Penulis: Suzanne Collins
BAGIAN 3
SANG PEMENANG
Bab 19
Aku menutup mulut dengan kedua tanganku, tapi suaraku sudah
keburu keluar. Langit menggelap dan aku mendengar kodok-kodok mulai bernyanyi.
Bodoh. Aku memarahi diriku. Tindakan yang benar-benar bodoh.
Aku menunggu, terkesiap, menantikan hutan yang penuh dengan
serangam. Lalu aku ingat bahwa peserta yang tersisa tinggal sedikit.
Peeta, yang kini terluka, sekarang jadi sekutuku. Apapun
keraguan yang kumiliki tentang dirinya sekarang musnah karena jika salah satu
dari kami membunuh yang lain, kami akan jadi orang terbuang saat kembali ke
Distrik 12 nanti. Bahkan sesungguhnya, jika aku sedang menonton acara ini
sekarang aku akan merasa jijik pada peserta yang tidak langsung bergabung
dengan partner distriknya. Lagi pula, rasanya masuk akal bagi peserta dari
distrik yang sama untuk saling melindungi.
Dan dalam kasusku-menjadi sepasang kekasih yang bernasib
malang dari Distrik 12-tindakan ini menjadi keharusan kalau aku ingin mendapat
simpati sponsor. Pasangan kekasih yang bernasib malang... Peeta pasti sudah
memainkan kartu sejak awal. Kenapa para Juri Pertarungan tanpa terduga mengubah
peraturan? Dua peserta berkesempatan menang, "kisah asmara" kami
pasti sangat populer di mata penonton sehingga menghukumnya bakal membahayakan
kesuksesan Hunger Games. Bukan berkat aku tentunya.
Sejauh ini yang berhasil kulakukan adalah tidak membunuh
Peeta. Tapi apa pun yang dilakukannya di arena, dia pasti berhasil meyakinkan
penonton bahwa apa yang dilakukannya adalah menjagaku tetap hidup. Menggeleng
kepadaku agar tidak berlari ke arah Cornucopia. Bertarung melawan Cato agar aku
bisa lolos. Bahkan bergabung dengan kawanan Karier pasti menjadi langkah untuk
melindungiku. Ternyata Peeta tidak pernah menjadi bahaya bagiku. Pemikiran itu
membuatku tersenyum. Kuturunkan kedua tanganku dan kudongakkan wajahku di bawah
sinar bulan agar kamera bisa menangkap wajahku dengan jelas.
Jadi siapa yang tersisa yang harus ditakuti? Si Muka Rubah?
Peserta lelaki dari distriknya sudah tewas. Dia bekerja sendiri pada malam
hari. Dan strateginya adalah menghindar, bukan menyerang. Bahkan jika dia
mendengar teriakanku, menurutku dia tak bakal melakukan apa-apa kecuali
berharap ada orang lain yang membunuhku.
Lalu ada Thresh. Dia termasuk ancaman yang berbeda. Tapi aku
tak pernah melihatnya sekali pun sejak Hunger Games dimulai. Aku teringat pada
si Muka Rubah yang langsung waspada ketika dia mendengar bunyi di lokasi
ledakan itu. Tapi dia tidak menoleh ke arah hutan, dia menoleh ke tempat yang
ada di seberang hutan. Wilayah di arena pertarungan yang tak kuketahui apa
bentuknya. Aku nyaris yakin seratus persen bahwa dia lari menjauh dari Thresh
dan wilayah kekuasaannya. Dia tidak pernah mendengarku di sana, bahkan jika dia
pernah mendengarku, aku berada terlalu jauh tinggi di pohon untuk bisa digapai
oleh seseorang yang tubuhnya sebesar Thresh.
Jadi tinggal Cato dan anak perempuan dari Distrik 2, yang
sekarang pasti sedang merayakan peraturan baru ini. Selain aku dan Peeta,
mereka juga pasangan yang mendapat keuntungan dari perubahan peraturan ini.
