Penulis: Suzanne Collins
Bab 6
Pusat latihan memiliki sebuah menara yang dirancang khusus
untuk para peserta dan tim mereka. Tempat ini akan jadi rumah kami hingga
pertarungan sesungguhnya dimulai. Setiap distrik ditempatkan disatu lantai
sendiri. Kau hanya perlu masuk ke elevator dan menekan angka asal distrikmu. Mudah
untuk diingat.
Di Distrik 12, aku pernah dua kali naik elevator di Gedung
Pengadilan. Sekali untuk menerima medali atas kematian ayahku dan kemarin untuk
menyampaikan salam perpisahan terakhir dengan teman-teman dan keluargaku. Tapi
elevator di sana gelap dan berderit dengan gerakan selamban siput dan baunya
seperti susu basi. Dinding-dinding elevator ini terbuat dari kristal, jadi kau
bisa melihat orangorang di lantai dasar makin lama makin kecil ketika elevator
membawamu makin tinggi. Rasanya menyenangkan dan aku tergoda untuk bertanya
pada Effie apakah kami bisa naik elevator sekali lagi, tapi itu bakal terdengar
kekanak-kanakan.
Ternyata, tugas Effie Trinket tidak berakhir di stasiun kereta
api. Dia dan Haymitch akan mengawasi kami hingga di arena. Di satu sisi,
keberadaannya menguntungkan karena paling tidak Effie bisa diandalkan untuk
membawa kami keliling ke tempat-tempat seharusnya kami berada tepat waktu
karena kami belum bertemu Haymitch lagi sejak dia bilang bersedia membantu kami
di kereta api. Mungkin dia sedang teler hingga pingsan entah di mana.
Sebaliknya, Effie Trinket, tampak riang gembira. Kami adalah tim pertama yang
pernah diawasinya yang membuat kegemparan pada upacara pembukaan. Effie tidak
hanya memuji kostum kami tapi juga tingkah laku kami. Dan kami juga mendengar,
Effie kenal semua orang penting di Capitol dan sudah bicara tentang kami
sepanjang hari, berusaha memperoleh sponsor untuk kami.
"Tapi semuanya sangat misterius," ujar Effie,
matanya setengah menyipit. "Karena, tentu saja, kau tahu Haymitch tidak
mau memberitahuku apa saja strategi kalian. Tapi aku sudah melakukan yang
terbaik dengan apa yang bisa kukerjakan. Bagaimana Katniss mengorbankan diri
demi adik perempuannya. Bagaimana kalian berdua berhasil melawan kegiatan
barbar dari distrik kalian."
Barbar? Ironis saat mendengar kata itu terucap dari wanita
yang membantu menyiapkan kami untuk kegiatan pembantaian massal. Dan atas apa
dia menilai keberhasilan kami? Berdasarkan sopan santun di meja makan?
"Pada dasarnya semua orang memiliki keengganan tertentu
karena kalian berasal dari distrik batu bara. Tapi untungnya aku pintar,
kubilang pada mereka, 'Hm, batu bara yang diberi cukup tekanan akan berubah
jadi mutiara'." Mata Effie berbinar begitu cerah memandang kami sehingga
kami tidak punya pilihan lain selain menanggapi kepintarannya dengan penuh
semangat, meskipun kami tahu dia salah besar.
Batu bara tidak bisa berubah jadi mutiara. Mutiara berasal
dari kerang. Mungkin maksud Effie batu bara berubah jadi berlian, tapi itu juga
tidak benar. Kudengar ada semacam mesin di Distrik 1 yang bisa mengubah batu
granit menjadi berlian. Tapi Distrik 12 tidak menambang batu granit. Itu bagian
dari tugas Distrik 13 sebelum mereka dihancurkan. Aku penasaran apakah
orang-orang yang mendengarnya memuji-muji kamu atau bahkan peduli tentang hal
itu.
