Penulis: James Dashner
3
THOMAS duduk di sana selama beberapa saat, terlau ketakutan
untuk bergerak. Akhirnya, dia memaksa dirinya sendiri memandang banguna
menjulang itu. Sekelompok anak berkerumun di bagian luarnya, menatap penuh
minat barisan jendela bagian atas seolah berharap sosok mengerikan melompat
keluar di anta pecahan kaca dan kayu.
Suara logam yang terdengar dari dahan di atas mengalihkan
perhatiannya, membuatnya mendongak; kilatan cahaya perak dan merah terlihat
olehnya tepat sebelum lenyap di balik batang pepohonan di sisi lain. Dia
beranjak berdiri dan berjalan mengelilingi pohon, menjulurkan leher dan mencari
tanda-tanda dari suara yang baru saja didengarnya, tetapi yang tampak hanya
dahan-dahan pohon, kelabu dan cokelat, bercabang seperti jari-jari tengkorak—dan
seolah hidup.
“Itu salah satu
Serangga-mesin,” kata seseorang.
Thomas menoleh ke kanan dan melihat seorang anak laki-laki
berdiri tak jauh darinya, bertubuh pendek dan gemuk, menatapnya. Dia masih
muda—mungkin yang termuda di antara kelompok yang telah dijumpainya sejauh ini,
barangkali usianya dua belas atau tiga belas tahun. Rambut cokelatnya menjuntai
hingga menutupi telinga dan lehernya, jatuh ke pundaknya. Sepasang mata biru
tampak bersinar di wajah yang menyedihkan, berlemak, dan kemerah-merahan itu.
Thomas mengangguk kepadanya. “Serangga apa?”
“Seangga-mesin,” kata anak itu, menunjuk ke pucuk pohon.
“Tidak akan melukaimu kecuali kau cukup bodoh untuk menyentuh salah satu dari
mereka.” Dia terdiam sejenak. “Bocah ingusan.” Dia terlihat canggung
mengucapkan kata terakhir itu, seolah tak terlalu percaya diri menggunakan
bahasa pergaulan Glade.
Terdengar lagi suara jeritan, kali ini melengking panjang
dan seperti mengiris saraf, membelah udara dan membuat jantung Thomas menciut.
Rasa takut membuat kulitnya terasa dingin. “Apa yang terjadi di sana?”
tanyanya, menunjuk bangunan itu.
“Tak tahu,” anak gemuk itu menjawab; suaranya masih nyaring
khas anak-anak. “Ben ada di dalam sana, lebih parah daripada seekor anjing. Mereka menangkapnya.”
“Mereka?” Thomas tidak menyukai nada kebencian dalam suara
anak laki-laki itu ketika mengucapkannya.
“Ya.”
“Siapa mereka
ini?”
“Lebih baik kau tak pernah tahu,” anak itu menjawab, tampak
tak terlalu nyaman dengan keadaan itu. Dia mengulurkan tangan. “Namaku Chuck.
Aku masih anak-bawang sebelum akhirnya kau datang.”
Diakah yang akan jadi
pemanduku malam ini? pikir Thomas. Dia tak mampu menyingkirkan kecemasannya
yang memuncak, kini kejengkelan mulai melandanya. Semua ini sulit dipercaya;
kepalanya terasa sakit.
“Kenapa semua anak di sini memanggilku Anak-Bawan?” tanya
Thomas, menjabat tangan Chuck sesingkat mungkin, kemudian melepaskannya.
“Soalnya kau pendatang yang paling baru,” Chuck menunjuk
Thomas dan tertawa. Sekali lagi terdengar jeritan dari rumah itu, seperti suara
seekor hewan kelaparan yang disiksa.
“Bagaimana mungkin kau bisa tertawa?” tanya Thomas, merasa
ngeri mendengar suara itu. “Sepertinya seseorang sedang sekarat di sana.”
“Dia akan baik-baik saja. Tidak akan ada yang mati jika mereka
kembali tepat waktu dan mendapatkan Serum. Pilihannya hanya itu. Mati atau
tidak mati. Hanya mendapatkan luka-luka cukup banyak.”
Kata-kata itu membuat Thomas terkesiap. “Luka-luka apa?”
Tatapan Chuck menerawang seolah dia ragu-ragu mengatakannya.
“Eng, disengat oleh para Griever.”
“Griever?” Thomas semakin bingung. Disengat. Griever.
