Penulis: Suzanne Collins
Bab 4
Selama beberapa saat, aku dan Peeta memandangi pembimbing kami
yang berusaha bangun dari cairan lengket menjijikan yang menempel di perutnya.
Bau muntah dan minuman keras yang tengik nyaris membuat makan malamku naik ke
kerongkongan.
Kami bertukar pandang. Jelas Haymitch tidak bisa diandalkan,
tapi Effie Trinket benar tentang satu hal, setelah kami memasuki arena
pertarungan hanya dia yang kami miliki. Seakan ada persetujuan bersama yang tak
terucap, aku dan Peeta masing-masing memegangi lengan Haymitch dan membantunya
berdiri.
"Aku kepeleset ya?" tanya Haymitch. "Baunya
nggak enak," Haymitch menyeka tangannya ke hidung, mencoreng wajahnya
dengan muntahan.
"Ayo ke kamar," kata Peeta. "Kita bersihkan
tubuhmu."
Kami setengah membopong setengah menyeret Haymitch kembali ke
gerbongnya. Karena kami tidak bisa menaruhnya di atas seprai berbordir cantik,
kami menariknya ke bathtub dan menyalakan pancuran menyiraminya. Haymitch
hampir tidak menyadarinya.
"Sudah, tinggalkan saja," kata Peeta padaku.
"Biar kuurus dia."
Aku bersyukur karena aku enggan menelanjangi Haymitch,
membasuh muntahan dari bulu dadanya, dan membaringkannya di ranjang. Mungkin
saja Peeta sedang berusaha menjadi favoritnya saat Hunger Games dimulai. Tapi
melihat keadaan Haymitch saat ini, dia takkan punya ingatan tentang hal ini
besok.
"Baiklah," sahutku. "Aku bisa memanggil orang
dari Capitol untuk membantumu."
Ada beberapa orang dari Capitol di kereta ini. Memasak untuk
kami. Melayani kami. Mengawal kami. Menjaga kami adalah tugas mereka.
"Tidak. Aku tidak mau dibantu mereka," tukas Peeta.
Aku mengangguk dan berjalan menuju kamarku sendiri. Aku
mengerti bagaimana perasaan Peeta. Aku sendiri tidak tahan melihat orang-orang
dari Capitol. Tapi membuat mereka mengurus Haymitch mungkin bisa jadi semacam
balas dendam. Aku jadi memikirkan alasan kenapa dia berkeras mengurus Haymitch
seorang diri dan mendadak aku berpikir, Itu karena dia memang baik. Perbuatan
baik yang sama seperti ketika dia memberiku roti.
Pemikiran itu membuatku terenyak. Peeta Mellark yang jahat.
Orang baik memliki cara untuk menyelinap masuk dalam diriku dan membusuk di
sana. Dan aku tidak bisa membiarkan Peeta melakukan ini. Mengingat tempat
seperti apa yang kami tuju. Jadi mulai sekarang aku memutuskan untuk tidak
terlalu sering berhubungan dengan anak tukang roti ini.
Saat aku kembali ke kamarku, kereta berhenti di peron untuk
menambah bahan bakar. Buru-buru aku membuka jendela dan melempar biskuit yang
diberikan ayah Peeta keluar kereta, langsung menutup jendela itu. Tidak ada
lagi. Tidak ada lagi hubungan dengan mereka. Sayangnya, kemasan biskuit jatuh
menghantam tanah dan pecah terbuka sehingga isinya tersebar membentuk rupa
bunga dandelion. Aku hanya melihatnya sesaat, karena kereta bergerak lagi, tapi
sesaat itu sudah cukup. Cukup untuk mengingatkanku pada dandelion lain yang
kulihat dibelakang halaman sekolah beberapa tahun lalu...