"Sayangnya, aku tidak bisa membuat perjanjian kontrak
dengan sponsor untuk kalian. Hanya Haymitch yang bisa melakukannya," kata
Effie muram. "Tapi jangan kuatir, kalau perlu aku akan menodongkan pistol
padanya agar dia mau datang ke meja perjanjian."
Meskipun memiliki kekurangan sana-sini, Effie Trinket jelas
memiliki keteguhan yang harus kukagumi. Ruang bagian tempat tinggalku lebih
luas daripada rumah kami di Distrik. Ruang-ruang di sini terlihat mewah,
seperti di gerbong kereta api, juga memiliki sejumlah peralatan otomatis yang
tak bakal sempat kupencet tombolnya satu per satu. Pancuran air di kamar
mandinya saja memiliki panel dengan lebih dari seratus pilihan yang bisa
kaupilih untuk mengatur temperatur, tekanan air, sabun, sampo, wewangian,
minyak mandi, dan spons yang bisa memijat. Saat berdiri di atas keset kaki,
pemanas menyemburkan udara yang mengeringkan tubuh.
Aku tidak perlu bersusah payah melepaskan ikatan kepang di
rambutku yang basah, aku hanya perlu menaruh tanganku di atas kotak yang
mengalirkan arus ke kulit kepalaku, yang akan melepaskan ikatan rambutku,
menyisirnya, dan mengeringkannya dalam waktu sekejap. Rambutku langsung
tergerai lembut di punggungku. Aku memprogram lemari agar menyiapkan pakaian
sesuai seleraku. Atas perintahku, jendela bisa menyorot jauh dan dekat
bagian-bagian kota tertentu. Aku hanya perlu membisikkan jenis makanan yang
kuinginkan dari daftar menu raksasa ke corong bicara, dalam waktu kurang dari
semenit makanan itu muncul di hadapanku, panas dan mengepulkan asap. Aku
berjalanan di sekeliling kamar, makan hati angsa dan roti susu sampai kudengar
ketukan di pintu. Effie memanggilku untuk makan malam.
Baguslah. Aku kelaparan.
Peeta, Cinna, dan Portia sedang berdiri di balkon, yang
memperlihatkan pemandangan Capitol ketika aku memasuki ruang makan. Aku senang
melihat para penata gaya kami, terlebih lagi ketika mendengar Haymitch akan
bergabung bersama kami. Makan malam yang dipimpin oleh Effie dan Haymitch pasti
bakal berakhir dengan kekacauan. Selain itu, makan malam sebenarnya bukanlah
tentang makanan, tapi tentang perencanaan strategi, dan Cinna serta Portia
telah membuktikan betapa berharganya mereka bagi kami. Seorang lelaki muda yang
mengenakan tunik putih bicara menawarkan anggur di gelas tinggi pada kami. Aku
hampir menolaknya, tapi aku tak pernah minum anggur, kecuali buatan ibuku yang
digunakannya untuk menyembuhkan batuk, dan mungkin aku takkan pernah punya
kesempatan untuk mencobanya lagi. Aku menyesapnya sedikit, cairan itu terasa
kering dan diam-diam aku berpikir bahwa rasanya akan lebih baik jika ditambah
beberapa sendok madu.
Haymitch muncul tepat ketika makan malam akan disajikan.
Kelihatannya dia memiliki penata gaya sendiri karena dia tampak bersih dan
terawat, dan tidak pernah kulihat dia sesadar sekarang. Dia tidak menolak
tawaran anggur, tapi ketika dia mulai menyantap sup, aku baru sadar inilah
pertama kalinya kulihat dia makan. Mungkin dia bisa menguasai diri cukup lama
untuk bisa membantu kami.
Cinna dan Portia tampaknya memiliki pengaruh untuk membuat
Haymitch dan Effie jadi beradab. Paling tidak mereka saling bicara dengan
sopan. Bahkan mereka pun memuji suguhan pembukaan dari penata gaya kami.
