Penulis: Suzanne Collins
Bab 15
AKU memasuki mimpi buruk lalu terbangun berkali-kali hanya
untuk mendapati kengerian yang lebih besar menungguku. Segala hal yang paling
kutakutkan, segala hal yang kutakutkan terjadi pada orang lain terwujud dalam
gambaran yang amat jelas sehingga aku percaya bahwa apa yang terjadi adalah
nyata.
Setiap kali aku terbangun, kupikir, Akhirnya, ini berakhir,
tapi kenyataannya tidak.
Ini hanya awal bab baru dari siksaan berikutnya. Dalam berapa
cara aku bisa melihat Prim mati? Menghidupkan kembali saat-saat terakhir dalam
hidup ayahku? Merasakan tubuhku tercabik-cabik?
Inilah sifat alami racun tawon penjejak, dengan saksama racun
itu menyebar di tempat berdiamnya ketakutan dalam otakmu.
Ketika kesadaranku akhirnya kembali, aku berbaring tak
bergerak, menunggu serangan kilasan bayangan mengerikan. Tapi pada akhirnya aku
menerima bahwa racun itu berhasil keluar dari sistem tubuhku, membuatku lemah
dan payah. Aku masih berbaring meringkuk kesamping, membentuk posisi seperti
janin. Kuangkat tanganku menyentuh mataku yang masih ada, tidak pernah
tersentuh semut-semut dalam khayalanku. Menggerakan sendi-sendiku saja
membutuhkan usaha yang amat besar. Begitu banyak bagian tubuhku yang kesakitan,
bahkan tak ada gunanya mencari tahu bagian mana saja yang sakit.
Dengan amat sangat perlahan aku berhasil duduk. Aku berada di
lubang dangkal, yang tidak dipenuhi gelembung-gelembung oranye yang berdengung
seperti dalam halusinasiku tapi dalam lubang penuh dengan daun-daun yang
rontok. Pakaianku lembap, tapi aku tidak tahu apakah penyebabnya adalah air
kolam, embun, hujan, atau keringat. Sekian lamanya, aku hanya bisa meneguk air
sedikit-sedikit dari botol airku dan mengamati kumbang merangkak di bagian
samping sesemakan bunga honeysuckle.
Sudah berapa lama aku pingsan? Hari masih pagi saat aku hilang
kesadaran. Sekarang sudah menjelang sore. Tapi rasa kaku di persendianku
menyatakan bahwa lebih dari sehari telah berlalu, bahkan mungkin sudah lewat
dua hari. Jika betul begitu, aku tidak tahu peserta mana saja yang berhasil
selamat dari serangan tawon penjejak. Yang pasti bukan Glimmer atau gadis dari
Distrik 4. Tapi ada anak lelaki dari Distrik 1, dua peserta dari Distrik 2, dan
Peeta. Apakah mereka selamat dari sengatan tawon? Tapi pastinya, jika mereka
bertahan hidup, beberapa hari terakhir mereka pasti sama mengerikannya dengan
hari-hariku. Bagaimana pula dengan Rue? Tubuhnya begitu mungil, tidak butuh
banyak bisa tawon untuk menewaskannya. Tapi ... kurasa tawon penjejak tak sempat
menyerangnya, dia sudah pergi jauh sebelum serangan tawon itu.
Rasa yang busuk dan tengik menguasai mulutku, dan air tidak
membantu mengurangi rasanya. Kuseret tubuhku ke semak honeysuckle dan kupetik
bunganya. Perlahan-lahan kucabut serbuk sari di antara kelopaknya dan
kuteteskan air madu dari dalamnya ke lidahku. Rasa manis langsung menyebar di
dalam mulutku, hingga ke kerongkongan, menyebar di dalam mulutku, hingga ke
kerongkongan, menghangatkan aliran darahku dengan kenangan-kenangan musim
panas, hutan-hutan di rumahku dan kehadiran Gale di sampingku. Entah karena
alasan apa, aku teringat percakapan kami pagi itu.
