Penulis: Suzanne Collins
Bab 12
AKU bersyukur telah berpikir untuk mengikat tubuhku dengan
ikat pinggang. Tubuhku terguling ke samping hingga menghadap tanah, tertahan di
dahan pohon berkat ikat pinggangku, berpegangan dengan satu tangan, kakiku
menjepit tas ransel di dalam kantong tidur dan menjejakkannya di dahan pohon.
Pasti ada suara berisik saat aku terguling, tapi para Peserta Karier itu
terlalu sibuk bertengkar untuk bisa mendengarnya.
"Pergi sana, Lover boy," kata anak lelaki dari
Distrik 2. "Pastikan saja sendiri."
Dengan bantuan cahaya obor, aku sempat melihat Peeta, yang
berjalan menuju tempat gadis yang tadi menyalakan api. Wajah Peeta bengkak
karena memar-memar, ada perban penuh darah di salah satu lengannya, dan
terdengar dari suara langkah kakinya dia berjalan pincang. Aku ingat dia
menggeleng, memberiku kode agar tidak bertarung merebut barang-barang
persediaan. Padahal selama itu dia sudah berencana untuk melemparkan dirinya ke
gunungan barang-barang di Cornucopia. Kebalikan dari apa yang diperintahkan
Haymitch padanya.
Oke, aku masih bisa menerimanya. Melihat begitu banyak barang
persediaan memang menggoda. Tapi ini... ini hal yang berbeda. Bergabung dengan
kawanan Karier untuk memburu kami. Tak ada seorang pun dari Distrik 12 yang
berpikir untuk melakukan hal semacam itu. Para Peserta Karier biasanya sangat
kejam, sombong, mendapat lebih banyak makanan, tapi itu semua karena mereka
anjing peliharaan Capitol. Secara umum, mereka dibenci semua orang kecuali dari
distrik mereka sendiri.
Aku bisa membayangkan omongan di distrikku tentang Peeta
sekarang. Dan Peeta berani bicara padaku tentang rasa malu? Jelas, anak lelaki
yang mulia di atap itu hanyalah salah satu permainannya padaku. Tapi ini akan
jadi permainan terakhirnya. Dengan penuh harap aku akan memandangi langit malam
untuk melihat tanda-tanda kematiannya, kalau aku tidak membunuhnya sendiri
lebih dulu.
Para Peserta Karier diam sampai Peeta berada di luar jangkauan
pendengaran, lalu mereka berbicara dengan suara pelan.
"Kenapa kita tidak membunuhnya sekarang dan mengakhiri
semua ini?"
"Biarkan dia ikut. Apa ruginya? Dan dia jago memakai
pisau."
Benarkah? Wah, ini berita baru. Banyak hal menarik yang
kupelajari tentang Peeta hari ini.
"Lagi pula, dia kesempatan terbaik kita untuk
menemukannya."
Butuh waktu sesaat sebelum aku paham bahwa "nya"
yang dimaksud mereka adalah aku.
"Kenapa? Menurutmu gadis itu percaya gombalan cinta cengengnya?"
"Mungkin saja. Menurutku gadis itu tampak bodoh. Setiap
kali aku mengingatnya berputar dengan gaun itu, rasanya aku ingin muntah."
"Seandainya kita tahu bagaimana dia bisa mendapat nilai
sebelas."
"Pasti si Lover Boy tahu."
Suara langkah Peeta yang kembali membuat mereka diam.
"Dia sudah mati?" tanya anak lelaki dari Distrik 2.
"Tadinya belum. Tapi sekarang sudah," jawab Peeta.
Tepat pada saat itu, meriam berbunyi. "Siap lanjut lagi?"
