Penulis: Suzanne Collins
Bab 8
Ketika berjalan menuju elevator, kugantungkan busurku di bahu
dan tempat anak panah di bahu satunya. Aku melewati para Avox penjaga elevator
yang ternganga dan menekan tombol dua belas dengan tinjuku. Kedua pintu
elevator menutup bersamaan dan aku melesat ke atas. Aku berhasil kembali ke lantaiku
sebelum air mata mengalir deras di pipiku. Aku bisa mendengar orang-orang
memanggilku dari ruang tamu, tapi aku langsung melesat menuju koridor ke
kamarku, mengunci pintunya, dan membanting tubuhku ke kasur. Kemudian di
sanalah aku mulai terisak-isak.
Aku sudah melakukannya Aku pasti sudah menghancurkan segalanya
sekarang. Seandainya tadi aku punya setitik kesempatan, kesempatan itu lenyap
sudah ketika aku mengirimkan anak panah ke meja para juri Hunger Games. Apa
yang akan mereka lakukan terhadapku sekarang? Menangkapku? Mengeksekusiku?
Memotong lidahku dan membuatku jadi kaum Avox sehingga aku bisa melayani para
peserta Hunger Games Panem di masa yang akan datang? Apa yang kupikirkan tadi
sampai aku nekat menembakkan panah ke para juri? Tentu saja, secara teknis aku
tidak memanah mereka, sasaran tembakku adalah apel di mulut babi panggang sebab
aku terlalu marah karena diabaikan. Aku tidak bermaksud membunuh salah seorang
dari mereka. Kalau itu niatku mereka pasti sudah tewas Lagi pula apa bedanya? Aku
juga tidak bakal memenangkan Hunger Games nanti.
Aku tak peduli pada apa yang bakal mereka lakukan terhadapku.
Yang paling kutakutkan adalah apa yang bisa mereka lakukan pada ibuku dan Prim,
mungkin saja keluargaku bakal menderita karena perbuatan nekatku yang tak pikir
panjang. Apakah mereka akan merampas harta milik ibuku dan Prim yang tak
seberapa, atau memenjarakan ibuku lalu menaruh Prim di panti asuhan, atau
bahkan membunuh mereka? Mereka takkan membunuh ibuku dan Prim, kan? Ah, kenapa
tidak? Kenapa pula mereka harus peduli pada nyawa keluargaku?
Seharusnya aku tetap tinggal dan minta maaf. Atau tertawa
seakan-akan yang kulakukan hanyalah lelucon konyol. Mungkin dengan begitu
hukumanku akan lebih ringan. Tapi aku malahan berjalan keluar ruangan begitu
saja dengan cara amat tidak sopan.
Haymitch dan Effie menggedor-gedor pintuku. Aku berteriak
mengusir mereka pergi dan pada akhirnya mereka pun menyerah. Selama sekitar
satu jam aku menangis habis-habisan. Kemudian aku bergelung di ranjang,
mengelus seprai sutra yang lembut, melihat matahari terbenam di Capitol yang
penuh warna buatan.
Awalnya, aku mengira para penjaga akan datang menangkapku.
Tapi seiring waktu berlalu, kemungkinan itu tidak terjadi. Aku jadi tenang.
Mereka masih membutuhkan anak perempuan dari Distrik 12, kan? Kalau para juri
Pertarungan ingin menghukumku, mereka bisa melakukannya di depan umum. Tunggu
sampai aku berada di arena dan umpankan aku pada binatang buas yang kelaparan.
Aku yakin mereka akan memastikan aku tidak mendapat busur dan panah untuk bisa
membela diri.
Namun sebelum itu, mereka akan memberiku nilai sangat rendah,
sehingga tak ada seorang pun yang waras pikirannya yang mau menjadi sponsorku.
Itulah yang akan terjadi malam ini. Karena latihan tertutup bagi penonton, para
juri Pertarungan mengumumkan nilai bagi masing-masing pemain. Nilai ini
memberikan perkiraan awal untuk memasang taruhan yang berlangsung sepanjang
Hunger Games.