Sementara mereka berbasa-basi, aku memusatkan perhatian pada makananku. Sup
jamur, sayuran hijau pahit dengan tomat seukuran kacang polong, daging sapi
panggang yang dipotong setipis kertas, mi dalam saus hijau, keju yang meleleh
di lidah disajikan dengan anggur biru manis. Para pelayan, semuanya lelaki muda
yang berpakaian tunik putih seperti yang dipakai oleh pelayan yang memberi kami
anggur, bergerak tanpa bicara dari dan ke meja, memastikan piring dan gelas
kami tetap penuh.
Setelah menghabiskan setengah gelas anggur, kepalaku mulai
terasa berkabut, jadi aku ganti minumanku dengan air. Aku tidak menyukai
perasaan ini dan aku berharap kabut ini segera lenyap. Aku tidak mengerti
bagaiamana Haymitch bisa tahan melewati hari-harinya seperti ini. Aku berusaha
memusatkan perhatian pada percakapan, yang sudah beralih ke topik tanya-jawab
kostum, saat seorang gadis menata kue yang kelihatan cantik di atas meja dan
dengan cekatan menyalakan kue itu. Kue tersebut terbakar kemudian api mengerjap
di ujung-ujung kue selama beberapa saat hingga api itu padam. Sejenak aku
merasa ragu.
"Apa yang membuatnya terbakar? Apakah alkohol?" aku
bertanya, sambil mendongak memandang gadis itu. "Aku tidak mau men—Oh. Aku
kenal kau."
Aku tidak ingat nama atau tempat ketika aku melihat wajah gadis
ini. Tapi aku yakin pernah melihatnya. Rambut merah gelap, garis wajah yang
memesona, kulit seputih porselen. Ketika aku mengucapkannya, aku merasakan
kegelisahan dan rasa bersalah dalam ulu hatiku. Meskipun aku tidak ingat, aku
tahu ada kenangan buruk yang berkaitan dengan gadis itu. Ekspresi ngeri yang
terlintas di wajahnya hanya membuatku jadi tambah bingung dan tidak nyaman.
Gadis itu menyangkalnya dengan menggeleng cepat dan bergegas menjauh dari meja.
Ketika aku menoleh, empat orang dewasa sedang mengawasiku
seperti elang mengintai mangsa.
"Jangan konyol, Katniss. Bagaimana mungkin kau bisa kenal
Avox semacam itu?" sergah Effie. "Membayangkannya saja tak
mungkin."
"Avox itu apa?" tanyaku dengan bodohnya.
"Orang yang melakukan kejahatan. Mereka memotong lidahnya
sehingga dia tidak bisa bicara," kata Haymitch. "Dia mungkin
pengkhianat atau semacam itulah. Tidak mungkin kau mengenalnya."
"Bahkan kalau mengenalnya, kau tak boleh bicara dengannya
kecuali memberi perintah," kata Effie. "Tentu saja kau tidak
benar-benar mengenalnya."
Tapi aku kenal dia. Setelah Haymitch menyebut soal
pengkhianat, aku ingat di mana aku kenal dia. Aku merasakan kecaman yang begitu
besar sehingga aku tak pernah bisa mengakuinya.
"Ya, kurasa tidak. Aku cuma-" Aku tegagap, dan
anggur yang kuminum tidak membantu sama sekali.
Peeta menjentikkan jarinya. "Delly Cartwright."
Itu dia. Kupikir wajahnya juga tidak asing. Lalu aku sadar dia
mirip sekali dengan Delly. Delly Cartwright adalah gadis berwajah pucat, agak
gemuk dengan rambut kuning yang kemiripannya dengan gadis pelayan kami ibarat
membandingkan kumbang dengan kupu-kupu. Delly juga bisa disebut manusia paling
ramah di seantero planet-dia tersenyum tanpa henti pada semua orang di sekolah,
bahkan padaku. Aku tak pernah melihat gadis berambut merah itu tersenyum. Tapi
aku langsung menyambar petunjuk Peeta dengan penuh syukur.
"Tentu saja, aku terpikir tentang dia. Pasti gara-gara
rambutnya," kataku.