Aku baru saja memalingkan wajahku dari wajah Peeta Mellark
yang lebam ketika melihat dandelion tersebut dan aku tahu harapanku belum
musnah total. Kupetik bunga itu dengan hati-hati dan bergegas pulang. Aku
mengambil ember dan menarik tangan Prim lalu berjalan menuju Padang Rumput dan
ya, di sana penuh dengan titik-titik rumpun berwarna keemasan. Setelah kami
memanen bungabungaan itu, mencari-cari di sekitar bagian dalam pagar sampai
sejauh satu mil hingga ember kami penuh dengan dedaunan, tangkai, dan
bunga-bunga dandelion.
Malam itu, kami puas melahap salad dandelion dan sisa roti
dari toko roti.
"Apa lagi?" Prim bertanya padaku. "Makanan apa
lagi yang bisa kita temukan?"
"Segala macam makanan." Aku berjanji padanya.
"Aku hanya perlu mengingat apa saja yang bisa dicari."
Ibuku memiliki buku yang dibawanya dari toko obat.
Halaman-halamannya terbuat dari perkamen tua dan penuh dengan coretan-coretan
tinta bergambar tumbuhtumbuhan. Tulisan tangan yang ditulis dengan huruf balok
menjelaskan nama tumbuhan itu, di mana mencarinya, kapan tumbuhan itu berbunga,
dan apa saja kegunaan medisnya. Tapi ayahku menambahkan entri-entri lain dalam
buku itu.
Tumbuhan-tumbuhan yang bisa dimakan, bukan untuk pengobatan.
Dandelion, pokeweed, bawang liar, cemara. Aku dan Prim menghabiskan sisa makan
malam itu dengan membaca isi buku tersebut dengan tekun.
Keesokan harinya, kami bolos sekolah. Selama beberapa saat aku
hanya berkeliaran di sekitar ujung Padang Rumput, tapi akhirnya aku berhasil
mengumpulkan keberanian untuk melewati bagian bawah pagar. Untuk pertama
kalinya aku berada di sana sendirian, tanpa senjata ayahku yang bisa jadi pelindung.
Tapi aku bisa mengambil busur kecil dan panah yang dibuatkan Ayah untukku dari
pohon berongga. Mungkin aku tidak masuk ke hutan lebih dari dua puluh meter
hari itu. Aku menghabiskan lebih banyak waktu di atas dahan pohon oak tua,
berharap buruanku lewat. Setelah beberapa jam, aku beruntung bisa membunuh
kelinci. Sebelumnya, aku pernah memanah kelinci dari arahan ayahku. Tapi kali
ini aku melakukannya sendiri.
Sudah berbulan-bulan kami tidak makan daging. Melihat kelinci
tampaknya memunculkan sesuatu dalam diri ibuku. Dia bangkit berdiri, menguliti
bangkai kelinci itu, dan membuat rebusan daging yang di campur dengan
daun-daunan yang berhasil di kumpulkan Prim. Kemudian dia bertingkah bingung
lagi dan kembali ke tempat tidur, tapi ketika rebusan daging itu matang, kami
memaksanya makan semangkuk.
Hutan menjadi penyelamat kami, dan makin hari aku masuk makin
dalam ke hutan. Mulanya perlahan, tapi aku bertekad untuk memberi makan kami
sekeluarga. Aku mencuri telur dari sarang burung, menangkap ikan dengan jala,
dan kadang-kadang berhasil memanah tupai atau kelinci untuk dibuat rebusan
daging, dan mengumpulkan berbagai tumbuhan yang mekar di bawah kakiku.
Mengumpulkan tumbuhan lebih rumit. Banyak tumbuhan yang bisa dimakan, tapi
sekali salah makan kau bisa tewas seketika. Aku berkali-kali memeriksa tumbuhtumbuhan
yang berhasil kukumpulkan dengan membandingkannya dengan gambar-gambar yang
dibuat ayahku. Aku menjaga kami sekeluarga tetap hidup.
Awalnya, bila merasakan ada tanda bahaya, lolongan di
kejauhan, dahan patah tiba-tiba, aku pasti langsung melesat lari ke pagar.
