Divergent (Divergent #1) (39)

Penulis: Veronica Roth

39


Tembakan tak kunjung dilepaskan. Tobias menatapku dengan tatapan mematikan yang sama, tapi tidak bergerak. Kenapa ia tidak menembakku? Jantungnya berdetak kencang dan hatiku membuncah. Ia seorang Divergent. Ia bisa melawan simulasi ini. Simulasi apa pun.

“Tobias,” kataku. “Ini aku.”

Aku melangkah maju dan memeluknya. Tubuhnya kaku. Detak jantungnya lebih cepat. Aku bisa merasakannya lewat pipiku yang menempel di dadanya. Terdengar suara berdentang sat senjata itu jatuh ke lantai. Tobias memegang bahuku—terlalu keras, jemarinya menancap di bahuku yang terluka. Aku berteriak saat ia menarikku. Mungkin ia ingin membunuhku dengan cara yang lebih kejam.

“Tris,” ujarnya, dan ia kembali. Ia menciumku.

Lengannya memlukku dan mengangkatku, sambil menahan tubuhku erat. Tangannya merangkul punggungku. Wajah dan bagian belakang lehernya basah oleh keringat. Tubuhnya gemetar. Dan, bahuku seperti terbakar rasa nyeri, tapi aku tidak peduli, aku tidak peduli, aku tidak peduli.

Tobias menurunkanku dan menatapku. Jemarinya membelai dahiku, alisku, pipiku, dan wajahku.

Sesuatu seperti perpaduan suara tangisan, hela napas, dan erangan meluncur darinya, dan ia mmenciumku lagi. Matanya berbinar penuh air mata. Aku tak pernah berpikir akan melihat Tobias menangis. Itu membuat dadaku sakit.

Aku membenamkan diri di dadanya dan menangis di kausnya. Semua denyut nyeri di kepalaku kembali, juga sakit di bahuku, dan aku merasa lemas. Aku bersandar padanya dan ia menopang tubuhku.

“Bagaimana kau melakukannya? Kataku.

“Aku tidak tahu,” katanya. “Aku hanya mendengar suaramu.”

***

Setelah beberapa detik, aku ingat kenapa aku di sini. Aku melepaskan pelukan dan menyeka pipi dengan punggung tangan, lalu berbalik mengarah layar-layar itu lagi. Aku melihat salah satu monitor menampilkan air minum pancur. Tobias begitu ketakutan saat aku mengeluh tentang Dauntless di sana. Ia terus melihat ke arah dinding di atas air minum pancur. Sekarang, aku tahu kenapa.

Tobias dan aku sejenak berdiri diam, dan kurasa aku tahu apa yang ia pikirkan, karena sekarang aku juga memikirkannya: Bagaimana bisa sesuatu yang begitu kecil mengendalikan orang sebanyak itu?

Apa aku yang menjalankan simulasinya?” ujarnya.

“Aku tidak tahu apakah kau yang mejalankannya seperti kau mengawasinya,” kataku. “Simulasi ini sudah lengkap. Aku tak tahu bagaimana, tapi Jeanine membuatnya seakan simulasinya bisa berjalan sendiri.”

Ia menggelengkan kepala. “Ini ... luar biasa. Mengerikan, jahat ... tapi luar biasa.”

Aku melihat pergerakan di salah satu layar komputer dan melihat kakakku, Marcus, dan Peter di lantai satu. Mereka dikelilingi prajurit Dauntless, semuanya berpakaian hitam, semuanya membawa senjata.

“Tobias,” ujarku cepat. “Sekarang!”

Ia berlari ke arah layar komputer dan jemarinya mengetik beberapa kali. Aku tak bisa melihat apa yang ia lakukan. Yang bisa kulihat hanyalah kakakku. Ia mengulurkan senjata yang kuberikan padanya seakan siap menggunakannya. Aku menggigit bibirku. Jangan menembak. Tobias menekan layar beberapa kali lagi, mengetik huruf-huruf yang sepertinya tak masuk akal bagiku. Jangan menembak.

Aku melihat kulatan cahaya—percikan api dari salah satu senjata—dan terkesiap. Kakakku, Marcus, dan Peter merunduk di tanah sambil melindungi kepala dengan lengan. Setelah beberapa saat mereka bergerak, jadi kutahu mereka masih hidup, dan prajurit Dauntless mendekat. Sekumpulan orang berpakaian hitam mengelilingi kakakku.

