Divergent (Divergent #1) (21)

Penulis: Veronica Roth

21


Pintu menuju The Pit tertutup dan aku sendiri. Aku belum pernah melewati terowongan ini sejak hari Upacara Pemilihan. Aku ingat saat melewatinya, langkahku terseok-seok sambil berusaha mencari cahaya. Sekarang, aku melewatinya dengan langkah tenang. Aku tak membutuhkan cahaya lagi.

Sudah empat hari berlalu sejak aku bicara dengan Tori. Sejak itu, Erudite telah menerbitkan dua artikel tentang Abnegation. Artikel yang pertama, menuduh Abnegation menahan kemewahan seperti mobil dan buah-buahan segar dari faksi lainnya untuk memaksakan kepercayaan mereka tentang sikap tak mementingkan diri sendiri pada semua orang. Saat membacanya, aku teringat kakak perempuan Will, Cara, yang menuduh ibu telah menimpun barang-barang.

Artikel kedua, membahas tentang gagalnya sistem pemilihan pegawai pemerintahan berdasarkan asal Faksi. Mereka mempertanyakan mengapa hanya mereka yang menganggap dirinya tak memiliki rasa pamrihlah yang seharusnya berada di pemerintaha. Mereka mengajukan kembalinya sistem politik pemilihan demokrasi seperti masa lalu. Terasa sangat masuk akal dan membuatku menduga ini sebentuk revolusi yang dibungkus cadar rasionalitas.

Aku tiba di ujung terowongan. Ada jaring yang merentang di bawah lubang yang menganga, persis seperti terakhir kali aku lihat. Aku memanjat tangga ke panggung kayu di bawah jaring dan meraih pegangan tempat jaring dan meraih pegangan jaring itu diikatkan. Aku takkan bisa mengangkat tubuhku sendiri saat aku pertama kali sampai di sini, tapi sekarang aku melakukannya tanpa pikir panjang. Lalu, aku berguling ke bagian tengah jaring.

Di atasku ada gedung kosong yang menjulang di tepi lubang. Juga, ada langit yang membentang. Warna biru kelam dan tanpa bintang. Tidak ada bulan yang bersinar.

Artikel tadi menggangguku, tapi aku memiliki teman-teman yang menghiburku, dan itulah yang penting. Saat artikel yang pertama dirilis, Christina menggoda salah seorang koki di dapur Dauntless dan koki itu mengizinkan kami membanting-banting adonan kue. Setelah artikel kedua, Uriah dan Marlene mengajariku bermain kartu dan kami bermain selama dua jam di ruang makan.

Tapi malam ini, aku ingin sendirian. Lebih dari itu, aku ingin merenung kenapa aku datang kemari dan kenapa aku begitu yakin untuk berada di sini sampai-sampai aku rela lompat dari gedung, bahkan sebelum aku tahu apa artinya menjadi seorang Dauntless. Jemariku bergantian mencengkeram sela-sela jaring di bawahku.

Aku ingin seperti Dauntless yang kulihat di sekolah. Aku ingin bisa bersuara lantang, pemberani, dan bebas seperti mereka. Tapi, mereka belum menjadi anggota. Mereka cuma berlagak seperti seorang Dauntless. Dan, begitu juga diriku saat aku melompati atap itu. Aku tidak tahu rasa takut itu seperti apa.

Selama empat hari ini, aku menghadapi empat ketakutan disimulasi. Yang pertama, aku diikat di tiang dan Peter menyalakan api di sekeliling kakiku. Yang kedua, aku sekali lagi tenggelam. Kali ini di tengah laut dengan ombak yang bergelora di sekelilingku. Yang ketiga, aku melihat keluargaku mati pelan-pelan. Dan, yang keempat, aku ditodong pistol, lalu dipaksa menembak keluargaku sendiri. Sekarang, aku baru tahu apa itu rasa takut.

Angin bertiup kencang di bibir lubang dan menghempas tubuhku. Aku menutup mata. Di benakku, aku membayangkan berdiri di pinggir atap lagi. Aku melepaskan kancing baju Abnegationku yang berwarna abu-abu, menunjukkan lenganku. Menunjukkan lebih banyak bagian tubuhku yang pernah dilihat orang sebelumnya. Aku meremas kaus itu menjadi bola dan melemparkannya ke dada Peter.

