Penulis: Veronica Roth
21
Pintu menuju
The Pit tertutup dan aku sendiri. Aku belum pernah melewati terowongan ini
sejak hari Upacara Pemilihan. Aku ingat saat melewatinya, langkahku
terseok-seok sambil berusaha mencari cahaya. Sekarang, aku melewatinya dengan
langkah tenang. Aku tak membutuhkan cahaya lagi.
Sudah empat
hari berlalu sejak aku bicara dengan Tori. Sejak itu, Erudite telah menerbitkan
dua artikel tentang Abnegation. Artikel yang pertama, menuduh Abnegation menahan kemewahan seperti mobil dan
buah-buahan segar dari faksi lainnya untuk memaksakan kepercayaan mereka
tentang sikap tak mementingkan diri sendiri pada semua orang. Saat membacanya,
aku teringat kakak perempuan Will, Cara, yang menuduh ibu telah menimpun
barang-barang.
Artikel kedua, membahas tentang gagalnya sistem
pemilihan pegawai pemerintahan berdasarkan asal Faksi. Mereka mempertanyakan
mengapa hanya mereka yang menganggap dirinya tak memiliki rasa pamrihlah yang
seharusnya berada di pemerintaha. Mereka mengajukan kembalinya sistem politik
pemilihan demokrasi seperti masa lalu. Terasa sangat masuk akal dan membuatku
menduga ini sebentuk revolusi yang dibungkus cadar rasionalitas.
Aku tiba di
ujung terowongan. Ada jaring yang merentang di bawah lubang yang menganga,
persis seperti terakhir kali aku lihat. Aku memanjat tangga ke panggung kayu di
bawah jaring dan meraih pegangan tempat jaring dan meraih pegangan jaring itu
diikatkan. Aku takkan bisa mengangkat tubuhku sendiri saat aku pertama kali
sampai di sini, tapi sekarang aku melakukannya tanpa pikir panjang. Lalu, aku
berguling ke bagian tengah jaring.
Di atasku
ada gedung kosong yang menjulang di tepi lubang. Juga, ada langit yang
membentang. Warna biru kelam dan tanpa bintang. Tidak ada bulan yang bersinar.
Artikel tadi
menggangguku, tapi aku memiliki teman-teman yang menghiburku, dan itulah yang
penting. Saat artikel yang pertama dirilis, Christina menggoda salah seorang
koki di dapur Dauntless dan koki itu mengizinkan kami membanting-banting adonan
kue. Setelah artikel kedua, Uriah dan Marlene mengajariku bermain kartu dan
kami bermain selama dua jam di ruang makan.
Tapi malam
ini, aku ingin sendirian. Lebih dari itu, aku ingin merenung kenapa aku datang
kemari dan kenapa aku begitu yakin untuk berada di sini sampai-sampai aku rela
lompat dari gedung, bahkan sebelum aku tahu apa artinya menjadi seorang
Dauntless. Jemariku bergantian mencengkeram sela-sela jaring di bawahku.
Aku ingin
seperti Dauntless yang kulihat di sekolah. Aku ingin bisa bersuara lantang,
pemberani, dan bebas seperti mereka. Tapi, mereka belum menjadi anggota. Mereka
cuma berlagak seperti seorang Dauntless. Dan, begitu juga diriku saat aku
melompati atap itu. Aku tidak tahu rasa takut itu seperti apa.
Selama empat
hari ini, aku menghadapi empat ketakutan disimulasi. Yang pertama, aku diikat di tiang dan Peter menyalakan api di sekeliling
kakiku. Yang kedua, aku sekali lagi
tenggelam. Kali ini di tengah laut dengan ombak yang bergelora di sekelilingku.
Yang ketiga, aku melihat keluargaku
mati pelan-pelan. Dan, yang keempat,
aku ditodong pistol, lalu dipaksa menembak keluargaku sendiri. Sekarang, aku
baru tahu apa itu rasa takut.
Angin
bertiup kencang di bibir lubang dan menghempas tubuhku. Aku menutup mata. Di
benakku, aku membayangkan berdiri di pinggir atap lagi. Aku melepaskan kancing
baju Abnegationku yang berwarna abu-abu, menunjukkan lenganku. Menunjukkan
lebih banyak bagian tubuhku yang pernah dilihat orang sebelumnya. Aku meremas
kaus itu menjadi bola dan melemparkannya ke dada Peter.