Kawanan Karier itu berlari tepat ketika fajar mulai
menyingsing, dan kicauan burung mengisi udara. Aku tetap berada dalam posisiku
yang aneh, otot-ototku terpaksa bekerja lebih lama lagi, lalu aku mengangkat
tubuhku kembali ke atas dahan pohon. Aku perlu turun, lalu melanjutkan
perjalanan, tapi selama beberapa saat berbaring di sana, mencerna semua yang
telah kudengar. Peeta bukan hanya bersama peserta Karier, dia juga membantu
mereka menemukanku. Gadis bodoh yang harus dianggap serius karena nilai
sebelasnya. Karena dia bisa menggunakan busur dan panah. Dan Peeta yang paling
tahu semua itu.
Tapi dia belum memberi tahu mereka. Apakah dia sengaja
menyimpan informasi itu karena dia tahu hanya informasi itulah yang membuatnya
tetap hidup? Apakah dia masih berpura-pura mencintaiku di hadapan penonton? Apa
yang ada dalam benak Peeta?
Tiba-tiba burung berhenti berkicau. Lalu ada seekor burung
yang memekikkan peringatan bernada tinggi. Hanya satu not. Nada yang sama
seperti yang didengar olehku dan Gale ketika gadis Avox berambut merah itu
tertangkap. Di atas bekas api unggun itu muncul pesawat ringan. Dari pesawat
itu turun jepitan logam raksasa. Perlahan-lahan, gadis yang tewas itu dijepit
dan diangkat ke dalam pesawat. Kemudian pesawat itu lenyap. Burung-burung
kembali berkicau.
"Ayo bergerak," aku berbisik pada diriku sendiri.
Kugerak-gerakkan tubuhku keluar dari kantong tidur, yang kemudian kulipat rapi
dan kusimpan di dalam ransel. Aku mengambil napas dalam-dalam. Saat aku
tersembunyi dalam kegelapan, terbungkus kantong tidur di antara canag-cabang
pohon willow, mungkin kamera sulit mengambil gambarku. Aku tahu mereka melacak
jejakku.
Pada saat aku menjejakkan kakiku ke tanah, aku berani jamin
kamera akan menyorot wajahku dari jarak dekat. Penonton akan menyadari sendiri,
melihat aku berada di atas pohon, tidak sengaja mendengar percakapan para
Karier, dan aku mengetahui Peeta bersama mereka. Sampai aku tahu bagaimana
strategiku menghadapi semua itu, lebih baik aku bersikap seolah-olah bisa mengatasi
semuanya. Tidak tampak hilang akal. Jelas tidak bingung atau ketakutan. Aku
harus kelihatan selangkah di depan permainan ini. Jadi aku melangkah keluar
dari rimbunnya dedaunan menuju cahaya fajar. Aku berhenti sedetik, memberikan
waktu pada kamera untuk menyorotiku. Kemudian aku mengangkat kepalaku sedikit
kesamping lalu tersenyum penuh arti. Nah Biarkan mereka memikirkan sendiri
artinya.
***
Aku hendak pergi ketika aku teringat pada jerat-jerat yang
kupasang. Mungkin aku kurang bijaksana jika memasang jerat sementara peserta
lain berada tidak jauh dariku. Tapi aku harus melakukannya. Mungkin akibat
bertahun-tahun berburu, pikirku. Dan iming-iming kemungkinan mendapat daging.
Aku berhasil menjerat seekor kelinci gemuk. Dalam waktu singkat aku sudah
menguliti dan membersihkan binatang itu, meninggalkan kepala, kaki, ekor, kulit
dan jeroan di bawah tumpukan dedaunan.
Aku berharap mendapat api karena makan kelinci mentah bisa
menyebabkan demam, itu pelajaran yang kudapat dengan cara menyakitkan. Mendadak
aku teringat pada peserta yang tewas itu. Aku bergegas berlari ke kemahnya.
Apinya nyaris padam masih menyisakan bara. Kubelek daging kelinci itu, kuambil
ranting pohon, dan kupanggang di atas bara.
