Divergent (Divergent #1) (26)

Penulis: Veronica Roth

26

Kami berjalan menuju The Pit sambil bergandengan tangan. Aku diam-diam merasakan genggaman tanganku sendiri dengan saksama. Satu menit, rasanya aku tak menggenggam tangan Four cukup kuat. Menit berikutnya, aku meremas tangannya terlalu kuat. Aku tak pernah mengerti kenapa orang-orang mau susah payah berpegangan tangan sambil berjalan, tapi kemudian ujung jari Four membelai telapak tanganku. Aku merinding. Dan langsung mengerti.

“Jadi ...” aku mencoba berpegangan pada rasioku. “Empat macam rasa takut.”

“Dulu empat rasa takut, sekarang empat rasa takut juga,” ujarnya mengangguk. “Semuanya belum berubah, jadi aku terus mengulangnya, tapi ... aku masih belum ada kemajuan.”

“Kau tak mungkin tidak takut apa pun, ingat?” kataku. “Karena kau masih memikirkan tentang banyak hal. Tentang hidupmu.”

“Aku tahu.”

Kami berjalan menyusuri pinggir The Pit melewati jalan setapak sempit yang menuju bebatuan di bawah. Aku tak pernah memperhatikannya—jalan ini menyatu dengan dinding batu. Tapi, Tobias sepertinya mengetahuinya dengan baik.

Aku tak ingin menghancurkan momen ini, tapi aku harus tahu hasil tes kecakapannya. Aku harus tahu apakah ia seorang Divergent.

“Kau akan memberitahuku hasil Tes Kecakapanmu,” kataku.

“Ah.” Four menggaruk bagian belakang lehernya dengan tangan yang tidak menggandeng tanganku. “Apa itu penting?”

“Ya, aku mau tahu.”

“Dasar keras kepala.” Ia tersenyum.

Kami tiba di ujung jalan dan berdiri di bawah tebing. Di sini bebatuan membentuk dataran yang tidak stabil, mencuat dengan sudut tak beraturan dari air sungai yang berdebur. Ia menuntunku melewati jalan yang naik turun. Melewati celah sempit dan melalui gundukan berliku. Sepatuku terasa lengket di bebatuan kasar di sana. Alas sepatuku meninggalkan jejak kaki basah di setiap batu yang kulalui.

Four menemukan batu yang lumayan datar di tepi sungai yang arusnya tak terlalu deras. Ia pun duduk di sana. Kakinya menggantung ke bawah. Aku duduk di sampingnya. Sepertinya ia nyaman sekali di sana, beberapa puluh senti di atas arus sungai yang deras.

Four melepaskan tanganku. Aku menatap pinggir bebatuan yang tidak rata.

“Ada beberapa hal yang tidak kuceritakan pada orang-orang, kau tahu. Bahkan, pada teman-temanku,” ujarnya.

Tanganku saling menggenggam dan mengepal rapat. Ini tempat yang sempurna untuk memberitahuku kalau ia seorang Divergent, jika memang itu benar adanya. Debur air di tebing pasti membuat percakapan kami tak didengar siapa pun. Aku tak tahu kenapa hal ini membuatku begitu gugup.

“Hasilku sudah bisa ditebak,” ujarnya. “Abnegation.”

“Oh.” Hatiku seperti mencelos. Aku salah menilainya.

Tapi—tadinya aku berpikir kalau ia bukan Divergent, ia pasti memperoleh hasil Dauntless. Dan, secara teknis aku juga mendapatkan hasil Abnegation—menurut sistem yang berlaku. Apa hal yang sama berlaku juga padanya? Dan kalau itu memang benar, kenapa ia tak memberitahuku yang sebenarnya?

“Tapi, kau malah memilih Dauntless?” tanyaku.

“Terpaksa.”

“Kenapa kau harus pergi?”

Ia mengalihkan pandangannya dari mataku ke arah depan seakan mencari jawabannya di udara. Four tak perlu memberikan satu jawaban. Aku masih bisa merasakan sakitnya sabetan ikat pinggang itu di pergelangan tanganku.

“Kau harus meninggalkan ayahmu,” kataku. “Itukah kenapa kau tak mau menjadi pemimpin Dauntless? Karena jika kau menjadi pemimpin, mungkin saja kau akan bertemu dirinya lagi?”

Four mengangkat bahu. “Itu juga, dan aku selalu merasa kalau aku tidak benar-benar menjadi bagian dari Dauntless. Setidaknya, tidak dengan cara hidup mereka sekarang.”

“Tapi, kau ... luar biasa.” Kataku. Aku berhenti sebentar dan berdeham. “Maksudku, berdasarkan standar Dauntless. Tidak pernah ada yang memiliki cuma empat rasa takut. Bagaimana mungkin kau tidak menjadi bagian mereka?”

