The Maze Runner (The Maze Runner #1) (13)

Penulis: James Dashner

13


THOMAS terpukau mendengar nama Griever disebut. Makhluk mengerikan itu menyeramkan untuk diingat, tetapi dia bertanya-tanya mengapa penemuan Griever yang mati menjadi masalah besar. Apakah hal itu belum pernah terjadi sebelumnya?

Alby terlihat seperti seseorang yang baru diberi tahu bahwa dia dapat menumbuhkan sayap dan terbang. “Bukan saat yang tepat untuk bergurau,” katanya.

“Dengar, sahut Minho. “Aku juga tak akan percaya diriku jika aku menjadi dirimu. Tapi, percayalah, aku melihatnya. Griever yang gemuk menjijikkan.”

Jelas ini belum pernah terjadi sebelumnya, pikir Thomas.

“Kau menemukan Griever yang mati,” ulang Alby.

Ya, Alby,” kata Minho, suaranya terdengar jengkel. “Beberapa kilometer dari sini, di dekat Tebing.”

Alby menoleh ke arah Maze, kemudian kembali ke arah Minho. “Ya ... kenapa kau tidak membawanya ke sini?”

Minho tertawa lagi, separuh menggeram, separuh terkekeh. Kau ini mabuk saus buatan Frypan, ya? Berat makhluk-makhluk itu pasti lebih dari setengah ton. Lagi pula, aku tak akan mau menyentuh satu pun dari mereka meskipun kau memberiku tiket gratis keluar dari tempat ini.”

Alby tetap gigih bertanya. “Seperti apa kelihatannya? Apakah paku besinya menempel di kulit atau berasal dari dalam tubuhnya? Apakah mereka bergerak sekaligus—kulitnya tetap basah, tidak?”

Berbagai pertanyaan membanjiri Thomas—Paku besi? Kulit basah? Apa, sih, semua itu?—tetapi dia menahan diri untuk bertanya, tidak ingin mengingatkan mereka bahwa dia masih berada di sana. Dan, bahwa mungkin mereka perlu berbicara secara pribadi.

“Tenang, Sobat,” kata Minho. “Kau harus melihatnya sendiri. Makhluk itu ... aneh.”

“Aneh?” Alby tampak bingung.

“Hai, sekarang aku capek, kelaparan, dan haus sinar matahari. Tapi, kalau kau mau menyeret makhluk itu kemari, kita mungkin bisa susah payah melakukannya sebelum dinding-dinding itu menutup.”

Alby menengok jam tangannya. “Lebih baik menunggu besok.”

“Itu hal paling cerdas yang kau katakan dalam minggu ini.” Minho menegakkan diri dari tempatnya bersandar di dinding, menonjok lengan Alby, kemudian berjalan menuju Wisma dengan agak terpincang-pincang. Dia berbicara dari balik bahunya ketika berlalu—sepertinya seluruh tubuhnya kesakitan. “Seharusnya aku kembali ke sana, tapi masa bodohlah. Aku akan menlahap beberapa porsi kaserol menjijikkan Frypan.”

Thomas merasakan gelombang kekecewaan. Dia mengakui Minho memang tampak membutuhkan istirahat dan makan, tetapi dia ingin tahu lebih banyak.

Kemudian, Alby berbalik menghadap Thomas, mengejutkannya. “Jika kau tahu sesuatu dan tak memberitahukannya kepadaku ....”

Thomas sudah bosan dituduh mengetahui tentang banyak hal. Bukankah justru itu masalah yang utama? Dia tidak tahu tentang apa pun. Dia menatap anak laki-laki itu lurus-lurus dan bertanya dengan ringan, “Kenapa, sih, kau begitu membenciku?”

Ekspresi wajah Alby sulit digambarkan—sebagian bingung, marah, juga terkejut. “Membencimu? Ya, ampun, kau belum belajar apa pun sejak keluar dari Kotak itu. Ini tidak ada hubungannya dengan benci atau tidak, atau pun tentang cinta dan pertemanan, atau sejenisnya. Yang kami pedulikan hanyalah bertahan hidup. Buang sisi cewekmu dan mulai gunakan otak bebalmu itu jika kau punya.”

Thomas merasa seperti ditampar. “Tapi ... kenapa kau terus-menerus menuduh ...”

“Karena ini tak mungkin hanya sekadar kebetulan, Bodoh! Kau muncul di sini, kemudian kami mendapat Anak-Bawang perempuan di hari berikutnya, sebuah pesan sinting, Ben mencoba menggigitmu, Griever yang mati. Sesuatu sedang terjadi dan aku tak akan berhenti sebelum mendapat jawabannya.”

“Aku tidak tahu apa-apa, Alby.” Rasanya puas bisa mengatakannya dengan nada berapi-api. “Aku bahkan tidak tahu berada di mana tiga hari yang lalu, juga mengapa si Minho itu menemukan makhluk bernama Griever yang mati. Jadi, berhentilah mendesakku!”