Aku bersyukur kalau ada kamera sekarang. Aku ingin para
sponsor melihat aku bisa berburu, dan aku jadi taruhan yang bagus karena tidak
seperti yang lain aku tidak mudah masuk perangkap karena kelaparan. Sementara
kelinci masak, aku meremukkan arang dari ranting yang terbakar dan menutupi
warna ransel oranyeku dengan arang itu. Warna hitamnya membuat ranselku tidak
terlalu norak lagi, tapi menurutku lumpur akan lebih membantu membuatnya lebih
samar. Tentu saja, untuk punya lumpur, aku perlu air....
Kusandang tas ranselku, kuambil kayu dengan panggangan daging
kelinci, dan kusepakkan tanah ke atas bara. Lalu aku berjalan ke arah yang
berlawanan dengan arah yang diambil peserta Karier. Kumakan setengah daging
kelinci sembari berjalan, lalu kubungkus sisanya dengan plastik untuk kumakan
nanti. Daging itu membuat perutku tidak keroncongan lagi tapi tidak membantu
menghilangkan hausku. Prioritas utamaku saat ini adalah air.
***
Seraya terus berjalan, aku merasa yakin wajahku menguasai
layar Capitol, jadi dengan hati-hati aku terus menyembunyikan perasaanku. Pasti
Cladius Templesmith sedang menikmati obrolan dengan para komentator tamu,
membahas tingkah laku Peeta, dan membandingkannya dengan reaksiku. Apa artinya
semua itu? Apakah Peeta sudah menunjukkan sifat aslinya? Bagaimana hal ini
memengaruhi pasar taruhan? Apakah kami akan kehilangan sponsor? Apakah kami
mendapat sponsor? Ya, aku yakin kami dapat, atau paling tidak pernah dapat.
Jelas Peeta telah memilin kisah dalam dinamika kisah asmara
kami yang bernasib malang. Benarkah begitu? Mungkin saja, karena dia tidak
pernah bicara banyak tentang diriku, kami masih bisa memperoleh keuntungan dari
itu. Mungkin penonton akan berpikir ini adalah sesuatu yang kami rencanakan
jika aku tampak geli sekarang.
Matahari sudah bersinar di langit, sinarnya begitu terang
meskipun aku terlindung di bawah kanopi pepohonan. Kubalur bibirku dengan lemak
dari kelinci dan berusaha untuk tidak terengah-engah, tapi tak ada gunanya.
Baru lewat satu hari dan aku mengalami dehidrasi parah. Aku berusaha dan
memikirkan segala yang kuketahui untuk menemukan air. Air mengalir ke bawah,
jadi terus turun menyusuri lembah ini bukanlah ide yang buruk. Jika saja aku
bisa menemukan jejak binatang buruan atau tanaman semak-semak hijau, pasti akan
amat membantu. Tapi segalanya tampak tak berubah. Tanah menanjak dan turun
sedikit, burung-burung terbang, pepohonan yang sama.
Seiring hari berlalu, aku tahu aku menghadapi masalah. Air
kencingku sudah berwarna cokelat gelap, kepalaku sakit, dan ada bagian kering
di lidahku yang sudah kehilangan kelembapannya. Matahari menyakiti mataku, maka
kuambil kacamata hitamku dari ransel, tapi saat kupakai kacamata itu membuat
penglihatanku jadi aneh, akhirnya kusimpan lagi kacamata itu di dalam ransel.
Siang sudah menjelang sore ketika kupikir aku menemukan
pertolongan. Aku menemukan semak-semak buah berry dan bergegas mencomoti
buahnya, agar bisa mengisap cairan manis dari kulitnya. Tapi saat buah itu
mendekati bibirku, aku memperhatikannya baik-baik. Tadinya kupikir aku
menemukan blueberry tapi ternyata bentuknya berbeda, dan saat kubelah buah itu
bagian dalamnya tampak merah darah. Aku tidak mengenali buah berry ini, mungkin
saja buah ini bisa dimakan, tapi kutebak buah ini adalah trik jahat dari juri.