Ia mengangkat bahu. Sepertinya Four tak peduli tentang bakatnya sendiri, atau statusnya di antara anggota Dauntless, dan kupikir itu karena sifat Abnegationnya. Aku tak yakin harus berbuat apa.

Four berkata, “Aku memiliki teori bahwa tak memiliki rasa pamrih dan keberanian tidak terlalu berbeda. Seumur hidupmu, kau telah diajari bagaimana caranya tidak memikirkan diri sendiri, jadi saat kau dalam bahaya, itu menjadi insting pertamamu. Aku bisa dengan mudah menjadi bagian Abnegation.”

Tiba-tiba aku merasa terbebani. Diajari seumur hidupku pun takkan cukup bagiku. Insting pertamaku tetap memikirkan diriku sendiri.

“Yeah,” kataku. “Aku meninggalkan Abnegation karena aku masih memikirkan diri sendiri, tak peduli seberapa keras pun aku mencoba.”

“Itu tidak sepenuhnya benar.” Four tersenyum padaku. “Seorang gadis yang membiarkan seseorang melemparinya pisau agar temannya diampuni, yang memukul ayahku dengan ikat pinggang untuk melindungiku—gadis yang tidak memikirkan dirinya sendiri itu, bukan kamu?”

Four lebih mengenalku lebih baik dari yang kukira. Walau sepertinya mustahil ia memiliki perasaan khusus padaku ... mungkin memang tidak. Aku cemberut menatapnya. “Kau memperhatikanku, ya?”

“Aku suka mengamati orang.”

“Mungkin kau cocok masuk Candor, Four, karena kau tidak bisa berbohong.”

Four meletakkan tangannya di batu sebelahnya. Jari-jarinya berbaris tepat di samping jariiku. Aku menunduk menatap kedua tangan kami. Ia memiliki jari yang kurus dan panjang. Bukan tangan khas seorang Dauntless yang biasanya tebal, kokoh, dan siap menghancurkan apa pun.

“Baik.” Four mendekatkan wajahnya. Matanya menatap daguku, dan bibirku, dan hidungku. “Aku mengamatimu karena aku menyukaimu.” Ia mengucapkannya dengan datar dan berani. Ia mengerlingkan mata. “Dan jangan panggil aku ‘Four’, oke? Senang rasanya mendengar nama asliku lagi.”

Dan cuma begitu saja. Akhirnya, ia menyebutkan namanya sendiri dan aku tak tahu harus bereaksi apa. Pipiku terasa hangat. Dan yang bisa kukatakan cuma, “Tapi, kau lebih tua dariku, ... Tobias.”

Ia tersenyum padaku. “Ya, jarak dua tahun yang terlalu jauh dan benar-benar tak bisa diubah, kan?”

“Aku bukannya menghina diri sendiri,” kataku. “Aku cuma tidak mengerti. Aku lebih muda. Aku tidak cantik—”

Ia tertawa. Tawa terbahak-bahak yang seperti berasal dari dalam hati, dan mengecup pelipisku.

“Jangan pura-pura,” kataku susah payah. “Kau tahu aku tidak cantik. Aku memang tidak jelek, tapi kan aku jelas-jelas tidak cantik.”

“Baiklah. Kamu memang tidak cantik. Jadi?” ia mencium pipiku. “Aku suka penampilanmu. Kamu pintar. Berani. Dan walaupun kau tahu tentang Marcus ...” suaranya berubah lembut. “Kau tidak melihatku seperti, ... seperti aku anak anjing terbuang atau semacamnya.”

“Yah,” kataku. “Kau memang tidak seperti itu.”

Mata hitamnya menatapku sejenak. Four terdiam. Kemudian, ia menyentuh wajahku dan membungkuk. Mengecupku. Arus sungai berdebur kencang dan aku bisa merasakan percikannya di pergelangan kakiku.

Awalnya aku agak kaku, tak yakin pada diriku sendiri. Jadi, saat ia melepaskan ciumannya, aku yakin pasti aku melakukan sesuatu yang salah atau melakukannya dengan buruk. Tapi, Four menyentuh wajahku lagi. Tangannya begitu kokoh membelai kulitku. Dan, Four menciumku lagi. Aku merangkulnya. Tanganku menggantung di belakang leher dan rambut pendeknya.


Kami berciuman beberapa menit, di balik tebing, hanya ditemani debur air. Dan saat kami berdiri, saling berpegangan tangan, aku baru sadar. Bahkan, jika kami mengambil pilihan berbeda, mungkin saja kami tetap melakukan hal yang sama. Di tempat yang lebih aman. Dan bukan berpakaian hitam, melainkan berjubah abu-abu.[]



No comments:

Post a Comment