Kemudian aku mulai berani memanjat pohon-pohon agar bisa kabur dari kejaran
anjing-anjing liar yang biasanya cepat bosan lalu pergi. Beruang dan macan
hidup jauh didalam hutan, mungkin mereka tidak menyukai bau jelaga dari distrik
kami.
Pada tanggal 8 Mei aku pergi ke Gedung Pengadilan, mendaftar
untuk jatah tessera, membawa pulang gandum dan minyak pertamaku yang jumlahnya
tak seberapa dalam gerobak mainan Prim. Pada tanggal delapan setiap bulan, aku
berhak mengambil jatahku. Tentu saja, aku tidak bisa berhenti berburu dan
mengumpulkan makanan. Gandum yang kami terima tidak cukup untuk kebutuhan
hidup, dan masih banyak barang yang harus dibeli, seperti sabun, susu, dan
benang. Makanan-makanan yang tak perlu kami makan, mulai kutukar di Hob.
Rasanya mengerikan masuk ketempat itu tanpa didampingi ayahku,
tapi orangorang di sana menghormatinya, dan mereka menerimaku. Hasil buruan
tetaplah hasil buruan, tidak peduli siapa yang membunuhnya. Aku juga menjual
hasil buruanku lewat pintu belakang rumah orang-orang kaya di kota, berusaha
mengingat-ingat apa yang pernah diberitahu ayahku sambil belajar trik-trik
baru. Tukang daging mau membeli kelinci tapi tidak mau tupai. Tukang roti
menyukai tupai tapi hanya mau menukarnya dengan roti jika tidak ada istrinya.
Pemimpin Penjaga Perdamaian suka kalkun liar. Sang wali kota menyenangi
stroberi.
Pada akhir musim panas, aku sedang mandi di kolam ketika aku
memperhatikan tumbuh-tumbuhan mulai tumbuh di sekelilingku. Tumbuhan jenis
rimpang dengan dedaunan yang lancip. Bunga-bunganya bermekaran dengan tiga
kelopak putih. Aku berlutut di dalam air, jemariku menggali lumpur lembut, dan
menarik akar umbi-umbian dari sana. Umbi kecil berwarna kebiru-biruan dengan tampilan
tidak menarik tapi bila direbus atau dipanggang rasanya selezat kentang.
"Katniss," kataku lantang. Ini jenis tanaman yang
menjadi asal-usul namaku. Dan bisa kudengar canda ayahku yang berkata,
"Selama kau bisa menemukan dirimu, kau takkan pernah kelaparan."
Selama berjam-jam aku mengaduk tepi-tepi kolam dengan ujung
jari-jari kakiku dan tongkat kayu, lalu mengumpulkan umbi yang terangkat ke
permukaan. Malam itu, kami berpesta ikan dan umbi katniss sampai kami merasa
kenyang, perasaan yang akhirnya bisa kami rasakan setelah berbulan-bulan.
Pelan-pelan, ibuku kembali pada kami. Dia mulai membersihkan,
memasak, dan mengawetkan sebagian makanan yang kubawa pulang untuk persediaan
musim dingin. Orang-orang melakukan barter atau membayar kami dengan uang untuk
ramuan ibuku. Suatu hari, kudengar ibuku bernyanyi. Prim gembira ibuku kembali,
tapi tetap mengawasi ibuku, menunggunya menghilang dari kami lagi. Aku tidak
mempercayainya. Dan sisi beringas dalam diriku membencinya karena sikap lemah
ibuku, karena melalaikan kami, selama berbulan-bulan yang harus kami lalui.
Prim memaafkannya, tapi aku mengambil langkah mundur dari ibuku, membangun
dinding untuk melindungi diriku agar tidak membutuhkannya, dan keadaan di
antara kami tak pernah sama lagi.
Kini aku akan mati tanpa punya kesempatan memperbaiki keadaan
itu. Aku teringat bagaimana aku membentak ibuku tadi siang di Gedung
Pengadilan. Tapi aku juga bilang aku sayang padanya. Jadi mungkin kata-kata itu
bisa jadi penyeimbang.