Aku membuka mata lagi. Tidak, aku salah. Aku melompat dari atap bukan karena aku ingin seperti Dauntless. Aku melompat karena aku memang seperti mereka dan aku ingin menunjukkan diriku pada mereka. Aku ingin bagian diriku itu diakui karena Abnegation memaksaku untuk menyembunyikannya.

Aku mengulurkan tangan ke atas dan meraih jaring lagi. Kuulurkan kakiku sejauh munkin. Aku menaiki jaring itu setinggi yang kubisa. Langit malam terlihat kosong dan sunyi. Dan, untuk pertama kalinya selama empat hari ini, pikiranku juga ikut kosong dan sunyi.


***

Aku memegangi kepala dan menarik napas dalam-dalam. Hari ini simulasinya sama seperti kemarin. Seseorang menodongku dengan senjata dan menyuruhku menembak keluargaku. Saat aku mengangkat kepala, aku melihat Four mengamatiku.

“Aku tahu simulasinya bukan sungguhan,” kataku.

“Kau tak perlu menjelaskannya padaku,” jawabnya. “Kau mencintai keluargamu. Kau tidak mau menembak mereka. Itu bukan alasan yang paling tidak masuk akal di dunia.”

“Di simulasilah, satu-satunya kesempatan aku bisa bertemu mereka,” kataku. Walaupun ia bilang aku tak perlu menjelaskannya, aku merasa harus menjelaskannya kenapa ketakutan ini begitu sulit kuhadapi. Aku meremas tanganku dan membukanya. Kulit di balik kukuku  masih berdarah—belakangan ini aku menggigitinya saat tertidur. Tiap pagi aku terbangun dengan tangan berdarah. “Aku kangen mereka. Apa kau tak pernah ... merindukan keluargamu?”

Four menunduk, “Tidak,” akhirnya ia menjawab. “Aku tidak merindukan mereka. Tapi, itu memang tidak wajar.”

Itu memang tidak wajar. Saking anehnya itu mengalihkan pikiranku akan gambaran menodongkan sejata ke dada Caleb. Keluarga seperti apa yang ia miliki sampai ia tak lagi memedulikan mereka?

Aku berhenti di depan pintu dan menatap ke arahnya.

Apa kau seperti aku? Tanyaku padanya dalam hati. Apa kau seorang Divergent?

Bahkan, hanya memikirkan kata itu rasanya berbahaya. Matanya menatap mataku erat dan saat detik berlalu, tatapannya melunak. Aku bisa mendengarkan detak jantungku sendiri. Aku melihatnya terlalu lama, tapi kemudian, Four juga melihatku. Aku merasa seakan kami berdua mencoba mengatakan sesuatu yang tidak boleh didengar orang, tapi aku bisa membayangkannya. Terlalu lama—bahkan sekarang lebih lama lagi, degup jantungku terasa makin keras. Matanya yang tenang seperti menelanku hidup-hidup.

Aku membuka pintu dan bergegas menyusuri lorong.

Tidak seharusnya aku begitu mudah terganggu olehnya. Seharusnya aku tak bisa memikirkan hal lain selain inisiasi. Simulasi ini seharusnya lebih menggangguku. Seharusnya memecah belah pikiranku seperti yang dialami oleh peserta inisiasi lainnya. Drew sampai tidak tidur—ia cuma meringkuk sambil menatap dinding. Al menjerit tiap malam kerena bermimpi buruk dan menangis lirih di balik bantalnya. Mimpi-mimpi burukku dan jariku yang habis kugigiti, tak lebih buruk dari apa yang dia alami.

Teriakan Al selalu membangunkanku. Saat aku terjaga, aku menatap ranjang di atasku dan bertanya-tanya apa yang salah denganku. Aku masih saja merasa kuat saat yang lainnya mulai merasa rapuh. Apakah dengan menjadi seorang Divergent membuatku kuat, atau ada yang lain?

Saat aku kembali ke asrama, aku berharap menemukan hal yang sama seperti kemarin: beberapa peserta inisiasi yang berbaring di ranjang atau melamun. Namun, mereka malah bergerombol di ujung ruangan. Eric berada di paling depan sambil menghadap papan tulis, jadi aku tak bisa melihat apa yang tertulis di sana. Aku pun berdiri di samping Will.

