Penulis: Suzanne Collins
Bab 11
ENAM puluh detik. Itulah waktu yang ditetapkan pada kami untuk
berdiri di piringan-piringan logam sebelum suara gong melepaskan kami.
Melangkah sebelum waktu satu menit, ranjau darat akan meledakkan kakimu. Enam
puluh detik waktu yang diberikan pada semua peserta untuk pergi sejauh mungkin
dari Cornucopia, terompet emas raksasa berbentuk seperti corong dengan ekor
melengkung.
Di mulut corong yang tingginya sekitar enam meter berceceran
benda-benda yang akan membantumu bertahan hidup di arena. Makanan, tempat air,
senjata, obat-obatan, pakaian, alat membuat api. Di Cornucopia berserakan
persediaan-persediaan lain, yang nilainya makin berkurang semakin jauh jaraknya
dari trompet. Contohnya, hanya beberapa langkah dariku terdapat plastik
berukuran satu meter persegi. Benda ini bisa berguna saat turun hujan. Tapi di
mulut terompet, aku bisa melihat benda yang akan melindungiku dari hampir semua
cuaca.
Kalau saja aku punya keberanian untuk masuk dan bertarung
untuk mendapatkannya melawan 23 peserta lain. Dan aku sudah diberi instruksi
untuk tidak melakukannya.
Kami berada di lapangan terbuka yang datar. Tanah gersang yang
penuh tanah. Di seberangku, di belakang peserta-peserta lain, aku tidak bisa
melihat apa-apa, bisa jadi di sana ada lereng melandai atau jurang. Di sebelah
kananku ada danau. Di sebelah kiri dan belakangku terdapat hutan pinus yang
tidak terlalu lebat. Haymitch pasti ingin aku berlari ke sana. Segera.
Aku bisa mendengar perintah-perintahnya dalam kepalaku.
"Segera pergi, buat jarak sejauh-jauhnya dengan peserta lain, dan cari
sumber air."
Tapi hadiah di depan mata tampak menggoda, sangat menggoda.
Dan aku tahu jika aku tidak mengambilnya, orang lain yang akan mendapatkannya.
Para Peserta Karier yang selamat dari pertumpahan darah akan membagi
benda-benda untuk bertahan hidup yang tersisa. Ada yang menarik perhatianku. Di
sana, di atas gundukan selimut yang terlipat, ada anak panah berujung perak dan
busurnya, lengkap dengan tali busurnya, menunggu untuk dipakai. Itu milikku,
pikirku. Benda itu dimaksudkan untukku.
Aku cepat. Aku bisa berlari lebih cepat daripada anak-anak perempuan
lain di sekolahku dalam lari jarak dekat, meskipun ada beberapa bisa
mengalahkanku dalam lari jarak jauh. Jarakku dengan busur itu hanya empat puluh
meter, aku bisa melakukannya dengan mudah. Aku tahu aku bisa mendapatkannya,
aku tahu aku bisa jadi orang pertama yang mengambilnya, tapi pertanyaannya
adalah seberapa cepat aku bisa keluar dari sana?
Pada saat aku berhasil berlari dari gelombang ini dan
mengambil senjata itu, yang lain pasti tiba di terompet, dan satu atau dua
peserta juga bisa mengambil senjata lain, mungkin juga lebih dari sepuluh
peserta yang tiba, dan dalam jarak dekat, mereka bisa menghabisiku dengan
tombak atau alat pemukul. Atau menghajarku dengan tinju mereka yang keras.
Tapi, aku bukan sasaran satu-satunya. Aku berani bertaruh
banyak peserta yang akan melewati gadis bertubuh kecil, walaupun gadis itu
mendapat nilai sebelas dalam latihan, dan mereka akan berusaha mengalahkan
lawan-lawan yang lebih berat.