Apakah aku harus berlari menjauhi mereka sekarang, kalau-kalau mereka
mendengarku memanggil nama Peeta? Tidak, pikirku. Biar saja mereka datang. Biar
saja mereka datang dengan kacamata malam mereka dan tubuh mereka yang berat dan
berotot. Tepat ke jarak tembak panah-panahku. Tapi aku tahu mereka tidak
mendatangi apiku, mereka tidak bakal mengambil risiko di malam hari yang bisa
jadi adalah perangkap. Saat mereka datang, pasti itu atas kehendak mereka
sendiri, bukan karena aku memberitahukan keberadaanku pada mereka.
Tetaplah di tempat dan cobalah tidur, Katniss, aku memberi
perintah pada diriku sendiri, meskipun aku berharap bisa mencari jejak Peeta
sekarang. Besok, kau akan menemukannya.
Aku tidur, tapi di pagi hari aku bersikap ekstra hati-hati,
karena kawanan Karier mungkin ragu menyerangku saat aku berada di pohon, tapi
mereka bisa saja sudah menyiapkan jebakan untukku. Aku memastikan diriku sudah
siap siaga untuk menghadapi hari ini-makan sarapan sampai kenyang, mengamankan
ranselku, menyiapkan senjata-senjataku-sebelum aku turun dari pohon. Tapi semua
di tanah tampak tenang dan tidak terganggu.
Hari ini aku harus amat sangat berhati-hati. Kawanan Karier
tahu aku akan berusaha menemukan Peeta. Mereka mungkin akan menunggu sampai aku
menemukannya sebelum mereka menyerang. Jika dia memang terluka parah, seperti
kata Cato, bisa jadi aku harus membela diri kami berdua tanpa bantuan dari
Peeta. Tapi jika Peeta dalam keadaan tidak berdaya, bagaimana caranya dia bisa
bertahan hidup? Dan bagaimana caranya aku bisa menemukan dia?
Aku berusaha memikirkan apa pun yang pernah dikatakan Peeta
yang mungkin saja bisa menjadi petunjuk tempat persembunyiannya, tapi aku tak
bisa mengingat apa pun. Jadi aku kembali ke saat terakhir aku melihatnya
berkilau di bawah cahaya matahari, berteriak padaku agar aku lari. Kemudian
Cato muncul dengan pedang terhunus. Dan setelah aku pergi, dia melukai Peeta.
Tapi bagaimana cara Peeta meloloskan diri? Mungkin dia bertahan lebih baik dari
sengatan tawon penjejak daripada Cato. Mungkin itulah faktor yang membuat dia
bisa meloloskan diri.
Tapi Peeta juga disengat. Jadi berapa jauh dia bisa pergi
setelah ditusuk dan keracunan bisa? Dan bagaimana caranya dia bertahan hidup
selama berhari-hari. Jika luka tusukan dan sengatan tawon belum membunuhnya,
pasti rasa haus sudah membuatnya tewas sekarang.
Pada saat itulah aku punya petunjuk tentang keberadaannya. Dia
tidak mungkin bertahan tanpa air. Aku tahu itu sejak hari-hari pertamaku di
sini. Dia pasti bersembunyi tidak jauh dari sumber air. Ada danau, tapi
menurutku itu bukan pilihan karena letaknya terlalu dekat kamp kawanan Karier.
Ada beberapa kolam mata air. Tapi kau bakal jadi sasaran empuk jika bersembunyi
di sana. Dan ada sungai. Sungai yang dimulai dari kamp yang kubuat bersama Rue
yang mengalir hingga ke danau. Jika Peeta berada di sungai, dia bisa
berpindah-pindah tempat dan selalu berada di dekat air. Dia bisa berjalan ke
aliran sungai dan menghapus jejaknya. Mungkin dia bisa menangkap satu-dua ekor
ikan.
Ya, ini bisa jadi tempat aku mulai mencarinya.
Untuk membuat bingung musuh-musuhku, aku mulai membuat api
dengan banyak kayu yang baru dipotong. Bahkan jika mereka menganggap ini
sebagai muslihat, kuharap mereka bakal memutuskan bahwa aku bersembunyi tidak
jauh dari tempat api. Sementara kenyataannya, aku mencari Peeta.
