa
meter darinya, Eric sedang memeriksa jamnya.
Setelah beberapa detik berlalu, Eric berteriak, “Apa kalian
pikir ini hanya mengisi waktu luang? Apa kita harus berhenti sebentar untuk
tidur siang? Ayo bertarung!”
“Tapi ...” tubuh Al menegak dan menurunkan tangannya. “Ini
dinilai atau bagaimana? Kapan pertarungannya berakhir?” tanyanya.
“Pertarungannya berakhir saat salah satu dari kalian tak
bisa melanjutkan,” ujar Eric.
“Menurut peraturan Dauntless,” ujar Four, “salah satu dari
kalian juga bisa mengaku kalah.”
Eric menyipitkan matanya ke arah Four. “Itu menurut
peraturan lama Dauntless,” ujarnya.
“Di peraturan baru, tak ada yang
mengaku kalah.”
“Seorang pemberani boleh mengakui kekuatan orang lain,”
jawab Four.
“Seorang pemberani tak pernah menyerah.”
Four dan Eric saling menatap satu sama lain selama beberapa
detik. Rasanya aku seperti melihat dua jenis Dauntless—yang terhormat dan yang
kejam. Tapi, aku tahu di ruangan ini, Ericlah, pemimpin termuda Dauntless, yang
memegang kekuasaan.
Titik-titik keringat memenuhi dahi Al. Ia mengusapnya dengan
bagian belakang tangannya.
“ini konyol,” ujar Al menggeleng. “Apa gunanya memukulinya?
Kita semua ada di faksi yang sama!”
“Oh, menurutmu itu mudah?” tanya Will menyeringai. “Ayo,
coba saja memukulku, dasar lambat.”
Will kembali mengangkat tangan memasang kuda-kuda. Ada
keteguhan yang tadinya tidak ada, terpancar di matanya. Apa ia berpikir ia
benar-benar bisa menang? Satu serangan telak di kepala dan Al akan langsung
mengalahkannya.
Itu baru bisa terjadi jika Al benar-benar bisa memukul Will.
Al mencoba memukul, dan Will menunduk. Bagian belakang lehernya mengilat penuh
keringat. Ia memasukkan satu pukulan lagi, berkelit memutari Al, dan
menendangnya kuat-kuat di belakang. Al tersentak ke depan dan membalikkan
tubuh.
Saat aku masih kecil, aku membaca buku tentang beruang buas
yang besar. Ada gambar seekor beruang yang berdiri dengan kedua kaki
belakangnya, cakar kaki depannya terentang sambil mengaum. Seperti itulah Al
sekarang. Ia menyerang Will dengan menangkap lengannya sehingga Will tak bisa
ke mana-mana, lalu menghantam rahangnya dengan keras.
Aku melihat mata Will, yang berwarna hijau pucat seperti
seledri, mulai meredup. Sepasang matanya berputar ke belakang dan tubuhnya
terkulai kehilangan kekuatan. Ia lepas dari genggaman Al, tak sanggup menahan
beban, dan tersungkur di lantai. Hawa dingin merayapi punggungku dan memenuhi
dadaku.
Mata Al terbelalak. Ia membungkuk di samping Will dan
menepuk-nepuk pipinya dengan satu tangan. Seisi ruangan mendadak hening saat
kami menunggu respons Will. Beberapa detik, Will tidak merespons. Ia hanya
berbaring di tanah dengan lengan tertekuk tertimpa tubuhnya sendiri. Kemudian
ia mengedip, jelas sekali tampak linglung.
“Bangunkan ia,” ujar Eric. Ia menatap tamak ke arah tubuh
Will yang tersungkur seperti Will itu seonggok makanan dan Eric sudah tak makan
selama berminggu-minggu. Lengkung bibirnya terlihat kejam.
Four membalikkan badan ke arah papan tulis dan melingkari
nama Al. Kemenangan.
“Yang berikutnya—Molly dan Christina!” teriak Eric. Al
mengalungkan lengan Will ke bahunya dan menariknya keluar arena.
Christina menggertakkan tulang ruas jari-jarinya. Aku ingin
mengatakan semoga beruntung, tapi aku tak tahu apa gunanya. Christina tidak
lemah, tapi ia jauh lebih ramping dari Molly. Kuharap tubuh tingginya bisa
membantu.
