The Maze Runner (The Maze Runner #1) (2)

Penulis: James Dashner

2


TANGAN-TANGAN itu tidak berhenti mengerubutinya hingga Thomas berdiri tegak dan menepiskan semua debu dari baju dan celananya. Masih dalam keadaan silau oleh cahaya, anak laki-laki itu agak sempoyongan. Dia sangat penasaran, tetapi masih merasa terlalu lemah untuk melihat sekelilingnya dengan saksama. Anak-anak itu tidak berkata apa pun saat dia menoleh ke sekitarnya, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Saat dia memutar tubuh perlahan, anak-anak yang lain terkekeh dan menatapnya; beberapa anak mengulurkan tangan dan mendorongnya dengan ujung jari. Sedikitnya ada lima puluh anak, pakaian mereka kusam dan basah oleh keringat seolah-olah mereka telah melakukan pekerjaan berat. Melihat beraneka rupa anak dengan besar tubuh dan ras, serta tinggi badan yang berbeda-beda, membuat Thomas tiba-tiba merasa pusing, matanya berganti-ganti menatap setiap anak dan juga tempat aneh dirinya berada kini.

Mereka berdiri di atas tanah lapang, yang luasnya beberapa kali lipat lapangan sepak bola, dikelilingi empat tembok raksasa yang terbuat dari bebatuan kelabu dan diselimuti tanaman menjalar di beberapa bagian. Ketinggian tembok-tembok itu setidaknya mencapai lebih dari seratus meter dan membentuk persegi sempurna di sekeliling mereka, masing-masing sisi terpotong tepat di tengah-tengah membentuk lahan terbuka dengan ketinggian yang sama dengan tembok dan, seperti yang dilihat Thomas, menuju berbagai jalan kecil dan lorong-lorong panjang ke arah luar.

“Lihat Anak-Bawang itu,” terdengar sebuah suara parau; Thomas tak dapat melihat asal suara itu. “Lehernya bakal patah gara-gara celinguka.” Beberapa anak tergelak.

“Tutup mulutmu, Gally,” tegur sebuah suara berat.

Thomas kembali memandang puluhan orang asing yang mengelilinginya. Dia sadar harus berhati-hati—sepertinya dia telah dibius sebelum ini. Seorang anak laki-laki jangkung berambut pirang dengan rahang persegi mengendusnya, wajahnya tanpa ekspresi. Seorang anak bertubuh pendek dan berwajah tembam beringsut gelisah, terbelalak memandang Thomas. Seorang anak berdarah Asia berbadan tegap dan kekar melipat tangannya sambil memandang Thomas penuh penilaian, lengan bajunya yang ketat digulung ke atas menampakkan lengannya yang berotot. Seorang anak berkulit gelap mengerutkan dahi—dia anak yang tadi mengajaknya bicara kali pertama. Sisa anak yang lain hanya menatapnya.

“Di mana aku?” tanya Thomas, terkejut mendengar suaranya sendiri untuk pertama sejak tersadar. Nada suaranya terdengar ganjil—lebih nyaring dari yang dipikirkannya.

“Di tempat yang jauh.” Kali ini anak berkulit gelap yang berbicara. “Santai dan tenang sajalah.”

“Dia akan jadi Pengawas apa?” seseorang berseru dari bagian belakang kerumunan.

“Dengar, Dungu,” sahut sebuah suara melengking. “Dia cuma sampah, jadi dia akan menjadi Pembersih—pasti, deh.” Anak itu terkekeh seolah dia baru saja mengatakan hal paling lucu sepanjang sejarah.

Thomas sekali lagi merasa kecemasannya memuncak—mendengar begitu banyak kata dan istilah yang tak dia mengerti. Anak bawang. Dungu. Pengawas. Pembersih. Semua kata itu meluncur bagitu biasa dari mulut mereka sehingga membuatnya merasa aneh karena tak memahaminya. Seolah kehilangan ingatannya juga merampas sebagian kemapuan berbahasanya—yang tampaknya mengalami kekacauan.

Berbagai emosi berkecamuk dalam pikiran dan perasaan Thomas. Bingung. Penasaran. Panik. Ketakutan. Namun, yang paling dirasakannya adalah kehampaan mendalam akan tiadanya harapan, seakan-akan dunia telah berakhir baginya, dan terhapus dari ingatannya serta digantikan oleh sesuatu yang buruk. Dia ingin lari dan bersembunyi dari anak-anak ini.

Anak bersuara parau berbicara lagi, “—tidak mungkin punya kemampuan sejauh itu, berani taruhan, deh.” Thomas masih tak dapat melihat wajahnya.

“Kubilang tutup mulutmu!” anak berkulit gelap membentak. “Teruslah mengoceh dan aku akan menghajarmu sebelum kau selesai berbicara!”