Aku membuka
mata lagi. Tidak, aku salah. Aku melompat dari atap bukan karena aku ingin
seperti Dauntless. Aku melompat karena aku memang seperti mereka dan aku ingin
menunjukkan diriku pada mereka. Aku ingin bagian diriku itu diakui karena
Abnegation memaksaku untuk menyembunyikannya.
Aku mengulurkan
tangan ke atas dan meraih jaring lagi. Kuulurkan kakiku sejauh munkin. Aku
menaiki jaring itu setinggi yang kubisa. Langit malam terlihat kosong dan
sunyi. Dan, untuk pertama kalinya selama empat hari ini, pikiranku juga ikut
kosong dan sunyi.
***
Aku
memegangi kepala dan menarik napas dalam-dalam. Hari ini simulasinya sama
seperti kemarin. Seseorang menodongku dengan senjata dan menyuruhku menembak
keluargaku. Saat aku mengangkat kepala, aku melihat Four mengamatiku.
“Aku tahu
simulasinya bukan sungguhan,” kataku.
“Kau tak
perlu menjelaskannya padaku,” jawabnya. “Kau mencintai keluargamu. Kau tidak
mau menembak mereka. Itu bukan alasan yang paling tidak masuk akal di dunia.”
“Di
simulasilah, satu-satunya kesempatan aku bisa bertemu mereka,” kataku. Walaupun
ia bilang aku tak perlu menjelaskannya, aku merasa harus menjelaskannya kenapa
ketakutan ini begitu sulit kuhadapi. Aku meremas tanganku dan membukanya. Kulit
di balik kukuku masih berdarah—belakangan
ini aku menggigitinya saat tertidur. Tiap pagi aku terbangun dengan tangan
berdarah. “Aku kangen mereka. Apa kau tak pernah ... merindukan keluargamu?”
Four
menunduk, “Tidak,” akhirnya ia menjawab. “Aku tidak merindukan mereka. Tapi,
itu memang tidak wajar.”
Itu memang
tidak wajar. Saking anehnya itu mengalihkan pikiranku akan gambaran menodongkan
sejata ke dada Caleb. Keluarga seperti apa yang ia miliki sampai ia tak lagi
memedulikan mereka?
Aku berhenti
di depan pintu dan menatap ke arahnya.
Apa kau seperti aku? Tanyaku padanya
dalam hati. Apa kau seorang Divergent?
Bahkan,
hanya memikirkan kata itu rasanya berbahaya. Matanya menatap mataku erat dan
saat detik berlalu, tatapannya melunak. Aku bisa mendengarkan detak jantungku
sendiri. Aku melihatnya terlalu lama, tapi kemudian, Four juga melihatku. Aku
merasa seakan kami berdua mencoba mengatakan sesuatu yang tidak boleh didengar
orang, tapi aku bisa membayangkannya. Terlalu lama—bahkan sekarang lebih lama
lagi, degup jantungku terasa makin keras. Matanya yang tenang seperti menelanku
hidup-hidup.
Aku membuka
pintu dan bergegas menyusuri lorong.
Tidak
seharusnya aku begitu mudah terganggu olehnya. Seharusnya aku tak bisa
memikirkan hal lain selain inisiasi. Simulasi ini seharusnya lebih
menggangguku. Seharusnya memecah belah pikiranku seperti yang dialami oleh
peserta inisiasi lainnya. Drew sampai tidak tidur—ia cuma meringkuk sambil
menatap dinding. Al menjerit tiap malam kerena bermimpi buruk dan menangis
lirih di balik bantalnya. Mimpi-mimpi burukku dan jariku yang habis kugigiti, tak
lebih buruk dari apa yang dia alami.
Teriakan Al
selalu membangunkanku. Saat aku terjaga, aku menatap ranjang di atasku dan
bertanya-tanya apa yang salah denganku. Aku masih saja merasa kuat saat yang
lainnya mulai merasa rapuh. Apakah dengan menjadi seorang Divergent membuatku
kuat, atau ada yang lain?
Saat aku
kembali ke asrama, aku berharap menemukan hal yang sama seperti kemarin:
beberapa peserta inisiasi yang berbaring di ranjang atau melamun. Namun, mereka
malah bergerombol di ujung ruangan. Eric berada di paling depan sambil
menghadap papan tulis, jadi aku tak bisa melihat apa yang tertulis di sana. Aku
pun berdiri di samping Will.
