Divergent (Divergent #1) (32)

Penulis: Veronica Roth

32


Aku menatap wajah Tobias saat kami berjalan beriringan menuju ruang makan. Aku mencari adakah tanda-tanda kekecewaan. Kami menghabiskan waktu dua jam bersama, ngobrol, berpelukan, dan akhirnya malah tertidur pulas sampai kami mendengar teriakan di lorong—orang-orang akan berangkat ke perjamuan.

Kalaupun ada sesuatu yang berbeda, ia sekarang kelihatan lebih tanpa beban daripada sebelumnya. Dan, ia lebih sering tersenyum sekarang.

Saat kami tiba di pintu masuk, kami berpisah. Aku masuh duluan dan bergegas menuju meja yang biasa kutempati bersama Will dan Christina. Tobias masuk semenit kemudian dan duduk di samping Zeke yang menawarinya sebuah botol hitam. Ia menepisnya.

“Kau tadi ke mana?” tanya Christina. “Semuanya kembali ke asrama.”

“Aku cuma jalan-jalan,” kataku. “Aku terlalu gugup untuk membahas ujian tadi dengan siapa pun.”

“Kau tak perlu gugup,” ujar Christina sambil menggeleng. “Aku tadi cuma berbalik untuk berbicara, cuma sekilas, dan tahu-tahu kau sudah selesai.”

Aku mendapati nada cemburu di balik kata-katanya. Sekali lagi, aku berharap aku bisa menjelaskan kalau aku benar-benar siap menghadapi simulasi berkat jati diriku sebagai Divergent. Tapi, toh aku hanya mengangkat bahu.

“Kau mau pilih pekerjaan apa?” aku bertanya padanya.

“Kurasa aku ingin pekerjaan seperti pekerjaan Four. Melatih peserta baru,” ujarnya. “Membuat mereka ketakutan setengah mati. Kau tahu kan, untuk senang-senang. Kau sendiri?”

Aku terlalu fokus melewati inisiasi sampai-sampai aku hampir tak pernah memikirkannya. Aku bisa saja bekerja untuk para pemimpin Dauntless—tapi mereka akan membunuhku kalau mereka tahu siapa aku sebenarnya. Pilihan apa lagi yang ada?

“Kurasa ... aku bisa menjadi duta Dauntless untuk faksi lain,” ujarnku. “Kurasa pengalamanku sebagai anak pindahan akan membantu.”

“Aku benar-benar berharap kau bilang ‘pemimpin Dauntless untuk pelatihan’,” Christina menghela napas. Karena itulah yang Peter inginkan. Ia tak bisa berhenti mengatakannya tadi di asrama.”

“Dan itulah pekerjaan yang kuinginkan,” tambah Will. “Kuharap ranking-ku lebih tinggi darinya ... oh, dan semua peserta inisiasi Dauntless. Aku lupa sama mereka.” Ia mengerang. “Ya Tuhan. Sepertinya mustahil.”

“Tidak kok,” ujar Christina. Ia menggenggam tangan Will seakan itu hal yang paling biasa dilakukan di dunia ini. Will meremas tangan Christina.

“Tris, aku penasaran,” ujar Christina membungkuk. “Para pemimpin yang menonton Ruang Ketakutanmu ... mereka menertawakan sesuatu.”

“Oh?” Aku menggigiti bibirku sendiri. “Aku senang ketakutanku membuat mereka terhibur.”

“Kau tahu itu rintangan yang mana?” tanyanya.

“Tidak.”

“Kau bohong,” ujarnya. “Kau selalu menggigit bagian dalam pipimu saat kau berbohong. Itu yang membuatmu ketahuan.”

Aku pun berhenti menggigit bagian dalam pipiku.

“Will biasanya mencubit bibirnya, kalau ini bisa membuatmu merasa lebih baik,” tambahnya.

Will langsung menutup mulutnya.

“Oke, baik. Aku takut ... keintiman,” kataku.