Selama beberapa saat aku berdiri memandang ke luar jendela
kereta, berharap aku bisa membuka jendela lagi, tapi aku tidak yakin dengan
kemungkinan yang bisa terjadi jika aku membuka jendela ketika kereta bergerak
secepat ini. Di kejauhan, aku melihat cahaya dari distrik-distrik lain. Distrik
10? Aku tidak tahu. Aku memikirkan orang-orang yang berada di dalam rumah
mereka, bersiap-siap tidur.
Aku membayangkan rumahku, dengan jendela yang ditutup rapat.
Apa yang sedang dilakukan Prim dan ibuku sekarang? Apakah mereka sanggup makan
malam? Menu malam ini adalah ikan kukus dan stroberi. Ataukah mereka membiarkan
makanan itu tak tersentuh di piring? Apakah mereka menonton tayangan ulang
rangkuman acara hari ini di TV tua yang ditaruh di atas meja menempel pada
dinding? Tentu akan ada air mata lagi. Apakah ibuku bisa tetap bertahan, tetap
kuat demi Prim? Atau apakah dia mulai menghilang lagi? Menempatkan beban dunia
pada bahu adikku yang rapuh?
Aku yakin Prim akan tidur dengam ibuku malam ini. Membayangkan
Buttercup yang budukan itu memposisikan dirinya di ranjang untuk mengawasi Prim
membuatku tenang. Jika Prim menangis, binatang itu akan berjalan ke pelukan
adikku dan bergelung di sana sampai Prim tenang dan tertidur lagi. Aku lega
tidak menenggelamkan kucing itu dulu.
Membayangkan rumah membuat hatiku perih dengan rasa kesepian.
Hari ini seakan tak pernah berakhir. Apa benar aku dan Gale baru tadi pagi
makan blackberry? Rasanya seperti kejadian yang terjadi dalam kehidupan yang
lampau. Seperti mimpi yang panjang berubah menjadi mimpi buruk. Mungkin jika
aku tidur, aku akan terbangun di Distrik 12, tempatku seharusnya berada.
Mungkin di laci-laci kamar ini terdapat banyak gaun tidur, tapi aku hanya
melepaskan kemeja dan celana panjangku lalu naik ke ranjang hanya dengan
pakaian dalam. Seprainya terbuat dari bahan yang halus seperti sutra. Selimut
tebal dan empuk langsung memberikan kehangatan.
Jika aku ingin menangis, sekaranglah saat untuk melakukannya.
Besok pagi, aku bisa membasuh bekas-bekas air mata dari wajahku. Tapi tidak ada
air mata yang keluar. Aku terlalu lelah atau kebas untuk menangis. Satu-satunya
hak yang kudambakan adalah berada di tempat lain. Jadi kubiarkan kereta ini
membuaiku hingga terlena.
***
Cahaya kelabu membias di antara tirai ketika suara ketukan
membangunkanku. Kudengar suara Effie Trinket, menyuruhku bangun. "Bangun,
bangun, bangun. Hari ini hari besaaaaaar."
Sesaat aku membayangkan seperti apa rasanya berada dalam
kepala wanita itu. Apa isi pikirannya saat dia terjaga? Mimpi apa yang
menyambanginya pada malam hari? Aku sama sekali tidak tahu.
Kupakai baju hijau yang sudah kupakai sebelumnya karena
bajunya masih bersih, hanya sedikit kusut karena semalaman teronggok di lantai.
Jemariku menelusuri lingkaran di sekelilimg hiasan mockingjay emas dan aku
teringat pada hutan, dan ayahku, saat Prim dan ibuku terbangun, dan segera
bergegas dengan kesibukan.
Aku tertidur dengan rambut masih dikepang, hasil kepangan
ibuku untuk Hari Pemungutan, dan bentuknya tidak terlalu berantakan, jadi
kubiarkan saja rambutku masih terkepang. Tidak masalah. Capitol pasti tidak
jauh lagi. Dan setelah kami tiba di kota, penata busanaku pasti akan mengatur
penampilanku. Kuharap aku tidak mendapat penata gaya yang beranggapan bahwa
telanjang adalah tren busana terbaru.