“Apa yang terjadi?” bisikku. Kuharap itu bukan artikel lagi, karena aku tidak yakin apa aku bisa menghadapi satu permusuhan lagi.

Ranking tahap dua,” ujarnya.

”Kupikir tidak ada eliminasi setelah tahap dua,” desisku.

“Memang tidak ada. Itu cuma laporan perkembangan, semacam itulah.”

Aku mengangguk.

Papan itu membuatku gelisah. Rasanya seperti ada yang berenang-renang di dalam perutku. Eric mengangkat papan dan mengaitkannya pada sebuah paku. Saat ia minggir, ruangan mendadak sunyi dan aku menjulurkan leher untuk melihat apa isinya.

Namaku di posisi pertama.

Semuanya melihat ke arahku. Aku membaca daftarnya sampai ke bawah. Christina dan Will berturut-turut urutan ketujuh dan kesembilan. Peter urutan kedua, tapi saat kulihat keterangan waktu yang tertulis di samping namanya, aku baru sadar kalau jarak di antara kami jelas-jelas sangat jauh.

Rata-rata waktu simulasi Peter adalah delapan menit. Waktuku dua menit empat puluh lima detik.

“Bagus, Tris,” ujar Will pelan.

Aku mengangguk sambil menatap papan. Seharusnya aku senang mendapat ranking pertama, tapi aku tahu apa artinya. Jika sebelumnya Peter dan teman-temannya membenciku, sekarang, mereka akan makin memusuhiku. Sekarang, akulah pengganti Edward. Mungkin berikutnya mataku yang diincar. Atau malah lebih buruk.

Aku mencari-cari nama Al dan menemukannya di tempat paling bawah. Kerumunan para peserta inisiasi mulai menyebar, menyisakan aku, Peter, Will dan Al berdiri bersama-sama. Aku ingin menghibur Al. Aku ingin memberitahunya kalau satu-satunya alasan aku melakukannya dengan baik karena ada sesuatu yang berbeda dengan otakku.

Peter pelan-pelan membalikkan tubuhnya. Seluruh tubuhnya tegang. Bahkan, tatapan orang yang sedang melotot pun masih kalah menyeramkan dengan tatapannya padaku—tatapan penuh kebencian. Ia berjalan menuju ranjangnya, tapi di detik terakhir, ia membalikkan tubuhnya dengan cepat dan mendorongku ke dinding. Masing-masing tangannya memegangi bahuku.

“Aku tidak akan dikalahkan oleh orang Kaku seperti kau,” desisnya. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku sampai-sampai aku bisa mencium bau mulutnya yang apak. “Bagaimana kau bisa melakukannya, huh? Bagaimana kau bisa?”

Ia sedikit menarikku, lalu mendorongku kembali ke dinding. Aku menggertakkan gigi agar tidak berteriak walaupun rasa sakitnya menjalar di tulang belakangku. Will menarik kerah baju Peter dan menyeretnya menjauhiku.

“Jangan ganggu ia,” ujarnya. “Cuma pengecut yang mengganggu gadis kecil.”

“Gadis kecil?” ejek Peter sambil menepis tangan Will. “Kau ini buta, atau bodoh? Ia akan menyingkirkan kalian keluar dari peringkat itu dan juga keluar dari Dauntless, dan kau tidak akan mendapatkan apa-apa. Itu semua karena ia tahu bagaimana caranya memanipulasi orang, sedangkan kau sendiri tidak tahu caranya. Jadi, nanti kalau kau sadar ia akan menghancurkan kita semua, beri tahu aku.”

Peter begegas keluar dari asrama. Molly dan Drew mengikutinya sambil memasang ekspresi jijik di wajah mereka masing-masing.

“Trims,” kataku mengangguk ke arah Will.

“Apa ia benar?” tanya Will pelan. “Apa kau mencoba memanipulasi kami?”

“Bagaimana cara melakukannya?” aku berteriak padanya. “Aku hanya melakukan yang terbaik, seperti yang lainnya.”

“Aku tidak tahu.” Ia agak sedikir mengangkat bahu. “Dengan berpura-pura lemah, jadi kami mengasihanimu? Kemudian, berpura-pura kuat untuk menghancurkan kami?”