“Apa yang
terjadi?” bisikku. Kuharap itu bukan artikel lagi, karena aku tidak yakin apa
aku bisa menghadapi satu permusuhan lagi.
“Ranking tahap dua,” ujarnya.
”Kupikir
tidak ada eliminasi setelah tahap dua,” desisku.
“Memang
tidak ada. Itu cuma laporan perkembangan, semacam itulah.”
Aku
mengangguk.
Papan itu
membuatku gelisah. Rasanya seperti ada yang berenang-renang di dalam perutku.
Eric mengangkat papan dan mengaitkannya pada sebuah paku. Saat ia minggir,
ruangan mendadak sunyi dan aku menjulurkan leher untuk melihat apa isinya.
Namaku di
posisi pertama.
Semuanya
melihat ke arahku. Aku membaca daftarnya sampai ke bawah. Christina dan Will
berturut-turut urutan ketujuh dan kesembilan. Peter urutan kedua, tapi saat
kulihat keterangan waktu yang tertulis di samping namanya, aku baru sadar kalau
jarak di antara kami jelas-jelas sangat jauh.
Rata-rata waktu
simulasi Peter adalah delapan menit. Waktuku dua menit empat puluh lima detik.
“Bagus,
Tris,” ujar Will pelan.
Aku
mengangguk sambil menatap papan. Seharusnya aku senang mendapat ranking pertama, tapi aku tahu apa
artinya. Jika sebelumnya Peter dan teman-temannya membenciku, sekarang, mereka
akan makin memusuhiku. Sekarang, akulah pengganti Edward. Mungkin berikutnya
mataku yang diincar. Atau malah lebih buruk.
Aku
mencari-cari nama Al dan menemukannya di tempat paling bawah. Kerumunan para
peserta inisiasi mulai menyebar, menyisakan aku, Peter, Will dan Al berdiri
bersama-sama. Aku ingin menghibur Al. Aku ingin memberitahunya kalau
satu-satunya alasan aku melakukannya dengan baik karena ada sesuatu yang
berbeda dengan otakku.
Peter
pelan-pelan membalikkan tubuhnya. Seluruh tubuhnya tegang. Bahkan, tatapan
orang yang sedang melotot pun masih kalah menyeramkan dengan tatapannya
padaku—tatapan penuh kebencian. Ia berjalan menuju ranjangnya, tapi di detik
terakhir, ia membalikkan tubuhnya dengan cepat dan mendorongku ke dinding.
Masing-masing tangannya memegangi bahuku.
“Aku tidak
akan dikalahkan oleh orang Kaku seperti kau,” desisnya. Wajahnya begitu dekat
dengan wajahku sampai-sampai aku bisa mencium bau mulutnya yang apak.
“Bagaimana kau bisa melakukannya, huh? Bagaimana kau bisa?”
Ia sedikit
menarikku, lalu mendorongku kembali ke dinding. Aku menggertakkan gigi agar
tidak berteriak walaupun rasa sakitnya menjalar di tulang belakangku. Will
menarik kerah baju Peter dan menyeretnya menjauhiku.
“Jangan
ganggu ia,” ujarnya. “Cuma pengecut yang mengganggu gadis kecil.”
“Gadis
kecil?” ejek Peter sambil menepis tangan Will. “Kau ini buta, atau bodoh? Ia
akan menyingkirkan kalian keluar dari peringkat itu dan juga keluar dari Dauntless, dan kau tidak akan
mendapatkan apa-apa. Itu semua karena
ia tahu bagaimana caranya memanipulasi orang, sedangkan kau sendiri tidak tahu
caranya. Jadi, nanti kalau kau sadar ia akan menghancurkan kita semua, beri
tahu aku.”
Peter
begegas keluar dari asrama. Molly dan Drew mengikutinya sambil memasang
ekspresi jijik di wajah mereka masing-masing.
“Trims,”
kataku mengangguk ke arah Will.
“Apa ia
benar?” tanya Will pelan. “Apa kau mencoba memanipulasi kami?”
“Bagaimana
cara melakukannya?” aku berteriak padanya. “Aku hanya melakukan yang terbaik,
seperti yang lainnya.”
“Aku tidak
tahu.” Ia agak sedikir mengangkat bahu. “Dengan berpura-pura lemah, jadi kami
mengasihanimu? Kemudian, berpura-pura kuat untuk menghancurkan kami?”
