Penulis: Suzanne Collins
Bab 18
ANAK lelaki dari Distrik 1 tewas sebelum dia sempat menarik
tombaknya. Anak panahku langsung menghujam tepat di bagian tengah lehernya.
Anak lelaki itu jatuh berlutut dan menghabiskan setengah dari hidupnya yang
singkat dengan berusaha mencabut anak panah yang berkubang dalam genangan
darahnya sendiri.
Aku menarik anak panah, bersiap-siap menembak, mencari sasaran
dari satu sisi ke sisi lain, sambil berteriak pada Rue, "Apa masih ada
lagi? Masih ada lagi?"
Dia harus berkata beberapa kali sebelum aku bisa mendengarnya.
Rue berguling menyamping, tubuhnya bergelung membungkus tombak. Kudorong tubuh
anak lelaki itu menjauh dari Rue dan kukeluarkan belatiku untuk membebaskannya
dari jaring.
Sekali melihat lukanya, aku tahu luka itu jauh dari
kemampuanku untuk bisa kuobati. Bahkan mungkin takkan bisa diobati oleh siapa
pun juga. Mata tombaknya tertanam di ulu hati Rue. Aku berjongkok di
hadapannya, memandang senjata yang menancap di tubuhnya tanpa sanggup berbuat
apa-apa. Tidak ada gunanya mengucapkan kata-kata yang menenangkan, dengan
mengatakan padanya bahwa dia akan baik-baik saja.
Rue tidak bodoh. Tangannya terulur dan aku menggenggamnya
seperti berpegangan pada tali penyelamat. Seakan akulah yang sekarat, bukannya
Rue.
"Kau meledakkan makanan mereka?" bisiknya.
"Semuanya sampai habis," kataku.
"Kau harus menang," kata Rue.
"Aku akan menang. Sekarang aku akan menang demi kita
berdua," aku berjanji.
Aku mendengar dentuman meriam dan mendongak. Pasti meriam
untuk anak lelaki dari Distrik 1.
"Jangan pergi." Rue memperat genggamannya pada
tanganku.
"Tidak akan. Aku tetap di sini," kataku. Aku
bergerak mendekatinya, menaruh kepalanya di pangkuanku. Dengan lembut aku
membelai rambutnya yang tebal dan berwarna gelap.
"Bernyanyilah," kata Rue, tapi aku nyaris tidak bisa
menangkap ucapannya. Bernyanyi? pikirku. Lagu apa yang harus kunyanyikan?
Aku tahu beberapa lagu. Percaya atau tidak, di rumahku dulu
juga pernah ada musik. Musik yang ada karena keberadaanku. Ayahku menarikku
ikut bernyanyi dengan suaranya yang indah-tapi aku sudah lama tidak bernyanyi
sejak ayahku meninggal. Kecuali ketika Prim sedang sakit berat. Biasanya aku
menyanyikan lagu yang sama, yang suka didengarnya semasa dia masih bayi.
Bernyanyi. Tenggorokanku tercekat air mata, serak karena asap
dan kelelahan. Tapi jika ini permintaan terakhir Prim, maksudku Rue, paling
tidak aku harus berusaha bernyanyi. Lagu yang terlintas dalam benakku adalah
lagu ninabobo sederhana, lagu yang kami nyanyikan untuk menidurkan bayi yang
lapar dan gelisah. Kalau tidak salah, ini lagu yang sudah sangat lama.
Diciptakan pada zaman dulu kala di perbukitan kami. Guru musikku menyebutnya
udara pegunungan. Tapi lirik lagunya sederhana dan menenangkan, menjanjikan
hari esok yang lebih penuh harapan daripada sepotong waktu tidak menyenangkan
yang kami jalani hari ini.
Aku terbatuk kecil, menelan ludah dengan susah payah, lalu
mulai bernyanyi:
“Jauh di padang rumput, di bawah pohon willow
Tempat tidur dari rumput, yang hijau, lembut, dan kemilau
Letakkan kepalamu, dan tutup mataku yang mengantuk
Dan saat matamu kembali terbuka, fajar akan mengetuk
Di sini aman, di sini hangat
Di sini bunga-bunga aster menjagamu dari yang jahat
Di sini mimpi-mimpimu indah dan esok akan menjadikannya
nyata
Di sini tempat aku membuatmu merasakan cinta.”