“Menghancurkanmu?” ulangku. “Aku teman-mu. Aku takkan melakukannya.”

Ia tak berkata apa-apa. Aku tahu Will tidak memercayaiku—tidak terlalu.

“Jangan bodoh, Will,” ujar Christina sambil melompat turun dari tempat tidurnya. Ia melihatku tanpa rasa simpati lalu menambahkan, “Ia tidak berpura-pura.”

Christina lalu membalikkan tubuh dan pergi tanpa menutup pintu. Will mengikutinya. Aku sendirian di ruang itu bersama Al. Urutan pertama dan terakhir.

Al tidak pernah terlihat kecil sebelumnya, tapi begitulah ia sekarang. Bahunya meringkuk turun dan tubuhnya melorot seperti kertas kusut. Ia duduk di tepi tempat tidur.

“Kau tidak apa-apa?”

“Ya,” ujarnya.

Wajahnya memerah. Aku memalingkan muka. Menanyakan keadaannya itu tadi cuma basa-basi. Siapa pun bisa melihat kalau Al tidak baik-baik saja.

“Ini kan belum selesai,” kataku. “Kau bisa menaikkan ranking-mu kalau kai ....”

Kata-kataku terputus saat ia mendongak menatapku. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya jika aku harus menyelesaikan kalimatku. Tak ada strategi untuk tahap dua. Latihannya meresap jauh ke dalam lubuk hati kami dan menguji apa pun keberanian yang kami miliki.

“Tuh kan?” katanya. “Tidak semudah itu.”

“Aku tahu, memang tidak mudah.”

“Kau tak mungkin tahu,” ujarnya menggeleng. Dagunya gemetar. “Bagimu ini mudah. Semua ini mudah.”

“Itu tidak benar.”

“Yeah, memang benar.” Ia memejamkan mata. “Kau tidak membantuku dengan berpura-pura bersikap semuanya tidak mudah. Aku tidak—aku tidak yakin kau bisa membantuku.”

Rasanya seperti berjalan di bawah derasnya hujan dan seluruh pakaianku basah. Rasanya berat, canggung, dan tidak berguna. Aku tidak tahu apakah dia menganggap memang tak ada yang bisa membantunya atau khusus ditujukan padaku yang tidak bisa membantunya. Tapi, kedua makna perkataannya itu tetap membuatku tidak enak. Aku ingin membantunya. Tapi, aku tak memiliki kekuatan untuk melakukannya.

“Aku ...,” aku membuka mulut bermaksud meminta maaf, tapi untuk apa? Karena aku lebih Dauntless dari dirinya? Karena tak tahu apa yang harus dikatakan?

“Aku cuma ....” Air mata yang menggenang di pelupuk mata Al akhirnya tumpah juga membasahi pipi. “... ingin sendiri.”

Aku mengangguk dan membalikkan tubuh. Meninggalkannya sendiri bukan ide yang bagus, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Pintu pun tertutup dan aku terus melangkah.

Aku melewati air minum pancur dan menyusuri terowongan yang kelihatannya tak berujung saat pertama kali aku tiba di sini, tapi sekarang aku hampir tak memedulikannya. Ini bukan pertama kalinya aku mengecewakan keluargaku setelah aku tiba di sini, tapi untuk beberapa alasan, rasanya memang seperti itu. Tiap kali aku membuat mereka kecewa, aku tahu apa yang harus aku lakukan, tapi memilih untuk tidak melakukannya. Kali ini, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apakah aku sudah kehilangan kemampuan mengetahui apa yang orang lain butuhkan? Apakah ada bagian diriku yang menghilang?

Aku terus melangkah.

***

Entah bagaimana aku tiba di aula yang kududuki di hari saat Edward perti. Aku tidak ingin sendiri, tapi sepertinya aku tidak memiliki banyak pilihan. Kupejamkan mata dan kupusatkan perhatian pada dinginnya batu yang kududuki dan lembapnya udara bawah tanah.

“Tris!” seseorang memanggilku dari ujung lorong. Uriah berlari kecil menghampiriku. Di belakangnya ada Lynn dan Marlene. Lynn sedang membawa muffin.