“Menghancurkanmu?”
ulangku. “Aku teman-mu. Aku takkan
melakukannya.”
Ia tak
berkata apa-apa. Aku tahu Will tidak memercayaiku—tidak terlalu.
“Jangan
bodoh, Will,” ujar Christina sambil melompat turun dari tempat tidurnya. Ia
melihatku tanpa rasa simpati lalu menambahkan, “Ia tidak berpura-pura.”
Christina
lalu membalikkan tubuh dan pergi tanpa menutup pintu. Will mengikutinya. Aku
sendirian di ruang itu bersama Al. Urutan pertama dan terakhir.
Al tidak
pernah terlihat kecil sebelumnya, tapi begitulah ia sekarang. Bahunya meringkuk
turun dan tubuhnya melorot seperti kertas kusut. Ia duduk di tepi tempat tidur.
“Kau tidak
apa-apa?”
“Ya,”
ujarnya.
Wajahnya
memerah. Aku memalingkan muka. Menanyakan keadaannya itu tadi cuma basa-basi.
Siapa pun bisa melihat kalau Al tidak baik-baik saja.
“Ini kan
belum selesai,” kataku. “Kau bisa menaikkan ranking-mu
kalau kai ....”
Kata-kataku
terputus saat ia mendongak menatapku. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus
kukatakan padanya jika aku harus menyelesaikan kalimatku. Tak ada strategi
untuk tahap dua. Latihannya meresap jauh ke dalam lubuk hati kami dan menguji
apa pun keberanian yang kami miliki.
“Tuh kan?”
katanya. “Tidak semudah itu.”
“Aku tahu,
memang tidak mudah.”
“Kau tak
mungkin tahu,” ujarnya menggeleng. Dagunya gemetar. “Bagimu ini mudah. Semua
ini mudah.”
“Itu tidak
benar.”
“Yeah,
memang benar.” Ia memejamkan mata. “Kau tidak membantuku dengan berpura-pura
bersikap semuanya tidak mudah. Aku tidak—aku tidak yakin kau bisa membantuku.”
Rasanya
seperti berjalan di bawah derasnya hujan dan seluruh pakaianku basah. Rasanya
berat, canggung, dan tidak berguna. Aku tidak tahu apakah dia menganggap memang
tak ada yang bisa membantunya atau khusus ditujukan padaku yang tidak bisa
membantunya. Tapi, kedua makna perkataannya itu tetap membuatku tidak enak. Aku
ingin membantunya. Tapi, aku tak memiliki kekuatan untuk melakukannya.
“Aku ...,”
aku membuka mulut bermaksud meminta maaf, tapi untuk apa? Karena aku lebih
Dauntless dari dirinya? Karena tak tahu apa yang harus dikatakan?
“Aku cuma ....”
Air mata yang menggenang di pelupuk mata Al akhirnya tumpah juga membasahi
pipi. “... ingin sendiri.”
Aku
mengangguk dan membalikkan tubuh. Meninggalkannya sendiri bukan ide yang bagus,
tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Pintu pun tertutup dan aku terus melangkah.
Aku melewati
air minum pancur dan menyusuri terowongan yang kelihatannya tak berujung saat
pertama kali aku tiba di sini, tapi sekarang aku hampir tak memedulikannya. Ini
bukan pertama kalinya aku mengecewakan keluargaku setelah aku tiba di sini,
tapi untuk beberapa alasan, rasanya memang seperti itu. Tiap kali aku membuat
mereka kecewa, aku tahu apa yang harus aku lakukan, tapi memilih untuk tidak
melakukannya. Kali ini, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apakah aku
sudah kehilangan kemampuan mengetahui apa yang orang lain butuhkan? Apakah ada
bagian diriku yang menghilang?
Aku terus
melangkah.
***
Entah
bagaimana aku tiba di aula yang kududuki di hari saat Edward perti. Aku tidak
ingin sendiri, tapi sepertinya aku tidak memiliki banyak pilihan. Kupejamkan
mata dan kupusatkan perhatian pada dinginnya batu yang kududuki dan lembapnya
udara bawah tanah.
“Tris!”
seseorang memanggilku dari ujung lorong. Uriah berlari kecil menghampiriku. Di
belakangnya ada Lynn dan Marlene. Lynn sedang membawa muffin.