Di sebeerang ruangan, Four memegangi pinggang Will dan
menuntunnya keluar. Al berdiri sejenak di pintu dan menatap mereka pergi.
Kepergian Four membuatku gugup. Meninggalkan kami bersama
Eric rasanya seperti menyewa pengasuh yang menghabiskan waktunya dengan
mengasah pisau.
Christina merapikan rambutnya ke belakang telinga. Rambutnya
sepanjang dagu, hitam, dan terjepit dengan sepasang jepit rambut perak. Ia
menggertakkan tulang jemarinya yang lain. Ia kelihatannya gugup dan tak heran
jika ia begitu—siapa yang tidak akan gugup setelah melihat Will pingsan seperti
boneka perca?
Jika setiap konflik di Dauntless diakhiri dengan hanya satu
orang yang tersisa, aku tak yakin apakah aku akan berhasil diinisiasi tahap
ini. Akankah menjadi seperti Al yang berdiri menang di awas tubuh lawan, tahu
bahwa akulah yang membuatnya jatuh tersungkur? Atau, akankah aku menjadi Will
yang berbaring tak berdaya? Apakah menginginkan kemenangan itu artinya egois
atau berani? Aku menggosokkan telapak tanganku yang berkeringat ke celana.
Aku tersentak kembali memperhatikan saat Christina menendang
sisi tubuh Molly. Molly terkesiap dan menggertakkan gigi seakan hampir
mengerang. Beberapa helai rambut hitamnya jatuh menutupi muka, tapi ia tak
menyibakkannya.
Al berdiri di sampingku, tapi aku terlalu fokus menatap
pertarungan baru ini untuk memandangnya atau menyelamatinya atas kemenangannya
barusan. Kukira itulah yang ia inginkan. Meski aku tidak yakin.
Molly menyeringai ke arah Christina dan tanpa peringatan
apa-apa, ia menukik sambil mengulurkan tangan, menyerang perut Christina. Ia
memukul Christina dengan telak, membuat Christina tersungkur dan mengunci
tubuhnya di tanah. Christina mendorongnya, tapi Molly terlalu berat dan tidak
bergerak sedikit pun.
Ia memukul dan Christina mengelak, tapi Molly memukulnya
lagi, dan lagi, sampai akhirnya kepalan tangannya membentur rahang, hidung, dan
mulut Christina. Tanpa berpikir apa-apa, aku meraih lengan Al dan meremasnya
sekuat yang kubisa. Aku hanya memerlukan sesuatu untuk kupegang. Darah mengucur
di wajah samping Christina dan ada percikan darah yang mengenai tanah di
samping pipinya. Untuk pertama kalinya, aku berdoa agar seseorang jatuh
pingsan.
Tapi, Christina tidak pingsan. Ia berteriak dan menarik
tangannya yang masih bebas. Ia meninju telinga Molly dan membuat gadis itu
kehilangan keseimbangan sehingga Christina bisa menggeliat bebas. Ia kembali
berdiri ditopang lutut sambil memegangi wajah dengan satu tangan. Darah yang
mengalir dari hidungnya terlihat kental dan gelap, melumuri jari-jari yangannya
dalam hitungan detik. Christina kembali berteriak dan merangkak menjauh dari
Molly. Aku tahu dari bahunya yang bergetar, Christina sedang menangis. Tapi,
aku hampir tak bisa mendengar suaranya karena telingaku sendiri tengah
berdenyut-denyut ngeri.
Ayolah, pingsan saja.
Molly menendang sisi tubuh Christina dan membuatnya jatuh
telentang. Al mengulurkan tangannya dan menarikku mendekat ke sisinya. Ia
menggertakkan gigi, menahan tangis. Aku memang tak punya simpati untuk Al di
malam pertama kami tiba di sini, tapi aku belum berubah menjadi orang yang
kejam. Pemandangan Christina yang memegangi rusuknya membuatku ingin naik ke
arena dan melerai mereka berdua.
“Stop!” jerit Christina saat Molly menarik kakinya untuk
sekali lagi menendang. Ia mengulurkan tangan ke depan. “Stop! Aku ...” ia
terbatuk. “Aku menyerah.”
Molly tersenyum dan aku menghela napas lega. Al juga
menghela lega. Dadanya naik turun di samping bahuku.
Eric berjalan ke tengah arena. Langkahnya lambat dan berdiri
di samping Christina dengan lengan terlipat. Ia berkata dengan tenang, “Maaf,
apa yang kau katakan barusan? Kau menyerah?”