“Sudah kuduga aku akan menemukanmu di sini.” Ia membungkuk di dekat kakiku. “Kudengar kau dapat ranking  pertama.”

“Jadi, kau mau memberiku selamat?” aku tersenyum sini. “Ya, trims.”

“Harus ada yang bilang,” ujarnya. “Dan, aku yakin teman-temanmu tidak terlalu memberi selamat karena peringkat mereka tidak begitu tinggi. Jadi, nggak usah manyun dan ikut kami. Aku mau menembak muffin di kepala Marlene.”

Ide itu begitu konyol sampai aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Aku bangkit dan mengikuti Uriah ke ujung aula di mana Marlene dan Lynn sedang menunggu. Lynn menyipitkan matanya ke arahku, tapi Marlene tersenyum lebar.

“Kenapa kau tidak pergi keluar dan merayakannya?” tanya Marlene. “Secara teknis, kau pasti masuk sepuluh besar kalau kau mempertahankan posisimu.”

“Ia itu terlalu Dauntless untuk disaingi anak pindahan lainnya,” ujar Uriah.

“Dan terlalu Abnegation untuk merayakannya,” sindir Lynn.

Aku mengabaikannya. “Kenapa kau menembak muffin di kepala Marlene?”

“Ia bertaruh bahwa, aku tidak akan bisa membidik benda kecil dengan baik dari jarak tiga puluh meter,” Uriah menjelaskan. “Aku berani taruhan ia tak punya cukup nyali berdiri membawa targetnya saat aku mencoba. Taruhan yang lumayan seru sih!”

Ruang latihan tempatku belajar menembak tidaklah jauh. Kami tiba di sana kurang dari satu menit dan Uriah menyalakan sakelarnya. Kelihatannya ruangan itu masih sama seperti terakhir kali aku di sana. Ada papan target di salah satu ujung ruangannya. Ada meja yang dipenuhi pistol di ujung lainnya.

“Mereka membiarkan benda-benda ini tergeletak begitu saja?” tanyaku.

“Yeah, tapi tidak ada isinya.” Uriah menarik kausnya. Ada pistol terselip di balik ikat pinggang celananya, tepat di bawah sebuah tato. Aku melihat tato itu sambil menebak gambar apa itu, tapi ia keburu menurunkan kausnya lagi. “Oke,” ujarnya. “Ayo berdiri di depan target.”

Marlene pun berjalan dengan langkah lebar-lebar.

“Kau tidak sungguh-sungguh akan menembaknya, kan?” tanyaku pada Uriah.

“Ini bukan pistol asli,” ujar Lynn pelan. “Di dalamnya ada peluru plasti. Paling, wajahnya akan terasa sakit, mungkin sedikir memar. Menurutmu kami bodoh, apa?”

Marlene beridiri di salah satu target dan meletakkan muffin di kepalanya. Uriah menutup sebelah mata saat mulai membiduk.

“Tunggu!” teriak Marlene. Ia mencuil sedikit muffin itu dan langsung melemparkannya ke dalam mulu. “Mmkay!” teriaknya. Kata-katanya terdengar tidak jelas. Ia mengacungkan ibu jari ke arah Uriaj.

“Sepertinya ranking kalian bagus,” ujarku pada Lynn.

Ia mengangguk. “Uriah kedua. Aku pertama. Marlene keempat.”

“Kau pertama hanya karena sedikit lebih bagus,” ujar Uriah sambil membidik. Ia menekan pelatuknya. Muffin di kepala Marlene terjatuh. Gadis itu bahkan tidak mengedipkan mata.

“Kami berdua menang!” teriak Marlen.

“Kau kangen faksi lamamu?” tanya Lynn padaku.

“Kadang-kadang,” kataku. “Faksi lamaku lebih tenang. Tidak melelahkan seperti di sini.”

Marlene mengambil muffin dari lantai dan menggigitnya. Uriah berteriak, “Joroj!”

“Inisiasi seharusnya menunjukkan siapa kita yang sesungguhnya. Itu sih kata Eric,” ujar Lynn. Ia mengerutkan alis.

“Four bilang itu semua untuk membuat kita siap.”

Yah, mereka tidak saling setuju.”