Kata-kata itu mengesankan sesuatu yang sangat menyeramkan, dan dia tiba-tiba
merasa tak yakin ingin mendengar Chuck menerangkannya.
Chuck mengedikkan bahu, kemudian berpaling, memutar bola
matanya.
Thomas mendesah putus asa dan kembali bersandar di pohon.
“Sepertinya kau tak tahu lebih banyak daripada aku,” katanya, tetapi dia tahu
itu tidak benar. Kehilangan ingatannya sangat aneh. Dia mampu mengingat semua
kejadian yang berlangsung di dunia—tetapi sama sekali tak ingat tentang
nama-nama atau wajah-wajah tertentu. Seperti sebuah buku yang kehilangan satu
kata di setiap beberapa kalimat, membuatnya sulit dan membingungkan untuk
dibaca. Dia bahkan tidak ingat berapa umurnya.
“Chuck, menurutmu ... berapakah umurku?”
Anak laki-laki itu menatapnya dari ujung kepala hingga kaki.
“Kurasa kau berumur enam belas tahun. Dan, seandainya kau ingin tahu, tinggimu
hampir dua meter ... berambut cokelat. Oh, dan kelihatan aneh seperti daging satai.”
Dia mendengus tertawa.
Thomas sangat terperanjat hingga nyaris tak mendengar
kata-kata terakhirnya. Enam belas tahun? Dia berumur enam belas tahun? Dia merasa jauh lebih tua dari itu.
“Kau serius?” Dia tergagap, berusaha menemukan sesuatu yang
bisa dikatakan. “Bagaimana ....” Dia bahkan tak tahu apa yang harus ditanyakan.
“Jangan khawatir. Kau akan babak belur selama beberapa hari,
tapi setelah itu kau akan terbiasa dengan tempat ini. aku mengalaminya.
Begitulah, kami hidup di sini. Lebih baik daripada hidup di tengah tumpukan Plung.” Dia menyipitkan mata, mungkin
bersiap-siap jika Thomas bertanya. “Plung
adalah sebutan untuk kotoran manusia. Kotoran kita membuat suara plung kalau jatuh ke dalam lubang
jamban.”
Thomas memandang Chuck, tak percaya dia mendengar percakapan
seperti ini. Dia hanya mampu berucap, “Kedengarannya bagus.” Dia berdiri dan
berjalan melewati Chuck menuju bangunan itu; parah adalah kata yang lebih baik untuk tempat itu. Tingginya
sekitar tiga dan empat lantai dan tampak siap ambruk kapan pun—tumpukan kayu
dan papan yang sangat banyak serta gulungan tali dan daun jendela seolah
dijejalkan begitu saja menjadi satu, tembok-tembok batu yang ditumbuhi tanaman ivy yang menjalar menjulang di
belakangnya. Saat dia menyeberangi tanah lapan, tercium bau kayu terbakar dan
daging yang dimasak, membuat perutnya berbunyi. Thomas merasa lebih baik
mengetahui bahwa itu hanya jeritan seorang anak yang sedang sakit. Sampai dia
memikirkan tentang penyebabnya ....
“Siapa namamu?” tanya Chuck di belakang yang berlari
menyusulnya.
“Apa?”
“Namamu? Kau belum
memberi tahu kami—dan aku tahu kau pasti masih ingat.”
“Thomas.” Dia nyaris tak mendengar suaranya sendiri ketika
mengucapkannya—pikirannya berpacu cepat. Jika Chuck benar, berarti dia baru saja
menemukan kaitan di antara semua anak-anak ini. sebuah pola yang sama tentang
kehilangan ingatan. Mereka semua masih mengingat nama masing-masing. Mengapa
tidak dengan nama orangtua mereka? Atau nama teman-teman mereka? Atau nama belakang mereka?
“Senang bertemu denganmu, Thomas,” kata Chuck. “Jangan
khawatir, aku akan menjagamu. Aku sudah berada di sini sebulan, dan aku
mengenal tempat ini luar dalam. Kau bisa bergantung kepada Chuck, oke?”
Thomas hampir sampai di pintu depan bangunan itu dan
sekelompok kecil anak laki-laki berkerumun di sana ketika mendadak perasaan
marah melandanya. Dia berbalik menghadap Chuck. “Kau bahkan tidak bisa memberitahuku tentang segalanya. Aku tak
menganggap kau bisa menjagaku.” Dia kembali berbalik menuju pintu, berniat masuk
untuk mencari tahu. Dia tidak tahu dari mana keberanian dan tekad ini tiba-tiba
muncul.