Matahari nyaris seketika membakar kabut pagi dan aku tahu hari
ini akan lebih panas daripada biasanya. Air sungai terasa sejuk dan
menyenangkan di kakiku yang telanjang saat aku berjalan menuju hilir. Aku
tergoda untuk memanggil nama Peeta sambil berjalan, tapi aku memutuskan untuk
tidak melakukannya. Aku harus menemukannya dengan mataku dan satu telingaku
yang masih bagus atau dia yang harus menemukanku. Tapi Peeta tahu aku akan
mencarinya, kan? Dia pasti tak menganggapku sehina itu hingga berpikir aku
mengabaikan peraturan baru itu dan hanya memikirkan diriku sendiri. Mungkinkah
Peeta berpikir seperti itu? Dia sangat sulit ditebak, yang dalam beberapa
keadaan berbeda bisa jadi menarik, tapi pada saat ini hanya menimbulkan
penghalang tambahan.
Tidak butuh waktu lama hingga aku bisa tiba di tempat aku
keluar menuju kamp Kawanan Karier. Tidak ada tanda keberadaan Peeta, tapi aku
tidak heran. Aku sudah melalui jalan ini tiga kali sejak insiden tawon
penjejak. Jika Peeta berada tidak jauh dari sini, tentu aku sudah curiga.
Aliran sungai mulai berbelok ke kiri menuju bagian hutan yang baru bagiku. Tepi
sungai yang berlumpur ditutupi tanaman air yang berbelit-belit hingga menuju
bebatuan besar yang ukurannya makin besar hingga aku mulai merasa terperangkap.
Keluar dari sungai sekarang bukan persoalan mudah. Menghindari Cato atau Thresh
ketika memanjat wilayah berbatu-batu ini.
Sesungguhnya, aku baru saja berpikir bahwa aku sudah salah
jalan, dan berpikir bahwa anak lelaki yang terluka takkan bisa berjalan
mondarmandir ke sumber air ini, ketika aku melihat jejak berdarah di kelokan
menuju ke balik batu besar. Jejak itu sudah lama kering, tapi corengan dari
kiri ke kanan menunjukkan adanya seseorang-yang mungkin tidak bisa sepenuhnya
mengontrol indra-indra pikirannya-berusaha menghapus jejak tersebut.
Sambil berjalan pada bebatuan, aku bergerak perlahan-lahan ke
arah jejak berdarah, mencari keberadaan Peeta. Aku menemukan beberapa jejak
berdarah lagi, ada robekan kain menempel di satu jejak darah, tapi tak ada
tanda kehidupan.
Aku langsung kalap dan memanggil namanya dengan suara
berbisik. "Peeta Peeta" Kemudian seekor mockingjay hinggap di pohon
dan mulai menirukan nadaku, membuatku berhenti melakukannya. Aku menyerah dan
menanjak kembali menuju sungai sambil berpikir, Dia pasti terus bergerak. Terus
menuju ke bawah.
Kakiku baru saja menginjak permukaan air ketika aku mendengar
suara. "Kau di sini untuk menghabisiku, sweetheart?"
Aku berbalik cepat. Suaranya berasal dari sebelah kiri, jadi
aku tidak bisa mendengarnya dengan baik. Juga suara itu terdengar serak dan
lemah. Tapi aku yakin itu suara Peeta. Siapa lagi di arena pertarungan yang
memanggilku sweerheart? Mataku tertuju ke tepi sungai, tapi tidak ada apa-apa
di sana. Hanya ada lumpur, tumbuh-tumbuhan, dasar batu-batuan.
"Peeta?" bisikku. "Di mana kau?"
Tidak ada jawaban. Apakah aku sungguh membayangkannya? Tidak
mungkin, aku yakin aku sungguh mendengar suara dan jaraknya juga tidak terlalu
jauh. "Peeta?" Aku bergerak pelan-pelan di tepi sungai.
"Ya, jangan injak aku."
Aku terlonjak. Suaranya tepat di bawah kakiku. Tapi tak
terlihat apa-apa disana. Kemudian matanya terbuka, tidak salah lagi itu matanya
yang biru di antara lumpur cokelat dan daun-daunan hijau. Aku terkesiap dan
dibalas dengan deretan giginya yang putih ketika tertawa.
Dia hebat sekali dalam berkamuflase. Lupakan mengangkat beban.