Haymitch tak pernah melihatku berlari. Mungkin jika dia pernah
melihatku lari, dia akan menyuruhku mengambilnya. Mengambil senjata itu. Karena
itu satu-satunya senjata yang bisa jadi penyelamatku. Dan aku hanya melihat
satu busur di antara benda-benda yang bertumpukan di sana. Aku tahu waktu satu
menit sudah hampir habis dan aku harus memutuskan apa strategiku. Kakiku
bersiap-siap lari, bukan berlari masuk hutan tapi menuju tumpukan selimut,
menuju busur panah. Tiba-tiba aku melihat Peeta, jarak kami terpisah lima
peserta di sebelah kananku, lumayan jauh sebenarnya, tapi aku masih bisa
melihatnya memandangku dan aku merasa dia menggeleng padaku tapi sinar matahari
membuat mataku silau. Sementara aku masih bingung mengartikan gelengan Peeta,
gong berbunyi.
Dan aku melewatkannya Aku melewatkan kesempatanku Beberapa
detik yang hilang karena tidak segera bersiap-siap membuatku harus berubah
pikiran. Sejenak kakiku bingung hendak melangkah ke mana, otakku menyuruhnya
lari dan mengambilnya tapi aku melompat ke depan, memungut lembaran plastik dan
sebongkah roti. Benda-benda yang kuambil sangat kecil nilainya dan aku sangat
marah pada Peeta karena mengalihkan perhatianku sehingga aku berlari cepat
dalam jarak dua puluh meter untuk mengambil tas ransel oranye cerah yang bisa
dipakai untuk menyimpan banyak barang karena aku tidak tahan membayangkan pergi
dari sini nyaris tanpa membawa apa-apa.
Seorang anak lelaki, kurasa dia dari Distrik 9, mengambil tas
ransel itu berbarengan denganku dan selama beberapa saat kami bertarik-tarikan
lalu dia terbatuk, memuncratkan darah ke wajahku. Aku terhuyung mundur, merasa
jijik dengan semburan darah yang hangat dan lengket. Lalu anak lelaki itu jatuh
ke tanah. Saat itulah aku melihat pisau tertancap di punggungnya.
Peserta-peserta lain sudah tiba di Cornucopia dan menyebarkan diri untuk
menyerang.
Aku melihat gadis dari Distrik 2, hanya berjarak sepuluh
meter, berlari ke arahku, satu tangannya memegang enam bilah pisau. Aku sudah melihatnya
melempar pisau dalam latihan. Lemparannya tak pernah meleset. Dan aku jadi
sasaran selanjutnya.
Segala ketakutan yang kurasakan kini memadat menjadi ketakutan
terhadap gadis ini, predator yang bisa membunuhku dalam waktu beberapa detik.
Adrenalin mengalir deras dalam darahku dan aku langsung menggayutkan ransel itu
ke sebelah bahuku lalu berlari dengan kecepatan penuh ke dalam hutan. Aku bisa
mendengar pisau mendesing ke arahku dan secara refleks aku mengangkat ransel
untuk melindungi kepalaku. Mata pisau itu menancap ke atas ranselku. Kini kedua
bahuku memanggul ransel, dan aku berlari menuju pepohonan. Entah bagaimana aku
tahu gadis itu takkan mengejarku. Dia akan kembali ke Cornucopia sebelum semua
benda bagus di ambil orang.
Aku menyeringai. Terima kasih atas pisaunya, pikirku.
Di tepi hutan aku menoleh ke belekang untuk melihat
pemandangan di tanah lapang. Kurang-lebih dua belas peserta sedang saling baku
hantam di trompet. Beberapa peserta sudah tewas terbaring di tanah. Mereka yang
kabur sudah menghilang di antara pepohonan atau menuju ruang kosong di
seberangku. Aku terus berlari sampai hutan berhasil menyembunyikanku dari
peserta-peserta lain, lalu aku berlari pelan selama beberapa saat. Bergantian
aku berlari pelan dan berjalan, membuat jarak sejauh mungkin antara aku dan
para pesaingku.
Aku kehilangan rotiku saat berebutan tas dengan anak lelaki
dari Distrik 9 tapi aku berhasil menyimpan plastik ke dalam pergelangan
tanganku, jadi sembari berjalan aku melipat plastik itu dengan rapi dan
menyimpannya ke dalam saku. Aku juga melepaskan pisau yang tertancap-pisau yang
bagus dengan mata pisau panjang dan tajam, dengan bagian bergerigi di dekat
gagangnya, yang membuat pisau ini berguna untuk menggergaji-dan aku menyelipkan
pisau ini ke ikat pinggangku. Aku belum berani berhenti untuk memeriksa isi tas
ranselku. Aku terus bergerak, dan hanya berhenti untuk memastikan apakah ada
yang mengejarku.
