Penulis: Veronica Roth
7
Saat semua peserta inisiasi sudah berdiri tegak, Lauren dan
Four memimpin kami menyusuri terowongan sempit. Dindingnya terbuat dari batu.
Langit-langitnya landai, jadi aku merasa seperti turun dalam ke perut bumi.
Terowongaan diberi penerangan dengan jarak yang panjang. Di celah gelap antara
tiap lampu yang bersinar suram, aku takut kalau-kalau aku tersesat sampai bahu
seseorang membentu bahuku, menyadarkanku kami masih beriringan. Saat cahaya
kembali menyorot terang, aku merasa aman lagi.
Pemuda Erudite di depanku tiba-tiba berhenti dan aku
menabraknya. Hidungku membentur bahunya. Aku terhuyung ke belakang dan
menggosok hidungku. Seluruh barisan berhenti. Dan, ketiga pemimpin kami berdiri
di depan dengan lengan terlipat.
“Di sinilah kita berpisah,” ujar Lauren. “Peserta inisiasi
asli Dauntless ikut bersamaku. Kuanggap kalian
tak butuh tur tempat ini.”
Ia tersenyum dan memberi isyarat pada para peserta inisiasi
asli Dauntless. Mereka memisahkan diri dari barisan dan menghilang di
kegelapan. Aku melihat sepatu terakhir tenggelam di kegelapan dan memandang ke
arah kami yang tersisa. Sebagian besar peserta adalah asli Dauntless, jadi
hanya tersisa sembilan orang. Di antara kesembilan ini, hanya akulah
satu-satunya pindahan dari Abnegation dan tak ada pindahan dari Amity. Sisanya
dari Erudite dan, cukup mengejutkan, dari Candor. Rupanya membutuhkan
keberanian untuk selalu jujur setiap saat. Aku takkan pernah tahu.
Four memanggil kami. “Sebagian besar waktuku untuk bekerja
di ruang kendali, tapi untuk beberapa minggu ke depan, aku adalah instruktur
kalian,” ujarnya, “namaku Four.”
Christina bertanya, “Four? Empat? Seperti nama angka?”
“Ya,” ujar Four. “Ada masalah?”
“Tidak.”
“Bagus. Kita akan pergi ke The Pit yang suatu hari nanti
kalian akan belajar mencintainya. Itu—“
Christina tergelak. “The Pit? Nama yang pintar.”
Four berjalan mendekati Christina dan mendekatkan mukanya.
Matanya sipit dan sejenak ia menatap Christine erat.
“Siapa namamu?” tanyanya lirih.
“Christina,” ia menciut.
“Nah, Christina, jika aku ingin bergabung dengan mulut
pintar Candor, aku pasti sudah bergabung dengan mereka,” ejeknya. “Pelajaran
pertama yang kau pelajari dariku adalah jaga mulutmu. Mengerti?”
Ia mengangguk.
Four melangkah menuju kegelapan di ujung terowongan. Barisan
para peserta inisiasi mengikutinya dengan diam.
“Dasar menyebalkan,” gumamnya.
“Kurasa ia tak suka ditertawakan,” balasku.
Mungkin lebih baik berhari-hari jika berada di sekitar Four,
pikirku. Sepertinya ia terlihat tenang padaku saat di platform tadi, tapi ada
sesuatu tentang sikap diamnya yang sekarang membuatku waspada.
Four mendorong sepasang pintu terbuka dan kami memasuki
tempat yang disebut “The Pit”.
“Oh,” bisik Christina. “Aku mengerti sekarang.”
“Pit” adalah kata yang tepat untuk itu. Tempat itu adalah
sebuah gua bawah tanah yang begitu besar sehingga aku tak bisa melihat ujungnya
dari tempatku berdiri sekarang di bagian bawah. Tembok batu yang tak rata
menjulang beberapa lantai di atasku. Ada tempat-tempat yang dipasang di
dingding batu itu untuk makanan, pakaian, persediaan, dan tempat bersantai.
Jalur sempit dan tangga berukit batu saling menghubungkan semua. Tidak ada
penahan untuk menjaga orang jatuh dari sisi terbukanya.