Nilainya berkisar antara satu sampai dua belas, angka satu
artinya amat buruk sekali dan dua belas berarti nilai tertinggi sempurna. Nilai
menunjukkan kepiawaian yang dimiliki peserta Hunger Games. Angka itu tidak
menjamin peserta mana yang akan menjadi pemenangnya. Angka itu hanya menjadi petunjuk
atas potensi peserta yang ditunjukkan dalam latihan. Sering kali, karena
berbagai variabel dalam arena pertarungan yang sesungguhnya, para peserta yang
memperoleh nilai tinggi malah jadi peserta yang lebih dulu tewas.
Dan beberapa tahun lalu, anak lelaki yang memenangkan
Pertarungan hanya memperoleh angka tiga. Namun nilai ini bisa menolong atau
merugikan masing-masing peserta dalam memperoleh sponsor. Tadinya aku berharap
bisa memperoleh nilai enam atau tujuh berkat kemampuan memanahku, bahkan
seandainya aku tidak menunjukkan kekuatan terbaikku. Kini aku yakin aku akan
mendapatkan nilai terendah dari dua puluh empat peserta. Kalau tak ada yang mau
menjadi sponsorku, kemungkinanku untuk bisa bertahan hidup turun hingga nyaris
nol.
Ketika Effie mengetuk pintu memanggilku untuk makan malam,
kuputuskan untuk mengikutinya. Nilai-nilai itu akan di tampilkan di televisi
malam ini. Lagi pula aku tak bakal bisa menyembunyikan apa yang terjadi
selamanya. Aku beranjak ke kamar mandi dan mencuci muka, tapi wajahku masih
merah dan sembap.
Semua orang sudah menunggu di meja makan, bahkan Cinna dan
Portia ada di sana. Tadinya aku berharap para penata gayaku tidak ada di sana
karena berbagai alasan, salah satunya aku tidak menyukai pemikiran bahwa aku
mengecewakan mereka. Seakan-akan aku membuang kerja keras yang mereka lakukan
dalam upacara begitu saja. Aku menghindari tatapan semua orang ketika lidahku
mencicipi sesendok sup ikan. Rasa asin yang kurasakan mengingatkanku pada rasa
air mata.
Orang-orang dewasa mulai mengobrol ringan tentang ramalan
cuaca, dan mataku bertemu dengan mata Peeta. Dia mengangkat alis. Ternyata
pertanyaannya di sana. Apa yang terjadi? Aku hanya menggeleng pelan. Kemudian
ketika para pelayan menyajikan hidangan utama, kudengar Haymitch berkata,
"Oke, cukup basa-basinya, seburuk apakah kau hari ini?"
Peeta menjawab lebih dulu. "Aku tidak tahu apakah mereka
memperhatikannya. Saat aku tiba, tak ada seorang pun yang peduli melihatku.
Mereka sedang asyik bernyanyi, lagunya orang mabuk, kalau tidak salah. Jadi,
aku melemparkan benda-benda berat sampai mereka bilang aku boleh pergi."
Pernyataan Peeta membuatku sedikit lebih baik. Memang Peeta
tidak menyerang para juri, tapi paling tidak Peeta juga merasa tersinggung.
"Dan kau, bagaimana denganmu, Manis?" tanya
Haymitch.
Entah bagaimana cara Haymitch menyebutku manis membuatku panas
lagi sehingga aku langsung bisa bicara. "Aku menembakkan panah ke juri-juri
Hunger Games."
Semua orang langsung berhenti makan.
"Kau apa?" Kengerian dalam suara Effie menegaskan
kecurigaan-kecurigaanku yang terburuk.
"Aku menembakkan panah ke mereka. Maksudku, tidak
langsung kepada mereka. Cuma ke arah mereka. Seperti kata Peeta, aku
menembakkan panah dan mereka tidak peduli sehingga aku... aku tidak berpikir
lagi, jadi aku menembakkan panah ke apel hingga lepas dari mulut babi panggang
tolol itu" sahutku dengan sikap menantang.