"Kau tahu, kita bisa melakukannya."
"Apa?"
"Meninggalkan distrik. Kabur. Tinggal di hutan. Kau dan
aku, kita bisa berhasil."
Dan mendadak, aku tidak memikirkan Gale tapi Peeta dan...
Peeta. Dia menyelamatkanku. Kupikir begitu. Karena pada saat kami bertemu, aku
tidak tahu lagi mana yang nyata dan mana imajinasi yang disebabkan oleh
serangan tawon penjejak. Tapi jika dia memang menyelamatkanku, dan instingku
mengatakan dia melakukannya, untuk apa dia melakukannya? Apakah dia hanya
menunjukkan sikap sebagai kekasih yang jatuh cinta seperti yang ditampilkan
saat wawancara? Atau dia sesungguhnya berusaha melindungiku? Dan jika memang
dia ingin melindungiku, buat apa dia bergabung dengan kelompok Karier itu?
Semua ini tak ada yang masuk akal.
Sejenak aku bertanya-tanya apa tanggapan Gale atas insiden
ini, tapi buru-buru mengenyahkan pikiran itu dari benakku. Entah karena alasan
apa, Gale dan Peeta tidak bisa hidup rukun bersama dalam benakku.
Jadi aku memusatkan perhatian pada satu hal yang
sungguh-sungguh menyenangkan sejak aku tiba di arena. Aku punya busur dan anak
panah Lengkap selusin anak panah jika aku menghitung satu yang kucabut dari
batang pohon. Di busur dan anak panah ini tidak tersisa lendir hijau bau yang
berasal dari tubuh Glimmer-sehingga membuatku berpikir bahwa mungkin saja yang
kulihat itu tidak nyata-tapi ada sisa darah kering di sana. Aku bisa
membersihkannya nanti, tapi aku meluangkan waktu sebentar untuk menembakkan
beberapa anak panah ke pohon yang ada di dekatku. Busur dan anak panah ini
lebih mirip yang ada di Pusat Latihan dibanding yang kupunya di rumah, tapi itu
sama sekali tidak penting. Yang penting aku bisa memakainya.
Senjata ini memberiku perspektif baru dalam memandang Hunger
Games. Aku tahu aku masih harus menghadapi lawan-lawan tangguh dalam
pertarungan, tapi aku tidak lagi sekedar mangsa lemah yang cuma bisa lari dan
bersembunyi atau mengambil tindakan-tindakan drastis. Jika Cato melesat keluar
dari pepohon sekarang, aku takkan kabur, aku akan menembakkan panah. Bahkan
sesungguhnya aku mengharapkan kejadian semacam itu dengan senang hati.
Tapi pertama-tama, aku harus mengembalikkan kekuatan pada
tubuhku. Aku dehidrasi parah dan persediaan airku amat minim. Makanan yang
kulahap banyak-banyak untuk mengganjal perut pada massa persiapan di Capitol
kini habis sudah membawa serta beberapa kilogram berat badanku. Tulang-tulang
di pinggangku dan rusukku jauh lebih menonjol di banding yang kuingat sejak
bulan-bulan mengerikan setelah kematian ayahku.
Dan ada luka-luka yang harus kurawat-luka bakar, luka tusuk,
dan memar-memar akibat terbentuk pepohonan, dan tiga sengatan tawon penjajak
yang masih terasa nyeri dan bengkak. Aku mengeluarkan salep ke luka bakarku dan
mengoleskan sedikit ke luka-luka bekas sengatan, tapi ternyata tak ada
hasilnya. Ibuku tahu pengobatan untuk luka-luka ini, ada beberapa jenis daun
yang bisa menarik keluar racun, tapi ibuku jarang punya alasan menggunakannya,
dan aku tidak ingat nama daunnya, apalagi bentuknya.