Ketika aku memasuki ruang makan, Effie Trinket berjalan
melewatiku dengan membawa secangkir kopi pahit. Dia menggerutu pelan soal
kecabulan. Haymitch, yang dengan wajah bengkak dan merah karena kejadian
kemarin, tampak tergelak. Peeta memegang roti dan tampak malu.
"Duduk Duduk" seru Haymitch, melambaikan tangan
padaku agar mendekat.
Saat aku duduk di kursiku, piring-piring berisi makanan
melimpah langsung tersaji di hadapanku. Telur, daging, tumpukan kentang goreng.
Semangkuk besar buahbuahan yang ditaruh di atas es agar tegap dingin. Seranjang
roti yang ditaruh di depanku bisa memberi makan keluargaku selama seminggu. Ada
segelas jus jeruk, pada Tahun Baru ketika ayahku membelikan kami sebuah jeruk
sebagai hadiah istimewa. Secangkir kopi. Ibuku amat menyukai kopi, yang nyaris
tak sanggup kami beli, tapi rasa kopi di lidahku hanya pahit dan encer. Dan ada
secangkir entah apa berisi cairan cokelat yang tak pernah kulihat.
"Ini namanya cokelat panas," kata Peeta.
"Rasanya enak."
Aku meminum seteguk cairan panas, manis, kental itu dan
langsung bergidik. Meskipun makanan lain memanggilku untuk mencicipinya, aku
mengabaikan panggilan itu hingga aku menghabiskan cokelatku. Lalu aku
memasukkan semua makanan yang bisa kutelan ke mulutku, banyak-banyak. Tapi
berlemak. Pernah ibuku bilang padaku bahwa aku selalu makan seolah-olah aku
ketakutan tak bisa melihat makanan lagi. Dan kujawab "Ya, betul, kecuali
aku pulang membawa makanan." Ibuku langsung terdiam.
Ketika perutku rasanya nyaris pecah, aku duduk bersandar dan
memperhatikan rekan-rekan sarapanku. Peeta masih makan, memecah rotinya dan
mencelupkannya ke dalam cokelat panas. Haymitch tampak tidak peduli pada
makanan di piringnya, tapi dia menenggak segelas jus berwarna merah yang
ditambahkan cairan bening dari botol. Dari bau yang tercium, pasti cairan itu
semacam minuman keras. Aku tidak kenal Haymitch, tapi aku sering melihatnya di
Hob, melemparkan segepok uang ke meja kepada wanita yang menjual cairan bening.
Dia pasti bakal teler berat pada saat kami tiba di Capitol.
Aku sadar bahwa aku membenci Haymitch. Tidak heran para
peserta dari Distrik 12 tak pernah punya kesempatan menang. Bukan karena kami
kurang makan dan kurang latihan. Beberapa peserta dari distrik kami cukup kuat
untuk menghadapi pertarungan. Tapi kami jarang mendapat sponsor dan
Haymitch-lah alasan utama kenapa kami tidak memperolehnya. Orang-orang kaya
yang mendukung peserta entah karena mereka bertaruh atas diri sang peserta atau
hanya demi bisa pamer bisa memilih pemenang yang tepat-mengharapkan orang yang
lebih elegan dibanding Haymitch untuk diajak bekerja sama.
"Kau seharusnya memberi kami nasihat," kataku pada
Haymitch.
"Ini nasihat untukmu. Usahakan tetap hidup," sahut
Haymitch kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
Aku bertukar pandang dengan Peeta sebelum aku sadar aku tidak
mau berurusan lagi dengannya. Aku kaget melihat ketegasan di matanya. Biasanya
Peeta tampak begitu lembut.
"Lucu sekali," kata Peeta.