Seberkas cahaya oranye membentang di salah satu dinding batu.
Atap The Pit terbuat dari jendela kaca dan di atasnya, ada gedung yang bisa
diterobos sinar matahari. Kalau kami melewatinya dengan kereta, akan kelihatan
seperti gedung kota biasa.
Lentera biru menggantung dengan jarak tak beraturan di atas
jalan batu. Lentera itu sama seperti lentera yang menerangi Upacara Pemilihan
tadi. Cahayanya makin lama makin membesar saar matahari mulai tenggelam.
Ada orang di mana-mana. Semuanya berpakaian hitam. Semuanya berteriak dan
berbicara, ekspresif dan diikuti gestur tubuh. Aku tak melihat ada orang yang
lebih tua di kelompok ini. Apakah ada orang tua di Dauntless? Apakah mereka
tidak bertahan lama? Atau, apa mereka diusir saat mereka tak lagi bisa
melompati kereta?
Sekelompok anak-anak berlarian di jalan setapak sempit tanpa
penahan itu. Mereka berlari terlalu cepat sampati jantungku ikut berdebar
cepat. Aku mau berteriak ke arah mereka agar pelan-pelan sebelum mereka
terluka. Kenangan akan jalan Abnegation yang tertata rapi muncul di ingatanku:
Sebaris otang di lajur kanan melewati sekelompok orang yang berjalan di sebelah
kiri. Mereka tersenyum kecil lalu kembali menatap lurus ke depan, dan diam.
Perutku seperti terpelintir. Tapi, ada sesuatu yang indah di kekacauan
Dauntless ini.
“Kalau kalian mengikutiku,” kata Four, “akan kutunjukkan
kalian jurangnya.”
Ia melambaikan tangan ke depan. Penampilan Four kelihatan
kalem dari depan, untuk ukuran Dauntless. Tapi ketika ia berbalik, aku melihat
ada tato menyembul dari baik kerah kausnya. Ia mengajak kami ke sisi kanan The
Pit yang jauh lebih gelap. Aku mengerjapkan mata dan melihat lantai yang
kuinjak berujung pada pembatas besi. Saat kami mendekat ke pegangannya, aku
mendengar suara yang keras—suara air, air yang berdebur kencang membentur
karang bebatuan.
Aku melihat lebih jauh. Lantai itu terputus di sebuah ujung
yang tajam dan beberapa lantai di bawah kami adalah sungai. Air yang berdebur
membentur dinding di bawahku dan percikannya sampai ke atas. Di sebelah kiriku,
airnya lebih tenang, tapi si sebelah kanan, airnya putih oleh buih dan
terus-terusan membentur karang.
“Jurang ini mengingatkan kita ada batas yang jelas antara
keberanian dan ketololan!” teriak Four. “Nekat melompati jurang ini akan
mengakhiri hidup kalian. Itu pernah terjadi dan itu akan terjadi lagi. Kalian
sudah diperingatkan.”
“Ini menakjubkan,” ujar Christina ketika kami menjauh dari
susuran itu.
“Menakjubkan adalah kata yang pas,” kataku sambil
mengangguk.
Four menuntun kelompok peserta inisiasi melewati The Pit ke
arah lubang besar di dinding. Ruangan di dalamnya memiliki penerangan yang
cukup sehingga aku bisa melihat ke mana kami pergi. Ruang makan yang dipenuhi
orang dan peralatan makan yang berdenting. Saat kami memasuki ruangan, para
Dauntless yang ada di dalam berdiri. Mereka bertepuk tangan. Mereka juga
mengentakkan kaki. Mereka berteriak. Keramaian ini mengelilingiku dan menyusup
ke dalam jiwaku. Christina tersenyum, dan sedetik kemudian, aku pun ikut
tersenyum.
Kami mencari kursi kosong. Christina dan aku menemukan meja
yang hampir kosong di sisi ruangan dan aku mendapati diriku duduk di antara ia
dan Four. Di tengah meja ada piring saji berisi makanan yang tak kukenali.
Porongan daging bulat tebal yang dijejalkan di antara potongan roti bundar. Aku
mengambillnya, tak yakin bagaimana cara memakannya.