Aku mengangguk. Foru pernah bilang visi Eric untuk Dauntless bukanlah visi yang seharusnya, tapi kuharap Four bisa memberitahuku dengan jelas apa pendapatnya tentang visi sesungguhnya. Aku seringkali sekilas membayangkannya—Dauntless bersorak saat aku lompat dari gedung, tangan-tangan yang terjalin untuk menangkapku setelah aku meluncur di kabel gantung—tapi itu tidak cukup. Apa ia pernah membaca manifesto Dauntless? Apa itu yang ia percayai—tindakan pemberani?

Pintu ruang latihan terbuka. Shauna, Zeke, dan Four memasuki ruangan tepat saat Uriah melepaskan satu tembakan ke target lainnya. Peluru plastiknya terpental tepat di bagian tengah target dan bergulir di lantai.

“Kurasa aku mendengar sesuatu di sini,” ujar Four.

“Rupanya adikku yang bodoh,” ujar Zeke. “Kalian tidak boleh ada di sini setelah jam latihan selesai. Hati-hati atau Four akan melaporkan kalian pada Eric dan kalian akan kelihatan keren kalau dibotakin.”

Uriah merengut dan meletakkan pistol. Marlene menyeberangi ruangan sambil menggigit muffin-nya. Four memberi jalan untuk membiarkan kami pergi.

“Kau tidak akan lapor Eric, kan?” ujar Lynn sambil menatap Four curiga.

“Tidak akan,” ujarnya. Saat aku lewat di depannya, ia menyentuh punggungku dan mendorongku keluar. Telapak tangannya menekan tulang bahuku. Aku langsung merinding. Semoga ia tidak menyadarinya.

Yang lainnya berkalan menyusuri lorong. Zeke dan Uriah sibuk saling dorong. Marlene membagi muffin-nya dengan Shauna. Lynn berjalan paling depan. Aku pun mengikuti mereka.

“Tunggu,” ujar Four. Aku membalikkan tubuh dan bertanya-tanya sisi Four yang mana yang sekarang akan kulihat—yang suka mengejekku atau yang memanjat Kincir Bianglala bersamaku. Ia sedikit tersenyum, tapi senyumnya tak begitu lebar, seperti senyum yang tegang dan cemas.

“Kau pantas berada di sini, kau tahu itu, kan?” ujarnya. “Kau pantas bersama kami. Ini akan segera selesai, jadi bertahanlah, oke?”

Ia menggaruk bagian belakang telingany dan melengos seakan malu dengan perkataannya sendiri.

Aku menatapnya. Rasanya jantungku berlompatan ke sana kemari, bahkan sampai ke ibu jariku. Rasanya aku baru saja melakukan sesuatu yang berani, tapi aku bisa saja pergi begitu saja. Aku tak tahu pilihan mana yang lebih pintar atau lebih baik. Aku tak yakin apa aku peduli.

Aku mengulurkan tangan menyentuh tangannya. Jari-jari kami saling bersentuhan. Aku jadi tak bisa bernapas.

Aku mendongak menatapnya dan ia menunduk menatapku. Kami saling menatap cukup lama. Kemudian, aku menarik tanganku dan berlari mengejar Uriah, Lynn, dan Marlene. Mungkin sekarang ia akan menganggapku bodoh atau aneh. Mungkin memang layak seperti itu.

***

Aku kembali ke asrama sebelum yang lainnya kembali. Saat yang lainnya mulai berduyun-duyun datang, aku langsung naik ke tempat tidur dan berpura-pura tidur. Aku tak membutuhkan mereka, apalagi jika mereka bersikap seperti itu saat aku melakukan semuanya dengan baik. Kalau aku berhasil melewati inisiasi, aku akan resmi menjadi Dauntless dan aku tak perlu melihat mereka lagi.

Aku tak membutuhkan mereka—tapi apakah aku menginginkan mereka? Setiap tato yang kubuat bersama mereka adalah tanda persahabatan dari mereka. Dan, tiap kali aku tertawa di ruangan yang gelap ini, juga karena mereka. Aku tidak ingin kehilangan mereka. Tapi, rasanya aku sudah kehilangan mereka.