Air lebih dulu, pikirku. Sekarang kau bisa berburu di
sepanjang perjalanan. Mudah melihat arah jalan yang sudah kulewati dengan
mengamati kerusakan yang dihasilkan tabrakan tubuhku menembus dedaunan. Jadi
aku berjalan ke arah lain, berharap musuh-musuhku masih berbaring tak mampu
bergerak, terjebak dalam dunia sureal akibat racun dari sengatan tawon
penjejak.
Aku tidak bisa bergerak terlalu cepat, sendi-sendiku menolak
melakukan gerakan-gerakan yang terlalu mendadak. Tapi aku yang menciptakan
langkah perlahan pemburu yang pakai untuk mencari jejak. Dalam hitungan menit,
aku melihat kelinci lalu aku melakukan pembunuhan pertamaku dengan panah dan
busur. Ini bukan hasil panahan yang menembus mata, tapi bisa kuterima.
Setelah berjalan sekitar satu jam, aku menemukan aliran sungai
yang dangkal tapi lebar, dan lebih dari cukup untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhanku. Matahari bersinar panas dan terik, jadi sambil menunggu
airku disucihamakan aku melepaskan pakaianku hingga cuma pakaian dalam yang
tersisa dan mencemplungkan diri ke arus air yang mengalir pelan. Ujung rambut
sampai kakiku kotor tak keruan. Aku berusaha mencebur-ceburkan diriku tapi
akhirnya aku hanya berbaring di air selama beberapa menit, membiarkan air
membasuh jelaga, darah, dan kulit yang mulai terlepas dari luka bakarku.
Setelah mencuci pakaianku dan menggantungnya agar kering di
semak-semak, aku duduk di tepi sungai sejenak, berjemur di bawah matahari,
jariku mengurai rambutku yang kusut. Nafsu makanku sudah kembali, aku menyantap
biskuit dan sepotong dendeng. Dengan segenggam lumut, aku menggosok darah dari
senjata-senjata perakku.
Setelah merasa segar, aku mengobati luka-luka bakarku,
mengepang rambutku, dan memakai pakaianku yang masih basah. Aku tahu matahari
akan mengeringkan pakaianku dalam waktu singkat. Berjalan melawan arus
tampaknya tindakan yang paling cerdas. Aku lebih suka bisa berjalan menanjak
sekarang, dengan sumber air bersih yang tidak hanya untuk diriku tapi juga
untuk calon buruanku. Dengan mudah aku membunuh seekor burung aneh yang
bentuknya seperti kalkun liar. Terserah seperti apa bentuknya, yang penting
binatang itu bisa dimakan.
Pada siang menjelang sore, aku memutuskan untuk membuat api
kecil agar bisa memasak daging, berharap cahaya senja akan membantu
menyembunyikan asap dan aku bisa memadamkan api saat malam tiba. Kubersihkan
binatang buruanku, sengaja memeriksa burung itu lebih teliti, tapi tak ada
tanda-tanda yang mencurigakan. Setelah bulu-bulunya dicabuti, ukurannya
ternyata tidak lebih besar daripada ayam, tapi dagingnya gemuk dan padat. Aku
baru saja menaruh potongan daging pertama di atas bara saat aku mendengar bunyi
ranting patah.
Dalam satu gerakan cepat, aku menoleh ke arah bunyi itu,
menyiagakan panah dan busur di bahuku. Tifak ada seorang pun di sana. Kalau ada
pun tak bisa kulihat dari sini. Lalu aku melihat ujung sepatu bot anak-anak
yang menyembul dari belakang batang pohon. Bahuku tidak lagi bersiaga dan aku
tersenyum. Harus kuakui dia bisa bergerak di dalam hutan seperti banyak.
Bagimana lagi caranya bisa mengikutiku? Tanpa bisa kuhentikan, kata-kata
meluncur keluar dari mulutku.
"Kau tahu, bukan hanya mereka yang bisa membentuk
sekutu," kataku.
Selama sesaat, tidak ada tanggapan. Kemudian sebelah mata Rue
muncul di samping batang pohon. "Kau mau aku jadi sekutumu?"