Seharusnya dalam sesi pribadi dengan Juri Pertarungan Peeta mengecat tubuhnya
menjadi pohon. Atau batu besar. Atau tepi sungai berlumpur yang penuh
tumbuh-tumbuhan.
"Tutup matamu lagi," perintahku.
Dia melakukannya, dan dia juga menutup mulutnya sehingga
semuanya tidak kelihatan. Sebagian besar tubuhnya berada di bawah lumpur dan
tumbuh-tumbuhan. Wajah dan kedua lengannya tersamar sehingga tidak kelihatan.
Aku berlutut di sampingnya. "Kurasa waktu berjam-jam yang kauhabiskan
untuk menghias kue terbayar sudah."
Peeta tersenyum. "Ya, menghias kue dengan gula.
Pertahanan terakhir terhadap kematian."
"Kau takkan mati," kataku padanya dengan tegas.
"Kata siapa?" Suaranya terdengar serak.
"Kataku. Kau tahu, kita ada di tim yang sama
sekarang," aku memberitahunya.
Matanya membuka. "Ya, kudengar juga begitu. Baik sekali
kau mau mencari apa yang tersisa dariku."
Kukeluarkan botol airku dan kuberi dia minuman. "Apakah
Cato melukaimu?" tanyaku.
"Kaki kiri. Di paha," jawabnya.
"Ayo ke sungai, kita bersihkan tubuhmu supaya aku bisa
melihat lukamu," kataku.
"Menunduk dulu sebentar," katanya. "Aku perlu
memberitahumu sesuatu."
Aku menunduk dan mendekatkan telingaku yang bagus ke bibirnya,
terasa geli ketika dia berbisik. "Ingat, kita sedang kasmaran, jadi tidak
apa-apa kalau kau mau menciumku kapan pun kau mau."
Kepalaku langsung tersentak ke belakang tapi aku tertawa
terbahak-bahak. "Terima kasih. Akan kuingat kata-katamu."
Paling tidak Peeta masih bisa bergurau. Tapi ketika aku
membantunya ke sungai, semua sikap santaiku lenyap. Jaraknya ke sungai kurang
dari satu meter, apa sih susahnya? Sangat sulit ternyata ketika aku sadar dia
sama sekali tidak bisa bergerak sendiri. Dia begitu lemah sehingga yang terbaik
yang bisa dilakukannya adalah tidak menahan dirinya. Aku berusaha menyeretnya,
tapi meskipun kenyataannya aku tahu dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak
bersuara, jerit kesakitan terdengar dari mulutnya. Lumpur dan tumbuh-tumbuhan
sepertinya memenjarakan tubuhnya dan akhirnya aku harus menariknya dengan keras
untuk melepaskan Peeta dari cengkeraman lumpur. Tubuhnya masih setengah meter
dari air, terbaring di sana, giginya bergemelutuk, air mata membentuk selokan
kotor di wajahnya.
"Dengar, Peeta, aku akan menggulingkanmu ke sungai.
Sungainya sangat dangkal kok. Oke?" tanyaku.
"Bagus sekali," katanya.
Aku berjongkok di sampingnya. Tak peduli apa pun yang terjadi,
aku memerintahkan diriku agar aku tidak berhenti sebelum dia sampai di air.
"Pada hitungan ketiga," kataku. "Satu, dua, tiga."
Aku hanya berhasil menggulingkannya sekali sebelum aku harus
berhenti karena Peeta mengeluarkan suara mengerikan. Sekarang dia berada di
tepi sungai. Mungkin ini lebih baik.
"Oke, kita ubah rencana. Aku tidak akan menarikmu hingga
masuk sungai," kataku. Selain itu, jika aku berhasil mencemplungkannya ke
sungai, siapa tahu aku malah tidak bisa mengeluarkannya?
"Tidak akan digulingkan lagi?" katanya.
"Sudah selesai. Kita bersihkan tubuhmu. Kau awasi hutan
ya," kataku.
Sulit bagiku untuk tahu dari mana kami akan mulai
membersihkannya. Tubuhnya tertutup sepenuhnya dengan lumpur dan daun-daun yang
berjuntaian, aku bahkan tidak bisa melihat pakaiannya. Pikiran itu membuatku
ragu sesaat, tapi aku menekatkan diri. Tubuh telanjang bukan masalah besar di
arena pertarungan, kan?