Setelah setengah jam digelisahkan oleh begitu banyak hal berkelebat di pikiranku, aku telentang dan membuka mata. Asrama sekarang sudah gelap—semuanya sudah tidur. Mungkin mereka capek marah-marah padaku. Aku berpikir sambil tersenyum kecut. Sepertinya datang dari faksi yang paling dibenci tidak cukup, dan sekarang aku juga mengalahkan mereka.

Aku turun dari tempat tidur untuk mengambil air. Aku tidak haus, tapi aku harus melakukan sesuatu. Suara langkah kakiku yang telanjang menggema di lorong. Tanganku meraba-raba dinding untuk membantuku tetap berjalan lurus. Sebuah bohlam menyala kebiruan di atas air minum pancur.

Aku menyibakkan rambut ke salah satu sisi dan membungkuk. Saat air itu menyentuh bibirku, aku mendengar suara di ujung lorong. Aku berjingkat-jingkat mendekat sambil bersembunyi di kegelapan.

“Sejauh ini tak ada tanda-tandanya.” Suara Eric. Tanda-tanda apa?

“Ya, kau belum terlalu sering melihatnya,” jawab seseorang. Suara perempuan. Suaranya dingin dan tak asing. Tak asing, tapi seperti dari dalam mimpi, bukan sosok yang nyata. “Latihan bertarung takkan menunjukkan apa pun. Tapi, simulasi akan menunjukkan siapa saja para pemberontak Divergent, itu kalau memang ada, jadi kita harus memeriksa catatan beberapa kali untuk memastikannya.”

Kata “Divergent” membuatku merinding. Aku membungkuk. Punggungku menempel di bebatuan untuk melihat siapa pemilik suara yang tidak asing itu.

“Jangan lupa kenapa aku meminta Max menunjukmu,” ujar pemilik suara itu. “Prioritas pertamamu adalah menemukan mereka. Selalu.”

“Aku tidak akan lupa.”

Aku bergeser beberapa inci ke depan sambil masih berharap aku masih cukup tersembunyi. Siapa pun pemilik suara itu, ialah yang berkuasa. Ia yang bertanggung jawab atas posisi Eric sebagai pemimpin. Ia yang menginginkanku mati. Aku menjulurkan kepala ke depan dan mencoba melihat mereka sebelum mereka menghilang di tikungan.

Lalu, seseorang menarikku dari belakang.

Aku hampir berteriak, tapi sebuah tangan membekap mulutku. Wanginya aroma sabun dan tangan itu cukup besar untuk menutupii setengah wajahku. Aku meronta, tapi lengan yang memegangiku terlalu kuat dan aku menggigit salah satu jarinya.

“Ow!” teriak sebuah suara yang parau.

“Diam dan tutup mulutnya.” Suara yang ini lebih tinggi dari suara pria kebanyakan dan lebih jelas. Peter.

Sehelai kain hitam menutupi mataku dan ada sepasang tangan lagi yang mengikat kain itu di belakang kepalaku. Aku mencoba bernapas. Setidaknya ada dua tangan memegangi lenganku dan menarikku ke depan. Ada satu lagi di punggungku dan ikut mendorongku. Satu lagi menutupi mulutku agar aku tidak berteriak. Tiga orang. Dadaku terasa sakit. Aku tidak bisa melawan tiga orang sendirian.

“Aku jadi penasaran bagaimana kedengarannya kalau si Kaku ini minta ampun,” ujar Peter tertawa kecil. “Ayo cepat.”

Aku mencoba fokus pada tangan di mulutku. Pasti ada sesuatu yang khas yang membuatnya mudah dikenali.identidasnya adalah masalah yang bisa kuselesaikan. Aku harus menyelesaikan setidaknya satu masalah sekarang atau aku akan panik.

Tangan ini berkeringat dan lembut. Aku menggertakkan gigi dan bernapas melalui hidung. Wangi sabun ini tidak asing. Wangi lengrass dan sage. Wangi yang sama yang ada di tempat tidur Al. Perutku langsung bergolak.

Aku mendengar suara debur air di bebatuan. Kami ada di dekat tebing—kami pasti ada di atasnya jika ditilik dari suara gemuruh air. Aku mengatupkan bibir agar tak menjerit. Kalau kami ada di atas tebing, aku tahu apa yang akan mereka lakukan padaku.

“Angkat ia, ayo.”