Mata Rue lamat-lamat menutup. Dadanya bergerak amat perlahan. Tenggorokanku
melepaskan air mata yang ditahan dan mengalir di kedua pipiku. Tapi aku harus
menyelesaikan laguku untuknya.
“Jauh di padang rumput, jauh tersembunyi
Satu jubah dari dedaunan, satu sinar bulan sunyi
Lupakan sedihmu dan biarkan masalahmu terlelap sepi
Dan bila pagi menjelang lagi, mereka akan hilang pergi
Di sini aman, di sini hangat
Di sini bunga-bunga aster menjagamu dari yang jahat.”
Baris-baris terakhir nyaris tak terdengar.
“Di sini mimpi-mimpimu indah dan esok akan menjadikannya
nyata
Di sini tempat aku membuatmu merasakan cinta.”
Segalanya tenang dan sunyi. Kemudian, nyaris membuat bulu
kuduk bergidik, burung-burung mockingjay mengulang laguku.
Selama sesaat, aku duduk di sana, melihat air mataku menetes
jauh ke wajahnya. Tembakan meriam untuk Rue berbunyi. Aku menunduk dan bibirku
mengecup pelipisnya. Perlahan-lahan, seakan takut membangunkannya, aku menaruh
kepala Rue ke tanah dan melepaskan tangannya.
Mereka pasti ingin aku menyingkir. Agar mereka bisa mengambil
jenazahnya. Dan tak ada alasan bagiku untuk tetap tinggal. Kutelungkupkan mayat
anak lelaki dari Distrik 1 lalu kuambil ranselnya, juga anak panah yang
mengakhiri hidupnya. Kuambil juga ransel dari punggung Rue, karena aku tahu dia
pasti mau aku mengambilnya, tapi kubiarkan tombak itu di perutnya.
Senjata-senjata yang ada di jenazah akan ikut dibawa dengan pesawat ringan.
Tombak tak ada gunanya buatku, jadi makin cepat tombak itu hilang dari arena,
makin baik.
Aku tidak bisa berhenti memandang Rue, yang tampak lebih
mungil, seperti bayi binatang meringkuk di sarang jalanya. Aku tidak bisa
meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Sudah melewati bahaya, tapi tampak
amat tak berdaya.
Membenci anak lelaki dari Distrik 1, yang juga tampak rapuh
dalam kematiannya, seakan tidak cukup. Capitol-lah yang kubenci karena telah
melakukan ini pada kami semua. Suara Gale bergaung dalam kepalaku. Ocehan
kemarahannya pada Capitol tidak lagi tak berguna, tak lagi bisa di abaikan.
Kematian Rue telah memaksaku menghadapi kemarahanku sendiri terhadap kekejaman
dan ketidakadilan yang mereka timpakan pada kami. Tapi di sini, jauh lebih kuat
daripada yang kurasakan di kampung halaman, aku merasa tak berdaya. Tidak
mungkin aku bisa membalas dendam pada Capitol. Atau mungkinkah aku
melakukannya?
Lalu aku teringat pada kata-kata Peeta di atap. "Hanya
saja aku terus berharap bisa menemukan cara untuk... menunjukkan pada Capitol
mereka tidak memilikiku. Aku lebih dari sekedar pion dalam permainan
mereka."
Dan untuk pertama kalinya, aku memahami maksudnya.
***
Aku ingin melakukan sesuatu, di sini, sekarang, membuat mereka
bertanggung jawab, menunjukkan pada Capitol bahwa apapun yang mereka lakukan
atau mereka paksakan pada kami, ada bagian dari setiap peserta yang tak dapat
mereka miliki. Bahwa Rue lebih dari sekedar pion dalam permainan mereka. Dan
aku juga bukan.
Beberapa langkah menuju hutan tumbuh bunga-bunga liar. Mungkin
itu Cuma rumput-rumput liar, tapi tumbuh menjadi bunga-bunga indah berwarna
ungu, kuning, dan putih. Aku memungut segenggam bunga dan kembali ke sisi Rue.