Dia pasti pemimpin mereka, pikir Thomas. Anak laki-laki itu tak menyukai semua tatapan yang mengarah kepadanya sehingga berusaha memusatkan perhatian pada tempat yang disebut anak tadi sebagai Glade.

Lantai tanah lapang ini sepertinya terbuat dari susunan bongkahan batu raksasa, banyak yang sudah retak-retak dan dipenuhi rumput liar yang tumbuh tinggi serta alang-alang. Sebuah bangunan kayu berbentuk aneh yang sudah lapuk berdiri di dekat salah satu sudut lapangan, tampak sangat mencolok berlatar bebatuan kelabu. Beberapa pohon tumbuh mengelilingi bangunan itu, akar-akarnya mirip tangan-tangan berbonggol yang menggali  masuk ke celah bebatuan mencari makanan. Sudut lain dipenuhi beragam kebun—dari tempatnya berdiri, Thomas melihat tanaman jagung, tomat, dan aneka pohon buah-buahan.

Di seberang lapangan tampak kandang-kandang berdinding kayu yang menampung domba, babi, serta sapi. Sebuah hutan kecil memenuhi sudut yang terakhir, pepohonan yang paling dekat terlihat meranggas dan hampir mati. Langit di atas kepala mereka tak berawan dan berwarna biru, tetapi Thomas tak melihat matahari meskipun hari terlihat cerah. Bayangan tembok-tembok yang berjajar tidak menandakan waktu ataupun arah—saat ini mungkin saja awal pagi atau menjelang sore. Saat dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, beraneka bau menyergap penciumannya. Dari segar menjadi bebauan tanah, pupuk, pohon cemara, hingga sesuatu yang busuk dan manis. Dia pun segera menyadari bahwa itu aroma sebuah ladang.

Thomas kembali memandang para penawannya, merasa canggung, tetapi tak tahan ingin bertanya kepada mereka. Para Penawan, pikirnya. Kemudian, Mengapa kata itu muncul di kepalaku? Dia menatap wajah mereka, mengamati setiap ekspresi dan menilainya. Mata salah seorang anak, nyalang dengan kebencian, menghentikannya. Dia tampak sangat marah. Thomas tidak akan heran jika anak itu menghampirinya dengan sebilah pisau. Dia berambut hitam, dan saat pandangan mereka bertemu, anak laki-laki itu menggelengkan kepala dan berbalik, berjalan menuju sebuah tiang besi berminyak dengan sebuah bangku kayu di sebelahnya. Sebuah bendera dengan perpaduan berbagai warna tergantung lunglai di pucuk tiang, tak ada angin yang dapat menunjukkan motif bendera itu.

Dengan gemetar Thomas menatap punggung anak itu hingga dia berbalik dan duduk. Thomas buru-buru mengalihkan pandangannya.

Tiba-tiba pemimpin kelompok itu—mungkin dia berusia tujuh belas tahun—melangkah maju. Dia mengenakan pakaian sewajarnya: T-shirt hitam, celana jin, sepatu tenis, dan arloji digital. Entah mengapa Thomas merasa terkejut melihat cara berpakaian anak-anak lain; sepertinya semua anak harus mengenakan pakaian yang tampak garang—seperti kostum tahana. Anak berkulit gelap tadi berambut cepak, wajahnya terlihat bersih. Namun, selain tatapan marahnya, dia tak tampak menakutkan sama sekali.

“Ceritanya panjang, Dungu,” kata anak itu. “Kau akan mengetahuinya, sepotong demi sepotong—aku akan membawamu dalam acara Tur besok. Sebelum itu ... tolong jangan buat masalah.” Dia mengulurkan tangan. “Aku Alby.” Dia menunggu, jelas ingin berjabat tangan.

Thomas mengabaikannya. Dia melakukannya karena naluri dan tanpa berkata sepatah kata pun dia berpaling dari Albu dan berjalan ke sebatang pohon di dekat sana, lalu duduk bersandar di batangnya yang kokoh. Rasa panik kembali melandanya, nyaris tak tertahankan. Namun, dia menarik napas dalam-dalam dan memaksa dirinya untuk berusaha menerima keadaan ini. Jalani saja, pikirnya. Kau tidak dapat memecahkan masalah jika menyerah pada rasa takut.

“Kalau begitu, ceritakan kepadaku,” Thomas akhirnya berkata, berusaha terdengar tenang. “Ceritakan kepadaku kisah yang panjang itu.”