“Tobias,” kataku.

Ia menekan layarnya lagi dan semua orang di lantai pertama tak bergerak.

Lengan mereka terjuntai di samping tubuh.

Dan, kemudian para Dauntless bergerak. Kepala mereka bergerak ke kanan dan ke kiri, dan mereka menjatuhkan senjatanya. Mulut mereka terbuka seakan mereka berteriak dan mereka saling dorong. Ada beberapa yang merunduk berlutut  sambil memegangi kepala, lalu mengayunkan tubuhnya, ke depan ke belakang, ke depan ke belakang.

Semua ketegangan di dadaku terlepas, dan aku duduk menghela napas lega.

Tobias membungkuk di samping CPU dan menarik penutup sampingnya.

“Aku harus mengambil datanya,” ujarnya, “atau mereka akan memulai simulasinya lagi.”

Aku menatap kegilaan yang ada di layar. Kegilaan yang sama pasti juga terjadi di jalanan. Aku melihat ke arah layar, satu demi satu, dan mencari layar yang menunjukkan sektor kota Abnegation. Hanya ada satu layar—letaknya jauh di ujung ruangan di sebelah bawah. Orang-orang Dauntless di layar itu saling menembak satu sama lain, saling dorong, menjerit—kacau. Pria dan wanita berpakaian hitam berjatuhan terkulai di tanah. Orang-orang berlarian ke segala penjuru.

“Dapat,” ujar Tobias, sambil mengacungkan hard drive komputer. Sebuah logam berukuran sebesar telapak tangannya. Ia menyodorkannya padaku dan aku memasukkannya ke saku belakang.

“Kita harus pergi,” ujarku sambil bersiap. Aku menunjuk layar di sebelah kanan.

“Ya, kita pergi.” Ia merangkul bahuku. “Ayo.”

Kami berjalan bersama menyusuri lorong dan berbelok di ujung. Lift ini mengingatkanku akan ayah. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak melihat jasadnya.

Jasadnya terkulai di dekat lift dan dikelilingi beberapa jasad pengawal. Aku menjerit tertahan. Kubalikkan tubuhku. Rasa pahit menjalari tenggorokanku dan aku muntah di tembok.

Sejenak aku merasakan seluruh tubuhku pecah dan aku membungkuk di depan jasadnya. Aku bernapas dengan mulut supaya bau darahnya tidak tercium. Aku membekap mulutku menahan tangis. Lima detik lagi. Lima detik kerapuhan ini dan kemudian aku akan bangkit. Satu, dua, tida, empat.

Lima.

***

Aku tidak benar-benar memperhatikan sekelilingku. Ada lift dan ruang kaca dan embusan udara dingin. Ada sekumpulan prajurit Dauntless yang berpakaian hitam yang saling berteriak. Aku mencari-cari raut wajah Caleb, tapi tidak ada di mana-mana. Tetap tidak kelihatan sampai kami meninggalkan gedung kaca dan melangkah keluar menyambut matahari.

Caleb berlari menghampiriku saat aku melewati pintu dan aku jatuh terkulai. Ia menahan tubuhku dengan erat.

“Ayah?” tanyanya.

Aku menggeleng.

“Ya,” ujarnya. Kata-katanya hampir tercekat di tenggorokan, “inilah cara yang ayah inginkan.”

Dari balik bahu Caleb, aku melihat langkah Tobias tiba-tiba berhenti. Seluruh tubuhnya membeku saat matanya terpusat menatap Marcus. Saat aku bergegas untuk menghancurkan simulasi, aku lupa memperingatkannya.

Marcus berjalan ke arah Tobias dan melingkarkan lengan memeluknya. Tobias tetap bergeming. Tangannya berada di samping tubuhnya dan wajahnya kosong. Kulihat jakunnya naik turun dan matanya mendongak menatap langit-langit.

“Anakku,” hela Marcus.

Tobias mengernyit.

“Hei,” kataku sambil melepaskan diri dari Caleb. Aku masih ingat perihnya sabetan ikat pinggang di pergelangan tanganku saat berada di dalam Ruang Ketakutan Tobias dan aku menyelinap di antara mereka berdua sambil mendorong Marcus menjauh. “Hei! Menjauh darinya.”

Aku merasakan napas Tobias berembus di leherku; pendek-pendek dan tajam.