"Lalu mereka bilang apa?" tanya Cinna hati-hati.
"Tidak ada. Aku tidak tahu. Aku berjalan keluar setelah
itu," jawabku.
"Tanpa disuruh?" tanya Effie terkesiap.
"Aku menyuruh diriku sendiri," kataku. Aku ingat
bagaimana aku berjanji pada Prim bahwa aku akan berusaha keras untuk menang dan
saat ini aku merasa ada satu ton batu bara yang dijatuhkan di atas kepalaku.
"Well, semua sudah terjadi," kata Haymitch. Kemudian
dia mengolesi rotinya dengan mentega.
"Apakah mereka akan menangkapku?" tanyaku.
"Kurasa tidak. Akan sulit mencari pengganti dalam tahap
ini," kata Haymitch. "Bagaimana dengan keluargaku?" tanyaku.
"Apakah mereka akan dihukum?"
"Kurasa tidak. Itu tidak masuk akal. Begini ya, mereka
harus mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di Pusat Latihan agar semua
penduduk bisa merasakan manfaat hukuman itu. Orang-orang pasti ingin tahu apa
yang telah kaulakukan. Tapi mereka tidak bisa mengetahuinya karena apa yang
terjadi di sana itu rahasia, jadi semuanya hanyalah usaha yang sia-sia," kata
Haymitch. "Kemungkinan yang lebih mungkin adalah mereka akan membuatmu
setengah mati di arena nanti."
"Yah, tanpa itu pun mereka sudah berjanji untuk membuat
kami setengah mati di sana," kata Peeta.
"Betul sekali," kata Haymitch.
Dan aku menyadari sesuatu yang tak mungkin telah terjadi.
Semua orang di meja makan memujiku. Haymitch mencomot potongan daging dengan
jarinya, sehingga membuat Effie mengernyit, lalu mencelupkan daging itu ke
anggurnya. Haymitch menggigit sepotong besar daging lalu tergelak.
"Seperti apa wajah mereka saat itu?"
Aku bisa merasakan sudut bibirku terangkat.
"Kaget. Ngeri. Eh, sebagian tampak menggelikan." Aku
tiba-tiba ingat. "Seorang lelaki sampai jatuh terpeleset ke belakang dan
menabrak mangkuk minuman."
Haymitch tertawa terbahak-bahak dan kami semua tertawa kecuali
Effie, meskipun dia tampak menahan senyum. "Yah, mereka patut merasakannya.
Sudah tugas mereka memperhatikanmu. Hanya karena kau dari Distrik Dua Belas
bukan berarti mereka punya alasan untuk tidak peduli padamu."
Kemudian Effie memandangi sekeliling meja seakan dia telah
mengatakan sesuatu yang keterlaluan. "Maaf, tapi menurutku begitu,"
kata Effie entah pada siapa.
"Aku pasti dapat angka jelek," kataku.
"Angka cuma diperhatikan kalau nilainya sangat bagus, tak
ada yang memperhatikan mereka yang mendapat angka jelek atau menengah. Menurut
mereka, kau bisa saja menyembunyikan bakatmu agar sengaja memperoleh nilai
rendah. Banyak yang menggunakan strategi seperti itu," kata Portia.
"Kuharap itulah yang dipikirkan orang saat aku memperoleh
nilai empat yang mungkin kuperoleh," kata Peeta. "Tidak ada yang
menarik saat melihat seseorang mengambil bola-bola berat lalu melemparkannya
dalam jarak beberapa meter. Satu bola hampir mendarat di kakiku."
Aku nyengir memandang Peeta dan tersadar bahwa aku merasa amat
lapar. Aku memotong daging di piring, mencelupkannya di kentang tumbuk, dan
mulai menyantap makanan. Tidak apa-apa. Keluargaku aman. Dan jika mereka aman,
tak ada masalah yang timbul akibat perbuatanku.