Mendadak Peeta menepis keras gelas di tangan Haymitch. Gelas
itu pecah berantakan di lantai, membuat cairan berwarna merah darah itu
mengalir hingga ke bagian belakang kereta. "Tapi buat kami tidak
lucu."
Haymitch berpikir sejenak, kemudian meninju rahang Peeta,
hingga membuatnya terjatuh dari kursi. Ketika dia mengulurkan tangan untuk
mengambil minuman kerasnya, aku menusukkan pisau ke meja, ke antara tangan dan
botol minumannya, nyaris mengenai jemari Haymitch. Kusiapkan diri untuk
mengelak hantaman Haymitch, tapi dia tidak membalas. Malahan dia duduk
bersandar dan menyipitkan mata memandang kami.
"Hm, ada apa rupanya?" tanya Haymitch. "Apakah
aku mendapatkan petarung sejati tahun ini?"
Peeta bangkit dari lantai dan meraup es dari bawah mangkuk
buah, kemudian menempelkan es itu ke bagian memar di rahangnya.
"Jangan," kata Haymitch menghentikan Peeta.
"Biarkan memar itu kelihatan. Penonton akan mengira kau sudah bertarung
dengan peserta lain sebelum sampai ke arena pertarungan."
"Tapi itu melanggar peraturan," jawab Peeta.
"Hanya jika mereka menangkapmu. Memar itu menunjukkan kau
berkelahi, tapi kau tidak tertangkap, itu lebih baik lagi." kata Hatmitch.
Dia berpaling memandangku. "Bisakah kau menggunakan pisau itu selain untuk
menusuk meja?"
Busur dan panah adalah senjataku. Tapi aku juga sering
menghabiskan waktu dengan melemparkan pisau. Kadang-kadang, aku melukai
binatang dengam pisau ke tubuh binatang itu sebelum aku mendekatinya. Aku sadar
jika aku ingin menarik perhatian Haymitch, sekaranglah saatnya. Kutarik pisau
dari meja, kupegang erat gagangnya, lalu kulempar ke dinding di seberang
ruangan. Sebenarnya aku cuma berharap pisau itu bisa tertancap kuat di dinding,
tapi pisau itu tersangkut di ruang sempit di antara dua papan, membuatku tampak
lebih jago.
"Berdiri disini. Kalian berdua," kata Haymitch,
mengangguk ke bagian tengah ruangan. Kami mematuhinya dan dia berjalan
mengitari kami, mengamati kami seperti yang kadang-kadang dilakukan binatang,
memperhatikan otot-otot kami, mengamati wajah kami. "Hm, kalian tidak
seluruhnya tanpa harapan. Tampak kuat. Dan setelah penata busana mendandani
kalian, kalian pasti akan kelihatan menarik."
Aku dan Peeta tidak mempertanyakan hal ini. Hunger Games
bukanlah kontes kecantikan, tapi peserta yang kelihatan paling tampan atau
cantik selalu bisa menarik lebih banyak sponsor.
"Baiklah, aku akan membuat perjanjian dengan kalian.
Kalian jangan menggangguku kalau aku ingin minum dan aku akan menjaga diri
supaya tegap sadar untuk membantu kalian," kata Haymitch. "Tapi kau
harus melakukan apa yang kuperintahkan."
Perjanjian ini memang tidak terlalu menguntungkan tapi bila
mengingat sepuluh menit yang lalu, ini jauh lebih baik daripada tidak ada
petunjuk sama sekali.
"Baik," sahut Peeta.
"Jadi bantulah kami," kataku. "Ketika kami
sampai ke arena, apa strategi terbaik di Cornucopia untuk orang yang..."
"Satu-satu dulu. Beberapa menit lagi kita akan tiba di
stasiun. Kau akan berada di tangan penata busana. Kau takkan menyukai apa yang
akan mereka lakukan padamu. Tapi apapun yang terjadi jangan melawan," kata
Haymitch.
"Tapi..." aku hendak protes.
"Tidak ada tapi. Jangan melawan," ujar Haymitch, dia
mengambil botol minuman keras dari meja dan meninggalkan ruang makan.