Aku bisa berjalan lama sekali. Aku tahu berdasarkan
pengalamanku di hutan. Tapi aku akan membutuhkan air. Itu saran kedua dari
Haymitch, dan karena aku hampir melanggar saran pertamanya, kini aku menajamkan
pandanganku untuk menemukan air. Ternyata aku belum beruntung. Hutan mulai
berubah bentuk, dan pohon-pohon pinus mulai berpadu dengan berbagai macam
pohon, ada pohon-pohon yang kukenali tapi ada yang sama sekali asing buatku.
Pada satu ketika, aku mendengar suara dan segera menghunus pisau, berpikir bahwa
aku mungkin harus membela diri, tapi aku ternyata cuma membuat kaget kelinci.
"Senang bertemu denganmu," bisikku. Kalau ada satu
kelinci, pasti ada ratusan yang menunggu untuk dijerat.
Lereng mulai melandai. Aku tidak menyukainya. Lembah membuatku
merasa terperangkap. Aku ingin berada di tempat tinggi, seperti perbukitan di
sekitar Distrik 12, di sana aku bisa melihat musuh-musuhku mendekat. Tapi aku
tidak punya pilihan selain terus melangkah.
Tapi lucu, aku tidak merasa lemah. Hari-hari makan dengan
rakus akhirnya membuahkan hasil. Aku masih sanggup bertahan meskipun kurang
tidur. Berada di hutan rasanya menyegarkan. Aku lega bisa merasa sendirian,
walaupun rasa itu cuma ilusi, karena aku mungkin sedang tampil di layar
televisi sekarang. Tidak terus-menerus tapi muncul sesekali. Ada banyak peserta
yang tewas pada hari pertama sehingga peserta yang berjalan santai di hutan
tidaklah menarik untuk dilihat. Tapi mereka akan cukup sering menunjukkan
keberadaanku agar para penonton tahu aku masih hidup, tanpa terluka dan sedang
bergerak.
Hari pembukaan merupakan hari taruhan paling ramai, saat
pendataan korban-korban awal. Tapi hari itu tidak bisa dibandingkan dengan apa
yang terjadi ketika para peserta di arena pertarungan menyusut hingga tinggal
beberapa orang saja.
Sudah lewat tengah hari ketika aku mendengar dentuman suara
meriam. Satu tembakan mewakili satu peserta yang tewas. Perkelahian pasti sudah
selesai di Cornucopia. Mereka tidak pernah mengumpulkan mayat peserta yang
tewas bersimbah darah sampai para pembunuhnya pergi. Pada hari pembukaan,
mereka bahkan kadang-kadang tidak menembakkan meriam sampai perkelahian awal
berakhir karena terlalu sulit untuk menghitung jumlah korban.
Aku memberanikan diri untuk berhenti berjalan, napasku
terengah-engah sembari menghitung suara tembakan. Satu... dua.... tiga... terus
dan terus sampai tembakan terdengar sebelas kali. Sebelas peserta yang tewas.
Sisa tiga belas orang yang masih dalam pertarungan. Kukuku menggaruk lepas
darah kering milik anak lelaki dari Distrik 9 yang batuk darah ke wajahku. Dia
pasti sudah tewas. Aku memikirkan Peeta. Apakah dia berhasil bertahan untuk
hari ini? Beberapa jam lagi aku akan tahu.
Ketika foto-foto mereka yang tewas diproyeksikan ke angkasa
agar bisa dilihat kami semua. Mendadak aku dibanjiri perasaan bahwa Peeta
mungkin saja sudah tewas, kehabisan darah, mayatnya diambil dan sekarang sedang
dalam proses dipindahkan ke Capitol lalu dibersihkan, didandani, dan dikirim ke
Distrik 12 dalam kotak kayu sederhana. Dia tidak lagi berada di sini. Dia dalam
perjalanan pulang. Aku berusaha keras mengingat apakah aku sempat melihatnya
ketika pertarungan dimulai. Tapi bayangan terakhir yang bisa kulihat adalah
Peeta menggeleng ketika gong berbunyi.