Four menyikutku.
“Itu daging sapi,” katanya. “Oleskan ini di atasnya.” Ia
menyodorkan semangkuk kecil penuh berisi saus merah.
“Kau tak pernah makan hamburger sebelumnya?” tanya Christina
dengan mata melebar.
“Tidak,” kataku. “Apa ini disebut hamburger?”
“Orang kaku hanya makan makanan sederhana,” ujar Four sambil
mengangguk ke arah Christina.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu. “Kemewahan dianggap menyenangkan diri
sendiri dan tak perlu dilakukan.”
Ia menyeringai. “Tak heran kau pergi.”
“Yeah,” kataku sambil memutar mata. “Semata hanya karena
makanan.”
Sudut mulum Four menyimpul senyum.
Pintu kafetaria terbuka dan ruangan jadi hening. Aku melirik
ke belakang. Seorang pria muda melangkah masuk dan suara langkahnya bergema di keheningan.
Wajahnya ditindik di banyak tempat sampai aku tak bisa menghitungnya. Rambutnya
panjang, hitam, dan berminyak. Tapi, bukan itu yang membuat ia kelihatan
mengancam. Pancaran matanya yang dinginlah yang membuatnya seperti itu,
terlebih saat ia menatap ke sekeliling ruangan.
“Siapa itu?” bisik Christina.
“Namanya Eric,” ujar Four. “Ia pemimpin Dauntless.””
“Yang benar saja? Tapi, ia terlalu muda.”
Four menatapnya muram. “Umur bukan masalah di sini.”
Aku tahu Christina akan menanyakan apa yang ingin
kutanyakan: Lalu, apa yang penting?
Tapi, mata Eric berhenti menatap sekeliling dan ia mulai mendekati sebuah meja.
Ia mendekati meja kami dan duduk di
kursi di sampin Four. Ia tak menyalami kami, jadi kami pun tak perlu
menyalaminya.
“Nah, apa kau takkan mengenalkanku?” tanyanya sambil
mengangguk pada aku dan Christina.
Four menjawab, “ Ini Tris dan Christina.”
“Ooh, ada si Kaku,” ujar Eric menyeringai ke arahku.
Senyumnya menarik tindikan di bibirnya, membuat lubang yang ditempati tindikan
itu membesar, dan aku mengernyit. “Kita akan lihat berapa lama kau sanggup
bertahan.”
Aku mau mengatakan sesuatu—untuk meyakinkannya kalau aku akan bertahan, mungkin—tapi kata-kata
itu tak keluar. Aku tak tahu kenapa, tapi aku tak mau Eric menatapku lebih lama
dari sekarang. Aku tak mau ia melihatku lagi.
Eric mengetukkan jari ke meja. Tonjolan tulangnya
berkeropeng dan sepertinya akan pecah jika ia memukul sesuatu terlalu keras.
“Apa yang kau lakukan belakangan ini, Four?” tanyanya.
Four mengangkat bahu. “Tidak ada.” Ujarnya.
Apa mereka teman? Aku menatap Eric dan Four bergantian.
Semua yang Eric lakukan—duduk di sini dan menanyai Four—menunjukkan kalau
mereka memang teman. Tapi cara Four duduk, tegang, setegang kabel yang ditarik,
menunjukkan hubungan mereka yang lain. Mungkin, saingan. Tapi, bagaimana
mungkin seperti itu jika Eric pemimpin dan Four bukan?
“Max bilang ia terus mencoba bertemu denganmu dan kau tak
muncul,” ujar Eric. “Ia memintaku mencari tahu apa yang terjadi denganmu.”
Four menatap Eric beberapa saat sebelum berkata, “Bilang
padanya kalau aku puas dengan posisi yang kupegang saat ini.”
“Jadi, ia ingin memberikanmu sebuah pekerjaan rupanya.”
Cincin-cincin di alis Eric memantulkan cahaya. Mungkin Eric
menganggap Four sebagai potensi ancaman untuk posisinya. Ayah pernah bilang,
mereka yang menginginkan kekuasaan dan mendapatkannya, hidup dalam ketakutan
akan kehilangan kekuasaan itu. Itulah kenapa kami harus menyerahkan kekuasaan
pada mereka yang tidak menginginkannya.