Perlahan-lahan setangkai demi setangkai aku menghias
jenazahnya dengan bunga-bunga. Menutupi lukanya yang buruk. Merangkaikan bunga
di wajahnya. Menyelipkan warna-warni cerah di rambutnya. Mereka harus
menunjukkan gambar ini di layar televisi. Atau, bahkan jika mereka memilih
untuk mengalihkan kamera ke arah lain saat ini, mereka harus menyoroti lagi
saat mereka mengambil jenazahnya dan semua orang akan melihatnya saat itu dan
tahu akulah pelakunya. Aku melangkah mundur dan melihat Rue untuk terakhir
kalinya. Bisa jadi dia sebenarnya hanya tidur di padang rumput itu.
"Selamat tinggal, Rue," bisikku.
Aku menempelkan tiga jari tengah tangan kiriku di bibir, lalu
melemparkan ciuman jauh ke arah Rue. Kemudian aku berjalan pergi tanpa menoleh
ke belakang.
Burung-burung pun terdiam. Di suatu tempat, seekor mockingjay
bersiul melantunkan tanda peringatan yang menandai datangnya pesawat ringan.
Aku tidak tahu bagaimana dia tahu. Dia pasti bisa mendengar apa yang tak bisa
didengar melalui telinga manusia. Aku berhenti berjalan, mataku tertuju pada
apa yang ada di depanku, bukan apa yang terjadi di belakangku. Tidak lama
kemudian, burung-burung mulai bernyanyi lagi dan aku tahu Rue sudah lenyap.
Mockingjay lain, yang tampaknya masih anak burung, hinggap di
dahan di depanku dan menyanyikan melodi Rue. Laguku dan bunyi pesaway ringan
terlalu asing untuk ditiru anak burung ini, tapi dia sudah menguasai sederet
nada. Melodi yang berarti dia dalam keadaan aman.
"Sehat dan aman," kataku ketika berjalan melewati
dahan pohon. "Sekarang kita tak perlu menguatirkannya lagi."
Sehat dan aman.
***
Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Perasaan pulang yang
kurasakan sejak bersama Rue satu malam itu kini lenyap sudah. Kakiku berjalan
ke sana kemari hingga matahari terbenam. Aku tidak takut, bahkan tidak waspada.
Ini menjadikanku sasaran mudah. Kecuali kali ini aku akan membunuh siapa pun
yang kutemui. Tanpa emosi atau gemetar sedikit pun. Kebencianku pada Capitol
tidak mengurangi kebencianku sedikit pun terhadap para pesaingku. Terutama pada
kawanan Karier. Paling tidak, mereka harus membayar kematian Rue.
Tapi tak ada seorang pun yang tampak. Tidak banyak lagi
peserta yang tersisa dan arena pertarungan ini sangat luas. Tidak lama lagi
mereka akan mengeluarkan alat entah apa yang memaksa kami untuk mendekat. Tapi
sudah cukup banyak kengerian hari ini. Mungkin kami bisa punya waktu untuk
tidur.
Aku baru saja hendak menaruh ransel-ranselku ke pohon untuk
membuat tempat istirahat ketika parasut perak melayang turun dan mendarat di
depanku. Hadiah dari sponsor. Tapi kenapa sekarang? Barang-barang persediaanku
banyak.
Mungkin Haymitch menyadari bahwa aku patah semangat dan
berusaha sedikit menghiburku. Atau mungkin ini sesuatu yang dapat membantu
telingaku? Aku membuka parasut dan menemukan sebongkah kecil roti. Bukan roti
putih buatan Capitol. Roti ini terbuat dari gandum hitam jatah distrik dan
bentuknya seperti bulan sabit. Bagian atasnya ditaburi biji-bijian.
Aku mengingat pelajaran yang diberikan Peeta di Pusat Latihan
tentang berbagai jenis roti dari setiap distrik. Roti ini berasal dari Distrik
11. Dengan hati-hati aku mengangkat roti yang masih hangat itu. Berapa harga
yang harus dibayar oleh orang-orang dari Distrik 11 yang bahkan tidak bisa
membeli makanan untuk diri mereka sendiri? Berapa banyak orang yang harus
mengais-ngais uang yang mereka miliki untuk menyumbang demi roti ini? Pasti
roti ini ditujukan buat Rue. Tapi bukannya menarik hadiah ini ketika dia tewas,
mereka memerintahkan Haymitch untuk memberikannya padaku. Sebagai pernyataan
terima kasih? Apa pun alasannya, kejadian ini adalah pertama kalinya. Hadiah
dari distrik yang bukan distrikmu.