"Kenapa tidak? Kau menolongku dengan tawon-tawon penjejak
itu. Kau cukup pintar karena bisa bertahan hidup hingga sekarang. Dan lagi
pula, aku juga tak bisa menggoyahkanmu," kataku.
Mata Rue berkedip-kedip memandangku, berusaha mengambil
keputusan.
"Kau lapar?"
Aku bisa melihatnya menelan ludah dengan susah payah, matanya
berbinar memandangi daging. "Ayo kemari, aku berhasil membunuh dua buruan
hari ini."
Dengan ragu-ragu Rue melangkah keluar dari tempat
persembunyiannya. "Aku bisa mengobati luka sengatanmu."
"Kau bisa?" tanyaku. "Bagaimana?"
Rue merogoh kantong yang dibawanya dan mengeluarkan segenggam
dedaunan. Aku hampir yakin itu daun-daunan yang sama seperti yang digunakan
ibuku. "Di mana kau menemukan daun-daun ini?"
"Di dekat-dekat sini. Kami semua membawanya ketika
bekerja di kebun buah-buahan. Mereka meninggalkan banyak sarang tawon penjejak
di sana," kata Rue. "Di sini juga banyak."
"Oh, ya. Kau dari Distrik Sebelas. Pertanian."
kataku. "Kebun buah-buahan, ya? Pasti itu yang membuatmu bisa terbang di
antara pepohonan seakan-akan kau punya sayap."
Rue tersenyum. Aku berhasil menyebutkan salah satu dari
beberapa hal yang dibanggakannya. "Ayo, kemarilah. Obati aku."
Aku mengempaskan tubuhku di dekat api dan menggulung celana
panjangku untuk memperlihatkan bekas sengatan di lututku. Yang membuatku
terkejut adalah Rue memasukkan daun-daunan itu ke mulut lalu mengunyahnya.
Ibuku biasanya menggunakan cara lain, tapi saat ini kami kan tidak punya banyak
pilihan. Setelah sekitar satu menit, Rue menekankan gumpalan hijau daun bekas
kunyahannya lalu meludahi lututku.
"Ohh." Suara itu terucap tanpa bisa kutahan. Seakan
daun itu benar-benar mengisap rasa sakit tepat dari luka bekas sengatan.
Rue mengikik geli. "Untung kau punya kesadaran untuk
mencabut sengatnya atau keadaanmu bisa lebih buruk dari sekarang."
"Ke leherku. Leherku" Aku nyaris memohon padanya.
Rue memasukkan segenggam daun lagi ke mulutnya, dan tak lama
kemudian aku tertawa karena rasa lega yang begitu manis kurasakan.
Aku memperhatikan luka bakar panjang di lengan atasnya.
"Aku punya obat untuk itu."
Kutaruh senjataku lalu kuolesi lengannya dengan salep luka
bakarku.
"Kau punya sponsor-sponsor yang bagus," katanya
dengan penuh damba.
"Kau belum punya sponsor?" tanyaku.
Rue menggeleng.
"Kau pasti dapat. Lihat saja. Semakin dekat kita menuju
akhir, semakin banyak orang yang akan menyadari betapa cerdasnya dirimu." Aku
membalik daging panggang yang sedang kumasak.
"Kau tidak bercanda kan, waktu kaubilang ingin aku jadi
sekutumu?" tanyanya.
"Tidak, aku serius," jawabku. Aku nyaris bisa
mendengar Haymitch mengerang mengetahui aku bergabung dengan anak ringkih ini. Tapi
aku menginginkannya. Karena dia orang yang bisa selamat, dan aku percaya
padanya, dan kenapa aku tidak sekalian mengakuinya? Dia mengingatkanku pada
Prim.
"Oke," katanya, dan mengulurkan tangan. Kami
berjabatan. "Setuju."
Tentu saja persetujuan semacam ini sifatnya hanya sementara,
tapi tak ada satu pun dari kami berdua yang menyinggungnya.