Bahkan instruktur tanaman di Pusat Latihan telah menjelaskan dengan gamblang
agar kami tidak makan buah berry kecuali 100% yakin buah itu tidak beracun. Aku
sudah tahu itu, tapi aku sangat haus sampai-sampai aku perlu mengingat
peringatan dari instruktur itu agar punya kekuatan untuk membuang buah itu
jauh-jauh.
Kelelahan mulai menderaku, tapi ini bukan rasa lelah biasa
yang biasanya kualami setelah melakukan perjalanan panjang. Aku harus
sering-sering berhenti dan beristirahat, meskipun aku tahu satu-satunya obat
untuk menyembuhkanku mengharuskanku untuk terus melakukan pencarian. Aku
mencoba taktik barumemanjat pohon setinggi yang mungkin kulakukan dalam kondisiku
yang lemah ini-untuk mencari tanda-tanda air. Tapi sejauh mata memandang ke
arah mana pun, aku hanya melihat hutan tanpa akhir.
Aku bertekad terus berjalan sampai malam tiba, hingga aku
jatuh dan tak sanggup lagi berjalan. Dalam keadaan terkuras habis, aku memanjat
pohon dan mengikat diriku di dahan pohon. Aku tidak nafsu makan, tapi aku
menyedot tulang kelinci agar mulutku punya kegiatan.
***
Malam tiba, lagu kebangsaan dilantunkan, dan di angkasa aku
melihat foto gadis yang ternyata berasal dari Distrik 8. Gadis yang dihabisi
Peeta. Ketakutanku terhadap kawanan Karier tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan rasa haus yang membakarku. Selain itu, mereka berjalan menuju arah yang
berlawanan denganku, dan pada saat ini mereka pasti sudah beristirahat. Dengan
kelangkaan air, mereka mungkin harus kembali ke danau untuk mengisi air.
Mungkin itu satu-satunya jalan untukku juga.
Pagi hari membawa masalah. Kepalaku berdenyut seirama dengan
denyut jantungku. Gerakan sederhana pun membuat sendi-sendiku ngilu. Bukannya
turun dengan lompatan anggun, aku malah jatuh dari pohon. Aku perlu waktu
beberapa menit untuk membereskan perlengkapanku. Dalam hatiku aku tahu ada
sesuatu yang salah. Seharusnya aku bersikap lebih waspada, bergerak lebih
gegas. Tapi otakku berkabut dan tak mampu menyusun rencana. Aku bersandar pada
batang pohon, satu jariku mengelus lidahku yang permukaannya kini sekasar
ampelas sambil memikirkan pilihan-pilihan yang kumiliki. Bagaimana caranya aku
mendapatkan air?
Kembali ke danau? Bukan pilihan yang bagus. Aku mungkin takkan
berhasil sampai ke sana. Berharap turun hujan? Tidak ada awan di langit. Terus
mencari. Ya, ini satu-satunya kesempatanku. Tapi kemudian, pikiran lain
menghantamku, dan gelombang kemarahan yang mengiringi pikiranku membuatku
tersadar.
Haymitch Dia bisa mengirimiku air Pencet tombol dan air akan
dikirimkan padaku dengan parasut perak hanya dalam beberapa menit. Aku tahu aku
pasti punya sponsor, paling tidak satu atau dua yang sanggup memberiku sebotol
air. Ya, memang mahal biaya untuk menjadi sponsor, tapi orang-orang ini kaya
raya. Dan mereka juga bertaruh atas diriku. Mungkin Haymitch tidak menyadari
betapa besarnya kebutuhanku atas air.
Dengan suara selantang mungkin aku berteriak. "Air."
Aku menunggu penuh harap agar ada parasut yang turun dari
langit. Tapi tak ada apa-apa yang jatuh.
Ada sesuatu yang salah. Apakah aku hanya berkhayal punya
sponsor? Atau apakah sikap Peeta membuat mereka menahan diri menjadi sponsorku?