***
Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu dan menonton
pengumuman nilai di televisi. Awalnya mereka menampilkan foto-foto peserta,
lalu memperlihatkan nilai mereka di bawah foto tersebut. Para Peserta Karier
biasanya memperoleh nilai antara delapan sampai sepuluh. Kebanyakan peserta
lain memperoleh lima. Yang mengejutkan, Rue memperoleh nilai tujuh. Aku tidak
tahu apa yang ditunjukkannya pada para juri, tapi dengan tubuhnya yang mungil
dia pasti tampil mengesankan.
Seperti biasa, Distrik 12 tampil terakhir. Peeta mendapat
nilai delapan, jadi paling tidak ada beberapa juri yang memperhatikannya. Aku
mengepalkan kedua tanganku erat-erat ketika melihat wajahku muncul di televisi,
bersiap-siap menghadapi yang terburuk. Mereka menampilkan angka sebelas di
layar. Sebelas.
Effie Trinket memekik, semua orang menepuk punggungku,
memujiku, dan memberi selamat padaku. Tapi semua ini terasa tidak nyata.
"Pasti ada kesalahan. Bagaimana... bagaimana
mungkin?" aku bertanya pada Haymitch.
"Kurasa mereka suka sifat pemarahmu," katanya.
"Ini kan acara pertunjukkan. Mereka butuh pemain yang cepat panas."
"Katniss, gadis yang terbakar," kata Cinna lalu
memelukku. "Oh, tunggu sampai kau melihat gaun untuk interview."
"Lebih banyak api?" tanyaku.
"Semacam itulah," katanya sok berahasia.
Aku dan Peeta saling memberi selamat, sekali lagi ini jadi
momen ketika kami merasa canggung. Kami berdua berhasil dengan baik, tapi apa
akibatnya terhadap kami berdua? Aku kabur ke kamarku secepat mungkin dan
menenggelamkan diri di bawah selimut. Tekanan hari ini, terutama acara
menangisnya telah menguras habis tenagaku. Aku ketiduran, lolos dari hukuman,
lega, dan angka sebelas masih berkerjap-kerjap dalam benakku.
Pada dini hari, aku berbaring sejenak di ranjang, memandangi
matahari terbit pada pagi hari yang indah itu. Hari ini Minggu. Hari libur di
rumah. Aku bertanya-tanya apakah Gale sudah berada di hutan sekarang. Biasanya
kami menghabiskan hari Minggu dengan mengumpulkan makanan untuk satu minggu.
Kami bangun pagipagi benar, berburu dan mengumpulkan makanan, kemudian
melakukan barter di Hob. Kupikirkan apa yang dilakukan Gale tanpa aku sekarang.
Kami berdua bisa berburu sendiri-sendiri, tapi kami lebih baik berpasangan.
Terutama jika kami berusaha mencari buruan yang lebih besar. Tapi kehadirannya
juga penting untuk hal-hal kecil, adanya partner berburu membuat beban jadi
lebih ringan, bahkan bisa membuat kewajiban berat menyediakan makanan untuk
keluarga jadi menyenangkan.
Aku sudah berusaha berburu sendirian selama enam bulan ketika
bertemu Gale untuk pertama kalinya di hutan. Hari itu juga hari Minggu di bulan
Oktober, udara terasa sejuk dan tajam menusuk dengan bau mahkluk-mahkluk mati.
Pagi itu aku berlomba dengan tupai-tupai dan pada siang hari yang lebih hangat
aku menyeberangi kolam dangkal mencabut katniss. Satu-satunya daging yang
berhasil kudapat adalah tupai yang bisa dibilang menyerahkan diri dengan
berlari menginjak jari-jari kakiku ketika dia mencari buah kenari, tapi
binatang itu pasti masih bergerak saat salju mengubur sumber makananku yang
lain.
Aku menjelajahi hutan lebih jauh daripada biasanya, dan aku
bergegas pulang menenteng karung goni ketika aku melihat bangkai kelinci.