Rue menyumbangkan akar-akaran bertepung untuk dimasak dengan
daging. Dipanggang di atas api, perpaduannya menciptakan aroma manis
umbi-umbian. Rue juga mengenali burung yang kupanah, semacam binatang liar yang
disebut groosling di distriknya. Dia bilang kadang-kadang ada binatang yang
lepas dari kawanannya nyasar ke kebun buah dan mereka bisa makan siang lebih
baik hari itu. Sesaat, percakapan kami terhenti ketika kami mengisi perut.
Groosling ini punya daging lezat yang berlemak, minyaknya mengalir turun di
dagu ketika dagingnya digigit.
"Oh," kata Rue sambil mendesah. "Aku tak pernah
makan satu paha sendirian sebelumnya."
Aku yakin dia tidak pernah. Aku juga yakin daging adalah
makanan langka baginya.
"Makan lagi," kataku.
"Kau serius?" tanyanya.
"Makan sebanyak yang kau mau. Sekarang aku punya busur
dan panah, aku bisa berburu lebih banyak lagi. Selain itu, aku punya jerat. Aku
bisa mengajarimu bagaimana memasangnya," kataku.
Rue masih memandangi bagian paha daging groosling itu dengan
tampang ragu.
"Oh, ambil saja," kataku, dan menaruh daging paha
itu ke tangannya. "Daging ini hanya tahan beberapa hari. Lagi pula selain
burung ini kita juga punya kelinci."
Setelah daging di tangan, nafsu makan Rue menguasainya dan dia
langsung mengunyah daging itu banyak-banyak.
"Kupikir di Distrik Sebelas, kalian punya lebih banyak
makanan dibanding kami. Karena kalian yang menanam makanan," kataku.
Mata Rue membelalak. "Oh, tidak, kami tidak boleh makan
hasil panenan."
"Mereka menangkapmu begitu?" tanyaku.
"Mereka mencambukmu dan memastikan semua orang
melihatnya," kata Rue. "Wali Kota amat tegas soal ini."
Dari ekspresinya, aku bisa melihat bahwa peristiwa itu
bukannya tidak sering terjadi. Cambukan di depan umum adalah peristiwa langka
di Distrik 12, meskipun kadang-kadang ada saja yang terjadi. Secara teknis, aku
dan Gale bisa dicambuk setiap hari karena berburu tanpa izin di hutan-yah,
secara teknis, kami bisa dihukum lebih buruk lagi-namun semua petugas membeli
daging dari kami. Selain itu, Wali Kota kami, ayah Madge, tampaknya tidak
terlalu suka menghukum seperti itu. Mungkin dengan menjadi wali kota distrik
yang paling miskin, tidak bergengsi, dan paling konyol di negara ini memiliki
keuntungan-keuntungannya tersendiri. Contohnya, kami hanya dilirik sebelah mata
oleh Capitol selama kami bisa menghasilkan batu bara dalam kuota yang
ditentukan.
"Apakah kau mendapatkan semua batu bara yang
kauinginkan?" tanya Rue.
"Tidak," jawabku. "Hanya mendapat apa yang kami
beli dan apa yang tersisa dari sepatu bot kami."
"Mereka memberi kami makan lebih pada saat panen, supaya
orang-orang bisa bekerja lebih lama," kata Rue.
"Kau tidak perlu sekolah?" tanyaku.
"Pada saat panen, tidak. Saat itu semua orang harus
bekerja," kata Rue.
Mendengar cerita hidupnya terasa menarik. Kami nyaris tidak
berkomunikasi dengan orang di luar distrik kami. Bahkan sekarang, aku
bertanya-tanya apakah para juri Hunger Games memblok percakapan kami, karena
meskipun isi percakapannya tak berbahaya, mereka tidak mau orang-orang dari
distrik berbeda saling tahu tentang satu sama lain.