“Minggir,” desisku.

“Beatrice, apa yang kau lakukan?” tanya Caleb.

“Tris,” ujar Tobias.

Marcus melihatku dengan tatapan terperanjat yang kelihatannya palsu bagiku—matanya terlalu melotot dan mulutnya terbuka terlalu lebar. Kalau aku bisa menemukan cara menghajar supaya raut wajah itu menghilang dari wajahnya, akan kulakukan.

“Tidak semua artikel Erudite itu benuh kebohongan,” kataku sambil memicingkan mata ke arah Marcus.

“Apa yang kau bicarakan?” tanya Marcus perlahan. “Aku tidak tahu apa yang dikatakan padamu, Beatrice, tapi—”

“Satu-satunya alasan aku belum menembakmu karena ialah yang harus melakukannya sendiri,” kataku. “Menjauh darinya atau kuputuskan tidak lagi peduli siapa yang melakukannya.”

Tangan Tobias menyelinap memegang lenganku dan meremasnya. Mata Marcus menatapku beberapa detik. Aku tak bisa menahan diri  melihat matanya yang seperti lubang hitam, seperti  mata Marcus yang kulihat di Ruang Ketakutan Tobias. Lalu, ia mengalihkan pandangannya.

“Kita harus pergi,” ujar Tobias bergetar. “Keretanya akan datang sebentar lagi.”

Kami berjalan menyusuri jalan berbatu menuju jalur kereta. Rahang Tobias mengatup kencang dan ia menatap lurus ke depan. Aku disergap rasa menyesal. Mungkin seharusnya kubiarkan ia mengurus masalah dengan ayahnya sendiri.

“Maaf,” gumamku.

“Kau tidak perlu minta maaf,” jawabnya sambil menggenggam tanganku. Jari-jarinya masih gemetar.

“Kalau kita naik kereta ke arah berlawanan, keluar kota, bukannya kembali ke dalam kota, kita bisa mencapai markas Amity,” kataku. “Ke tempat itulah yang lain mengungsi.”

“Bagaimana dengan Candor?” tanya kakakku. “Menurutmu apa yang akan mereka lakukan?”

Aku tidak tahu bagaimana Candor akan bereaksi terhadap serangan ini. Mereka tidak akan berpihak pada Erudite—mereka tidak suka melakukan sesuatu secara licik. Tapi, mereka juga tidak mungkin melawan Erudite.

Kami berdiri di samping jalur kereta selama beberapa menit sebelum kereta datang. Akhirnya, Tobias menggendongku karena kakiku mulai kebas. Aku merebahkan kepalaku di bahunya dan menarik napas panjang. Sejak ia menyelamatkanku dari serangan penculikan waktu itu, aku sudah mengartikan wangi tubuhnya sebagai rasa aman, jadi selama aku memusatkan pikiranku akan hal itu, aku merasa aman.

Sejujurnya aku tidak akan merasa aman selama Peter dan Marcus bersama kami. Aku mencoba tidak menatap mereka, tapi kurasakan kehadiran mereka seperti selimut yang menutupi wajahku. Takdir terasa kejam saat kenyataannya aku harus bepergian dengan orang-orang yang kubenci saat orang-orang yang kusayangi sudah meninggal.

Meninggal atau terbangun sebagai seorang pembunuh. Di mana Christina dan Tori sekarang? Berkeliaran di jalanan, dibayang-bayangi rasa bersalah atas apa yang telah mereka lakukan? Atau, mengarahkan senjata ke arah orang-orang yang memaksa mereka melakukan itu semua? Atau, mereka juga sudah mati? Kuharap aku tahu jawabannya.

Di saat yang sama, kuharap aku tak perlu tahu, Christina akan menemukan tubuh Will. Dan jika ia bertemu denganku lagi, mata Candornya yang terlatih itu akan melihat akulah yang membunuh Will, aku tahu itu. Aku tahu itu dan rasa bersalah mulai mencekikku, menghancurkanku, jadi aku harus melupakannya. Aku akan membuat diriku melupakannya.

Kereta pun datang dan Tobias menurunkanku supaya aku bisa melompat. Aku berlari kecil beberapa kali di dekat gerbong, kemudian mengayunkan tubuh ke sisi kereta dan mendarat dengan sisi kiri tubuhku dulu. Aku bergeliut mendorong tubuhku masuk dan duduk bersandar di dinding. Caleb duduk di depanku dan Tobias duduk di sampingku, seakan membentuk penghalang antara diriku dnegan Marcus dan Peter. Musuh-musuhku. Musuh-musuhnya.

