Penulis: Suzanne Collins
Bab 24
BUTUH waktu untuk menjelaskan situasinya pada Peeta. Bagaimana
si Muka Rubah mencuri makanan dari tumpukan persediaan kawanan Karier sebelum
aku meledakkannya, bagaimana dia mengambil secukupnya untuk bisa hidup tapi
tidak banyak hingga ketahuan, bagaimana dia tak mempertanyakan keamanan
buah-buah berry yang kami siapkan untuk kami sendiri.
"Aku penasaran bagaimana dia bisa menemukan kita
ya," ujar Peeta. "Kurasa ini salahku, jika memang aku seberisik
katamu."
Mengikuti kami sama sulitnya seperti mengikuti kawanan ternak,
tapi aku berbaik hati. "Dan dia sangat cerdik, Peeta. Yah, sampai kau
mempercundanginya."
"Bukan dengan sengaja. Entah bagaimana tampaknya tidak
adil. Maksudku, kita juga bisa mati kalau dia tak makan buah itu lebih
dulu." Namun mendadak Peeta tersadar. "Tidak, tentu kita takkan mati.
Kau mengenali buah ini kan?"
Aku mengangguk. "Kami menyebutnya nightlock."
"Bahkan namanya terdengar mematikan," katanya.
"Maafkan aku, Katniss. Kupikir ini buah berry yang sama seperti yang kau
kumpulkan."
"Jangan minta maaf. Ini artinya kita selangkah lebih
dekat lagi untuk pulang kan?" tanyaku.
"Akan kubuang sisanya," kata Peeta. Dia mengumpulkan
semua berry dalam plastik biru, berhati-hati agar buah berry itu tetap berada
di dalam plastik, dan pergi ke hutan untuk membuangnya.
"Tunggu," aku memekik. Kuambil kantong kulit milik
anak lelaki distrik 1 dan kuisi dengan segenggam berry dari dalam plastik.
"Jika buah ini bisa membuat si Muka Rubah tertipu, mungkin bisa membuat
Cato tertipu juga. Kalau dia mengejar kita atau entah bagaimana, kita bisa
pura-pura menjatuhkan kantong ini tanpa sengaja dan jika dia makan—"
"Halo. Distrik Dua Belas," kata Peeta.
"Itu dia," kataku, sambil mengamankan kantong itu di
ikat pinggangku.
"Dia pasti tau dimana kita sekarang," kata Peeta.
"Kalau dia berada tak jauh dari sini dan melihat pesawat ringan, dia akan
tau kita membunuh gadis itu dan mengejar kita."
Peeta benar. Ini mungkin kesempatan yang ditunggu-tunggu Cato.
Tapi jika kami lari sekarang, masih ada daging yang harus dimasak dan api kami
akan jadi penanda keberadaan kami.
"Ayo kita buat api. Sekarang." aku mulai
mengumpulkan ranting-ranting semaksemak.
"Apakah kau siap berhadapan dengannya?" tanya Peeta.
"Aku siap untuk makan. Lebih baik kita masak makanan kita
mumpung ada kesempatan. Kalau dia tau kita disini, biarlah dia tau. Tapi dia
juga tau kita berdua dan mungkin berasumsi bahwa kita memburu si Muka Rubah.
Itu berarti kau sudah pulih. Dan api berarti kita tak bersembunyi, kita
mengundangnya kemari. Apakah kau bakal datang?" tanyaku.
"Mungkin tidak," jawabnya.
Peeta jago membuat api, dia bahkan bisa menyalakan api dari
kayu basah. Dalam waktu singkat, dua ekor kelinci dan tupai sudah terpanggang,
umbi-umbian yang terbungkus daun-daunan terpanggang di antara arang. Kami
bergantian mengumpulkan daun-daunan dan waspada menunggu kedatangan Cato, tapi
sebagaimana yang kuperkirakan, dia tak datang. Ketika makanan masak, kusimpan
sebagian besar makanan itu dan kami makan kaki kelinci sambil jalan.
Aku ingin bergerak lebih tinggi di dalam hutan, memanjat pohon
yang bagus, dan berkemah untuk malam ini, tapi Peeta menolak. "Aku tak
bisa memanjat pohon sepertimu Katniss, apalagi kakiku seperti ini, dan rasanya
aku tak bisa tidur lima belas meter di atas tanah."