Aku punya dua botol air dan tempat air dari kulit milik Rue.
Kusandarkan semuanya di antara bebatuan di sungai sehingga dua wadah itu akan
selalu terisi sementara aku menuang tempat air ketiga pada tubuh Peeta. Butuh
waktu lumayan lama, tapi aku akhirnya berhasil menghilangkan lumpur dan melihat
pakaiannya. Perlahan-lahan aku menarik risleting jaketnya, membuka kancing
kemejanya, dan melepaskan semua pakaian itu dari tubuhnya. Pakaian dalamnya
menempel pada luka-lukanya sehingga aku harus memotongnya dengan pisau dan
membasahinya agar pakaian itu bisa lepas.
Tubuhnya memar parah dengan luka bakar di dadanya serta ada
bekas empat sengatan tawon di bawah telinganya. Tapi aku merasa lebih baik. Aku
bisa mengobati semua ini. Aku memutuskan untuk mengurusi bagian atas tubunya
lebih dulu untuk mengurangi sedikit rasa sakitnya, sebelum aku menghadapi
kerusakan yang ditimbulkan Cato pada kakinya.
Kupikir percuma juga mengobati luka-luka Peeta saat dia
berbaring di genangan lumpur, dan aku berhasil menariknya duduk bersandar di
batu besar. Dia duduk di sana, tanpa protes, sementara aku membasuh semua jejak
kotoran dari rambut dan kulitnya. Kulitnya sangat pucat di bawah sorotan sinar
matahari dan dia tidak lagi kelihatan kuat dan gempal.
Aku harus mengeluarkan sengat dari luka membengkak akibat
sengatan tawon penjejak dan membuatnya mengernyit. Tapi ketika aku mengoleskan
daun-daunan di sana, Peeta mendesah lega. Sementara dia berjemur di bawah sinar
matahari, aku mencuci pakaian dan jaketnya yang kotor dan menjemurnya di atas
batu-batu besar. Lalu aku mengoleskan salep luka bakar di dadanya. Pada saat
itulah aku menyadari betapa panas kulitnya. Lapisan lumpur dan berbotol-botol
air telah menyamarkan kenyataan bahwa dia demam tinggi.
Aku mencari-cari di dalam tas P3K yang kuambil dari anak
lelaki dari Distrik 1 dan menemukan pil penurun panas. Ibuku bahkan sempat
menyerah dan membeli pil-pil ini ketika ramuan rumahannya gagal.
"Telan ini," kataku padanya, dan dengan patuh dia
menelan obatnya. "Kau pasti lapar."
"Tidak juga. Lucunya, sudah berhari-hari aku tidak
lapar," kata Peeta.
Sesungguhnya ketika kutawarkan daging groosling padanya, Peeta
mengernyitkan hidung dan membuang muka. Saat itulah aku tahu bahwa dia sakit
parah.
"Peeta, kau harus makan sedikit," aku berkeras.
"Nanti bakal kumuntahkan juga," katanya. Aku hanya
bisa membuatnya makan beberapa gigitan apel kering.
"Terima kasih. Aku merasa jauh lebih baik, sungguh. Boleh
aku tidur sekarang, Katniss?" tanyanya.
"Sebentar lagi," aku berjanji. "Aku perlu
melihat kakimu lebih dulu."
Dengan selembut mungkin, aku melepaskan sepatu bot dan kaus
kakinya, lalu dengan amat perlahan aku melepaskan celana panjangnya. Aku bisa
melihat robekan yang dibuat pedang Cato pada kain celana di atas pahanya, tapi
aku tetap tidak siap ketika melihat luka yang ada di balik celananya. Luka terbuka
yang meradang itu penuh darah dan nanah. Kakinya juga bengkak. Dan yang
terburuk, tercium bau daging yang membusuk.
Aku ingin berlari. Menghilang ke balik hutan seperti yang
kulakukan pada hari ketika mereka membawa pulang korban luka bakar ke rumahku.