“Sudah
kuduga aku akan menemukanmu di sini.” Ia membungkuk di dekat kakiku. “Kudengar
kau dapat ranking pertama.”
“Jadi, kau
mau memberiku selamat?” aku tersenyum sini. “Ya, trims.”
“Harus ada yang bilang,” ujarnya. “Dan, aku
yakin teman-temanmu tidak terlalu memberi selamat karena peringkat mereka tidak
begitu tinggi. Jadi, nggak usah manyun dan ikut kami. Aku mau menembak muffin di kepala Marlene.”
Ide itu
begitu konyol sampai aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Aku bangkit
dan mengikuti Uriah ke ujung aula di mana Marlene dan Lynn sedang menunggu.
Lynn menyipitkan matanya ke arahku, tapi Marlene tersenyum lebar.
“Kenapa kau
tidak pergi keluar dan merayakannya?” tanya Marlene. “Secara teknis, kau pasti
masuk sepuluh besar kalau kau mempertahankan posisimu.”
“Ia itu
terlalu Dauntless untuk disaingi anak pindahan lainnya,” ujar Uriah.
“Dan terlalu
Abnegation untuk merayakannya,” sindir Lynn.
Aku
mengabaikannya. “Kenapa kau menembak muffin
di kepala Marlene?”
“Ia bertaruh
bahwa, aku tidak akan bisa membidik benda kecil dengan baik dari jarak tiga
puluh meter,” Uriah menjelaskan. “Aku berani taruhan ia tak punya cukup nyali
berdiri membawa targetnya saat aku mencoba. Taruhan yang lumayan seru sih!”
Ruang
latihan tempatku belajar menembak tidaklah jauh. Kami tiba di sana kurang dari
satu menit dan Uriah menyalakan sakelarnya. Kelihatannya ruangan itu masih sama
seperti terakhir kali aku di sana. Ada papan target di salah satu ujung
ruangannya. Ada meja yang dipenuhi pistol di ujung lainnya.
“Mereka
membiarkan benda-benda ini tergeletak begitu saja?” tanyaku.
“Yeah, tapi
tidak ada isinya.” Uriah menarik kausnya. Ada pistol terselip di balik ikat
pinggang celananya, tepat di bawah sebuah tato. Aku melihat tato itu sambil
menebak gambar apa itu, tapi ia keburu menurunkan kausnya lagi. “Oke,” ujarnya.
“Ayo berdiri di depan target.”
Marlene pun
berjalan dengan langkah lebar-lebar.
“Kau tidak
sungguh-sungguh akan menembaknya, kan?” tanyaku pada Uriah.
“Ini bukan
pistol asli,” ujar Lynn pelan. “Di dalamnya ada peluru plasti. Paling, wajahnya
akan terasa sakit, mungkin sedikir memar. Menurutmu kami bodoh, apa?”
Marlene
beridiri di salah satu target dan meletakkan muffin di kepalanya. Uriah menutup sebelah mata saat mulai
membiduk.
“Tunggu!”
teriak Marlene. Ia mencuil sedikit muffin
itu dan langsung melemparkannya ke dalam mulu. “Mmkay!” teriaknya. Kata-katanya
terdengar tidak jelas. Ia mengacungkan ibu jari ke arah Uriaj.
“Sepertinya ranking kalian bagus,” ujarku pada Lynn.
Ia
mengangguk. “Uriah kedua. Aku pertama. Marlene keempat.”
“Kau pertama
hanya karena sedikit lebih bagus,”
ujar Uriah sambil membidik. Ia menekan pelatuknya. Muffin di kepala Marlene terjatuh. Gadis itu bahkan tidak
mengedipkan mata.
“Kami berdua
menang!” teriak Marlen.
“Kau kangen
faksi lamamu?” tanya Lynn padaku.
“Kadang-kadang,”
kataku. “Faksi lamaku lebih tenang. Tidak melelahkan seperti di sini.”
Marlene
mengambil muffin dari lantai dan
menggigitnya. Uriah berteriak, “Joroj!”
“Inisiasi
seharusnya menunjukkan siapa kita yang sesungguhnya. Itu sih kata Eric,” ujar Lynn. Ia mengerutkan alis.
“Four bilang
itu semua untuk membuat kita siap.”
“Yah, mereka tidak saling setuju.”