Christina bangkit. Saat ia menjejakkan tangan di tanah
sebagai tumpuan, ada bekas telapak tangan kemerahan tercetak di sana. Ia
menekan hidungnya untuk menghentikan pendarahan dan mengangguk.
“Bangun,” ujar Eric. Jika pria itu berteriak, aku mungkin
tidak akan merasa sengeri ini. Jika ia teriak, aku akan tahu bahwa berteriak
adalah hal terburuk yang bisa ia rencanakan. Tapi, suaranya yang tenang dan
kata-katanya yang singkat membuatku merinding. Eric menangkap lengan Christina,
menyeretnya keluar melalui pintu.
“Ikut aku,” ujarnya pada kami semua.
Dan kami menurut.
***
Aku merasakan debur sungai bergema di dadaku.
Kami berdiri di dekat susuran. The Pit hampir kosong.
Sekarang tengah hari, rapi rasanya seperti malam tak berganti selama beberapa
hari.
Jika ada orang Dauntless lagi di sini, aku ragu ada sesorang
yang akan menolong Christina. Kami sedang bersama Eric, itu masalahnya, dan
masalah lainnya, Dauntless memiliki peraturan berbeda—peraturan yang menyatakan
bahwa kebrutalan bukan kekerasan.
Eric mendorong Christina ke susuran itu.
“Panjat,” ujarnya.
“Apa?” ujar Christina seakan ia berharap Eric bisa melunak,
tapi matanya yang melebar dan wajahnya yang berubah abu-abu, menunjukkan hal
sebaliknya. Eric tidak akan melunak.
“Panjat susuran itu,” kata Eric lagi sambil mengucapkan satu
demi satu kata itu perlahan. “Kalau kau bisa menggelantung di atas jurang
selama limat menit, akan kulupakan kepengecutanmu. Kalau kau tak bisa, aku
takkan mengizinkanmu melanjutkan inisiasi.”
Susuran itu sempit dan terbuat dari logam. Debut yang
terpecik dari batas sungai membuat susuran itu licin dan dingin. Bahkan, jika
Christina cukup berani untuk menggelantung di susuran itu selama lima menit, ia
takkan bisa bertahan. Ia harus memutuskan untuk keluar dari Faksi Dauntless
atau menantang maut.
Saat aku menutup mata, aku bisa melihatnya jatuh ke bebatuan
curam di bawah sana, itu membuatku gemetar.
“Baik,” ujarnya. Suaranya bergetar.
Ia cukup tinggi untuk mengayunkan kakinya melewati susuran.
Kakinya gemetar. Ia menempelkan jempol kakinya ke tepian bangunan saat ia
mengangkat kaki lainnya ke atas. Sambil berdiri menghadap kami, Christina
mengusap tangannya ke celana dan berpegangan di susuran dengan kuat sampai
buku-buku jarinya memutih. Kemudian, ia mengangkat kakinya yang berada di
pinggiran. Lalu, kaki satunya lagi. Aku melihat wajahnya di antara jeruji
pembatas. Pendiriannya begitu teguh. Bibirnya merapat kuat.
Di sebelahku, Al mengeset jam tangannya.
Untuk satu setengah menit pertama, Christina baik-baik saja.
Tangannya tetap kuat menggenggam susuran dan lengannya tidak gemetar. Aku mulai
berpikir ia akan berhasil melaluinya dan menunjukkan pada Eric betapa bodohnya
kalau pria itu sampai meragukannya.
Tapi, kemudian debur sungai membentur dinding dan
hempasannya mengenai punggung Christina. Wajahnya membentur pembatas dan ia
berteriak. Tangannya tergelincir, hanya ujung jarinya yang bertahan
mencengkeram jeruji. Ia mencoba untuk menggenggam lebih kuat, tapi tangannya
sekarang basah.
Jika aku menolongnya, Eric akan membuatku bernasib sama
seperti Christina. Akankah aku membiarkannya jatuh menemui ajal atau aku akan
mengundurkan diri untuk keluar dari faksi? Mana yang lebih buruk: diam saja
sementara seseorang akan mati atau diasingkan tanpa memiliki apa-apa?
Orangtuaku takkan memiliki masalah menjawab pertanyaan itu.
Tapi, aku bukan orangtuaku.