Ketika pintu menutup di belakangnya, ruang makan berubah
gelap. Masih ada sedikit cahaya di dalam, tapi di luar seakan-akan malam
kembali menelan bumi. Kami pasti berada dalam terowongan yang menembus
pegunungan memasuki Capitol. Pegunungan membentuk penghalang alami antara
Capitol dan distrik-distrik sebelah timur. Nyaris tidak mungkin memasuki
Capitol dari arah timur selain melewati terowongan. Keuntungan geografis ini
adalah faktor utama penyebab kekalahan distrik-distrik ini dalam perang yang
membuatku sekarang jadi peserta pertarungan hari ini. Karena para pemberontak
harus memanjat pegunungan, mereka jadi sasaran mudah bagi angkatan udara
Capitol.
Aku dan Peeta Mellark berdiri tanpa bicara ketika kereta api
melaju cepat. Terowongan itu seakan tanpa akhir dan aku memikirkan berton-ton
batu memisahkan diriku dengan langit, dadaku langsung terasa sakit
membayangkannya. Aku benci terperangkap dalam batu seperti ini. Aku jadi teringat
pada tambang dan ayahku, terjebak, tidak bisa menemukan cahaya matahari,
terkubur selamanya dalam kegelapan.
Kereta akhirnya mulai melambat dan mendadak cahaya terang
membanjiri ruangan. Kami tidak bisa menahan diri. Aku dan Peeta langsung
berlari ke jendela untuk melihat apa yang biasanya cuma kami lihat di televisi,
Capitol kota yang mengendalikan negara Panem. Kamera tidak menipu saat
menggambarkan kemegahannya. Jika pun ada yang tidak tertangkap kamera adalah
betapa besarnya gedung-gedung berkilau dengan warna-warna pelangi yang
menjulang ke angkasa, mobil-mobil mengilat yang hilir-mudik di jalan-jalan
lebar beraspal, orang-orang berpakaian asing dengan tata rambut aneh dan
wajah-wajah yang dilukis yang tampaknya tidak pernah kekurangan makan. Semua
warnanya tampak palsu, warna pinknya terlalu pink, warna hijaunya terlalu
terang, warna kuningnya menyakitkan mata, seperti warna permen lolipop yang tak
pernah sanggup kami beli di toko kecil di Distrik 12.
Orang-orang mulai menunjuk ke arah kami dengan penuh semangat
ketika mereka mengenali kereta peserta pertarungan memasuki kota. Aku melangkah
mundur menjauhi kereta, muak melihat antusiasme mereka, tahu bahwa mereka tidak
sabar lagi menonton kami mati. Tapi Peeta tetap bertahan, dia bahkan melambai
dan tersenyum pada kerumunan orang. Dia baru berhenti melambai dan tersenyum
ketika kereta memasuki stasiun, dan membuat kami terhalang dari pandangan. Dia
melihatku sedang memelototinya dan mengangkat bahu.
"Siapa tahu?" katanya. "Salah seorang dari
mereka mungkin orang kaya."
Aku telah salah menilainya. Aku memikirkan segala tindakannya
sejak pemungutan. Caranya menggenggam tanganku. Ayahnya datang membawa kue dan
berjanji untuk memberi makan Prim... apakah Peeta yang menyuruhnya? Air matanya
di stasiun kereta. Mengajukan diri untuk memandikan Haymitch tapi kemudian
menantang lelaki itu pagi ini ketika pendekatan baik-baik tampaknya gagal. Dan
sekarang dia melambai di jendela, berusaha mengambil hati penonton.
Semua
potongan itu kini berusaha kusatukan, tapi kurasakan Peeta sedang menyusun
rencana. Dia tidak menerima kematiannya. Dia sedang berusaha keras untuk tetap
hidup. Dan itu berarti Peeta Mellark yang baik hati, yang memberiku roti,
sedang berusaha keras untuk membunuhku.[]
No comments:
Post a Comment