Aku
mengangguk. Foru pernah bilang visi Eric untuk Dauntless bukanlah visi yang
seharusnya, tapi kuharap Four bisa memberitahuku dengan jelas apa pendapatnya
tentang visi sesungguhnya. Aku seringkali sekilas membayangkannya—Dauntless
bersorak saat aku lompat dari gedung, tangan-tangan yang terjalin untuk
menangkapku setelah aku meluncur di kabel gantung—tapi itu tidak cukup. Apa ia
pernah membaca manifesto Dauntless? Apa itu yang ia percayai—tindakan
pemberani?
Pintu ruang
latihan terbuka. Shauna, Zeke, dan Four memasuki ruangan tepat saat Uriah
melepaskan satu tembakan ke target lainnya. Peluru plastiknya terpental tepat
di bagian tengah target dan bergulir di lantai.
“Kurasa aku
mendengar sesuatu di sini,” ujar Four.
“Rupanya
adikku yang bodoh,” ujar Zeke. “Kalian tidak boleh ada di sini setelah jam
latihan selesai. Hati-hati atau Four akan melaporkan kalian pada Eric dan
kalian akan kelihatan keren kalau dibotakin.”
Uriah
merengut dan meletakkan pistol. Marlene menyeberangi ruangan sambil menggigit muffin-nya. Four memberi jalan untuk
membiarkan kami pergi.
“Kau tidak
akan lapor Eric, kan?” ujar Lynn sambil menatap Four curiga.
“Tidak
akan,” ujarnya. Saat aku lewat di depannya, ia menyentuh punggungku dan
mendorongku keluar. Telapak tangannya menekan tulang bahuku. Aku langsung
merinding. Semoga ia tidak menyadarinya.
Yang lainnya
berkalan menyusuri lorong. Zeke dan Uriah sibuk saling dorong. Marlene membagi muffin-nya dengan Shauna. Lynn berjalan
paling depan. Aku pun mengikuti mereka.
“Tunggu,”
ujar Four. Aku membalikkan tubuh dan bertanya-tanya sisi Four yang mana yang
sekarang akan kulihat—yang suka mengejekku atau yang memanjat Kincir Bianglala
bersamaku. Ia sedikit tersenyum, tapi senyumnya tak begitu lebar, seperti
senyum yang tegang dan cemas.
“Kau pantas
berada di sini, kau tahu itu, kan?” ujarnya. “Kau pantas bersama kami. Ini akan
segera selesai, jadi bertahanlah, oke?”
Ia menggaruk
bagian belakang telingany dan melengos seakan malu dengan perkataannya sendiri.
Aku
menatapnya. Rasanya jantungku berlompatan ke sana kemari, bahkan sampai ke ibu
jariku. Rasanya aku baru saja melakukan sesuatu yang berani, tapi aku bisa saja
pergi begitu saja. Aku tak tahu pilihan mana yang lebih pintar atau lebih baik.
Aku tak yakin apa aku peduli.
Aku
mengulurkan tangan menyentuh tangannya. Jari-jari kami saling bersentuhan. Aku
jadi tak bisa bernapas.
Aku
mendongak menatapnya dan ia menunduk menatapku. Kami saling menatap cukup lama.
Kemudian, aku menarik tanganku dan berlari mengejar Uriah, Lynn, dan Marlene.
Mungkin sekarang ia akan menganggapku bodoh atau aneh. Mungkin memang layak
seperti itu.
***
Aku kembali
ke asrama sebelum yang lainnya kembali. Saat yang lainnya mulai berduyun-duyun
datang, aku langsung naik ke tempat tidur dan berpura-pura tidur. Aku tak
membutuhkan mereka, apalagi jika mereka bersikap seperti itu saat aku melakukan
semuanya dengan baik. Kalau aku berhasil melewati inisiasi, aku akan resmi
menjadi Dauntless dan aku tak perlu melihat mereka lagi.
Aku tak
membutuhkan mereka—tapi apakah aku menginginkan mereka? Setiap tato yang kubuat
bersama mereka adalah tanda persahabatan dari mereka. Dan, tiap kali aku
tertawa di ruangan yang gelap ini, juga karena mereka. Aku tidak ingin kehilangan
mereka. Tapi, rasanya aku sudah kehilangan mereka.
Setelah
setengah jam digelisahkan oleh begitu banyak hal berkelebat di pikiranku, aku
telentang dan membuka mata. Asrama sekarang sudah gelap—semuanya sudah tidur. Mungkin mereka capek marah-marah padaku.