"Matanya juga mirip," imbuh Peeta.
Suasana di meja makan pun jadi lebih santai.
"Oh, sudahlah. Cuma karena mirip," kata Cinna.
"Dan, ya, kue ini mengandung minuman keras, tapi semua alkohol sudah
terbakar. Aku sengaja memesannya sebagai penghormatan terhadap penampilanmu
yang berapi-api."
Kami makan kue dan pindah ke ruang duduk untuk menonton
tayangan ulang upacara pembukaan yang sedang disiarkan. Beberapa pasangan lain
memperlihatkan kesan yang baik, tapi tak ada satu pun dari mereka yang bisa
dibandingkan dengan kami. Bahkan pihak kami sendiri terpukau hingga mulut
mereka ternganga "Ahhh" saat mereka menampilkan kami yang keluar dari
Pusat Tata Ulang.
"Siapa yang menyuruh berpegangan tangan?" tanya
Haymitch.
"Cinna," sahut Portia.
"Sentuhan sempurna untuk pembangkang," ujar
Haymitch. "Bagus sekali."
Pembangkang? Selama sesaat aku memikirkan kata itu. Tapi
ketika aku mengingat pasangan-pasangan lain, berdiri tegang terpisah, tak pernah
menyentuh atau mengakui keberadaan yang lain, seakan rekan peserta mereka tak
ada, seakan pertarungan telah dimulai, aku mengerti maksud Haymitch.
Menampilkan diri kami bukan sebagai musuh tapi sebagai sahabat telah membuat
kami tampak berbeda seperti halnya kostum kami yang membakar.
"Besok pagi adalah sesi latihan pertama. Temui aku untuk
sarapan dan akan kuberitahu kalian bagaimana kuingin kalian memainkannya,"
kata Haymitch pada aku dan Peeta. "Sekarang pergilah tidur sementara kami
orang dewasa di sini mau bicara."
Aku dan Peeta berjalan berdua menyusuri koridor menuju kamar
kami. Ketika kami sampai ke depan pintu kamarku, Peeta bersandar di kusen
pintu, bukan bermaksud menghalangi masuk tapi berkeras agar aku
memperhatikannya. "Hm, Delly Cartwright. Bayangkan jika kita bisa bertemu
kembarannya di sini."
Peeta meminta penjelasan, dan aku tergoda untuk
menjelaskannya. Kami berdua sama-sama tahu bahwa dia melindungiku. Jadi
sekarang aku berutang lagi padanya. Kalau aku menceritakan yang sebenarnya tentang
gadis itu, bisa jadi aku melunasi utangku padanya. Lagi pula apa sih ruginya?
Bahkan kalau dia menceritakan ceritaku pada orang lain, aku juga tidak bakal
kenapa-napa.
Kejadiannya hanya sesuatu yang kusaksikan. Dan Peeta berbohong
tentang Delly Cartwright bersama denganku. Aku sadar bahwa aku ingin bicara
dengan seseorang tentang gadis itu. Seseorang yang bisa membantuku memecahkan
kisah tentang gadis itu. Gale jadi pilihan pertamaku, tapi aku tak bakal bisa
bertemu Gale lagi. Aku berusaha berpikir apakah memberitahu Peeta mungkin bakal
memberinya keuntungan atas diriku, tapi aku tidak bisa melihat kemungkinan itu.
Mungkin berbagi rahasia akan membuatnya percaya bahwa aku menganggapnya sebagai
teman.
Selain itu, membayangkan gadis tadi dengan lidah buntung
membuatku ngeri. Dia mengingatkanku tentang alasan keberadaanku di sini. Bukan
untuk menjadi model kostum mewah dan makan makanan lezat. Tapi untuk mati dalam
kematian penuh darah sementara penonton mengelu-elukan pembunuhanku.
Cerita atau tidak ya? Otakku masih lamban akibat anggur. Aku
menunduk memandangi koridor kosong seakan keputusannya terletak di sana.