Mungkin lebih baik jika dia sudah tewas sekarang. Dia sama
sekali tidak punya keyakinan akan menang. Dan aku tidak perlu menghadapi tugas
tak menyenangkan untuk membunuhnya. Mungkin lebih baik jika dia sudah tidak
lagi dalam pertarungan ini.
Aku duduk berselonjor di samping tas ranselku, kelelahan. Aku
harus memeriksa barang-barang di dalam ransel sebelum malam tiba. Melihat
barang apa saja yang bisa kumanfaatkan. Ketika melepaskan kaitan tas ransel
itu, aku bisa merasakan tas ini kokoh walaupun warna tas ini norak. Bisa
dibilang warna oranye ini berkilau dalam kegelapan. Dalam hati aku mengingatkan
diri agar segera membuat kamuflase pada tas ini besok pagi.
Kubuka penutup ransel. Yang paling kuinginkan saat ini adalah
air. Perintah Haymitch untuk segera menemukan air bukanlah jenis perintah yang
bisa kuabaikan begitu saja. Aku tidak bisa bertahan lama tanpa air. Selama
beberapa hari, aku masih bisa hidup dengan gejala-gejala dehidrasi yang tidak mengenakkan,
tapi setelah itu kondisiku yang memburuk dan kepayahan dan aku bakal mati dalam
seminggu, paling lama.
Perlahan-lahan aku mengeluarkan barang-barang rampasanku. Satu
kantong tidur hitam tipis yang bisa memantulkan panas tubuh. Sebungkus biskuit.
Sebungkus dendeng sapi kering. Sebotol iodine. Sekotak korek api. Segulung
kawat. Kacamata hitam. Dan botol plastik berukuran 1,8 liter lengkap dengan
tutupnya yang bisa untuk menampung air tapi sekarang kering kerontang.
Tidak ada air. Memangnya sulit ya bagi mereka untuk mengisi
botol ini dengan air? Aku sadar mulut dan kerongkonganku mulai kering, juga
bibirku pecah-pecah. Aku sudah berjalan seharian. Cuaca panas dan banyak
berkeringat. Aku sering mengalami ini di distrikku, tapi di sana selalu ada air
sungai yang bisa diminum, jika terpaksa salju bisa dilelehkan jadi air.
Ketika aku menyimpan barang-barangku ke dalam ransel,
terlintas pikiran yang mengerikan. Danau tadi. Danau yang kulihat ketika aku
menunggu gong berbunyi. Bagaimana jika danau itu satu-satunya sumber air di
arena? Dengan begitu, mereka akan memastikan agar kami bertarung di sana. Danau
itu jaraknya satu hari penuh perjalanan dari tempatku duduk sekarang,
perjalanan yang jauh lebih sulit tanpa ada minuman. Dan, seandainya aku berhasil
sampai ke sana, aku yakin tempat itu dijaga ketat oleh para Peserta Karier. Aku
nyaris panik saat teringat pada kelinci yang kukagetkan tadi. Binatang itu
pasti harus minum. Aku hanya perlu mencari tahu sumbernya.
Senja mulai tiba dan aku gelisah. Pepohonan terlalu jarang
untuk bisa jadi tempat persembunyian. Daun-daun pinus yang membuat suara langkahku
teredam juga membuatku makin sulit mencari jejak binatang, padahal aku butuh
jejak mereka untuk menemukan air. Dan aku masih terus berjalan turun, makin
jauh ke dalam lembah yang tampaknya tak berujung.
Aku juga lapar, tapi aku belum berani membuka bungkus biskuit
atau dendengku yang berharga. Malahan, aku mengeluarkan pisau dan mengorek
pohon pinus, mengelupasi lapisan luar pohon dan memotong bagian dalam batang
pohon yang lebih lembut. Perlahan-lahan aku mengunyahnya sambil berjalan.
Setelah seminggu menyantap makanan paling lezat di dunia, batang pohon ini
rasanya sulit ditelan. Tapi aku sudah sering makan pinus ini sepanjang hidupku,
dan aku langsung bisa menyesuaikan diri.
***
Satu jam kemudian, jelas bahwa aku harus menemukan tempat
untuk berkemah. Binatang-binatang malam mulai keluar. Sesekali aku bisa
mendengar suara burung hantu atau lolongan binatang, firasatku mengatakan aku
harus bersaing dengan binatang-binatang pemangsa lain dalam memburu kelinci.