“Sepertinya begitu,” ujar Four.
“Dan kau tidak tertarik.”
“Aku tak pernah tertarik selama dua tahun.”
“Jadi,” ujar Eric. “Semoga ia mengerti maksudmu.”
Ia menepuk pundak Four, sedikit keras, lalu bangkit. Saat ia
menjauh, aku langsung mengembuskan napas lega. Aku tak sadar kalau tadi aku
begitu tegang.
“Apa kalian berdua, ... teman?” tanyaku tak sanggup
menyimpan rasa penasaran.
“Kami dulu pernah menjalani tahun inisiasi yang sama,”
jawabnya. “Ia pindahan dari Erudite.”
Semua pikiran untuk berhati-hati bila berada di dekat Four
menguap. “Apa kau pindahan juga?”
“Aku pikir, aku hanya akan bermasalah dengan orang Candor
yang bertanya terlalu banyak,” jawabnya dingin. “Dan aku harus menghadapi si
Kaku juga?”
“Pasti karena kau begitu mudah didekati,” kataku datar. “Kau
tahu. Seperti keranjang penuh paku.”
Ia menatapku dan aku tidak berpaling. Four bukan seekor
anjing, tapi peraturan yang sama tetap dipakai. Memalingkan muka itu tanda
kepatuhan. Menatapnya tepat di mata adalah tanda tantangan. Itu pilihanku.
Pipiku mulai memanas. Apa yang terjadi jika ketegangan ini
pecah?
Tapi ia hanya berkata, “Hati-hati, Tris.”
Perutku mencelos seakan aku baru saja menelan batu. Seorang
anggota Dauntless di meja lain memanggil nama Four, dan aku berpaling ke arah
Christina. Ia mengangkat alis.
“Apa?” tanyaku.
“Aku punya teori.”
“Yaitu?”
Ia mengambil hamburgernya, tersenyum lebar, dan berkata,
“Kalau kau mau cari mati.”
***
Setelah makan malam, Four menghilang tanpa berkata apa-apa.
Eric membawa kami menuju lorong yang berjajar tanpa memberi tahu ke mana kami
akan pergi. Aku tak tahu mengapa seorang pemimpin Dauntless perlu bertanggung
jawab atas sekelompok peserta baru, tapi mungkin untuk malam ini saja.
Di ujung setiap lorong ada lentera biru, tapi selebihnya
gelap. Aku harus berhati-hati supaya tidak tersandung di tanah yang tidak rata.
Christina berjalan di sampingku tanpa berkata apa-apa. Tak ada yang menyuruh
kami diam, tapi tak seorang pun yang bicara.
Eric berhenti di depan sebuah pintu kayu dan melihat
tangannya. Kami pun berkerumun mengelilinginya.
“Bagi kalian yang tidak tahu, namaku Eric,” ujarnya. “Aku
salah satu lima pemimpin Dauntless. Kami di sini mengadakan proses inisiasi
dengan sangat serius, jadi aku mengajukan diri untuk mengawasi sebagian besar
pelatihan kalian.”
Hal itu membuatku mual. Seorang pemimpin Dauntless akan
mengawasi inisiasi kami sudah cukup buruk, tapi kenyataan bahwa Ericlah yang
akan melakukannya, membuatnya jauh lebih buruk.
“Beberapa peraturan dasar,” ujarnya. “Kalian harus berada di
ruang latihan jam delapan setiap hari. Sertia hari latihan berlangsung dari jam
delapan sampai jam enam, di luar istirahat saat makan siang. Kalian bebas
melakukan apa yang kalian suka setelah jam enam. Kalian juga akan mendapatkan
libur di antara jeda tahap inisiasi.”
Kata-kata “melakukan apa pun yang kalian suka” melekat di
benakku. Di rumah, aku tak pernah bisa melakukan apa yang kumau, tidak satu
malam pun. Aku harus memikirkan apa yang orang lain butuhkan terlebih dahulu.