Aku meronta. Kulit mereka yang kasar menggores kulitku, tapi aku tahu itu tak ada gunanya. Aku pun menjerit, padahal pasti tak ada yang bisa mendengarku di sini.

Aku akan bertahan sampai besok. Pasti.

Tangan-tangan mereka mendorongku ke atas dan membenturkan tulang. Dari lebar dan lengkungnya, benda itu adalah susuran besi. Susuran besi yang membatasi tebing. Aku tersengal-sengal dan udara dingin berembus di bagian belakang leherku. Tangan-tangan itu kemudian memaksaku membungkuk melewati susuran. Kakiku tak lagi menjejak lantai dan merekalah satu-satunya yang menahanku jatuh ke sungai.

Ada tangan meraba dadaku. “Kau yakin kau enam belas tahun, Kaku? Sepertinya kau tidak lebih dari anak umur dua belas tahun.”

Kedua pemuda lainnya tertawa.

Ada rasa pahit yang menjalari tenggorokanku.

“Tunggu, sepertinya aku menemukan sesuatu!” tangan itu meremas tubuhku. Aku menggigit lidahku agar tak menjerit. Tawa mereka makin keras.

Tangan Al lepas dari mulutku. “Hentikan,” bentaknya. Aku mengenali suaranya yang rendah dan khas.

Saat Al melepaskanku, aku meronta lagi dan jatuh ke lantai. Kali ini aku menggigit lengan pertama yang kutemukan sekuat mungkin. Aku mendengar teriakan dan gigitanku makin kuat, sampai aku bisa merasakan ada darah yang mengalir. Sesuatu yang keras menghantam wajahku. Panas menjalar di kepalaku. Rasanya pasti sakit kalau adrenalin di dalam tubuhku tidak sedang mengalir deras.

Anak itu menarik lengannya dariku dan melemparkanku ke lantai. Siku lenganku membentur batu dan aku mengangkat tangan ke kepala untuk melepaskan penutup mata. Sebuah tendangan bersarang di samping tubuhku dan mendesak udara keluar dari paru-paruku. Aku terkesiap dan batuk-batuk, mencakarkan tangan ke belakang kepalaku. Seseorang menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku ke sebuah benda yang keras. Aku menjerit kesakitan dan langsung merasa pusing.

Aku terhuyung-huyung dan meraba ke samping kepalaku untuk mencari simpul ikatan yang menutupi mata. Kutarik kain penutup itu ke atas, lalu mengedipkan mata. Pemandangan di hadapanku terlihat kabur. Aku melihat seseorang berlari ke arah kami dan seseorang lagi berlari menjauh—seseorang bertubuh besar, Al. Aku berpegangan di susuran dan berusaha berdiri tegak.

Peter melingkarkan tangannya di leherku dan mengangkatku. Jempolnya menusuk bagian bawah daguku. Rambutnya yang biasanya berkilau dan halus, sekarang kusut dan menempel di dahi. Wajah pucatnya berkerut dan giginya menggertak. Ia mengangkatku melewati batas tebing dan mataku mulai berkunang-kunang. Ia tak berkata apa-apa. Aku mencoba menendanganya, tapi kakiku terlalu pendek. Paru-paruku sesak tak mendapat udara.

Lalu, kudengar teriakan dan Peter melepaskanku.

Aku mengulurkan tangan saat terjatuh. Aku terkesiap saat ketiakku membentur susuran. Langsung kukaitkan siku di susuran dan mengerang. Hawa dingin menghempas pergelangan kaki. Dunia terasa seperti berputar dan seseorang berada di lantai The Pit—Drew—menjerit kesakitan. Aku dengar suara hantaman. Tendangan. Teriakan.

Aku berkedip beberapa kali dan sekuat mungkin memusatkan pikiran pada satu-satunya wajah yang bisa kulihat. Wajah yang dipenuhi kemarahan. Matanya berwarna biru tua.

“Four,” ujarku parau.


Aku menutup mata dan tanganya merangkulku, tepat di bawah bahu. Ia menarikku naik ke atas melewati susuran. Aku bersandar di dadanya. Four memelukku, menggendongku. Salah satu lengannya mengangkat bagian bawah lututku. Kubenamkan wajahku ke bahunya. Kesunyian yang merayapi kami berdua.[]


No comments:

Post a Comment