Seingatku, Christina belum pernah menangis sejak kita tiba
di sini, tapi sekarang wajahnya kusut dan ia menangis. Tangisannya lebih kuat
dari suara sungai. Satu ombak lagi menerjang dinding dan percikannya membasahi
tubuhnya. Salah satu tetesnya mengenai pipiku. Tangannya tergelincir lagi, dan
kali ini satu jarinya lepas dari pegangan. Sekarang, Christina hanya bergantung
dengan empat jari.
“Ayo Christina,” kata Al, suara rendahnya terdengar jelas.
Christina menatap Al. Al menepukkan tangan. “Ayo, pegang lagi. Kau bisa
melakukannya. Pegang.”
Bahkan, akankah aku cukup kuat untuk memeganginya? Akankah
usahaku untuk menolongnya sepadan jika aku tahu aku terlalu lemah untuk
melakukannya?
Aku sadar semua pertanyaan itu hanya alasan. Manusia akan menciptakan alasan apa pun
untuk menoleransi hal jahat; itulah kenapa penting untuk tidak bergantung pada
alasan-alasan semacam itu. Kata-kata ayah.
Christina mengayunkan lengannya, mencoba meraih susuran. Tak
ada lagi yang menyemangatinya. Tapi, Al menepukkan tangannya dan berteriak.
Matanya menatap ke arah Christina. Kuharap aku bisa. Kuharap aku bisa bergerak,
tapi aku hanya menatapnya dan bertanya-tanya sudah berapa lama aku ada di
situasi egois yang menjijikkan ini.
Aku menatap jam Al. Sudah lewat empat menit. Ia menyikut
bahuku dengan keras.
“Ayo,” kataku. Suaraku seperti bisikan. Aku berdeham.
“Tinggal satu menit,” kataku, kali ini lebih keras. Tangan Christina yang
satunya berhasil menangkap susuran. Lengannya bergetar begitu kuat, sampai aku
bertanya-tanya apakah sekarang ada gempa dan mengguncangkan pandanganku tanpa
kusadari.
“Ayo Christina,” kataku dan Al. Saat suara kami berpadu,
kuyakin mungkin aku bisa cukup kuat untuk membantunya.
Satu debur ombak lagi membentur punggung Christina dan ia
menjerit saat kedua tangannya lepas dari susuran. Aku menjerit. Suara itu
kedengarannya bukan seperti suaraku sendiri.
Tapi, Christina tidak jatuh. Ia menangkap jeruji pembatas.
Jemarinya meluncur menuruni jeruji logam sampai aku tak bisa melihat kepalanya
lagi. Hanya jemarinya yang bisa kulihat.
Jam Al menunjukkan 5.00.
“Sudah luma menit,” sembur Al arah Eric.
Eric memeriksa jamnya sendiri. Ia memiringkan pergelangan
tangannya, perutku seperti terpelintir dan aku tak bisa bernapas. Aku teringat
saudara Rita yang tergeletak di pelataran di bawah jalur kereta. Anggota
tubuhnya patah ke sudut yang tak beraturan; Rita menjerit dan menangis. Aku
teringat diriku sendiri yang membalikkan badan.
“Baik,” kata Eric. “Kau bisa naik, Christina.”
Al berjalan ke arah susuran.
“Tidak,” kata Eric. “Ia harus melakukannya sendiri.”
“Tidak, ia tidak perlu seperti itu,” Al mengerang. “Ia sudah
melakukan apa yang kau suruh. Ia bukan pengecut. Ia melakukan apa yang kau
minta.”
Eric tidak menjawab. Al membungkuk di susuran dan meraih
pergelangan tangan Christina. Christina menangkap lengan bawah Al. Al mengangkatnya
ke atas dengan wajah memerah penuh frustasi. Aku berlari untuk membantu mereka.
Seperti yang kukira, aku terlalu pendek untuk melakukan banyak hal. Tapi, aku
mendorong bagian bawah bahu Christina begitu ia naik cukup tinggi. Aku dan Al
menarik tubuhnya melewati pembatas. Christina tersungkur di lantai. Wajahnya
masih berlumur darah bekas pertarungannya tadi. Punggungnya basah kuyup.
Tubuhnya bergetar hebat.
Aku berlutut di sampingnya. Matanya menatapku, lalu ganti
menatap Al, dan kami bertiga menghela napas bersama-sama.[]
No comments:
Post a Comment