Aku mendongak dan melangkah ke sinar matahari terakhir yang
tersisa. "Terima kasihku untuk penduduk Distrik Sebelas," kataku.
Aku ingin mereka tahu bahwa aku tahu dari mana roti ini
berasal. Itulah penghargaan penuh bahwa aku mengenali hadiah mereka.
***
Aku memanjat pohon setinggi-tingginya, bukan demi keamanan
tapi untuk pergi sejauh-jauhnya dari hari ini. Kantong tidurku tergulung rapi
dalam ransel Rue. Besok aku akan melihat-lihat persediaan yang kumiliki. Besok
aku akan membuat rencana baru. Tapi malam ini, yang bisa kulakukan adalah
mengikat diriku di pohon dan mencuil roti sedikit demi sedikit untuk kumakan.
Rasanya enak. Rasanya seperti berada di rumah.
Tidak lama kemudian lambang Capitol muncul di langit, lagu
kebangsaan terdengar di telinga kananku. Aku melihat anak lelaki dari Distrik
11, Rue. Itu saja untuk malam ini. Tinggal enam yang tersisa, pikirku. Hanya
enam. Sambil memeluk roti dengan kedua tanganku, aku langsung jatuh tertidur.
Kadang-kadang saat keadaan sedang buruk, otakku akan memberiku
mimpi indah. Berjalan ke hutan bersama ayahku. Satu jam di bawah sinar matahari
sambil makan kue dengan Prim. Malam ini membawaku bertemu Rue, masih berhiaskan
bunga-bunganya, hinggap di pepohonan tinggi, berusaha mengajariku bicara pada
mockingjay. Aku tidak melihat bekas-bekas lukanya, tidak ada darah, hanya ada
gadis kecil yang cerdas dan ceria. Dia menyanyikan lagu-lagu yang tak pernah
kudengar dengan suara jernih dan merdu. Terus dan terus. Sepanjang malam. Ada
masa di antara kantuk ketika aku bisa mendengar sisa-sisa nada musiknya
meskipun dia hilang di antara dedaunan.
Ketika aku terbangun sepenuhnya, selama sesaat aku merasa
nyaman. Aku berusaha berpegangan pada perasaan mimpi yang damai itu, tapi semua
itu lenyap dengan cepat, meninggalkan aku dalam keadaan makin sepi dan lebih
sehat daripada sebelumnya. Seluruh tubuhku terasa lembam, seakan ada cairan
timah mengalir dalam aliran darahku. Aku kehilangan semangat untuk melakukan
tugas-tugas sederhana, hanya bisa berbaring di sini, memandangi kanopi
daun-daun tanpa berkedip.
Selama beberapa jam, aku diam tak bergerak. Seperti biasa,
pikiranku membayangkan wajah Prim yang gelisah ketika menontonku di layar kaca
di rumah yang membuatku lepas dari rasa malas.
Kuberikan perintah-perintah sederhana pada diriku, seperti,
"Sekarang kau harus duduk, Katniss. Sekarang kau harus minum,
Katniss." Aku melaksanakan perintah-perintah itu dengan gerakan lamban ala
robot. "Sekarang kau harus memeriksa isi ransel-ranselmu, Katniss."
Ransel Rue menyimpan kantong tidurku, kantong airnya yang
nyaris kosong, segenggam kacang-kacangan dan umbi-umbian, sedikit daging
kelinci, kaus kaki cadangan dan ketapelnya. Anak lelaki dari Distrik 1 punya
beberapa pisau, dua mata tombak cadangan, senter, kantong-kantong kulit
berukuran kecil, peralatan P3K, sebotol penuh air, dan sekantong buah-buahan kering.
Sekantong buah-buahan kering. Dari semua barang yang bisa dipilihnya, dia
memilih ini. Bagiku, ini merupakan lambang kesombongan. Kenapa harus
repot-repot membawa makanan sementara kau punya makanan berlimpah di kamp? Saat
kau bisa membunuh musuhmu dengan cepat lalu kau bisa pulang sebelum lapar? Aku
hanya bisa berharap kawanan Karier lainnya hanya membawa sedikit bekal makanan
dan saat ini mereka tidak punya apa-apa.
Bicara tentang makanan, persediaan makananku juga sudah
menipis. Aku sudah menghabiskan roti dari Distrik 11 dan kelinci terakhir.