Peeta menangkap keraguanku. "Kau pernah ke atap?"
Aku menggeleng. "Cinna menunjukkannya padaku. Kau bisa melihat seluruh
kota dari atas sana. Tapi anginnya agak keras lho."
Otakku menerjemahkan ajakannya sebagai, "Tak ada
seorangpun yang bisa menguping percakapan kita". Kami merasa selalu dakam
pengawasan di tempat ini. "Bisa kita ke atas sekarang?"
"Bisa saja, ayo," ajak Peeta. Aku mengikutinya
menaiki tangga menuju atap. Ada ruangan kecil berbentuk kubah dengan pintu
menuju keluar. Ketika kami melangkah menuju udara malam yang dingin dan
berangin, aku terkesiap melihat pemandangan di hadapanku. Capitol berkilau
berkelip-kelip seperti lapangan yang penuh cahaya kunang-kunang. Listrik di
Distrik 12 kadang menyala kadang tidak, biasanya kami punya listrik selama
beberapa jam sehari. Sering kali kami menghabiskan malam hari dengan cahaya
lilin. Listrik hanya bisa diandalkan saat mereka menyiarkan Hunger Games atau
ada pesan penting dari pemerintah di televisi yang wajib di tonton. Tapi di
sini tak ada kekurangan listrik. Tak pernah kekurangan.
Aku dan Peeta berjalan menuju pegangan pembantas di ujung
atap. Aku melihat langsung ke bawah ke arah jalanan di samping gedung, yang
penuh dengan orang. Kau bisa mendengar suara mobil mereka, kadang-kadang
terdengar teriakan, dan suara logam beradu yang aneh. Di Distrik 12, kami pasti
sedang berpikir untuk tidur sekarang.
"Aku bertanya pada Cinna kenapa mereka membiarkan kita
naik ke sini. Apakah mereka tidak kuatir ada peserta yang mungkin saja
memutuskan untuk meloncat dari gedung?" kata Peeta.
"Dia bilang apa?" tanyaku.
"Kau tidak bisa lompat," ujar Peeta. Dia mengibaskan
tangannya ke ruang yang tampaknya di isi udara kosong. Ada sengatan tajam dan
Peeta langsung menarik tangannya. "Ada semacam medan listrik yang
melemparmu kembali ke atap."
"Selalu memikirkan keselamatan kita," kataku.
Meskipun Cinna suda menunjukkan atap ini pada Peeta, aku bertanya-tanya apakah
kami boleh di atap berdua pada jam selarut ini. Aku tak pernah melihat peserta
berada di atap Pusat Latihan sebelumnya. Tapi tidak berarti kami tidak sedang
di rekam sekarang.
"Menurutmu mereka sedang mengawasi kita?"
"Mungkin," Peeta mengaku. "Ayo kita lihat
tamannya."
Di sisi lain kubah, mereka membangun taman dengan deretan
bunga dan pohonpohon dalam pot. Dari dahan-dahannya tergantung ratusan genta
angin, yang menjadi sumber suara suatu logam beradu yang kudengar tadi. Di sini
di taman ini, pada malam berangin, bunyi yang ditimbulkan genta angin cukup
meredam suara dua orang yang berusaha untuk tidak terdengar. Peeta memandangiku
penuh harap. Aku pura-pura melihat bunga yang bermekaran. "Suatu hari kami
sedang berburu di dalam hutan. Bersembunyi, menunggu buruan," aku
berbisik.
"Kau dan ayahmu?" Peeta balas berbisik.
"Bukan, dengan temanku Gale. Mendadak semua burung
berhenti bernyanyi seketika. Kecuali satu. Seakan burung itu menyanyikan
peringatan. Lalu saat itulah kami melihatnya. Aku yakin dia gadis yang sama.
Ada anak lelaki bersamanya. Pakaian mereka compang-camping. Ada lingkaran hitam
di bawah mata mereka tanda kurang tidur. Mereka lari terbirit-birit seakan
nyawa mereka tergantung pada kemampuan lari mereka," kataku.