Alby memandang sekilas beberapa teman yang berada di dekatnya, memutar bola mata, dan Thomas kembali mengamati kerumunan di sekitarnya. Perkiraannya secara umum tampaknya mendekati—ada sekitar lima puluh hingga enam puluh anak laki-laki, mulai dari usia belasan tahun hingga menjelang remaja seperti Alby, yang sepertinya termasuk salah satu anak tertua. Saat itu, Thomas tiba-tiba menyadari bahwa dia tidak ingat  umurnya sendiri. Jantungnya mencelus memikirkannya—dia begitu kacau sampai-sampai tak mampu mengingat usianya sendiri.

“Aku tidak main-main,” dia berkata, menyerah menunjukkan sikap berani. “Kini aku berada di mana?”

Alby mendekat dan duduk bersila; anak-anak yang lain mengikutinya dan bergerombol di belakangnya. Mereka menjulurkan kepala di sana sini, beringsut berusaha mencari posisi terbaik untuk menonton.

“Jika kau tidak takut,” kata Alby, “berarti kau bukan manusia. Sekali saja kau bertingkah aneh maka aku akan melemparkanmu dari Tebing karena itu berarti kau tak waras.”

“Tebing?” tanya Thomas, wajahnya memucat.

“Sialan.” Alby mengucek matanya. “Jangan memulai percakapan, kau mengerti? Kami tidak membunuh anak-anak baru sepertimu di sini, aku janji. Kau hanya perlu berusaha dan menghindar agar tidak terbunuh, atau bertahan hidup, terserah pilihanmu.”

Dia diam sejenak, dan Thomas menyadari wajahnya semakin pucat mendengar bagian akhir kata-katanya.

“Ya, ampun,” kata Alby, mengusap rambutnya yang cepak dan mendesah panjang. “Aku payah untuk urusan seperti ini—kau adalah Anak-Bawang pertama sejak Nick terbunuh.”

Thomas terbelalak, dan seorang anak maju berpura-pura menepis kepala Alby. “Tunggu sampai acara Tur, Alby,” katanya, suaranya beraksen kuno yang kental. “Anak ini bisa kena serangan jantung, jangan beri tahu tentang apa pun dulu.” Dia agak membungkukkan badan dan mengulurkan tangannya kepada Thomas. “Aku Newt, Anak-Bawang, dan kami senang jika kau memaklumi pemimpin baru kami yang berotak-kacau ini.”

Thomas maju dan menjabat tangan anak laki-laki itu—dia kelihatan lebih menyenangkan daripada Alby. Newt juga bertubuh lebih tinggi daripada Alby, tampak lebih muda sekitar setahun. Rambutnya pirang dan panjang, menjuntai ke atas T-shirt-nya. Urat-urat tampak di balik kulit lengannya yang berotot.

“Diam, Bodoh,” Alby menggeram, mendorong Newt ke samping. “Setidaknya bocah ini mengerti separuh saja perkataanku.” Terdengar tawa di sana sini, dan semua anak berkerumun di sebelah Alby dan Newt, berdesakan ingin mendengar lebih lanjut kata-kata mereka.

Alby mengangkat lengannya dengan telapak yangan membuka. “Tempat ini bernama Glade, kau dengar? Di sinilah kami tinggal, makan, tidur—kami menyebut diri kami Glader. Itu saja yang perlu kau ....”

“Siapa yang mengirimku kemari?” Thomas menyela, rasa takut akhirnya mampu memunculkan kemarahannya. “Bagaimana ....”

Akan tetapi, tangan Alby terulur sebelum Thomas menyelesaikan perkataannya, menyambar baju Thomas sembali berlutut. “Bangun, Bocah Ingusan, bangun!” Alby berdiri, menarik Thomas bersamanya.

Akhirnya, Thomas dapat berdiri, rasa takut kembali menyelimutinya. Punggungnya menghantam batang pohon, dia berusaha melepaskan diri dari Alby, yang berada sangat dekat dengan wajahnya.

“Dilarang memotong kata-kataku, Bocah!” bentak Alby. “Dengar, jika kami memberitahumu segalanya sekarang, kau akan mati di tempat saat ini juga, setelah dibungkus celanamu sendiri. Seorang Pemungut akan menyeretmu, dan kau tak ada gunanya lagi bagi kami, mengerti?”

“Aku tak mengerti apa yang kau katakan,” kata Thomas perlahan, terjejut mendengar ketenangann dalam suaranya sendiri.

Newt maju dan menepuk pundak Alby. “Alby, tenang sedikit. Kau cuma buat dia takut ketimbang menolongnya.”

Alby melepas cengkeramannya pada baju Thomas dan mundur, napasnya terengah-engah. “Tak ada waktu untuk senang-senang. Anak-Bawang. Hidupmu yang lama sudah berakhir, hidup yang baru akan dimulai. Pelajari semua aturan dengan cepat, dengarkan dan jangan banyak bicara. Kau mengerti?”