Kelinci itu tergantung dengan kawat tipis sekitar tiga puluh sentimeter di atas
kepalaku. Aku mengenali pola jerat yang digunakannya, sama seperti yang
digunakan ayahku. Ketika mangsa tertangkap, binatang itu tertarik ke atas agar
tidak disergap binatang lain yang juga lapar. Sepanjang musim panas aku
berusaha menggunakan jerat tapi tidak pernah berhasil, jadi aku tidak bisa
tidak tergoda untuk menaruh karungku untuk memeriksa jerat itu. Jari-jariku
baru saja memegang kawat di atas kelinci ketika aku mendengar teriakan.
"Itu berbahaya." Aku melompat mundur hampir semeter jauhnya ketika
Gale muncul dari balik pohon. Dia pasti sudah mengamatiku sejak tadi. Umur Gale
baru empat belas tahun, tapi tingginya 180 sentimeter dan dimataku dia tampak
seperti orang dewasa. Aku pernah melihatnya dalam kesempatan lain. Dia juga
kehilangan ayahnya dalam ledakan yang sama yang menewaskan ayahku. Pada bulan
Januari, aku berdiri sementara dia menerima medali keberanian di Gedung
Pengadilan, satu lagi anak sulung tanpa ayah. Aku ingat bagaimana dua adik
laki-lakinya menempel erat pada ibunya, wanita dengan perut besar yang tidak
lama lagi pasti akan melahirkan.
"Siapa kau?" tanya Gale, menghampiriku dan
melepaskan kelinci dari jeratnya. Dia masih punya tiga jerat lagi yang
menggantung di ikat pinggangnya.
"Katniss," jawabku, nyaris berupa bisikan.
"Hm, Catnip, mencuri bisa dihukum mati, kau pernah dengar
peraturan itu, kan?" katanya.
"Katniss," sahutku dengan suara lebih keras.
"Aku tidak mencuri. Aku cuma mau lihat jeratmu. Jeratku tidak pernah
berhasil menangkap apa pun."
Dia mencibir memandangku, tampak tidak yakin. "Jadi dari
mana kau dapat tupai itu?"
"Aku memanahnya." Kulepaskan busur dari punggungku.
Aku masih menggunakan busur dan panah versi kecil yang dibuatkan ayahku, tapi
aku berlatih dengan busur dan anak panah berukuran besar setiap ada kesempatan.
Aku berharap pada musim semi nanti aku bisa memanah buruan yang lebih besar.
Mata Gale tertuju pada busur panahku. "Boleh
kulihat?"
Kuserahkan busur itu padanya. "Tapi ingat ya, mencuri
bisa dihukum mati."
Itulah pertama kalinya aku melihat Gale tersenyum. Senyum itu
mengubahnya dari sosok menakutkan menjadi seseorang yang kauharap bisa
kaukenal. Tapi perlu waktu beberapa bulan sebelum aku membalas senyumnya.
Saat itu kami bicara tentang berburu. Kuberitahu Gale bahwa
aku bisa memberinya busur dan anak panah kalau dia punya sesuatu untuk ditukar.
Bukan makanan. Aku ingin pengetahuan. Suatu hari nanti aku ingin bisa memasang
jerat yang bisa menangkap banyak kelinci gemuk. Dia setuju untuk mengatur
pertukaran semacam itu. Seiring musim berlalu, dengan enggan kami mulai berbagi
pengetahuan, senjata-senjata, tempat-tempat rahasia yang kami anggap penuh
dengan buahbuahan liar atau kalkun. Gale mengajariku memasang jerat dan
memancing. Kutunjukkan padanya tumbuh-tumbuhan apa saja yang bisa dimakan dan
pada akhirnya kuberikan padanya salah satu busurku yang berharga.
Kemudian suatu hari, tanpa perlu kami ucapkan, kami jadi tim.