Atas saran Rue, kami mengeluarkan semua makanan kami untuk
perencanaan ke depan. Dia sudah melihat sebagian besar makananku,tapi aku
menambahkan beberapa potong biskuit di tumpukan makanan kami. Rue ternyata
berhasil memgumpulkan banyak umbi-umbian, kacang-kacangan, sayuran, dan
sejumlah buah berry.
Aku menggelindingkan buah-buah berry yang tak kukenal di
telapak tanganku. "Kau yakin ini aman?"
"Oh, ya, buah-buah berry ini ada di distrikku. Aku sudah
makan buah ini berhari-hari," katanya, lalu memasukkan segenggam penuh ke
mulutnya.
Dengan ragu aku menggigit sebutir, dan rasanya sama lezatnya
dengan blackberry di distrikku. Mengambil Rue sebagai sekutu rasanya keputusan
paling bijak. Kami membagi persediaan makanan, jadi seandainya kami terpisah,
kami punya persediaan makanan selama berhari-hari. Selain makanan, Rue hanya
punya tempat air yang kecil, ketapel buatan sendiri, dan sepasang kaus kaki.
Dia juga punya pecahan batu tajam yang digunakannya sebagai pisau.
"Aku tahu aku tidak punya banyak," kata Rue seakan
dia merasa malu dengan apa yang dimilikinya, "tapi aku harus kabur dari
Cornucopia sesegera mungkin."
"Kau benar kok," sahutku. Ketika aku mengeluarkan
perlengkapanku, Rue menahan napas saat melihat kacamata hitamku.
"Bagaimana kau bisa punya ini?" katanya.
"Ada di ranselku. Kacamata ini tak ada gunanya. Tidak
bisa dipakai untuk menghalau sinar matahari, malah membuatku jadi sulit
melihat," kataku seraya mengangkat bahu.
"Kacamata ini bukan untuk matahari, tapi untuk
gelap," kata Rue. "Kadang-kadang saat kami harus memanen pada malam
hari, mereka memberikan kacamata ini untuk mereka yang berada di puncak-puncak
pepohonan. Satu kali, ada anak bernama Martin, dia berusaha menyimpan
kacamatanya. Dia sembunyikan di celananya. Dan mereka langsung membunuhnya di
tempat."
"Mereka membunuh seorang anak lelaki karena mengambil
benda ini?" tanyaku.
"Ya, padahal semua orang tahu Martin tidak berbahaya.
Otaknya agak kurang beres. Maksudku, tingkahnya seperti anak tiga tahun. Dia
hanya ingin kacamata itu untuk mainan." kata Rue.
Mendengar ceritanya membuatku merasa Distrik 12 seperti rumah
perlindungan yang aman. Tentu, sering kali orang-orang pingsan karena
kelaparan, tapi aku tidak bisa membayangkan Penjaga Perdamaian membunuh seorang
anak yang otaknya kurang beres. Ada seorang gadis kecil, salah satu cucu Greasy
Sae, yang sering berkeliaran di sekitar Hob. Otaknya juga kurang beres, tapi
dia diperlakukan seperti semacam peliharaan. Orang-orang sering melemparkan
barang-barang atau sisa makanan kepadanya.
"Jadi apa gunanya kacamata ini?" Aku bertanya pada
Rue, memegangi kacamata ini.
"Kacamata ini akan membuatmu bisa melihat dalam kegelapan,"
sahut Rue. "Cobalah nanti malam saat matahari terbenam."
Kuberikan sebagian korek apiku pada Rue dan dia menyiapkan
banyak dedaunan seandainya luka bekas sengatanku bernanah lagi. Kami memadamkan
api dan berjalan menuju hulu sungai hingga malam tiba.
"Kau tidur dimana?" aku bertanya padanya. "Di
pepohonan?"
Rue mengangguk.
"Hanya pakai jaket itu?"
Rue mengangkat sepasang kaus kaki ekstranya. "Aku punya
ini untuk melindungi tanganku."
Kupikir betapa dinginnya malam-malam yang berlalu. "Kita
bisa berbagi kantong tidur bersama kalau kau mau. Kita berdua bisa muat kok di
dalamnya."