Thomas menatap Newt, mengharapkan pertolongannya. Perasaannya berkecamuk dan menyakitkan; air mata yang sebentar lagi keluar membuat matanya memanas.

Newt mengangguk, “Anak-Bawang, kau mengerti kata-katanya, kan?” Dia mengangguk lagi.

Thomas merasa kemarahannya timbul, dan ingin memukul seseorang. Namun, dia hanya berkata, “Ya.”

“Bagus,” sahut Alby. “Hari Pertama. Itu nama hari ini untukmu, Bocah. Malam hampir tiba. Sebentar lagi Para Pelari akan kembali. Kotak datang terlambat hari ini, tidak ada waktu untuk Tur. Besok pagi saja, setelah semua bangun.” Dia menoleh kepada Newt. “Beri dia kantong tidur, biar dia beristirahat.”

“Baik,” ujar Newt.

Alby kembali menatap Thomas, menyipitkan mata. “Beberapa minggu lagi, kau bakal senang, Bocah. Kau akan gembira dan amat membantu. Tidak ada seorang pun yang kami kenal pada Hari Pertama, kau juga. Hidup baru dimulai sejak besok.”

Alby berbalik dan menerobos kerumunan, kemudian berjalan menuju bangunan kayu miring di sudut lapangan. Sebagian besar anak menyingkir, terus memandanginya sebelum akhirnya menapak mundur.

Thomas bersedekap, memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Kehampaan yang memenuhi dirinya, segera tergantikan oleh rasa gelisah yang mencemaskannya. Ini keterlaluan—di manakah dia berada? Tempat apa ini? Apakah ini semacam penjara? Jika ya, kenapa dia dikirim ke tempat ini, dan untuk berapa lama? Bahasa yang digunakan di sini sungguh aneh, dan tidak seorang anak laki-laki pun yang sepertinya peduli dia hidup atau mati. Matanya kembali memanas, tetapi dia menahannya agar tidak tumpah.

“Apa yang telah kulakukan?” dia berbisik, tak tahu ditujukan kepada siapa. “Apa yang telah kulakukan—kenapa mereka mengirimku ke tempat ini?”

Newt menepuk pundaknya. “Anak-Bawang, kami pernah merasakan apa yang kau rasakan sekarang. Kami semua sudah mengalami Hari Pertama, keluar dari kotak gelap itu. Rasanya segalanya buruk, memang, dan akan memburuk bagimu tak lama lagi, sejujurnya. Tapi, saat menjalaninya sedikit demi sedikit, kau akan bisa mengatasinya dengan baik dan benar. Aku yakin kau bukan anak cengeng.”

“Apakah ini penjara?” tanya Thomas; dia berusaha menggali kegelapan pikirannya, mencoba menemukan kepingan ingatan masa lalunya.

“Pertanyaanmu belum selesai juga rupanya, ya?” sahut Newt. “Tidak ada jawaban yang cukup bagus untukmu, belum. Sebaiknya, kau sekarang diam, terima saja keadaan ini—sampai besok pagi.”

Thomas tak mengatakan apa-apa lagi, kepalanya penat, matanya menatap tanah yang retak-retak dan berbatu. Sebuah jalur rumput berdaun kecil membujur di sepanjang tepi salah satu bagian berbatu, bunga-bunga kuning kecil menyembul di beberapa bagian seolah mencari sinar matahari, setelah lama tersembunyi di balik tembok-tembok raksasa Glade.

“Chuck kayaknya cocok buatmu,” kata Newt. “Agak gendut, sih, tapi lumayan patuh. Tunggu di sini, aku akan segera kembali.”

Newt hampir menyelesaikan perkataannya ketika tiba-tiba sebuah teriakan terdengar di udara.

Suara melengking yang nyaris tak seperti manusia itu bergema di lapangan berbatu; semua anak menoleh ke arah sumber suara. Thomas merasa darahnya membeku saat menyadari suara mengerikan itu berasal dari bangunan kayu itu.

Bahkan, Newt berjengit seolah terkejut, mengernyitkan dahi.

“Sialan,” katanya. “Tak bisakah kelompok Anak-medis menangani dia sepuluh menit saja tanpa perlu bantuanku?” Dia menggelengkan kepala dan menendang pelan kaki Thomas. “Cari Chuckie, bilang kepadanya bahwa dia bertanggung jawab untuk mengatur perlengkapan tidurmu.” Kemudian, dia berbalik dan berlari menuju bangunan itu.

Thomas menyandarkan punggungnya dengan keras ke permukaan batang pohon, lalu merosot hingga terduduk kembali ke atas tanah. Dia bersandar dan memejamkan mata, berharap akan terbangun dari mimpi yang sangat menyeramkan ini.[]



No comments:

Post a Comment