Tidak, aku tidak percaya. Ada seseorang di luar sana yang ingin membelikanku
air tetapi Haymitch menolak mengizinkannya. Sebagai mentorku, dia bisa
mengontrol hadiah yang diberikan sponsor. Aku tahu dia membenciku. Dia sudah
menyatakannya dengan jelas. Tapi apakah dia membenciku hingga tega melihatku
mati? Karena kehausan?
Haymitch bisa saja melakukannya. Jika seorang mentor tidak
memperlakukan peserta-peserta yang jadi tanggungannya dengan baik, penduduk
Distrik 12 akan menuntut tanggung jawabnya. Aku yakin Haymitch tidak mau
mengambil risiko sebesar itu. Terserah apa kata mereka tentang para pedagang di
pasar gelap Hob, tapi aku yakin mereka tak bakal mau menerima Haymitch kembali
jika membiarkanku mati dengan cara seperti ini. Dan kalau begitu, di mana lagi
dia bisa membeli minuman keras? Jadi... bagaimana? Apakah dia sedang berusaha
membuatku menderita karena aku melawannya? Apakah dia terlalu mabuk untuk
memperhatikan apa yang sedang terjadi di Hunger Games ini?
Tapi entah bagaimana aku tidak percaya itu dan aku juga tidak
percaya dia sengaja ingin membuatku tewas dengan cara ini. Sesungguhnya, dia
punya cara sendiri-yang tidak menyenangkan—yang dengan sungguh-sungguh berusaha
menyiapkan diriku untuk semua ini. Jadi apa yang terjadi di sini?
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Tidak ada ruginya
menangis sekarang, tapi demi menyelamatkan hidupku pun air mataku tidak bisa
keluar. Apa yang sedang dilakukan Haymitch? Meskipun aku marah, kesal, dan
curiga, ada suara kecil di benakku yang membisikkan jawaban.
Mungkin dia sedang mengirimimu pesan, bisiknya. Pesan. Apa isi
pesannya? Lalu aku tahu. Hanya ada satu alasan baik kenapa Haymitch menahan air
dariku. Karena dia tahu aku hampir menemukannya. Kukatupkan gigiku rapat-rapat
dan kupaksa untuk berdiri. Berat tas ranselku seakan bertambah tiga kali lipat.
Kutemukan patahan cabang pohon yang bisa kugunakan untuk membantuku berjalan
dan mulai melangkah.
Matahari bersinar keji, lebih terik dibanding dua hari
pertama. Aku merasa seperti potongan kulit tua, kering dan retak-retak di bawah
panas. Setiap langkah yang kuambil butuh usaha keras, tapi aku tidak mau
berhenti. Aku tidak mau duduk. Jika aku duduk, kemungkinan besar aku tidak bisa
bangun lagi, dan aku tidak bakal ingat apa tugasku.
Aku jadi sasaran yang mudah. Semua peserta, bahkan Rue yang
mungil, bisa mengalahkanku sekarang, tinggal dorongan saja aku jatuh ke tanah
dan tikam aku dengan pisauku sendiri, dan aku tidak punya kekuatan untuk
melawannya. Tapi jika hutan ini melindungiku, mereka akan mengabaikanku.
Sejujurnya, aku merasa terpisah jauh jutaan kilometer dari mahkluk hidup lain.
Tapi aku tidak sendirian. Tentu tidak, karena mereka pasti
punya kamera yang bisa menelusuri jejak keberadaanku. Kuingat-ingat lagi
bagaimana selama bertahuntahun aku menonton peserta-peserta tewas karena
kelaparan, kedinginan, perdarahan, dan kekurangan cairan. Jika tidak ada
pertarungan yang lebih seru di tempat lain, aku pastilah jadi tontonan utama di
layar televisi.