Betapa cepatnya makanan habis. Yang tersisa di tanganku hanya umbi-umbian dan
kacang-kacangan milik Rue, buah-buahan kering milik anak lelaki Distrik 1, dan
selembar dendeng.
Sekarang kau harus berburu, Katniss, aku memberi perintah pada
diriku sendiri. Dengan patuh aku menyusun persediaan-persediaan yang kuinginkan
ke dalam ranselku. Setelah turun dari pohon, aku menyembunyikan pisau-pisau dan
dua mata tombak di bawah tumpukan batu agar tak ada yang bisa memakainya. Aku
tersesat karena berjalan tak tentu arah kemarin sore, tapi aku berusaha untuk
berjalan ke arah aliran air. Aku tahu aku berjalan ke arah yang benar ketika
melihat api unggun ketiga Rue, yang tak pernah dinyalakan.
Tidak lama kemudian, aku menemukan sekawanan groosling hinggap
di pepohonan dan langsung memanah tiga ekor sebelum mereka sadar apa yang
menghantam mereka. Aku kembali ke api sinyal Rue dan menyalakannya, tidak
peduli pada asapnya yang berlebihan. Di mana kau, Cato? Pikirku saat memanggang
burung dan umbi-umbian Rue. Aku menunggu di sini.
Siapa yang tahu di mana kawanan Karier sekarang? Entah mereka
terlalu jauh untuk mendatangiku atau terlalu yakin ini cuma tipuan atau...
mungkinkah mereka terlalu takut padaku? Tentu saja, mereka tahu aku punya busur
dan panah, Cato melihat aku mengambilnya dari Glimmer. Tapi apakah mereka
sekarang sudah tahu jawabannya?
Apakah mereka tahu bahwa aku yang meledakkan persediaan mereka
dan membunuh teman sesama Karier mereka? Mungkin mereka pikir Thresh pelakunya.
Bukankah dia yang lebih mungkin membalas dendam atas kematian Rue daripada aku?
Mengingat mereka berasal dari distrik yang sama? Walaupun Thresh tidak pernah
tampak menaruh perhatian pada Rue.
Dan bagaimana dengan si Muka Rubah? Apakah dia masih berada di
sana melihatku meledakkan persediaan? Rasanya tidak. Ketika aku melihatnya
tertawa di dekat puing-puing keesokan paginya, dari wajahnya seakan ada orang
yang memberinya kejutan yang menyenangkan.
Aku ragu mereka menganggap Peeta yang menyalakan api sinyal
ini. Cato yakin Peeta sudah mampus. Saat ini aku berharap bisa memberitahu
Peeta tentang bunga-bunga yang kuhiaskan pada Rue. Bahwa aku kini memahami apa
yang berusaha dikatakannya di atap. Mungkin jika dia memenangkan Hunger Games ini,
dia akan melihatku pada malam pemenang, ketika mereka memutar ulang momen-momen
penting dalam Hunger Games di layar di atas panggung tempat kami melakukan
wawancara. Sang pemenang duduk di tempat terhormat di panggung, dikelilingi
para kru pendukung mereka.
Tapi aku sudah bilang pada Rue, aku akan di sana. Demi kami
berdua. Entah bagaimana kata-kata itu tampak lebih penting daripada janji yang
kuberikan pada Prim.
Aku sungguh-sungguh berpikir aku punya kesempatan menang
sekarang. Bukan karena aku punya panah atau berhasil mengelabui kawanan Karier
beberapa kali, meskipun dua hal itu membantu. Ada yang terjadi ketika aku
menggenggam tangan Rue, memperhatikan kehidupan mengalir keluar dari dirinya.
Sekarang aku bertekad untuk membalas dendamnya, dan aku hanya bisa melakukannya
dengan memenangkan Hunger Games ini dan membuat diriku tak terlupakan.
Burung-burung ini kupanggang sampai kelewat matang sambil
berharap ada orang yang datang agar bisa kupanah, tapi tak ada seorang pun
muncul. Mungkin pesertapeserta lain sedang saling menghantam sampai mati. Tidak
masalah juga sebenarnya. Sejak adegan pertumpahan darah itu, aku pasti muncul
di layar televisi lebih dari yang bisa kuhitung.