Alby menarik tubuhnya perlahan-lahan, menatap Thomas tak berkedip selama beberapa detik. Kemudian, dia berkata, “Tenangkan dirimu, Anak-Bawang. Bersikap dewasa dan mulailah berpikir. Tidak ada hubungannya dengan menuduh tanpa alasan. Tapi, jika kau ingat sesuatu, jika ada yang sepertinya tak asing lagi, kau sebaiknya memberi tahu. Berjanjilah kepadaku.”

Tidak sampai kenanganku sepenuhnya kembali, pikir Thomas. Tidak kecuali aku ingin membaginya.  “Ya, kurasa, tapi—”

“Berjanjilah!”

Thomas terdiam, merasa muak dengan Alby dan sikapnya. “Terserahlah,” akhirnya dia berkata. “Aku berjanji.”

Setelah mendengar itu Alby membalikkan badan dan berlalu tanpa mengatakan sepatah kata pun.


Thomas mendekati sebatang pohon di sekitar Tempat-orang-mati, salah satu yang paling nyaman di pinggir hutan dengan sedikit keteduhan. Dia merasa ngeri untuk kembali bekerja dengan Winston di Penjagal dan tahu dia perlu makan siang, tetapi dia tidak ingin berada di dekat siapa pun selama dia masih belum dapat mengatasi semua ini. bersandar di batang pohon, dia mengharapkan datangnya embusan angin, tetapi tak ada.

Dia baru saja merasakan kelopak matanya terpejam saat Chuck merusak kedamaian dan ketenangannya.

“Thomas! Thomas!” anak itu berteriak-teriak sambil berlari ke arahnya, mengayun-ayunkan tangannya, wajahnya bersinar-sinar penuh semangat.

Thomas mengucek matanya dan mengerang. Tak ada yang lebih diharapkannya ketimbang setengah jam tidur siang. Ketika akhirnya Chuck sampai tepat di hadapannya, terengah-engah, barulah dia mengangkat wajah. “Ada apa?”

Kata demi kata meluncur perlahan dari mulut Chuck, di antara napasnya yang terputus-putus. “Ben ... Ben ... dia tidak ... mati.”

Semua keletihan tercerabut dari sekujur tubuh Thomas. Dia melompat berdiri dan hidungnya nyaris menyentuh hidung Chuck. “Apa?”

“Dia ... tidak mati. Para Pemungut yang membawanya ... anak panah itu tak mengenai otaknya ... Anak-medis berusaha mengobatinya.”

Thomas menoleh ke arah hutan tempat anak sakit itu telah menyerangnya semalam. “Kau pasti bercanda. Aku melihatnya ....” Dia tidak mati? Thomas tidak tahu perasaan apa yang paling kuat: bingung, lega, takut dia akan diserang lagi ....

“Ya, aku juga kaget,” kata Chuck. “Dia dikurung di Tahanan, ada perban raksasa menutup separuh kepalanya.”

Thomas menoleh kembali kepada Chuck. “Tahanan? Apa maksudmu?”

“Tahanan. Itu penjara kami di bagian utara Wisma.” Chuck menunjukkan arahnya. “Mereka memasukkannya ke sana dengan sangat cepat, para Anak-medis mengobatinya di sana.”

Thomas mengucek matanya. Ada perasaan bersalah ketika dia menyadari perasaannya sesungguhnya—sebelumnya dia merasa lega bahwa Ben telah mati karena dia tidak perlu cemas akan berhadapan lagi dengannya. “Jadi, apa yang akan mereka lakukan kepadanya?”

“Para Pengawas sudah mengadakan Pertemuan pagi ini—sepertinya membuat keputusan bulat. Ben akan berharap panah itu mengenai otaknya sekalian.”

Thomas memicingkan mata, bingung mendengar perkataan Chuck. “Apa yang kau bicarakan?”

“Dia akan dibuang. Malam ini, karena telah mencoba membunuhmu.”

“Dibuang? Apa artinya itu?” Thomas harus menanyakannya meskipun dia tahu itu tidak mungkin hal yang bagus jika Chuck menganggapnya lebih buruk daripada mati.

Kemudian, Thomas tersadar melihat sesuatu yang mungkin menjadi hal yang paling mengganggunya sejak kali pertama datang ke Glade. Chuck tidak menjawab pertanyaannya; dia hanya tersenyum. Tersenyum meskipun dengan semua yang terjadi, dan nada mengerikan ketika dia tadi memberitahunya. Kemudian, anak itu berbalik dan lari, mungkin akan memberi tahu orang lain tentnag berita menggemparkan ini.