Aku berpikir sambil tersenyum kecut. Sepertinya datang dari faksi yang paling
dibenci tidak cukup, dan sekarang aku juga mengalahkan mereka.
Aku turun
dari tempat tidur untuk mengambil air. Aku tidak haus, tapi aku harus melakukan
sesuatu. Suara langkah kakiku yang telanjang menggema di lorong. Tanganku
meraba-raba dinding untuk membantuku tetap berjalan lurus. Sebuah bohlam
menyala kebiruan di atas air minum pancur.
Aku
menyibakkan rambut ke salah satu sisi dan membungkuk. Saat air itu menyentuh
bibirku, aku mendengar suara di ujung lorong. Aku berjingkat-jingkat mendekat
sambil bersembunyi di kegelapan.
“Sejauh ini
tak ada tanda-tandanya.” Suara Eric. Tanda-tanda apa?
“Ya, kau
belum terlalu sering melihatnya,” jawab seseorang. Suara perempuan. Suaranya
dingin dan tak asing. Tak asing, tapi seperti dari dalam mimpi, bukan sosok
yang nyata. “Latihan bertarung takkan menunjukkan apa pun. Tapi, simulasi akan
menunjukkan siapa saja para pemberontak Divergent, itu kalau memang ada, jadi
kita harus memeriksa catatan beberapa kali untuk memastikannya.”
Kata
“Divergent” membuatku merinding. Aku membungkuk. Punggungku menempel di
bebatuan untuk melihat siapa pemilik suara yang tidak asing itu.
“Jangan lupa
kenapa aku meminta Max menunjukmu,” ujar pemilik suara itu. “Prioritas
pertamamu adalah menemukan mereka. Selalu.”
“Aku tidak
akan lupa.”
Aku bergeser
beberapa inci ke depan sambil masih berharap aku masih cukup tersembunyi. Siapa
pun pemilik suara itu, ialah yang berkuasa. Ia yang bertanggung jawab atas
posisi Eric sebagai pemimpin. Ia yang menginginkanku mati. Aku menjulurkan
kepala ke depan dan mencoba melihat mereka sebelum mereka menghilang di
tikungan.
Lalu,
seseorang menarikku dari belakang.
Aku hampir
berteriak, tapi sebuah tangan membekap mulutku. Wanginya aroma sabun dan tangan
itu cukup besar untuk menutupii setengah wajahku. Aku meronta, tapi lengan yang
memegangiku terlalu kuat dan aku menggigit salah satu jarinya.
“Ow!” teriak
sebuah suara yang parau.
“Diam dan
tutup mulutnya.” Suara yang ini lebih tinggi dari suara pria kebanyakan dan
lebih jelas. Peter.
Sehelai kain
hitam menutupi mataku dan ada sepasang tangan lagi yang mengikat kain itu di
belakang kepalaku. Aku mencoba bernapas. Setidaknya ada dua tangan memegangi
lenganku dan menarikku ke depan. Ada satu lagi di punggungku dan ikut
mendorongku. Satu lagi menutupi mulutku agar aku tidak berteriak. Tiga orang.
Dadaku terasa sakit. Aku tidak bisa melawan tiga orang sendirian.
“Aku jadi
penasaran bagaimana kedengarannya kalau si Kaku ini minta ampun,” ujar Peter
tertawa kecil. “Ayo cepat.”
Aku mencoba
fokus pada tangan di mulutku. Pasti ada sesuatu yang khas yang membuatnya mudah
dikenali.identidasnya adalah masalah yang bisa kuselesaikan. Aku harus
menyelesaikan setidaknya satu masalah sekarang atau aku akan panik.
Tangan ini
berkeringat dan lembut. Aku menggertakkan gigi dan bernapas melalui hidung.
Wangi sabun ini tidak asing. Wangi lengrass
dan sage. Wangi yang sama yang ada di
tempat tidur Al. Perutku langsung bergolak.
Aku
mendengar suara debur air di bebatuan. Kami ada di dekat tebing—kami pasti ada
di atasnya jika ditilik dari suara gemuruh air. Aku mengatupkan bibir agar tak
menjerit. Kalau kami ada di atas tebing, aku tahu apa yang akan mereka lakukan
padaku.
“Angkat ia,
ayo.”
Aku meronta.