Aku bahkan tidak tahu apa yang aku suka.
“Kalian hanya diizinkan untuk meninggalkan tempat ini
apabila ditemani seorang Dauntless,” Eric menambahkan. “Di belakang pintu ini
ada ruangan tempat kalian tidur selama beberapa minggu ke depan. Kalian akan
lihat ada sepuluh tempat tidur dan kalian hanya ada sembilan. Kami sudah
mengantisipasi proporsi lebih besar untuk sampai ke tahap ini.”
“Tapi, tadinya kami ada dua belas,” protes Christina. Aku
menutup mata dan menunggu teguran. Christina harus belajar diam.
“Setidaknya selalu ada satu anak pindahan yang tak bisa
lolos sampai kemari,” ujar Eric sambil mencongkel kitikelnya. “Ngomong-ngomong,
di tahap pertama inisiasi, kami memisahkan anak pindahan dan anak asli
Dauntless. Tapi, itu bukan berarti kalian akan dievaluasi terpisah. Di akhir
inisiasi, ranking kalian akan
ditentukan bersama para anak asli Dauntless. Dan, mereka sudah lebih baik dari
kalian. Jadi, kuharap—”
“Ranking?” tanya
gadis Erudite berambut cokelat di sebelah kananku. “Kenapa kami di-ranking?”
Eric tersenyum. Dan pantulan cahaya biru, senyumnya terlihat
licik seakan senyumnya terukir di wajah dengan pisau.
“Ranking kalian
memiliki dua tujuan,” ujarnya. “Yang pertama
untuk menentukan urutan pekerjaan yang kalian pilih selepas inisiasi. Hanya
tersedia beberapa posisi yang diinginkan.”
Perutku menegang. Aku tahu senyumnya, seperti aku tahu
begitu aku memasuki ruang tes kecakapan, sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Tujuan kedua,”
ujarnya, “bahwa hanya sepuluh besar peserta inisiasi baru yang akan dijadikan
anggota.”
Rasa nyeri menusuk perutku. Kami semua mematung. Lalu,
Christina bertanya, “Apa?”
“Ada sebelas anak asli Dauntless dan kalian bersembilan,”
lanjut Eric. “Empat pemilih baru akan dieliminasi di akhir ujian tahap satu.
Sisanya akan dieliminasi setelah ujian terakhir.”
Itu artinya bahkan jika kami selesai melewati tiap tahap
inisiasi, masih ada enam orang yang tidak akan menjadi anggota. Aku mendapati
Christina menatapku, tapi aku tidak bisa balik menatapnya. Mataku terpaku pada
Eric.
Kesempatanku, sebagai peserta terkecil, dan sebagai
satu-satunya pindahan dari Abnegation, tidaklah bagus.
“Apa yang terjadi jika kami dieliminasi?” kata Peter.
“Kalian meninggalkan markas Dauntless,” ujar Eric acuh, “dan
hidup tanpa faksi, sebagai factionless.”
Gadis berambut cokelat tadi menutup mulutnya dengan tangan
dan mulai sesengukan. Aku teringat pria factionless
bergigi hitam yang mengambil sekantong apel dari tanganku. Matanya menatap
hampa. Tapi, bukannya menangis seperti gadis Erudite itu, aku merasa lebih
dingin. Lebih keras.
Aku akan menjadi anggota. Pasti.
“Tapi, itu ... tidak adil!” ujar gadis Candor berbahu lebar,
Molly. Walaupun kedengarannya marah, ia kelihatan ketakutan. “Kalau kami tahu—“
“Apa kau mau bilang kalau kau tahu ini sebelum Upacara
Pemilihan, kau takkan memilih Dauntless?” bentak Eric. “Kalau benar begitu, kau
harus keluar sekarang. Kalau kalian benar-benar salah satu dari kami, bukan
masalah jika nanti kalian gagal. Dan, kalau itu benar jadi masalah, kalian
seorang pengecut.”
Eric membuka pintu asrama.
“Kalian telah memilih kami,” ujarnya. “Sekarang, kami harus
memilih kalian.”