Tapi sejauh ini belum bisa dipastikan apakah aku juga dipandang sebagai sumber
makanan binatang-binatang pemangsa tersebut. Mungkin sekarang ada
binatang-binatang yang sedang mengintaiku.
Tapi sekarang keputusan untuk menempatkan peserta-peserta lain
sebagai lawan yang harus kupikirkan. Aku yakin banyak yang harus berburu saat
malam tiba. Mereka yang bertarung di Cornucopia akan punya makanan, air yang
berlimpah dari danau, obor atau senter, dan senjata yang sudah gatal ingin mereka
gunakan. Aku cuma berharap aku sudah berjalan cukup jauh dan cepat untuk keluar
dari jangkuan mereka.
Sebelum beristirahat, kuambil kawat dan kupasang dua jerat di
semak-semak. Aku tahu terlalu berisiko untuk menyiapkan perangkap, tapi makanan
akan cepat habis di sini. Dan aku tidak bisa menyiapkan jerat jika terus
berlari. Aku berjalan selama lima menit lagi sebelum membuat kemah.
Kupilih pohonku dengan saksama. Pohon willow yang tidak
terlalu tinggi tapi berada di antara pohon-pohon willow lain, memberikan tempat
persembunyian di antara deretan pepohonan. Aku memanjatnya, naik ke dahan pohon
yang lebih kuat di dekat batangnya, dan menemukan tempat nyaman untuk jadi
tempat tidurku.
Perlu sedikit pengaturan, tapi akhirnya aku berhasil
mendapatkan kantong tidurku dalam posisi yang lumayan nyaman. Kutaruh ranselku
ke bagian kaki kantong tidurku, lalu aku masuk ke dalamnya. Untuk jaga-jaga,
aku melepaskan ikat pinggangku, melingkarkannya ke sekeliling dahan pohon dan
kantong tidurku, lalu mengencangkannya di bagian pinggangku. Tubuhku cukup
kecil untuk bisa masuk seluruhnya ke dalam kantong tidur sampai kepalaku bisa
tertutup, tapi aku tetap memakai penutup kepalaku.
***
Ketika malam tiba, udara makin dingin. Meskipun besar risiko
yang kuhadapi untuk mendapatkan ransel ini, aku tahu keputusanku tepat. Kantong
tidur ini tak ternilai harganya, karena bisa memelihara dan memancarkan kembali
panas tubuhku. Aku yakin saat ini kekuatiran utama beberapa peserta lain adalah
bagaimana menjaga tubuh mereka agar tetap hangat sementara aku bisa tidur
selama beberapa jam. Seandainya aku tidak sehaus ini....
Hari sudah malam ketika aku mendengar lagu kebangsaan yang
selanjutnya diikuti pengumuman mereka yang tewas. Di antara cabang-cabang pohon
aku bisa melihat lambang Capitol, yang tampak seperti mengambang di angkasa.
Aku sebenarnya memandang layar lain, layar raksasa yang diangkut pesawat ringan
mereka. Lagu kebangsaan berakhir dan sesaat langit tampak gelap. Di rumah, kami
bisa menonton liputan penuh setiap pembunuhan yang terjadi, tapi di layar ini
tidak karena dianggap bisa memberikan keuntungan yang tidak adil terhadap
pesertapeserta yang masih hidup. Contohnya, jika aku bisa mendapat busur dan
panah lalu aku memanah seseorang, rahasiaku akan diketahui semua orang.
Tidak, di arena ini, yang kami lihat hanyalah foto-foto yang
sama yang mereka tunjukkan ketika mereka menayangkan nilai latihan kami di
televisi. Foto wajah yang sederhana. Tapi sekarang mereka tidak menunjukkan
angka, hanya nomor distrik. Aku mengambil napas dalam-dalam ketika wajah-wajah
sebelas peserta yang tewas ditampilkan dan jemariku mulai menghitung satu per
satu.
Wajah pertama yang ditampilkan adalah gadis dari Distrik 3.