Kereta melaju dan aku melihat kota di belakang kami. Pemandangannya makin lama makin kecil sampai akhirnya kami melihat di mana jalur ini berakhir, di hutan dan hamparan padang rumput yang terakhir kulihat saat aku masih terlalu kecil. Kebaikan Amity untuk sementara akan membuat kami nyaman, walaupun kami tidak bisa tinggal di sana selamanya. Sebentar lagi Erudite dan para pemimpin Dauntless yang korup akan mencari kami dan kami pun harus segera pergi.

Tobias menarikku mendekat. Kami menekuk lutut dan memiringkan kepala supaya kami makin dekat di ruang yang kami ciptakan sendiri, tanpa bisa melihat siapa yang akan mempersulit kami. Napas kami bercampur, saat menarik dan menghelanya.

“Orangtuaku,” kataku. “Hari ini mereka meninggal.”

Walau aku mengatakannya, dan bahkan saat aku sadar itu kenyataannya, hal itu tetap tidak terasa sungguhan.

“Mereka meninggal demi aku,” ujarku. Itu terasa penting.

“Mereka menyayangimu,” jawabnya. “Bagi mereka tidak ada cara yang lebih baik dari itu untuk menunjukkannya padamu.”

Aku mengangguk dan mataku menyusuri garis rahannya.

“Hari ini kau hampir mati,” ujarnya. “Aku hampir menembakmu. Kenapa kau tidak menembakku, Tris?”

“Aku tidak bisa melakukannya,” kataku. “Itu seperti menembak diriku sendiri.”

Ia terlihat terenyuh dan bersandar padaku, dahi kami saling bersentuhan.

“Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” ujarnya.

Aku menyentuh urat di tangannya dengan jemariku dan menatapnya.

“Mungkin aku jatuh cinta padamu,” ia tersenyum kecil. “Tapi, aku menunggu sampai aku benar-benar yakin untuk mengatakannya padamu.”

“Kau sungguh bijak,” ujarku juga sambil tersenyum. “Kita harus mencari kertas supaya kau bisa membuat daftar atau bagan atau semacamnya.”

Aku bisa merasakannya tertawa. Bibirnya menempel di belakang telingaku.

“Mungkin aku sudah yakin,” katanya pelan, “dan aku hanya tidak mau membuatmu takut.”

Aku tertawa kecil. “Jadi, mestinya kau lebih tahu.”

“Baik,” ujarnya. “Kalau begitu, aku mencintaimu.”

Aku menciumnya saat kereta meluncur ke tempat gelap dan asing. Aku menciumnya selama yang kumau, lebih lama dari yang seharusnya, meski Caleb duduk di depan kami.

Kuulurkan tangan ke dalam saku dan mengeluarkan perangkat keras yang menyimpan data simulasi. Aku membalikkannya dan bayangannya terpantul oleh cahaya yang memudar. Mata Marcus berkilat tamak menatap gerakanku. Tidak aman, pikirku. Tidak cukup aman.

Aku memeluk perangkat itu ke dadaku, dan merebahkan kepalaku di bahu Tobias dan mencoba tidur. Abnegation dan Dauntless sama-sama pecah. Anggotanya bertebaran di mana-mana. Kami tak jauh beda dengan factionless sekarang. Aku tak tahu bagaimana jadinya hidup kami nanti, terpisah dari faksi kami—rasanya seperti putus, seperti selembar daun yang gugur dari batang pohon tempatnya bertahan. Kami adalah makhluk yang kehilangan segalanya; kami meninggalkan semuanya. Aku tak punya rumah, tidak punya jalur hidup, dan tidak punya kepastian. Aku bukan lagi Tris si Tanpa Pamrih atau Tris si Pemberani.


Kurasa sekarang aku harus menjadi yang lebih baik dari kedua hal tersebut.[]



4 comments:

  1. Makasih banget yah udah trjmhin crta ini.keren habis.dlm shari aja aku baca smpai selesai.

    ReplyDelete
  2. Makasih banyak yang udah terjamahinn

    ReplyDelete
  3. Makasiiiiihhhhhhhhhhhh banyaaaaakkkk

    ReplyDelete