Aku menghela napas. Beberapa jam jalan kaki—atau lebih
tepatnya mendentamkan kaki—melintasi hutan untuk tiba ke tempat yang cuma kami
tempati hingga besok pagi untuk kami tinggalkan berburu. Tapi Peeta tidak
meminta banyak. Dia mengikuti perintahku sepanjang hari dan aku yakin jika
keadaannya terbalik, dia takkan membuatku tidur di pohon. Barulah aku sadar
bahwa sepanjang hari ini aku tidak bersikap baik pada Peeta. Mengocehinya
tentang betapa berisik jalannya, berteriak padanya karena menghilang. Permainan
asmara yang kami mainkan di gua lenyap tak berbekas di tempat terbuka, di bawa
sinar matahari, dengan Cato yang mengancam kami. Haymitch mungkin sudah muak
padaku, dan para penonton.
Aku berjinjit dan menciumnya. "Tentu. Ayo kita kembali ke
gua."
Peeta tampak senang dan lega. "Well, ternyata
mudah."
Kucabut anak panahku dari pohon oak, berhati-hati agar tak
merusak anak panahnya. Sekarang anak-anak panah ini adalah makanan,
keselamatan, hidup itu sendiri. Kami melemparkan lebih banyak kayu lagi ke api.
Kobarannya akan menghasilkan asap selama beberapa jam. Ketika kami tiba di
sungai, air sungai sudah jauh lebih surut dan arusnya juga lebih tenang, jadi
aku menyarankan agar kami berjalan di sungai untuk kembali ke gua.
Dengan senang hati Peeta mematuhiku, dan karena dia jauh lebih
tak bersuara di sungai daripada ditanah. Perjalanan ke gua masih jauh, meskipun
kami berjalan menurun, dan daging kelinci menambah tenaga kami. Aku dan Peeta
kelelahan akibat jalan menanjak yang kami lalui hari ini dan masih kekurangan
makan. Kupasang panah di busurku, bersiaga menghadapi Cato atau ikan yang
mungkin bisa kutemui, tapi anehnya sungai ini tak terisi makhluk hidup.
***
Pada saat kami tiba di tempat tujuan, kami sudah berjalan
menyeret dan matahari terbenam di cakrawala. Kami mengisi botol-botol air, lalu
menuju gua kami. Tempat ini tidak mewah, tapi di alam liar ini, gua inilah yang
paling bisa disebut rumah. Gua juga lebih hangat daripada pohon, karena memberikan
perlindungan dari angin yang berembus kencang dari arah barat. Kusiapkan makan
malam, tapi baru separo dimakan Peeta sudah mengantuk. Setelah beberapa hari
tak beraktivitas, kegiatan berburu membuat kami kelelahan.
Kusuruh Peeta masuk ke kantong tidur dan kusimpan sisa
makanannya. Peeta langsung tidur. Kutarik kantong tidur hingga dagunya dan
kucium dahinya, bukan untuk penonton, tapi untukku. Karena aku bersyukur dia
masih di sini, tak tewas seperti yang kukira. Lega karena aku tak harus menghadapi
Cato sendirian.
Cato yang brutal dan haus darah, yang bisa mematahkan leher
lawannya dengan sekali puntir, yang punya kekuatan untuk mengalahkan Thresh,
sudah mengincarku sejak awal. Dia mungkin memiliki kebencian khusus padaku
karena aku mengalahkan nilainya pada saat latihan. Anak lelaki seperti Peeta
akan mengabaikannya begitu saja. Aku punya firasat hal itu malah membuat
perhatian Cato teralih. Aku teringat pada reaksi konyolnya ketika mendapati
persediaan makanannya meledak. Peserta-peserta lain tentunya marah, tapi Cato
murka. Aku bertanya-tanya apakah Cato masih waras sekarang.