Wajah Rue berbinar. Aku bisa melihat bahwa tawaranku ini jauh
di luar harapannya. Kami memilih dahan pohon yang tinggi dan beristirahat untuk
malam ini tepat ketika lagu kebangsaan dimulai. Tak ada yang tewas hari ini.
"Rue, aku baru bangun hari ini. Berapa malam sudah
kulewati?"
Lagu kebangsaan seharusnya bisa meredam suara kami, tapi aku
tetap saja berbisik. Aku bahkan bersikap hati-hati dengan menutupi bibirku
dengan tangan. Aku tidak mau penonton tahu apa yang rencananya bakal
kuberitahukan pada Rue tentang Peeta. Melihat gelagatku, Rue melakukan tindakan
yang sama.
"Dua," jawabnya. "Anak perempuan dari Distrik
Satu dan Empat tewas. Tinggal sepuluh orang yang terisa."
"Ada kejadian aneh. Paling tidak, kupikir begitu. Mungkin
juga sengatan bisa tawon penjejak membuatku membayangkan yang aneh-aneh,"
kataku. "Kau tahu anak lelaki dari distrikku? Peeta? Kurasa dia
menyelamatkanku. Tapi dia bersama peserta Karier."
"Dia tidak bersama mereka lagi," ujar Rue. "Aku
mengawasi perkemahan mereka di dekat danau. Mereka berhasil kembali ke sana
sebelum pingsan karena serangan tawon. Tapi dia tak ada di sana. Mungkin dia
memang menyelamatkanmu dan harus melarikan diri."
Aku tidak menjawab. Jika memang Peeta menyelamatkanku, artinya
aku berutang lagi padanya. Dan utang yang ini takkan pernah bisa kubayar.
"Kalau memang betul, mungkin itu cuma bagian dari aktingnya. Kau tahu kan,
dia harus membuat semua orang berpikir bahwa dia jatuh cinta padaku."
"Oh," kata Rue sambil berpikir keras.
"Menurutku itu bukan akting."
"Tentu saja akting," tukasku. "Dia melatihnya
bersama mentor kami."
Lagu kebangsaan berakhir dan langit pun menggelap.
"Ayo kita coba kacamata ini."
Kukeluarkan kacamataku dan langsung kupakai. Rue tidak
bercanda. Aku bisa melihat segalanya dengan jelas, mulai dari daun-daun di
pepohonan sampai sigung yang berjalan di antara sesemakan seratur lima puluh
meter dari tempatku berada. Aku bisa membunuh binatang itu dari sini jika aku
mau berkonsentrasi. Aku bisa membunuh siapa pun.
"Siapa lagi ya yang punya kacamata ini?" tanyaku.
"Kawanan Karier punya dua pasang. Tapi mereka punya
segalanya di dekat danau," kata Rue. "Dan mereka sangat kuat."
"Kita juga kuat," kataku. "Hanya dengan cara
yang berbeda."
"Kau juga. Kau bisa memanah," katanya. "Apa
yang bisa kulakukan?"
"Kau bisa mencari makan untuk dirimu sendiri. Apa mereka
bisa?" tanyaku.
"Mereka tidak perlu mencari makanan. Mereka punya banyak
persediaan," kata Rue.
"Misalkan mereka tidak punya lagi. Misalkan persediaan
makanan mereka habis. Berapa lama mereka bisa bertahan?" tanyaku.
"Maksudku, ini kan Hunger Games?"
"Tapi, Katniss, mereka tidak kelaparan," sergah Rue.
"Memang, mereka tidak kelaparan. Dan itulah
masalahnya," aku menyetujui pendapatnya. Dan untuk pertama kalinya, aku
punya rencana. Rencana yang tidak berdasarkan kebutuhan untuk kabur atau
menghindar. Rencana menyerang.
"Kupikir kita harus memperbaiki situasinya, Rue."
No comments:
Post a Comment