Pikiranku tertuju pada Prim. Kemungkinan besar dia takkan bisa
menontonku secara langsung di televisi, tapi mereka menampilkan laporan terbaru
pada jam makan siang di sekolah. Demi dirinya, aku berusaha tampil setegar
mungkin.
Tapi pada siang hari, aku tahu hidupku bakal berakhir sebentar
lagi. Kakiku gemetar dan jantungku berdebar tidak beraturan. Berkali-kali aku
tidak sadar pada apa yang kulakukan. Aku terjatuh lebih dari sekali tapi
berhasil berdiri lagi, tapi ketika tongkatku lepas, aku akhirnya terjatuh ke
tanah dan tak sanggup bangkit.
Kubiarkan mataku terpejam.
Aku salah menilai Haymitch. Ternyata dia tidak berniat
membantuku sama sekali. Tidak apa-apa, pikirku. Tidak terlalu buruk kok. Udara
tidak sepanas sebelumnya, menunjukkan sore hari menjelang. Ada aroma manis dan
samar yang mengingatkanku pada bunga bakung. Jemariku mengelus tanah yang
lembut, dengan mudah menyelusup ke dalamnya. Ini tempat yang lumayan untuk
mati.
Ujung-ujung jemariku membuat pola-pola berputar di tanah yang
sejuk dan licin. Aku suka lumpur, pikirku. Entah sudah berapa kali aku berhasil
melacak jejak binatang buruanku dengan bantuan lumpur yang lembut dan meninggalkan
jejak ini. Lumpur juga bagus untuk mengobati sengatan lebah. Lumpur. Lumpur.
Lumpur. Lumpur. Mataku membelalak terbuka dan jemariku langsung menggali tanah.
Ini memang lumpur. Hidungku membaui udara. Dan yang kucium memang aroma bunga
bakung. Kolam bunga bakung.
Aku merangkak sekarang di atas lumpur, memaksa tubuhku untuk
terus bergerak menuju aroma bunga. Lima meter dari tempatku terjatuh, aku
merangkak di antara belitan tanaman menuju kolam. Mengambang di atas air,
bunga-bunga warna kuning yang bermekaran, bunga-bunga bakung yang cantik.
Aku harus menahan diri untuk tidak mencemplungkan wajahku ke
air dan menelan air sebanyak yang sanggup kutelan. Masih ada akal sehatku yang
tersisa. Dengan tangan gemetar, kukeluarkan botolku dan segera kuisi dengan
air. Kuteteskan iodine dengan jumlah yang kuingat untuk membersihkannya dari
kuman.
Penantian selama tiga puluh menit terasa sangat menyiksa, tapi
aku harus melakukannya. Setidaknya, kupikir aku menunggu selama setengah jam,
tapi lebih tepatnya aku menunggu sesanggup yang bisa kutahan.
Tenang, pelan-pelan, kataku dalam hati. Kuteguk air itu sekali
dan menunggu. Lalu sekali lagi. Selama dua jam kemudian, aku minum setengah
botol air. Lalu kuhabiskan juga setengahnya lagi. Aku menyiapkan sebotol air
lagi sebelum beristirahat di pohon. Di sana aku masih terus minum, makan daging
kelinci, dan menikmati biskuitku yang berharga. Tidak ada wajah-wajah di
angkasa malam ini.
Besok aku akan tetap berada di sini, beristirahat, membuat
kamuflase dari lumpur untuk ranselku, menangkap ikan kecil di kolam yang
kulihat saat minum tadi, menggali akar di kolam bakung untuk meracik makanan
lezat. Aku bergelung dalam kantong tidurku, berpegangan pada botol airku seakan
hidupku bergantung padanya, dan memang itulah kenyataannya.
Beberapa jam kemudian, langkah-langkah kaki membuatku
terbangun. Aku memandang sekelilingku dengan bingung. Matahari belum terbit,
tapi mataku yang silau bisa melihat jelas.
min novel hunger games 2 dong...
ReplyDelete