Sejenak aku terdiam, mengingat bagaimana perasaanku ketika
melihat pasangan aneh yang jelas-jelas tidak berasal dari Distrik 12 melarikan
diri melalui hutan, hingga membuat kami tak mampu bergerak. Lama setelah itu,
kami bertanya-tanya apakah kami bisa membantu mereka. Menyembunyikan mereka.
Kalau saja kami bergerak cepat. Ya, aku dan Gale terkejut, tapi kami berdua
pemburu. Kami tahu seperti apa binatang yang berusaha bertahan hidup. Kami tahu
pasangan itu dalam masalah saat kami melihatnya. Tapi kami hanya menonton.
"Pesawat ringan itu muncul entah dari mana," aku
menjutkan ceritaku pada Peeta. "Maksudku, tadinya langit kosong kemudian
mendadak pesawat itu ada di sana. Pesawat itu tidak menimbulkan suara, tapi
mereka melihatnya. Ada jaring yang meluncur jatuh pada gadis itu dan
mengangkatnya ke atas, cepat sekali, seperti diangkat dengan elevator. Mereka
menembakkan semacam tombak ke anak lelaki itu. Tombak itu terkait pada kabel
dan mereka juga menariknya ke atas. Tapi aku yakin anak itu sudah tewas. Kami
mendengar gadis itu menjerit sekali. Kurasa dia menjeritkan nama lelaki itu.
Lalu pesawat itu hilang. Lenyap tak berbekas. Kemudian burung-burung mulai
bernyanyi lagi, seakan tidak pernah terjadi apa-apa."
"Apakah mereka melihatmu?" tanya Peeta.
"Aku tidak tahu. Kami berada di bawah bebatuan,"
sahutku.
Tapi aku tahu. Ada jeda, setelah burung berhenti bernyanyi,
tapi sebelum pesawat itu muncul, gadis itu melihat kami. Matanya memandang
mataku lekat-lekat lalu dia berteriak minta tolong. Tapi aku dan Gale tidak
bergerak membantunya.
"Kau gemetar," kata Peeta.
Embusan angin dan kisah yang kuceritakan mengenyahkan
kehangatan dari tubuhku. Gadis itu menjerit. Apakah itu jeritan terakhirnya?
Peeta melepaskan jaketnya dan menyampirkannya ke bahuku. Tadinya aku hendak
mundur selangkah, tapi kemudian aku membiarkannya, sesaat memutuskan untuk
menerima jaket dan kebaikannya itu. Itu yang dilakukan sahabat, kan?
"Mereka berasal dari sini?" tanya Peeta, lalu
tangannya mengancingkan jaket di sekitar leherku.
Aku mengangguk. Tampilan anak lelaki dan gadis itu kelihatan seperti
orang Capitol.
"Menurutmu mereka hendak ke mana?" tanya Peeta.
"Aku tidak tahu," jawabku.
Distrik 12 bisa dibilang sebagai akhir perjalanan. Di luar
sana hanya ada alam liar. Kalau kau tidak menghitung reruntuhan Distrik 13 yang
masih mengepulkan asap akibat bom beracun. Kadang-kadang mereka menampilkannya
di televisi hanya untuk mengingatkan kami. "Atau kenapa mereka hendak
pergi dari sini."
Haymitch menyebut kaum Avox sebagai pengkhianat. Penkhianatan
terhadap apa? Kemungkinannya hanya tehadap Capitol. Tapi mereka memiliki
segalanya di sini. Tidak ada alasan untuk memberontak.
"Aku mau pergi dari sini," tiba-tiba Peeta bersuara.
Kemudian dia menoleh gelisah ke sekeliling. Suaranya cukup keras mengalahkan
suara genta angin. Dia tertawa.
"Aku mau saja pulang sekarang kalau mereka mengizinkan.
Tapi kau harus mengakui, makanan di sini lezat tak ada bandingannya."