Kami saling membagi pekerjaan dan hasil tangkapan, memastikan bahwa keluarga
kami berdua mendapat cukup makanan. Gale memberiku rasa aman yang tak kumiliki
lagi sejak kematian ayahku. Ditemani Gale mengisi kekosongan dan kesendirian
selama jam-jam yang panjang di hutan. Aku jadi pemburu yang baik ketika aku
tidak harus menjaga agar tetap aman. Tapi Gale juga tidak lagi sekedar teman
berburu. Dia menjadi orang kepercayaanku tentang hal-hal yang tidak bisa
kuutarakan di dalam pagar.
Sebaliknya, dia juga melakukan hal yang sama denganku. Berada
di hutan bersama Gale... kadang-kadang aku sungguh-sungguh merasa bahagia. Aku
menyebut Gale sebagai temanku, tapi selama setahun terakhir kata itu tampak
terlalu encer untuk menggambarkan arti Gale bagiku. Secercah kerinduan menembus
dadaku. Seandainya dia ada di sini sekarang Tapi tentu saja aku tidak mau dia
ada di sini. Aku tidak mau dia berada di arena di mana dia bisa tewas beberapa
hari lagi. Aku hanya... aku hanya kangen padanya. Aku benci merasa sendirian.
Apakah dia juga kangen padaku? Pastinya.
Aku teringat lagu angka sebelas yang berkedip-kedip di bawah
namaku tadi malam. Aku tahu apa yang akan dikatakannya padaku. "Well,
nilai itu masih bisa diperbaiki jadi lebih baik." Lalu dia akan tersenyum
dan aku balas tersenyum tanpa ragu sekarang.
Aku tidak bisa tidak membandingkan apa yang kumiliki bersama
Gale dengan apa yang pura-pura kulakukan bersama Peeta. Aku tak pernah
mempertanyakan motif perbuatan Gale sementara dengan Peeta aku selalu meragukan
niatnya. Sesungguhnya ini memang bukan perbandingan yang adil. Aku dan Gale
ditempatkan bersama oleh kebutuhan bertahan hidup. Sementara aku dan Peeta tahu
bahwa keselamatan yang lain berarri maut bagi diri sendiri. Bagaimana dua hal
semacam itu bisa dibandingkan?
Effie mengetuk pintu, mengingatkanku hari ini masih ada
"hari besaaaaar". Besok malam akan ada wawancara kami yang
ditayangkan di televisi. Kurasa semua anggota tim harus melakukan persiapan
besar untuk kami dalam acara itu. Aku bangun dan mandi cepat, kali ini lebih
hati-hati dengan tidak menekan sembarang tombol, setelah itu aku menuju ruang
makan. Peeta, Effie, dan Haymitch duduk berimpitan di sekeliling meja dan
berbicara berbisik-bisik.
Tingkah mereka tampak janggal, tapi rasa lapar mengalahkan
rasa ingin tahuku dan aku mengisi piringku dengan makanan untuk sarapan sebelum
bergabung dengan mereka. Sup daging hari ini berisi potongan-potongan daging
domba yang lembut dan buah plum kering. Pas dimakan dengan nasi hangat. Aku
sudah menyuapkan makanan hingga setengah ke dalam mulutku hingga aku tersadar
bahwa tak ada seorang pun yang bicara. Kuminum jus jeruk dalam satu tegukan
besar dan kuseka mulutku. "Ada apa? Hari ini kau akan mengajari kami untuk
persiapan wawancara, kan?"
"Betul," jawab Haymitch.
"Kau tidak perlu menunggu sampai aku selesai makan. Aku
bisa mendengar dan makan pada saat bersamaan," kataku.
"Hm, begini, ada sedikit perubahan rencana. Tentang
pendekatan kita saat ini," kata Haymitch.
"Maksudnya?" tanyaku. Aku tidak terlalu paham dengan
arti pendekatan saat ini. Strategi terakhir yang kuingat adalah berusaha tampil
biasa-biasa saja di depan peserta lain.
Haymitch
mengangkat bahu. "Peeta sudah meminta untuk dilatih terpisah."[]
No comments:
Post a Comment