Chuck mengangkat bahu. “Aku tak bisa bilang apa-apa,”
katanya. “Aku juga masih pendatang baru. Tapi, aku bisa menjadi temanmu ....”
“Aku tidak butuh teman,” potong Thomas.
Dia sudah sampai di depan pintu, yang berupa selembar papan
yang telah kusam karena terpapar sinar matahari, dan dia menariknya membuka
hingga terlihat beberapa anak berekspresi datar berdiri di kaki tangga yang
melingkar, anak tangga dan pegangannya berbelok dan melintang ke segala arah.
Pelapis dinding berwarna gelap menutupi dinding ruang depan dan jalan menuju
dalam, sebagian telah terkelupas. Satu-satunya hiasaan yang tampak adalah
sebuah vas berdebu di atas meja berkaki tiga dan sebuah lukisan hitam putih
seorang wanita kuno dalam balutan pakaian putih klasik. Ini mengingatkan Thomas
pada rumah berhantu dalam film atau sejenisnya. Sebagian lantai papan bahkan
telah terlepas.
Tempat itu berbau debu dan lembap—berbeda jauh dengan bau
segar di luar. Beberapa lampu berkelip di langit-langit, Thomas belum
memikirkan tentang hal itu sebelumnya, tetapi dia ingin tahu asal listrik yang
digunakan di Glade. Dia memandang lukisan wanita tua itu. Apakah dia pernah
tinggal di sini? Merawat semua orang ini?
“Hai, lihat, itu si Anak-Bawang,” salah seorang anak yang
lebih tua berseru.
Thomas tersentak ketika menyadari bahwa itu adalah anak
berambut hitam yang sebelumnya menatapnya dengan tajam. Sepertinya dia berusia
sekitar lima belas tahun, bertubuh jangkung dan kurus. Hidungnya seukuran
kepalan tangan dan mirip kentang yang berbentuk aneh. “Bocah ingusan ini
mungkin mulas perutnya ketika mendengar di Bayi-Gede Benny menjerit seperti
anak perempuan. Perlu popok, Anak Bodoh?”
“Namaku Thomas.” Dia harus menyingkir dari anak ini. tanpa
berkata lagi, dia menuju tangga, hanya karena tempat itu berada paling dekat
dengannya, dan karena dia tak tahu apa yang harus diperbuat atau dikatakannya.
Namun, si pengganggu itu mengadangnya, mengangkat salah satu tangannya.
“Tunggu, Anak-Bawang.” Dia memberi isyarat dengan ibu
jarinya ke arah lantai atas. “Para pendatang baru tidak diiznkan melihat orang
yang ... diambil. Newt dan Alby tidak
akan membolehkannya.”
“Apa, sih, masalahmu?” tanya Thomas, berusaha menjaga
suaranya agar tak terdengar ketakutan, mencoba tak memikirkan maksud kata diambil yang disebutkan oleh anak itu.
“Aku bahkan tidak tahu tentang tempat ini. aku hanya ingin minta tolong.”
“Dengar, Anak-Bawang.” Anak laki-laki itu mengerutkan wajah
dan melipat tangannya. “Aku sudah pernah bertemu denganmu sebelumnya. Ada
sesuatu yang mencurigakan darimu, dan aku akan mencari tahu apa itu.”
Darah Thomas seperti mendidih. “Aku belum pernah bertemu
denganmu seumur hidupku. Aku tak tahu siapa dirimu, dan aku tak peduli.” Dia
meludah. Namun, sesungguhnya, bagaimana dia yakin tentang hal itu? Dan,
bagaimana mungkin anak itu ingat kepadanya?
Si pengganggu itu tergelak, tawanya bercampur dengusan
sinis. Kali ini wajahnya berubah serius. Alisnya bertaut. “Aku pernah ... melihatmu, Bocah Ingusan. Tidak banyak
anak di tempat ini yang mampu berkata bahwa mereka pernah disengat.” Dia
menunjuk ke lantai atas. “Aku bisa. Aku tahu apa yang sedang dialami si
Bayi-Gede Benny. Aku pernah berada di sana. Dan, aku melihat-mu selama mengalami Perubahan.”