***
Langit benderang dengan lambang negara, dan aku melihat wajah
si Muka Rubah bersinar di atas sana lalu menghilang dari dunia selamanya. Peeta
tidak mengatakannya, tapi menurutku dia merasa tak enak hati karena membunuh
gadis itu, meskipun membunuhnya merupakan tindakan yang diperlukan. Aku tidak
bisa berpura-pura akan merindukannya,tapi aku harus mengaguminya. Tebakanku
adalah jika mereka memberikan semacam tes pada kami, hasilnya dia pasti akan
keluar sebagai peserta terpintar. Sesungguhnya, jika kami memasang perangkap
untuknya, aku yakin dia pasti bisa menciumnya dan menghindari buah berry
tersebut. Ketidaktauan Peeta-lah yang membuat si Muka Rubah tewas.
Aku menghabiskan banyak waktuku untuk memastikan aku tidak
meremehkan lawan-lawanku sehingga aku lupa bahwa memandang mereka terlalu
tinggi pun sama berbahayanya. Dan itu membawaku kembali ke Cato. Sementara aku
bisa memperkirakan siapa si Muka Rubah dan cara kerjanya, Cato tampaknya lebih
licin. Lebih kuat, lebih terlatih, tapi pintar? Aku tak tau. Pasti tak sepintar
si Muka Rubah. Dan Cato tidak memiliki kontrol diri seperti yang ditunjukkan si
Muka Rubah. Aku yakin Cato bisa dengan mudah kehilangan akal sehatnya dalam
keadaan marah. Meskipun tidak berarti aku lebih baik daripada dia untuk urusan
itu. Aku teringat ketika kutembakkan anak panah menembus apel di mulut babi
ketika aku marah besar. Mungkin aku memahami Cato lebih dari yang kupikirkan.
Meskipun tubuhku kelelahan, pikiranku tetap waspada, jadi
kubiarkan Peeta tidur lewat dari jam jaga kami biasanya. Bahkan, warna kelabu
samar tanda hari telah dimulai sudah tampak ketika aku mengguncang bahunya.
Peeta melihat keluar, nyaris terkejut. "Aku tidur sepanjang malam. Ini tak
adil Katniss, kau seharusnya membangunkanku."
Aku meregangkan tubuh lalu meringkuk ke dalam kantong tidur.
"Aku akan tidur sekarang. Bangunkan aku kalau ada kejadian seru."
Ternyata tak terjadi apa-apa, karena ketika aku membuka mata,
sinar matahari siang menembus di celah-celah bebatuan.
"Ada tanda-tanda dari teman kita?" tanyaku.
Peeta menggeleng. "Tidak ada, dia sepertinya tak mau
tampil menonjol."
"Menurutmu berapa lama lagi waktu kita sebelum juri
pertarungan membuat kita bertemu?" tanyaku.
"Hm, si Muka Rubah tewas hampir sehari lalu, jadi pasti
ada banyak waktu bagi penonton untuk memasang taruhan kemudian merasa bosan.
Kurasa bisa terjadi tak lama lagi," kata Peeta.
"Yeah, aku punya firasat hari inilah saatnya,"
kataku. Aku duduk dan memandang keluar ke pemandangan yang mententramkan.
"Aku penasaran, bagaimana cara mereka melakukannya ya?"
Peeta tidak menjawab. Memang tak ada jawaban yang bagus untuk
pertanyaan itu. "Yah, sampai mereka melakukannya, tak ada gunanya bagi
kita menyia-nyiakan satu hari berburu. Tapi kita sebaiknya mungkin makan
sebanyak yang bisa kita telan untuk berjaga-jaga seandainya kita menghadapi
masalah," kataku.
Peeta membereskan perlengkapan kami sementara aku mengeluarkan
makanan. Sisa daging kelinci, umbi-umbian, sayuran hijau, roti-roti yang
diolesi sisa-sisa keju terakhir. Makanan yang masih kusimpan untuk cadangan
adalah tupai dan apel.
Pada saat kami selesai makan, yang tersisa hanyalah
tulang-tulang kelinci. Kedua tanganku berminyak, yang hanya membuatku merasa
makin kotor. Mungkin di Seam kami tak mandi setiap hari, tapi disana kami lebih
bersih daripada tubuhku belakangan ini. Kecuali kakiku, yang sudah berjalan
disungai, bagian tubuhku yang lain berselimutkan debu.