Kulit mereka yang kasar menggores kulitku, tapi aku tahu itu tak ada gunanya.
Aku pun menjerit, padahal pasti tak ada yang bisa mendengarku di sini.
Aku akan
bertahan sampai besok. Pasti.
Tangan-tangan
mereka mendorongku ke atas dan membenturkan tulang. Dari lebar dan lengkungnya,
benda itu adalah susuran besi. Susuran besi yang membatasi tebing. Aku
tersengal-sengal dan udara dingin berembus di bagian belakang leherku.
Tangan-tangan itu kemudian memaksaku membungkuk melewati susuran. Kakiku tak
lagi menjejak lantai dan merekalah satu-satunya yang menahanku jatuh ke sungai.
Ada tangan
meraba dadaku. “Kau yakin kau enam belas tahun, Kaku? Sepertinya kau tidak
lebih dari anak umur dua belas tahun.”
Kedua pemuda
lainnya tertawa.
Ada rasa
pahit yang menjalari tenggorokanku.
“Tunggu,
sepertinya aku menemukan sesuatu!” tangan itu meremas tubuhku. Aku menggigit
lidahku agar tak menjerit. Tawa mereka makin keras.
Tangan Al
lepas dari mulutku. “Hentikan,” bentaknya. Aku mengenali suaranya yang rendah
dan khas.
Saat Al
melepaskanku, aku meronta lagi dan jatuh ke lantai. Kali ini aku menggigit
lengan pertama yang kutemukan sekuat mungkin. Aku mendengar teriakan dan
gigitanku makin kuat, sampai aku bisa merasakan ada darah yang mengalir.
Sesuatu yang keras menghantam wajahku. Panas menjalar di kepalaku. Rasanya
pasti sakit kalau adrenalin di dalam tubuhku tidak sedang mengalir deras.
Anak itu
menarik lengannya dariku dan melemparkanku ke lantai. Siku lenganku membentur
batu dan aku mengangkat tangan ke kepala untuk melepaskan penutup mata. Sebuah
tendangan bersarang di samping tubuhku dan mendesak udara keluar dari
paru-paruku. Aku terkesiap dan batuk-batuk, mencakarkan tangan ke belakang
kepalaku. Seseorang menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku ke sebuah
benda yang keras. Aku menjerit kesakitan dan langsung merasa pusing.
Aku
terhuyung-huyung dan meraba ke samping kepalaku untuk mencari simpul ikatan
yang menutupi mata. Kutarik kain penutup itu ke atas, lalu mengedipkan mata.
Pemandangan di hadapanku terlihat kabur. Aku melihat seseorang berlari ke arah
kami dan seseorang lagi berlari menjauh—seseorang bertubuh besar, Al. Aku
berpegangan di susuran dan berusaha berdiri tegak.
Peter
melingkarkan tangannya di leherku dan mengangkatku. Jempolnya menusuk bagian
bawah daguku. Rambutnya yang biasanya berkilau dan halus, sekarang kusut dan
menempel di dahi. Wajah pucatnya berkerut dan giginya menggertak. Ia
mengangkatku melewati batas tebing dan mataku mulai berkunang-kunang. Ia tak berkata
apa-apa. Aku mencoba menendanganya, tapi kakiku terlalu pendek. Paru-paruku
sesak tak mendapat udara.
Lalu,
kudengar teriakan dan Peter melepaskanku.
Aku
mengulurkan tangan saat terjatuh. Aku terkesiap saat ketiakku membentur
susuran. Langsung kukaitkan siku di susuran dan mengerang. Hawa dingin
menghempas pergelangan kaki. Dunia terasa seperti berputar dan seseorang berada
di lantai The Pit—Drew—menjerit kesakitan. Aku dengar suara hantaman.
Tendangan. Teriakan.
Aku berkedip
beberapa kali dan sekuat mungkin memusatkan pikiran pada satu-satunya wajah
yang bisa kulihat. Wajah yang dipenuhi kemarahan. Matanya berwarna biru tua.
“Four,”
ujarku parau.
Aku menutup
mata dan tanganya merangkulku, tepat di bawah bahu. Ia menarikku naik ke atas
melewati susuran. Aku bersandar di dadanya. Four memelukku, menggendongku.
Salah satu lengannya mengangkat bagian bawah lututku. Kubenamkan wajahku ke
bahunya. Kesunyian yang merayapi kami berdua.[]
No comments:
Post a Comment