***
Aku berbaring di atas kasur dan mendengarkan suara napas
sembilan orang.
Aku sebelumnya tak pernah tidur sekamar dengan anak
laki-laki, tapi di sini aku tak punya pilihan, kecuali kalau aku mau tidur di
lorong. Semuanya sudah mengganti baju dengan pakaian yang telah di sediakan
Dauntless untuk kami. Tapi, aku tidur dengan pakaian Abnegationku yang wanginya
masih seperti sabun dan udara segar. Seperti rumah.
Dulu aku terbiasa tidur sendiri. Aku bisa melihat pekarangan
depan rumahku dari jendela. Di kejauhan, kulihat cakrawala berkabut. Aku
terbiasa tidur di keheningan.
Mataku terasa panas tiap kali memikirkan rumah. Dan, tiap
kali mengerjapkan mata, ada air mata yang meluncur. Kututup mulutku untuk
menutupi isakan. Aku tak boleh menangis. Tidak di sini. Aku harus tenang.
Semua akan baik-baik saja. Aku bisa melihat bayanganku di
kaca kapan saja kumau. Aku bisa berteman dengan Christina dan memotong pendek
rambutku. Dan, aku bisa membiarkan orang lain membersihkan kekacauan yang
mereka buat sendiri.
Tanganku gemetar dan air mata meluncur makin cepat.
Pandanganku menjadi kabur.
Tak jadi masalah saat nantu aku bertemu kedua orangtuaku di
Hari Kunjungan mereka tak mengenaliku—itu pun jika mereka datang. Tak jadi
masalah jika terasa sakit saat mengingat wajah ayan ibu, bahkan untuk
sepersekian detik. Bahkan wajah Caleb, betapapun rahasianya telah menyakitiku.
Kuatur irama tarikan napasku dengan tarikan napas anak-anak lain, juga embusan
napasku dengan embusan napas yang lain. Bukan masalah.
Suara tersedak memecah suara irama napas dan diikuti dengan
isakan kuat. Ranjangnya berdecit saat sesosok tubuh berbalik dan bantal
membekap suara isakannya. Itu tak cukup. Isakan itu berasal dari ranjang di
sampingku—dari seorang bocah Candor bernama Al, yang paling besar dan kekar di
antara semua para anak baru. Ia orang terakhir kupikir akan menangis.
Kakinya beberapa inci dari kepalau. Aku harus
menenangkannya—aku seharusnya ingin menenangkannya karena seperti itulah aku
dibesarkan. Aku malah merasa jengkel. Seseorang yang kelihatannya begitu kuat
seharusnya tidak bertingkah selemah itu. Kenapa ia tidak menahan tangisnya
seperti kami semua?
Susah payah aku menelan ludah.
Jika ibu tahu apa yang baru kupikirkan, bisa kubayangkan
bagaimana ia menatapku. Sudut bibirnya akan melengkung turun. Alisnya
mengerut—bukan marah, tapi lelah. Aku mengusapkan tangan ke pipi.
Al terisak lagi. Rasanya suara itu hampir menyayat tenggorokanku
sendiri. Ia hanya berbaring beberapa inci dariku—aku harus menyentuhnya.
Tidak. Aku menurunkan tangan dan membalikkan tubuhku
menghadap tembok. Aku bisa mengubur rahasia itu. Mataku tertutup dan aku merasa
mengantuk. Tapi, tiap aku hampir tertidur, aku mendengar isakan Al lagi.
Mungkin masalahku bukan karena aku tak bisa pulang. Aku akan
merindukan ayah, ibu, dan Caleb; juga perapian sore serta suara denting jarum
rajut ibu. Tapi, bukan itu satu-satunya alasan perasaan hampa di perutku.
Masalahku, jika pun aku bisa kembali ke rumah, aku tak
berhak berasa di sana, di antara mereka yang memberi tanpa berpikir apa-apa dan
peduli tanpa pamrih.
Pikiran itu membuatku menggertakkan gigi. Aku membenamkan
bantal di telinga untuk menghalangi suara tangisan Al dan jatuh tertidur dengan
pipi basah oleh air mata.[]
No comments:
Post a Comment