Dia melindungiku lagi. Bila hanya mendengar perkataan Peeta,
seolah-olah katakata itu berasal dari peserta yang ketakutan, bukan seseorang
yang memikirkan kebaikan Capitol yang tak perlu dipertanyakan.
"Sudah mulai dingin. Sebaiknya kita masuk," katanya.
Di dalam kubah suasananya terang dan hangat. Nada bicara Peeta terdengar
santai. "Temanmu, Gale. Dia yang menarik adikmu pada hari
pemungutan?"
"Ya. Kau kenal dia?" aku bertanya.
"Tidak juga. Aku sering mendengar gadis-gadis
membicarakannya. Kupikir dia sepupumu atau apalah. Kalian tampak akrab,"
katanya.
"Tidak, kami tidak punya hubungan," jawabku.
Peeta mengangguk, sikapnya tak bisa kubaca. "Apakah dia
datang untuk mengucapkan selamat tinggal padamu?"
"Ya. " Aku mengamatinya dengan saksama. "Ayahmu
juga datang. Dia membawakanku kue."
Peeta mengangkat alis seakan ini berita baru untuknya. Tapi
setelah mengamatinya berbohong dengan lancar, aku tidak terlalu memikirkan
reaksi ini. "Sungguh? Ayahku menyukaimu dan adikmu. Kurasa diam-diam dia
berharap punya anak perempuan, bukannya rumah yang penuh anak laki-laki."
Memikirkan bahwa aku mungkin saja dibicarakan secara sambil
lalu, di meja makan, di dekat pemanggang roti, dan di dalam rumah Peeta membuatku
kaget. Pasti obrolan itu muncul ketika ibunya tidak ada di ruangan.
"Ayahku kenal ibumu ketika mereka masih kecil," kata
Peeta.
Kejutan lagi. Tapi mungkin saja benar.
"Oh, ya. Ibuku di besarkan di kota," kataku. Rasanya
tidak sopan mengatakan bahwa ibuku tidak pernah bercerita tentang tukang roti
kecuali memuji roti buatannya. Kami sudah tiba di depan pintuku. Aku
mengembalikan jaketnya. "Sampai ketemu besok pagi."
"Sampai ketemu," katanya, dan Peeta berjalan menjauh
menyusuri lorong.
Ketika aku membuka pintu, gadis berambut merah itu sedang
memungut pakaian dan sepatu botku di tempat aku melemparkannya di lantai
sebelum aku mandi. Aku ingin meminta maaf karena mungkin saja aku membuatnya
dalam masalah tadi. Tapi aku ingat bahwa aku tidak boleh bicara dengannya
kecuali hanya untuk memberikan perintah.
"Oh, maaf," kataku. "Seharusnya aku mengembalikan
itu ke Cinna. Maafkan aku. Bisa kaubawakan padanya?"
Gadis itu menghindari tatapanku, mengangguk sedikit, dan
berjalan menuju pintu. Aku bersiap-siap untuk mengatakan padanya bahwa aku
minta maaf atas kejadian di meja makan tadi. Tapi aku tahu permintaan maafku
jauh lebih dalam lagi. Aku malu karena tak berusaha membantunya di hutan. Aku
membiarkan Capitol membunuh anak lelaki itu dan memutilasi lidahnya tanpa
sedikit pun berniat menolongnya.
Seolah-olah aku sedang menonton Hunger Games. Kulepaskan
sepatuku dan naik ke bawah selimut tanpa berganti pakaian. Gemetarku belum
hilang. Mungkin gadis itu tidak ingat padaku. Tapi aku yakin dia mengenalku.
Kau takkan pernah lupa pada wajah orang yang menjadi harapan terakhirmu.
Kutarik
selimut hingga menutupi kepalaku seakan selimut ini bisa melindungiku dari
gadis berambut merah yang tak bisa bicara. Tapi, aku bisa merasakan matanya
memandangiku, menembus dinding, pintu, dan selimut. Aku bertanya-tanya apakah
dia bakal senang menontonku mati.[]
No comments:
Post a Comment