Ketika meninggalkan gua, aku merasakan saat akhir menjelang.
Entah bagaimana aku merasa tak akan ada satu malam lagi di arena. Dengan satu
atau lain cara, hidup atau mati, aku punya firasat akan keluar dari arena hari
ini. Kutepuk batubatu menyampaikan salam perpisahan dan kami berjalan menuju
sungai untuk bersih-bersih. Aku bisa merasakan kulitku gatal kepingin kena air
dingin. Aku bisa menata rambutku dan mengepangnya ke belakang dalam keadaan
basah. Kupikir kami mungkin bisa menggosok pakaian kami dengan cepat disungai.
Atau tempat yang tadinya sungai itu. Sekarang tempat itu kering kerontang. Aku
menurunkan tanganku untuk menyentuhnya.
"Bahkan tak ada bekas lembap sama sekali. Mereka pasti
mengeringkannya ketika kita tidur," kataku. Rasa takut membayangkan bibir
pecah-pecah, tubuh yang sakit, dan pikiran berkabut akibat dehidrasi pertamaku
merasuk kedalam kesadaranku.
Botol-botol air kami masih lumayan penuh, tapi dengan matahari
seterik ini, air kami takkan bertahan lama.
"Danau," kata Peeta. "Mereka ingin kita
kesana."
"Mungkin masih ada air di kolam," kataku penuh
harap.
"Kita bisa memeriksanya," kata Peeta, tapi dia hanya
menghiburku.
Aku juga menghibur diriku karena aku tau apa yang akan
kutemukan saat kami kembali ke kolam tempat aku merendam kakiku. Tapi kami
tetap berjalan kesana hanya untuk memastikan apa yang kami ketahui.
"Kau benar. Mereka menggiring kita ke danau,"
kataku.
Disana tidak ada perlindungan. Disana mereka menjamin adanya
pertarungan berdarah tanpa ada apapun yang menghalangi pandangan mereka.
"Kau mau kesana sekarang atau menunggu sampai air kita kita habis?"
"Ayo kesana sekarang, mumpung kita punya makanan dan
sudah beristirahat. Mari kita akhiri semua ini," kata Peeta.
Aku mengangguk. Lucu rasanya. Aku merasa seolah-olah berada di
hari pertama Hunger Games lagi. Dua puluh satu peserta sudah tewas, tapi aku
masih harus membunuh Cato. Sesungguhnya, bukankah dia selalu jadi satu-satunya
orang yang harusnya kubunuh? Sekarang tampaknya peserta-peserta lain hanyalah rintangan-rintangan
kecil, pengalih perhatian, yang menjauhkan kami dari pertarungan Hunger Games
yang sesungguhnya. Cato dan aku.
Tapi tunggu, ada anak lelaki yang menunggu disampingku. Aku
merasakan kedua lengannya memelukku. "Dua lawan satu. Seharusnya mudah,"
kata Peeta.
"Makan kita berikutnya akan di Capitol," sahutku.
"Pastinya," timpal Peeta.
Kami berdiri sesaat, berpelukan erat, merasakan keberadaan
satu sama lain, sinar matahari, gemerisik daun-daunan dibawah kaki kami. Lalu
tanpa kata-kata, kami melepaskan pelukan dan berjalan ke danau.
Saat ini aku tak peduli jika langkah kaki Peeta membuat
binatang-binatang pengerat kabur, membuat burung-burung terbang. Kami harus
melawan Cato dan sama saja melakukannya sekarang atau nanti ditanah lapang.
Tapi aku tidak yakin kami punya pilihan. Jika para juri pertarungan ingin kami
melakukannya di tempat terbuka, maka tempat terbukalah pilihannya.
Kami berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon tempat
kawanan Karier memerangkapku. Serpihan-serpihan kulit sarang tawon penjejak,
hancur karena hujan lebat dan kering karena sengatan matahari, menegaskan bahwa
ini memang tempatnya. Kusentuh serpihan kulit itu dengan ujung sepatu botku,
dan segera serpihan itu berubah jadi debu yang terriup terbawa angin. Aku tidak
bisa menahan diri untuk tidak melihat pohon tempat Rue hinggap diam-diam,
menunggu untuk menyelamatkanku. Tawon penjejak. Mayat Glimmer yang menggembung.