Dia mengulurkan tangan dan mendorong dada Thomas. “Dan, aku
berani bertaruh demi santapan pertamamu dari Frypan—si Penggorengan, juru masak
kami, bahwa Benny juga akan bilang dia pernah melihatmu.”
Thomas berusaha tetap memandangnya, tetapi memutuskan tak
mengatakan apa pun. Kepanikan sekali lagi melandanya. Kapan semua ini berhenti
menjadi semakin buruk?
“Griever berhasil membuatmu berkeringat dingin?” anak itu
berkata sambil menyeringai. “Sedikit takut sekarang? Tak ingin disengat, kan?”
Kata itu lagi. Disengat. Thomas berusaha tidak memikirkannya
dan menunjuk ke tangga, asal suara mengerang kesakitan anak itu bergema di
penjuru bangunan. “Jika Newt ada di sana, aku ingin bicara dengannya.”
Anak laki-laki itu hanya diam, menatap Thomas selama
beberapa saat. Kemudian, dia menggelengkan kepala. “Kau tahu, tidak? Kau benar,
Tommy—aku seharusnya tak terlalu keras pada Pendatang-Pendatang Baru. Naiklah,
aku yakin Alby dan Newt menerimamu. Serius, pergilah. Aku minta maaf.”
Dia menepuk bahu Thomas sekilas, kemudian mundur, memberi
isyarat mempersilakan ke atas tangga. Namun, Thomas tahu anak itu merencanakan
sesuatu. Kehilangan sebagian ingatan tak lantas membuatmu jadi bodoh.
“Siapa namamu?” Thomas bertanya, mengulur waktu sambil
berpikir untuk ke atas atau tidak.
“Gally. Dan, jangan biarkan orang mempermainkanmu. Akulah pemimpin
sesungguhnya di sini, bukan dua orang sok tua di atas. Kau boleh memanggilku Kapten
Gally jika kau mau.” Dia tersenyum untuk pertama kali; barisan giginya tampak
serasi dengan hidungnya yang ganjil. Dua atau tiga gigi telah tanggal, dan tak
satu pun warnanya yang mendekati putih. Napasnya cukup tercium oleh Thomas,
yang mengingatkannya akan beberapa
kenangan buruk yang masih belum tergambar di benaknya. Perutnya terasa mual.
“Oke,” katanya, merasa ingin berteriak karena jengkel,
mendorong wajah anak itu. “Kapten Gally.” Dia memberi hormat dengan gaya
berlebihan, merasa ketegangannya meningkat, menyadari bahwa dia baru saja
melampaui batas.
Segelintir tawa terdengar dari kerumunan, dan Gally melempar
pandangan ke sekelilingnya dengan wajah memerah. Dia kembali menatap Thomas,
ekspresi kebencian menjalar di alisnya dan membuat hidungnya berkerut.
“Pergi sana ke atas,” kata Gally. “Dan, menyingkirlah
dariku, dasar bodoh.” Dia menunjuk ke atas lagi, tetapi tak mengalihkan
pandangannya dari Thomas.
“Baik.” Thomas memandang berkeliling sekali lagi, merasa
malu, bingung, juga marah. Dia merasa wajahnya memerah. Tak seorang pun
mencegahnya melakukan seperti diperintahkan Gally, kecuali Chuck, berdiri di
dekat pintu depan, yang menggelengkan kepala.
“Kau sebaiknya tak melakukan itu,” kata anak itu. “Kau
Pendatang-Baru—kau tak boleh ke atas.”
“Pergilah,” kata Gally menyeringai. “Pergilah ke atas.”
Thomas menyesal telah masuk lebih dulu di tempat ini—tetapi dia
memang ingin bicara dengan Newt.
Dia mulai menaiki anak tangga. Setiap langkah menimbulkan
bunyi geretak dan berderak karena beban tubuhnya; dia mungkin tidak akan merasa
takut jatuh di atas tangga kayu tua itu seandainya tidak meninggalkan situasi
tak menyenangkan di bawah. Dia terus naik, menajamkan pendengaran akan bunyi
sekecil apa pun. Tangga itu berakhir, berbelok ke kiri, ke arah sebuah lorong
yang menuju beberapa kamar. Hanya satu pintu yang celah bagian bawah pintunya
menampakkan sebaris sinar.
“Sebuah Perubahan!” teriak Gally dari bawah. “Lihat saja
sana, bodoh!”