Malam itu, Newt dan Alby mengumpulkan semua Glader di Pintu Timur sekitar setengah jam sebelum pintu itu tertutup, semburat pertama sinar temaram senja merambati angkasa. Para Pelari baru saja kembali dan masuk ke Ruang Peta, menutup pintu di belakangnya dengan bunyi berdentum; Minho sudah lebih dulu masuk ke sana. Alby meminta para Pelari segera menuntaskan urusan mereka—dia ingin mereka kembali dalam waktu dua puluh menit.

Thomas masih merasa terganggu mengingat Chuck yang tersenyum ketika memberitahukan berita tentang Ben yang akan dibuang. Meskipun dia tak tahu pasti apakah artinya, hal itu tampaknya jelas bukan hal yang bagus. Terutama karena mereka semua berdiri sangat dekat dengan Maze. Apakah mereka akan melemparkan dia ke sana? Dia bertanya-tanya. Dengan Griever-Griever?

Para Glader yang lain bergumam memperbincangkan hal itu dengan suara rendah, perasaan bergairah menanti-nanti dengan delisah seolah-olah menggantung di atas mereka seperti kabut tebal. Namun, Thomas membisu, berdiri dengan lengan terlipat, menunggu pertunjukan. Dia tetap diam sampai para Pelari akhirnya keluar dari bangunan mereka, semua terlihat sangat lelah, wajah mereka mengernyit tanda berpikir dalam. Minho yang kali pertama keluar, membuat Thomas berpikir apakah itu berarti dialah sang Pengawas dari para Pelari.

“Bawa dia keluar!” teriak Alby, mengejutkan Thomas dari lamunannya.

Kedua lengannya turun ke sisi tubuhnya saat dia memutar tubuh, mencari tanda-tanda keberadaan Ben di sekeliling Glade, rasa gentar mulai muncul di dalam dirinya saat membayangkan apa yang akan dilakukan anak itu jika dia melihatnya.

Dari bagian yang jauh di sebelah Wisma, muncul tiga anak laki-laki yang lebih besar, benar-benar menyeret Ben di atas tanah. Pakaiannya sobek-sobek, berjuntaian nyaris terlepas; perban tebal penuh darah menutupi separuh kepala dan wajahnya. Menolak berdiri atau berusaha membantu usaha penyeretnya dengan cara apa pun, dia terlihat sama matinya dengan saat terakhir Thomas melihatnya. Kecuali satu hal.

Kedua matanya membuka, dan membelalak ketakutan.

“Newt,” kata Alby dengan suara lebih pelan; Thomas tidak akan dapat mendengarnya jika dia tidak sedang berdiri beberapa langkah darinya. “Keluarkan Galah.”

Newt mengangguk, sudah siap bergerak ke arah sebuah gudang kecil tempat perkakas pertanian yang digunakan untuk Kebun-Kebun; jelas sekali dia telah menunggu-nunggu perintah itu.

Thomas kembali memusatkan perhatian kepada Ben dan para penjaganya. Anak laki-laki yang pucat menyedihkan itu masih tidak berusaha melawan, membiarkan mereka menyeretnya menyeberangi tanah lapang berlantai batu berdebu. Ketika sampai di kerumunan, mereka menarik Ben untuk berdiri di hadapan Alby, pemimpin mereka, Ben menggantungkan kepalanya, menolak melakukan kontak mata dengan siapa pun.

“Kau sendiri yang membuat dirimu sampai ke sini, Ben,” kata Alby. Kemudian, dia menggelengkan kepala dan melempar pandangan ke rumah yang dimasuki Newt.

Thomas mengikuti arah pandangannya tepat ketika Newt keluar dari pintu yang miring. Dia membawa beberapa pipa aluminium, menyambungkan setiap ujungnya hingga membentuk galah dengan panjang sekitar enam meter. Ketika selesai, dia meraih sesuatu berbentuk aneh dari salah satu ujung dan menyeret kesemuanya melewati kerumunan orang. Thomas bergidik melihat percikan logam galah yang diseret di atas lantai batu saat Newt berjalan.

Thomas merasa ngeri dengan semua kejadian ini—dia tak mampu menahan perasaan ikut bertanggung jawab meskipun dia tidak pernah melakukan sesuatu yang memancinf tindakan Ben. Bagaimana semua ini menjadi kesalahannya? Tak ada jawaban baginya, tetapi dia tetap merasa bersalah, seperti sebuah penyakit yang mengalir di darahnya.

Akhirnya, Newt maju menghadap Alby dan menyerahkan ujung pipa yang dibawanya. Thomas kini dapat melihat alat tambahan aneh itu sekarang. Sebuah benda berbahan kulit melingkar, dikaitkan ke besi dengan sebuah pengunci besar. Sebuah tombol menunjukkan bahwa benda melingkar itu dapat dibuka dan ditutup, dan kegunaannya kini menjadi jelas.


Itu adalah sebuah ban leher.[]


No comments:

Post a Comment