Pergi dan berburu sementara Prim dan ibuku melakukan sesuatu yang tak sanggup
kulakukan karena memang tidak punya nyali dan keahlian untuk itu. Tapi di sini
cuma ada aku. Aku berusaha menampilkan sikap tenang ibuku ketika menghadapi
pasien-pasien yang datang dengan kondisi buruk.
"Lumayan buruk ya?" tanya Peeta. Dia mengamatiku
lekat-lekat.
"Ya, begitulah." Aku mengangkat bagu seolah-olah
lukanya bukan masalah besar. "Kau harus melihat orang-orang dari tambang
yang dibawa ke ibuku."
Aku menahan diri untuk tidak mengatakan bahwa aku biasanya
menjauh dari rumah setiap kali ibuku mengobati pasien yang penyakitnya lebih
parah dibanding pilek. Kalau dipikir-pikir lagi, aku juga tidak suka berada di
dekat orang batuk.
"Pertama-tama kita harus membersihkannya dengan
baik."
Aku tidak melepaskan celana dalam Peeta karena tidak kotor dan
aku tidak mau melepaskan celana itu melewati pahanya yang bengkak, dan mungkin
membayangkannya telanjang membuatku tidak nyaman. Ada hal lain tentang ibuku
dan Prim. Ketelanjangan tidak berpengaruh pada mereka, tidak membuat mereka
merasa malu. Ironisnya, pada titik ini dalam Hunger Games, adik perempuanku
akan lebih berguna bagi Peeta. Kuselipkan kotak plastikku di bawah tubuh Peeta
agar aku bisa membasuh seluruh tubuhnya. Semakin banyak isi botol yang kutuang
ke tubuhnya, lukanya kelihatan semakin buruk.
Bagian bawah tubuhnya yang lain dalam kondisi lumayan baik,
hanya ada satu sengatan tawon dan beberapa luka bakar kecil yang bisa kuobati
dengan cepat. Tapi nanah di kakinya... apa yang bisa kulakukan untuk itu?
"Bagaimana kalau kita angin-anginkan lukamu
lalu...," kataku tanpa bisa melanjutkan.
"Lalu kau akan menjahitnya?" tanya Peeta. Dia tampak
sedikit kasihan melihatku, seakan dia tahu betapa bingungnya aku.
"Benar sekali," kataku. "Sementara itu, kau
makan ini."
Aku menaruh potongan-potongan buah pir kering ke tangannya,
lalu kembali ke sungai untuk mencuci sisa pakaiannya. Setelah pakaiannya
kering, aku memeriksa isi peralatan P3K. Kebanyakan cuma barang-barang
kebutuhan dasar. Perban, pil penurun panas, obat sakit perut. Tidak ada yang
sekaliber yang kubutuhkan untuk mengobati Peeta.
"Kita akan melakukan sedikit eksperimen," kataku
mengakui.
Aku tahu daun-daun tawon penjejak bisa menarik keluar infeksi,
jadi kumulai dengan daun-daun itu. Beberapa menit setelah kutempelkan daun-daun
yang sudah kukunyah itu, nanah mulai mengalir ke bagian samping kakinya. Aku
nengatakan pada diriku sendiri bahwa ini bagus dan aku menggigit bagian dalam
pipiku karena sarapanku nyaris keluar.
"Katniss?" tanya Peeta. Kutatap matanya, aku tahu
wajahku pasti pucat. Peeta berkata tanpa suara, "Bagaimana kalau kita
berciuman?"
Aku tertawa keras karena lukanya ini sangat menjijikan dan aku
tak tahan lagi.
"Ada yang salah?" tanyanya dengan wajah tak berdosa.
"Aku... aku tidak pandai dalam hal ini. Aku bukan ibuku.
Aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan dan aku benci nanah," kataku.
"Iuh."
Aku mengerang ketika membuang daun-daun yang kutempelkan di
kaki Peeta, lalu menempelkan daun-daun lain yang baru. "Iuuuuh."
"Bagaimana kau bisa berburu?" tanyanya.
"Percayalah. Membunuh lebih mudah daripada ini,"
kataku. "Meskipun bisa saja aku sedang membunuhmu tanpa kusadari."
"Bisa lebih cepat sedikit melakukannya?" tanya Peeta.