Itu artinya Peserta Karier dari Distrik 1 dan 2 berhasil bertahan hidup. Tidak
mengejutkan. Lalu anak lelaki dari Distrik 4. Aku tidak mengira anak lelaki itu
tewas, biasanya semua Peserta Karier berhasil melewati hari pertama. Anak
lelaki dari Distrik 5... kurasa gadis berwajah rubah itu berhasil selamat. Dua
peserta dari Distrik 6 dan 7. Anak lelaki dari Distrik 8. Sepasang dari Distrik
9. Ya, itu anak lelaki yang berebutan tas ransel denganku. Kedua jemari
tanganku sudah habis, tinggal satu peserta lagi.
Apakah Peeta? Ternyata bukan, satu lagi adalah anak perempuan
dari Distrik 10. Itu saja. Capitol menutup tayangan itu dengan musik sebelum
gambar menghilang. Lalu kegelapan dan suara-suara hutan kembali menyelimutiku.
Aku lega Peeta masih hidup. Kukatakan pada diriku sendiri
sekali lagi bahwa jika aku terbunuh, kemenangan Peeta akan memberi keuntungan
pada ibuku terutama Prim. Inilah yang kukatakan pada diriku untuk menjelaskan
berbagai emosi yang bertentangan saat aku memikirkan Peeta. Rasa terima kasihku
padanya karena telah memberiku keuntungan berkat pernyataan cintanya padaku
saat wawancara. Kemarahanku pada sikap soknya di atap. Ketakutanku bahwa kami
mungkin saja harus bertarung satu lawan satu di arena ini.
Sebelas tewas, tapi tidak satu pun dari Distrik 12. Aku
berusaha mengingat-ingat siapa saja yang tersisa. Lima Peserta Karier. Si Muka
Rubah. Thresh dan Rue. Rue... ternyata dia berhasil selamat melewati hari
pertama. Aku merasa bersyukur. Aku baru ingat sepuluh peserta yang tersisa.
Tiga lagi biar kupikirkan besok. Sekarang aku berada tinggi diatas pohon, saat
ini yang harus kulakukan untuk mencoba beristirahat.
Aku tidak bisa tidur selama dua hari belakangan, dan aku juga
melewati perjalanan panjang menuju arena. Perlahan-lahan otot-ototku mengendur.
Mataku terpejam. Hal terakhir yang kupikirkan adalah untungnya aku tidak
mendengkur...
Krak. Suara ranting patah membuatku terbangun. Sudah berapa
lama aku tertidur? Empat jam? Lima? Ujung hidungku terasa dingin membeku. Krak.
Krak. Apa yang terjadi? Ini bukan suara ranting yang patah terinjak, tapi suara
patahan yang berasal dari pohon. Krak Krak Kuperkirakan suara itu berasal dari
jarak ratusan meter di sebelah kananku. Perlahan-lahan, tanpa suara, aku
memutar tubuhku ke arah tersebut.
Selama beberapa menit, tidak ada apa-apa kecuali kegelapan dan
suara gaduh. Lalu aku melihat percikan dan api mulai timbul. Aku bisa melihat
seseorang menghangatkan tangannya di atas api, tapi aku tidak bisa melihat
lebih dari itu.
Aku harus menggigit bibirku agar tidak meneriakkan berbagai
sumpah serapah yang ada dalam kosakataku pada orang yang menyalakan api. Apa
yang mereka pikirkan? Api yang dinyalakan saat senja tidak terlalu jadi
masalah. Mereka yang bertarung di Cornucopia memiliki kekuatan lebih dan
persediaan cukup, dan mungkin sudah menyisiri hutan selama berjam-jam untuk
mencari korban.
Daripada cuma menyalakan api, sekalian saja mengibarkan
bendera dan berteriak, "Ayo kemari tangkap aku."
Dan sekarang aku hanya berjarak selemparan batu dari peserta
paling tolol dalam Hunger Games ini. Terikat di pohon. Tidak berani melarikan
diri karena lokasiku sudah disebarluaskan kepada pembunuh manapun yang
berminat. Maksudku, aku tahu di luar sana memang dingin dan tidak semua orang
punya kantong tidur. Tapi kau sebaiknya mengatupkan gigimu rapat-rapat dan
tetap bertahan seperti itu sampai pagi.