“Keintiman?” ulang Christina.

Aku terpaksa mengangguk. Rasanya aku ingin mencekik Christina karena membongkar ketakutanku. Bahkan, aku membayangkan beberapa cara terbaik untuk menghajarnya. Aku mencoba melotot tajam ke arahnya.

Will tertawa.

“Seperti apa itu?” tanya Christina, tak memedulikan pelototanku. “Maksudku, apa ada seseorang yang ... mencoba melakukannya denganmu? Siapa ia?”

“Oh, kau tahu kan. Pria tanpa wajah ... lelaki tidak dikenal,” kataku. “Bagaimana dengan ngengatmu?”

“Kau janji kau akan tutup mulut!” jerit Christina sambil meninju lenganku.

“Ngengat,” ulang Will. “Kau takut ngengat?”

“Bukan cuma sekedar segerombolan ngengat,” tukas Christina, “seperti ... segerombolan ngengat. Di mana-mana. Sayapnya, kakinya, ....” Ia bergidik dan menggeleng.

“Mengerikan,” ejek Will dengan wajah pura-pura serius. “Inilah pacarku. Kuat seperti bola kapas.”

“Oh, diamlah.”

Terdengar lengkingan mikrofon entah di mana, begitu keras sampai-sampai aku menutup kedua telingaku. Aku melihat ke seberang ruangan ke arah Eric yang berdiri di salah satu meja sambil memegang mikrofon, mengetuk-ngetuknya dengan ujung jari. Setelah tak lagi mengetuk dan kerumunan Dauntless diam, Eric berdeham dan mulai berbicara.

“Kita tidak dibesarkan untuk berpidato. Kepandaian berbicara hanya milik Erudite,” ujarnya. Orang-orang tertawa. Aku ingin tahu apakah mereka semua tahu kalau Eric dulu juga seorang Erudite; itulah ia di balik kepura-puraannya sebagai kesembronoan dan bahkan kebrutalan seorang Dauntless, ia lebih mirip sosok Dauntless melebihi siapa pun. Kalau mereka tahu, aku ragu mereka akan menertawakan leluconnya tadi. “Jadi, aku akan berbicara singkat. Ini tahun baru dan kita punya satu kelompok peserta inisiasi baru. Dan, satu kelompok yang lebih kecil untuk menjadi anggota baru kita. Mari kita berikan mereka selamat.”

Mendengar kata “selamat”, ruangan pun menjadi riuh. Bukan tepukan tangan, tapi entakan kepalan tangan di atas meja. Suara ini menggema di dada dan aku tersenyum lebar.

“Kita percaya pada keberanian. Kita percaya pada aksi nyata. Kita percaya pada kebebasan dari rasa takut yang ada di dunia ini sehingga mencapai kemakmuran dan usaha. Kalau kalian juga memercayai hal-hal itu, kami mengucapkan selamat padamu.”

Walaupun aku tahu Eric mungkin saja tidak percaya pada hal-hal itu, aku sadar diriku sendiri tengah tersenyum karena aku memang memercayai itu semua. Tak peduli bagaimana para pemimpin telah membelokkan nilai-nilai Dauntless, nilai-nilai itu masih tetap bisa kumiliki.

Terdengar makin banyak entakan tangan. Kali ini diikuti oleh sorak-sorai.

“Besok, sebagai kegiatan pertama mereka sebagai anggota, sepuluh besar peserta inisiasi akan memilih pekerjaan mereka, sesuai dengan ranking mereka,” ujar Eric. “Aku tahu, ranking inilah yang ditunggu-tunggu semua orang. Ranking ini ditentukan dari kombinasi tiga hal—pertama, dari latihan tahap pertarungan; kedua, dari tahap simulasi, dan ketiga, dari ujian akhir, Ruang Ketakutan. Ranking-nya akan muncul di layar yang ada dibelakangku.”