"Tidak. Diam dan makan buah pirmu," kataku.
Setelah tiga kali menempelkan daun-daunan dan menghasilkan
sekitar seember nanah, lukanya tampak lebih baik. Sekarang setelah bengkaknya
hilang, aku bisa melihat seberapa dalamnya luka pedang Cato. Nyaris sampai ke
tulang.
"Selanjutnya apa, Dr. Everdeen?" tanyanya.
"Mungkin aku akan mengoleskan salep luka bakar di sini.
Menurutku bisa menghilangkan infeksinya. Lalu kita tutup lukanya?"
tanyaku.
Aku mengerjakan semua itu dan segalanya tampak lebih bisa
diatasi, kemudian membungkus lukanya. Kain katun putih bersih. Walaupun dalam
balutan perban steril keliman celana dalamnya tampak kotor dan penuh bakteri.
Kukeluarkan ransel Rue. "Ini, tutup tubuhmu dengan ini dan akan kucuci
celana dalammu."
"Oh, aku tidak peduli kalau kau melihatku," kata
Peeta.
"Kau sama seperti anggota keluargaku yang lain,"
kataku. "Aku peduli, oke?"
Aku berbalik dan memandangi sungai sampai celana dalamnya
tercebur ke arus sungai. Dia pasti merasa sedikit lebih baik jika bisa
melempar.
"Kau tahu, kau kelihatannya terlalu pemilih untuk bisa
jadi orang yang mematikan seperti itu," kata Peeta ketika aku memukulkan
celana dalam itu di antara ke dua batu. "Seharusnya kubiarkan kau
memandikan Haymitch."
Hidungku mengernyit mengingatnya. "Sejauh ini apa yang
sudah dikirmkan Haymitch untukmu?"
"Tidak ada apa-apa," kata Peeta. Lalu jeda di antara
kami membuatnya menyadari sesuatu. "Kenapa? Kau dikirimi sesuatu?"
"Salep luka bakar," kataku nyaris malu-malu.
"Oh, dan roti."
"Aku selalu tahu kau memang favoritnya," kata Peeta.
"Tolong ya, dia bahkan tidak tahan berada seruangan
denganku," kataku.
"Karena kalian mirip," gumam Peeta.
Aku tidak menanggapinya karena sekarang bukanlah saat yang
tepat untuk menghina Haymitch, yang sesungguhnya merupakan dorongan hati
pertamaku. Kubiarkan Peeta tidur sambil menunggu pakaiannya kering, tapi
menjelang sore, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Pelan-pelan aku
mengguncang bahunya.
"Peeta, kita harus pergi sekarang."
"Pergi?" Dia tampak kebingungan. "Pergi ke
mana?"
"Pergi dari sini. Mungkin ke arah hilir. Pergi ke tempat
kita bisa menyembunyikanmu sampai kau lebih kuat," kataku.
Kubantu dia berpakaian, kubiarkan dia tanpa sepatu agar kami
bisa berjalan di air, lalu kutarik dia berdiri. Wajahnya seperti kehilangan
darah ketika dia menumpukkan tubuhnya di kaki. "Ayo, kau bisa
melakukannya."
Tapi dia ternyata tidak sanggup. Tidak bisa bertahan lama.
Kami berhasil berjalan lima puluh meter menuju hilir, dengan kupapah di bahuku,
dan kutahu dia bakalan pingsan. Kududukkan dia di tepi sungai, kutundukkan
kepalanya di antara kedua lututnya, dan kutepuk-tepuk punggungnya dengan
canggung sembari mengawasi sekelilingku. Tentu saja, aku kepingin bisa
menaikkannya ke pohon, tapi itu takkan terjadi. Bisa jadi keadaannya lebih
buruk. Sebagian batu di sana membentuk semacam gua kecil. Aku memandang
lekat-lekat sebuah gua dua puluh meter di atas sungai.