Halusinasi-halusinasi yang menakutkan.
"Ayo terus bergerak," kataku, ingin melepaskan diri
dari kegelapan yang melingkupi tempat ini. Peeta tak membantah.
Sudah menjelang malam ketika kami tiba di tanah lapang. Tidak
ada tanda keberadaan Cato. Tiak ada tanda apapun selain emas Cornucopia
berkilau di bawah sinar matahari yang menyilaukan. Untuk berjaga-jaga
seandainya Cato akan menyerang kami dengan cara yang dilakukan si Muka Rubah
ketika merebut ranselnya, kami mengelilingi Cornucopia untuk memastikan tempat
ini kosong. Lalu dengan patuh, seakan mengikuti perintah, kami berjalan ke
danau dan mengisi tempat air kami.
Aku mengernyit memandang matahari yang terbenam. "Kita
tak mau melawannya setelah hari gelap. Hanya ada satu kacamata malam."
Dengan hati-hati Peeta meneteskan iodine ke dalam air.
"Mungkin itu yang ditunggunya. Kau ingin melakukan apa sekarang? Kembali
ke gua?"
"Itu, atau mencari pohon. Tapi kita beri dia waktu
setengah jam lagi. Kemudian kita cari tempat sembunyi," jawabku.
Kami duduk didekat danau, sengaja membiarkan diri kami
terlihat. Tidak ada gunanya bersembunyi sekarang. Di pepohonan di ujung tanah
lapang, aku bisa melihat burung-burung mockingjay hinggap disana-sini. Saling
bertukar melodi diantara mereka seperti saling melempar bola-bola berwarna
cerah. Aku menyanyikan empat not lagu Rue. Aku bisa merasakan burung-burung itu
diam menunggu penuh rasa ingin tau mendengar suaraku dan menyimak lebih
seksama.
Kuulang nada itu dalam suasana hening. Pertama seekor
mockingjay balas melantunkannya, lalu diikuti mockingjay lainnya.
"Sama seperti ayahmu," kata Peeta.
Jemariku menyentuh pin di kausku. "Itu lagu Rue,"
kataku. "Menurutku mereka mengingatnya."
Musik bergema dan aku mengenali keindahannya. Not-not itu
saling tumpang tindih, membentuk nada yang saling mengisi, membentuk harmoni
yang indah dan bagai nyanyian bidadari. Berkat Rue, suara inilah yang mengirim
para pekerja di kebun buah di distrik 11 pulang kerumah setiap malam. Apakah
ada yang menyanyikannya pada jam pulang, kini setelah Rue meninggal?
Selama sesaat, aku memejamkan mataku dan mendengarkan,
terpukau dengan keindahan lagu itu. Kemudian ada sesuatu yang mengganggu irama
musik. Iramanya terpotong secara kasar dan tak beraturan. Nada-nada sumbang
bercampur dengan melodi. Mockingjay itu memekikkan kengerian.
Kami langsung berdiri, Peeta menghunus pedangnya, aku bersiap
memanah, ketika Cato berlari melintasi pepohonan. Dia tak membawa tombak.
Bahkan, kedua tangannya kosong, tapi dia terus berlari ke arah kami. Panah
pertamaku mengenai dadanya, yang anehnya langsung jatuh tanpa menembus tubuh
Cato.
"Dia memakai semacam perisai" aku berteriak pada
Peeta.
Teriakanku tepat pada waktunya, karena Cato sudah mendatangi
kami. Aku menguatkan diri, tapi dia menerjang diantara kami tanpa mengurangi
kecepatannya. Dari dengus napasnya, keringat yang membanjiri wajahnya yang
pias,Cato sudah berlari cukup lama. Bukan kearah kami. Tapi lari dari sesuatu.
Tapi apa?
Mataku mengamati hutan tepat ketika makhluk pertama melompat
ke tanah lapang. Ketika aku berpaling, aku melihat enam makhluk lain
mengikutinya. Kemudian aku lari tunggang langgang mengejar Cato tanpa ada
tujuan lain selain menyelamatkan diriku sendiri.[]
No comments:
Post a Comment