***
Selama dua jam selanjutnya aku berbaring di dalam kantong
tidurku dalam keadaan marah, berpikir sungguh-sungguh bahwa jika aku bisa turun
dari pohon ini, aku pasti bisa dengan mudah menghabisi tetangga baruku itu.
Instingku menyuruhku kabur, bukan bertarung. Tapi jelas orang ini mengundang
bencana. Orang bodoh selalu berbahaya. Dan orang ini mungkin bukan orang yang
ahli memakai senjata sementara aku memiliki pisau yang bagus ini.
Langit masih gelap, tapi aku bisa merasakan tanda-tanda awal
fajar menyingsing. Aku mulai berpikir bahwa kami-maksudnya orang yang sedang
kurencanakan kematiannya dan aku-memiliki kemungkinan untuk lolos. Lalu saat
itulah aku mendengarnya. Langkah-langkah kaki beberapa orang yang mulai
berlari. Orang yang menyalakan api itu mungkin ketiduran. Para penyerang itu
sudah ada di depannya sebelum dia sempat kabur.
Sekarang aku tahu si tolol itu adalah perempuan, aku bisa
mendengar rengekannya, diikuti jeritan memilukan setelahnya. Kemudian terdengar
suara tawa dan saling memberi selamat dari beberapa suara. Seseorang berteriak,
"Dua belas tewas dan sebelas lagi sisanya" yang disambut dengan
teriakan mengelu-elukan.
Jadi mereka bertarung dalam kawanan. Aku tidak kaget. Sering
kali mereka bersekutu pada tahap awal Hunger Games. Kelompok yang kuat memburu
mereka yang lemah, lalu saat ketegangan mulai meningkat, mereka akan saling
membantai. Aku tidak perlu berpikir keras siapa yang bersekutu di sini. Pasti
para Peserta Karier yang tersisa dari Distrik 1, 2, dan 4. Dua anak lelaki dan
tiga anak perempuan. Mereka yang selalu makan siang bersama.
Sesaat, aku mendengar mereka memeriksa barang-barang gadis
yang tewas itu. Dari komentar-komentar yang terdengar aku tahu mereka tidak
menemukan barang berharga. Aku bertanya-tanya apakah Rue yang jadi korban kali
ini tapi buru-buru mengenyahkan pikiran itu. Dia jauh lebih cerdas untuk tidak
menyalakan api seperti itu.
"Lebih baik kita pergi supaya mereka bisa mengambil
jasadnya sebelum bau." Aku yakin itu suara anak lelaki kasar dari Distrik
2. Ada aksen dalam suaranya, dan yang membuatku takut, aku mendengar kawanan
itu berjalan ke arahku. Mereka tidak tahu aku di sini. Bagaimana mungkin? Dan
aku tersembunyi di antara pepohonan. Paling tidak selama matahari belum terbit.
Pada saat kantong tidurku akan mengubah dari kamuflase menjadi masalah. Jika
mereka terus bergerak, mereka akan melewatiku dan lenyap dalam waktu satu
menit.
Tapi Peserta Karier itu berhenti di tanah terbuka sekitar
sepuluh meter dari pohonku. Mereka punya senter dan obor. Aku bisa melihat ada
tangan dan sepatu bot, di celah-celah dahan pohon. Aku diam membeku, bahkan
tidak berani bernapas. Apakah mereka sudah melihatku? Tidak, belum. Dan
kata-kata yang mereka ucapkan aku bisa mendengar pikiran mereka berada di
tempat lain.
"Bukankah kita seharusnya sudah mendengar dentuman
meriam?"
"Menurutku begitu. Tidak seharusnya mereka
berlama-lama."
"Kecuali dia belum mati."
"Dia sudah mati. Aku sendiri yang menusuknya."
"Lalu mana suara meriamnya?"
"Harus ada yang kembali ke sana. Memastikan dia
benar-benar sudah tewas."
"Yeah, kita kan tidak mau mencari jejaknya sampai dua
kali."
"Sudah kubilang dia sudah mati"
Mereka masih terus bertengkar, sampai salah seorang peserta
membungkamnya. "Kita menyia-nyiakan waktu. Aku akan ke sana dan
menghabisinya lalu kita terus bergerak"
No comments:
Post a Comment