Ketika Peeta sanggup berdiri, aku separuh memapah, separuh
membimbingnya menuju gua. Sesungguhnya aku harus mencari tempat yang lebih
baik, tapi aku terpaksa menggunakan tempat ini karena sekutuku dalam kondisi
buruk. Wajahnya seputih kertas, terengah-engah, dan meskipun cuaca sejuk, dia
menggigil. Aku mengalasi lantai gua dengan lapisan semak pinus, melepaskan
gulungan kantong tidur, dan menyelimuti Peeta di dalamnya. Aku mencekokkan dua
butir pil dan air ke mulutnya saat dia tidak menyadarinya, tapi dia menolak
makan buah. Lalu dia cuma terbaring di sana, matanya tertuju pada wajahku
ketika aku membuat semacam tirai dari sulur-sulur daun untuk menutup mulut gua.
Hasilnya tidak memuaskan. Binatang mungkin takkan curiga, tapi manusia yang
melihatnya pasti akan tahu bahwa tirai ini buatan manusia. Kucabut sulur-sulur
itu dengan kesal.
"Katniss," katanya. Aku menghampiri Peeta dan
menepiskan rambut dari matanya. "Terima kasih sudah mau mencariku."
"Kau juga akan mencariku jika kau bisa," kataku.
Dahinya terasa panas. Seakan-akan obat itu tidak ada efeknya sama sekali.
Mendadak, entah dari mana, aku takut Peeta bakal mati.
"Ya. Dengar, jika aku tidak berhasil...," Peeta
mulai bicara.
"Jangan bicara seperti itu. Aku tidak menguras semua
nanah itu dengan sia-sia," kataku.
"Aku tahu. Tapi seandainya aku..." Peeta mencoba
melanjutkan.
"Tidak, Peeta, aku tidak mau membahasnya," kataku,
kutaruh jemariku di bibirnya untuk membuatnya diam.
"Tapi aku..." Dia masih berkeras.
Mengikuti dorongan hati, aku menunduk dan menicumnya,
menghentikan kata-kata Peeta. Ciuman ini mungkin sudah terlambat karena dia
benar, kami seharusnya sedang kasmaran. Ini pertama kalinya aku mencium anak
lelaki, yang seharusnya bisa memberi semacam kesan tak terlupakan, tapi yang
terekam dalam otakku adalah betapa bibirnya terasa panas tidak wajar.
Aku melepaskan diri dan menarik ujung kantong tidur
menutupinya. "Kau takkan mati. Aku melarangnya. Oke?"
"Baiklah," bisiknya.
Aku baru saja melangkah menuju udara malam yang sejuk ketika
parasut melayang turun dari angkasa. Jemariku buru-buru melepas ikatannya,
berharap bisa mendapat obat sungguhan untuk mengobati kaki Peeta. Ternyata aku
mendapat sepanci kecil kuah daging hangat.
Haymitch tak bisa lagi mengirim pesan yang lebih jelas
daripada ini. Satu ciuman sama dengan sepanci kuah daging. Aku nyaris bisa
mendengar geramannya. "Kau seharusnya sedang kasmaran, sweetheart. Anak
lelaki itu sekarat. Beri aku sesuatu yang bisa kujual"
Dan dia benar. Jika aku ingin menjaga Peeta tetap hidup, aku
harus memberikan sesuatu yang bisa membuat penonton terenyuh. Pasangan kekasih
bernasib malang yang putus asa kepingin pulang. Dua hati bersatu. Kisah cinta.
Karena tidak pernah jatuh cinta, ini akan jadi sedikit sulit. Aku memikirkan
orangtuaku. Bagaimana ayahku tak pernah tidak memberikan hadiah untuk ibuku
sepulangnya dari hutan. Bagaimana wajah ibuku berbinar mendengar suara langkah
sepatu bot ayahku di pintu. Bagaimana dia nyaris berhenti hidup ketika ayahku
meninggal.
"Peeta," Aku berseru, mencoba memanggilnya dengan
nada istimewa yang hanya digunakan ibuku pada ayahku.
Dia tertidur lagi, tapi aku menciumnya agar terbangun, dan
membuatnya terkejut. Lalu dia tersenyum seakan dia amat bahagia bisa berbaring
di sana dan memandangiku selamanya. Peeta jago untuk urusan semacam ini.
Kuangkat pancinya. "Peeta, lihat apa yang dikirimkan
Haymitch untukmu."[]
No comments:
Post a Comment