Ejekan itu seolah menyulut keberanian Thomas, dia berjalan
menuju pintu dengan berkas sinar di celahnya, mengabaikan bunyi papan lantai
yang berderak dan suara tawa di bawah—mengabaikan semburan kata-kata cemooh
yang tak dia mengerti, menekan rasa takut yang mereka timbulkan. Dia menjulurkan
tangan, memutar pegangan pintu, dan membukanya.
Di dalam ruangan, Newt dan Alby membungkuk di atas seseorang
yang terbaring di atas tempat tidur.
Thomas berjalan mendekat untuk melihat penyebab semua
keributan itu, tetapi ketika dia melihat dengan jelas kondisi pasien itu,
jantungnya membeku. Dia harus menahan keinginannya untuk muntah.
Dia hanya melihat sekilas—beberapa detik saja—tetapi cukup
untuk menghantuinya selamanya. Sebuah sosok anak laki-laki yang pucat meringkuk
kesakitan, bertelanjang dada, dan tampak mengerikan. Jalinan pembuluh darah
yang berwarna hijau, kaku dan keras, membentuk jaringan di sekujur badan dan
anggota tubuhnya, seperti rangkaian tali di bawah kulit. Memar-memar kebiruan
memenuhi tubuh anak itu, bengkak kemerahan, dan goresan-goresan yang
mengucurkan darah. Matanya yang merah terbelalak, memandang ke segala arah
dengan liar. Pemandangan itu terlanjur terekam di benak Thomas sebelum Alby
melompat menutupinya, tetapi tidak dengan suara erangan dan jeritannya,
mendorong Thomas keluar ruangan, kemudian membanting pintu di belakang mereka.
“Apa yang kau lakukan di sini, Anak-Bawang!” bentak Alby,
bibirnya menipis menahan kemarahan, matanya membara.
Thomas merasa lemas. “Aku ... eh ... ingin meminta jawaban,”
dia bergumam, tetapi terdengar gamang—merasa putus asa. Apa yang terjadi dengan
anak itu? Thomas bersandar membungkuk pada pegangan tangga lorong dan menatap
lantai, tak tahu apa yang akan dilakukannya.
“Turun sekarang juga,” perintah Alby. “Chuck akan
menolongmu. Jika aku melihatmu lagi sebelum besok pagi, kau tak akan bisa pergi
ke mana pun hidup-hidup. Aku akan menyeretmu sendiri dari Chuck, kau mengerti?”
Thomas merasa malu dan ketakutan. Dia merasa seolah menciut
menjadii sekecil tikus. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berlari melewati Alby
dan menuruni tangga yang berderak-derak, memelesat secepat mungkin. Mengabaikan
tatapan ternganga semua orang di lantai bawah—terutama Gally—dia melangkah
keluar melalui pintu, sambil menarik tangan Chuck.
Thomas membenci orang-orang ini. dia benci mereka semua. Kecuali
Chuck. “Bawa aku pergi dari semua anak ini,” kata Thomas. Dia sadar Chuck
mungkin satu-satunya temannya di dunia ini.
“Oke,” sahut Chuck, suaranya terdengar riang, seolah
bersemangat karena dibutuhkan. “Tapi, sebelumnya kita harus mengambil makanan
untukmu dari Frypan.”
“Aku tak tahu apakah aku masih sanggup makan.” Tidak setelah
kejadian yang baru saja dilihatnya.
Chuck mengangguk. “Ya, kau akan membutuhkannya. Aku akan
menemuimu di pohon yang sama seperti tadi. Sepuluh menit lagi.”
Thomas lebih dari sekadar gembira dapat menyingkir dari
rumah itu, dan berjalan kembali ke pohon yang dimaksud Chuck. Dia baru saja
ingin tahu tentang semua ini beberapa waktu lalu, tetapi kini dia ingin
segalanya segera berakhir. Dia sungguh-sungguh berharap dapat mengingat sesuatu
dari kehidupan sebelumnya. Apa pun itu. Ibunya, ayahnya, seorang teman,
sekolahnya, hobinya. Seorang anak perempuan.
Dia mengerjap beberapa kali dengan berat, mencoba mengusir
pikiran tentang bayangan kejadian yang telah dilihatnya di bangunan tua itu.
Perubahan. Gally menyebut Perubahan.
Udara tidak dingin, tetapi tubuh Thomas sekali lagi
menggigil.[]
No comments:
Post a Comment