Begitu kata “belakangku” selesai diucapkan, nama-nama mulai muncul di layar yang hampir sebesar dinding itu sendiri. Di samping angka satu ada gambarku dan nama “Tris”.

Beban di dadaku seperti terangkat. Aku tak menyadari selama ini ada beban sebesar itu sampai akhirnya beban itu hilang dan aku tak perlu lagi merasakannya. Aku tersenyum dan ada perasaan menggelitik di sekujur tubuhku. Untuk pertama kalinya, entah itu sebagai Divergent atau bukan, inilah faksi tempatku seharusnya berada.

Aku lupa tentang perangnya. Aku lupa tentang kematian. Lengan Will merangkulku dan ia memelukku erat sekali. Aku mendengar sorak-sorai, tawa, dan teriakan. Christina menunjuk ke arah layar dan matanya melebar dipenuhi air mata.

1.       Tris
2.       Uriah
3.       Lynn
4.       Marlene
5.       Peter

Peter masuk. Aku menahan napasku. Tapi, kemudian aku membaca sisa nama-nama yang ada.

6.       Will
7.       Christina

Aku tersenyum dan Christina mengulurkan tangan melewati meja untuk memelukku. Aku terlalu senang untuk protes pada bentuk kasih sayang semacam itu. Ia tertawa di telingaku.

Seseorang menarikku dari belakang dan berteriak di telingaku. Uriah. Aku tak bisa membalikkan badan, jadi aku meraba-raba ke belakang dan meremas bahunya.

“Selamat!” teriakku.

“Kau mengalahkan mereka!” teriaknya balik. Ia melepaskanku, tertawa, dan kembali berlari ke kerumunan peserta asli Dauntless.

Delapan, sembilan, dan sepuluh ditempati nama-nama anak asli Dauntless yang hampir tidak kukenal.

Di urutan sebelas dan dua belas ada Molly dan Drew.

Molly dan Drew keluar. Drew yang mencoba kabur saat Peter mencekikku di pinggir tebing, dan Molly yang menyebarkan kebohongan tentang ayahku pada Erudite; keduanya sekarang factionless.

Ini bukanlah kemenangan yang kuinginkan, tapi tetap saja ini adalah kemenangan.

Will dan Christina berciuman. Di sekelilingku, orang-orang mengentak-entakkan tinju ala Dauntless. Lalu, ada yang menepuk pundakku. Aku berbalik dan melihat Tobias berdiri di belakangku. Aku langsung bangkit dengan wajah berseri.

“Menurutmu, apa terlalu berlebihan kalau aku memelukmu?” tanyanya.

“Kau tahu,” kataku, “aku tidak terlalu peduli.”

Aku berjinjit dan menciumnya.

Inilah hal terbaik yang pernah terjadi di dalam hidupku.

Sesaat kemudian, ibu jari Tobias menyentuh bekas suntikan di leherku dan beberapa hal berkelebat di pikiranku bersamaan. Aku tak tahu kenapa aku tak pernah menyadari ini sebelumnya.

Satu: Serum berwarna yang mengandung pemancar.

Dua: Pemancar ini menghubungkan otak dengan program simulasi.

Tiga: Eruditelah yang mengembangkan serum ini.

Empat: Eric dan Max bekerja sama dengan Erudite.

Aku melepaskan ciumanku dan melotot menatap Tobias.

“Tris?” tanyanya bingung.

Aku menggeleng. “Jangan sekarang.” Maksudku aku mau bilang jangan di sini. Jangan saat ada Will dan Christina di dekatku—yang terperangah, mungkin karena aku baru saja mencium Tobias—dan hentakan pada Dauntless di sekeliling kami. Tapi, Tobias harus tahu betapa pentingnya ini.

“Nanti,” kataku. “Oke?”

Ia mengangguk. Aku bahkan tidak tahu bagaimana nanti aku akan menjelaskannya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana berpikir jernih.


Tapi, aku tahu bagaimana caranya Erudite menyuruh kami semua untuk berperang.[]



No comments:

Post a Comment