Akhirnya, kubungkus makananku dan kembali ke sungai untuk
mengisi air. Tapi rasa lelah yang kurasakan tadi pagi kembali muncul, sehingga
meskipun sekarang masih sore, aku memanjat pohon dan beristirahat di sana.
Otakku mulai memutar ulang kejadian-kejadian yang terjadi sejak kemarin. Aku
terus-menerus melihat Rue yang tertombak, anak panahku menembus leher anak
lelaki itu. Aku tidak tahu kenapa aku bahkan peduli pada anak itu.
Lalu aku tersadar... dia korban pertama yang kubunuh.
Bersama dengan statistik lain yang mereka laporkan untuk
membantu penonton memasang taruhan mereka, semua peserta memiliki daftar
korban. Kurasa secara teknis aku diakui sebagai pembunuh Glimmer dan anak
perempuan dari Distrik 4, karena menjatuhkan sarang tawon pada mereka. Tapi
anak lelaki dari Distrik 1 adalah korban pertama yang kutahu akan tewas akibat
perbuatanku. Banyak binatang yang sudah tewas di tanganku, tapi hanya satu
manusia. Aku mendengar Gale berkata, "Memangnya bisa berbeda sampai sejauh
apa?"
Yang luar biasa rasanya seperti melakukan eksekusi. Busur
ditarik, anak panah ditembakkan. Semua terasa berbeda sesudahnya. Aku sudah
membunuh anak lelaki yang namanya pun tak kuketahui. Entah di mana keluarganya
menangisi kematiannya. Teman-temannya ingin menghabisiku. Mungkin dia punya
kekasih yang sungguh-sungguh berharap dia akan kembali... Tapi kemudian aku
teringat pada jenazah Rue dan aku langsung mengenyahkan gambaran tentang anak
lelaki itu dari benakku. Paling tidak, untuk saat ini.
Tampilan di langit menunjukkan hari ini tidak banyak peristiwa
yang terjadi. Tidak ada yang tewas. Aku bertanya-tanya berapa lama lagi waktu
kami sampai malapetaka baru diciptakan untuk mendesak kami mendekat. Kalau
waktunya adalah malam ini, aku ingin menyempatkan diri untuk tidur dulu.
Kututup telingaku yang masih bisa mendengar untuk mengenyahkan lagu kebangsaan
yang terngiang, tapi kemudian aku mendengar tiupan terompet, lalu segera duduk
menunggu.
Kebanyakan, satu-satunya komunikasi antara para peserta dengan
dunia luar adalah laporan kematian tiap malam. Tapi kadang-kadang, ada bunyi
terompet yang diikuti pengumuman. Biasanya ini panggilan untuk berpesta. Saat
makanan langka, para Juri Pertarungan akan mengundang semua peserta ke pesta,
ke tempat yang dikenal semua petarung seperti Cornucopia, sebagai ajakan untuk
berkumpul dan bertarung. Kadang-kadang ada banyak makanan dan kadang-kadang
hanya ada sebongkah roti basi yang diperebutkan oleh para peserta. Aku tidak
ingin mengambil makanan, tapi ini bisa jadi waktu yang tepat untuk menghabisi
beberapa pesaing.
Suara Cladius Templesmith bergaung di atas, memberi selamat
kepada kami berenam yang masih bertahan. Tapi dia tidak mengundang kami
berpesta. Dia mengatakan sesuatu yang sangat membingungkan. Ada perubahan
peraturan dalam Hunger Games.
Perubahan peraturan. Ini saja sudah mengacau pikiran karena
kami tidak punya peraturan yang dinyatakan dengan jelas, kecuali jangan keluar
dari lingkarang selama enam puluh detik, dan peraturan yang tak disebutkan
adalah jangan saling memakan satu sama lain. Di bawah peraturan baru, dua
peserta dari distrik yang sama bisa dinyatakan sebagai pemenang jika mereka
jadi dua peserta terakhir yang masih hidup. Claudius berhenti sejenak, seakan
dia tahu kami tidak benar-benar paham artinya, lalu mengulang perubahan
peraturan itu sekali lagi.
Kabar itu segera masuk ke otakku. Dua pemenang bisa menang
tahun ini. Kalau mereka berasal dari distrik yang sama. Dua-duanya bisa hidup.
Kami berdua bisa hidup.
Tanpa pikir panjang, aku berseru memanggil nama Peeta.[]
No comments:
Post a Comment