Penulis: Suzanne Collins
Bab 13
Hal pertama yang terlintas dalam benakku adalah bergegas turun
dari pohon, tapi aku terikat di atas dengan ikat pinggangku. Entah bagaimana
jari-jariku berhasil melepaskan gesper ikat pinggang dan aku terjatuh ke tanah
dalam keadaan terbungkus kantong tidur. Tidak ada waktu untuk berkemas.
Untungnya ransel dan botol airku sudah ada dalam kantong tidur. Aku mendesakkan
ikat pinggang ke dalam ransel, menyautkan ransel ke bahuku, dan kabur.
Dunia di sekitarku berubah menjadi asap dan api. Dahan-dahan
pohon yang terbakar memetikkan api, menimbulkan hujan api yang jatuh ke kakiku.
Yang bisa kulakukan adalah mengikuti yang lainnya, kelinci-kelinci dan rusa,
bahkan aku sempat melihat sekawanan anjing liar berlari menembus hutan. Aku
memercayai perhitungan arah mereka karena insting mereka lebih tajam daripada
instingku.
Tapi mereka jauh lebih cepat, melesat di antara sesemakan dengan
anggun sementara sepatu botku tersandung akar pohon dan batang-batang pohon
yang tumbang, tidak mungkin aku bisa menyamai kecepatan lari mereka.
Panasnya luar biasa, tapi yang lebih buruk dari panas adalah
asap, yang setiap saat bisa membuatku sesak napas. Kutarik bagian atas kausku
untuk menutup hidung, bersyukur karena kaus itu basah oleh keringat, sehingga
bisa memberikan perlindungan sedikit lebih baik. Akh terus berlari karena aku
tahu aku harus berlari. Napasku tercekik, tas ranselku menghantam pungggungku,
wajahku luka-luka karena ranting-ranting yang tidak kelihatan karena tertutup
kabut abu-abu.
Kebakaran ini bukan disebabkan api unggun yang lepas kendali,
tak ada tanda-tanda ketidaksengajaan. Api yang menyerangku memiliki bentuk
tidak alami, keseragaman yang menandakan bahwa api itu buatan manusia,
dihasilkan dari mesin, dirancang oleh Juri Hunger Games. Pertarungan hari ini
pasti terlalu tenang.
Tidak ada yang tewas, mungkin tidak ada perkelahian sama
sekali. Penonton di Capitol akan merasa bosan, mereka akan mengatakan Hunger
Games kali ini tidak menarik sama sekali. Bosan dan tidak menarik adalah aib
bagi acara ini. Tidak sulit bagiku untuk mengetahui motif para juri. Ada
kelompok peserta Karier dan peserta-peserta lain yang tersisa, mungkin kami
tersebar dan terpisah jauh di arena. Api ini di rancang untuk memaksa kami
keluar, membuat posisi kami jadi berdekatan. Cara ini mungkin bukan cara paling
orisinal, tapi teramat sangat efektif.
Aku melompati batang kayu yang terbakar. Sayangnya lompatanku
kurang tinggi. Ekor jaketku tersambar api dan aku harus berhenti untuk
melepaskan jaketku dan menginjak-injal api di jaketku agar padam. Tapi aku
tidak berani meninggalkan jaketku, jadi dalam keadaan setengah berasap dan
panas bekas terbakar, aku nekat memasukkan jaket itu ke dalam kantong tidur.
Aku berharap semoga tiadanya udara akan memadamkan bara yang tersisa. Hanya
ransel di punggungku inilah yang kupunya, dan aku harus berusaha bertahan hidup
dengan barang-barang yang jumlahnya tidak seberapa.
Dalam beberapa menit, tenggorokan dan hidungku terasa
terbakar. Aku mulai batuk-batuk hebat dan paru-paruku seakan terpanggang. Rasa
tidak nyaman kini berubah jadi kepanikan karena setiap kali bernapas aku
merasakan dadaku tertusuk ngeri, tak terhingga sakitnya. Aku berhasil
berlindung di bawah batu besar ketika aku mulai muntah-muntah, mengeluarkan
sisa makan malamku yang seadanya serta air yang masih tersisa di perutku. Aku
meringkuk dengan kedua tangan dan lutut di lantai, lalu terus muntah hingga tak
ada lagi yang bisa kumuntahkan.
Aku tahu aku harus terus bergerak, tapi saat ini aku gemetar
hebat dan pusing, sambil megap-megap mencari udara. Kubasuh mulutku dengan air
yang tidak lebih dari sesendok untuk membersihkan mulutku yang kemudian
kuludahkan, lalu aku minum beberapa teguk air lagi dari botol. Kau punya waktu
satu menit, kataku dalam hati. Satu menit untuk beristirahat. Waktu semenit itu
kugunakan untuk membereskan barang-barang, menggulung kantong tidur, dan dengan
asal-asalan memasukkan semua barang ke ransel.
Waktu semenitku habis. Aku tahu sekarang waktunya bergerak
tapi asap sudah mengaburkan pikiranku. Binatang-binatang yang berlari cepat
yang kujadikan petunjuk jalan sudah jauh meninggalkanku. Aku tahu aku tidak
pernah melihat batu-batu besar yang kujadikan tempat berlindung ini. Kemana
para Juri Pertarungan mengarahkanku? Kembali ke danau? Ke wilayah yang penuh
bahaya baru? Aku baru saja memperoleh ketenangan di kolam selama beberapa jam
saat serangan dimulai. Apakah aku bisa menyusuri kembali jejak api dan kembali
ke kolam itu, paling tidak untuk memperoleh sumber air. Api itu pasti akan
padam dan tidak akan membakar selamanya.
Bukan karena para Juri tidak bisa membuatnya seperti itu, tapi
karena kebakaran terus-menerus akan membuat bosan penonton. Kalau saja aku bisa
berada di belakang garis api, aku bisa menghindarkan pertemuan dengan para
Peserta Karier. Aku sudah memutuskan untuk berusaha dan mengambil jalan
memutar, meskipun cara ini membuatku harus berjalan beberapa kilometer menjauhi
kobaran api lalu memutarinya kembali. Tepat pada saat itu aku mendengar ledakan
bola api pertama menghantam batu yang jaraknya tidak lebih dari semeter di atas
kepalaku.
Aku melesat keluar dari perlindunganku, dipacu oleh
ketakutanku. Pertarungan ini sudah berbelok ke putaran lain. Api membuat kami
harus bergerak, dan kini penonton akan menyaksikan pertunjukkan seru. Saat
mendengar desisan api berikutnya, aku langsung tiarap ke tanah, tidak
membuang-buang waktu untuk melihatnya. Bola api menerjang pohon di sebelah
kiriku, membakarnya bulatbulat. Diam berarti maut. Aku nyaris belum berdiri
benar sebelum bola api ketiga menyambar tanah tempatku tadi berbaring, menyulut
tiang api di belakangku.
Waktu kini tidak berarti bagiku saat aku dengan panik berusaha
menghindar dari serangan-serangan. Aku tidak bisa melihat asal
serangan-serangan bola api ini, tapi pastinya bukan dari pesawat ringan. Sudah
jatuhnya tidak tajam. Mungkin seluruh bagian hutan ini sudah dipersenjatai
dengan pelontar api yang disembunyikan di pepohonan atau bebatuan. Di sebuah
tempat yang sejuk dan bersih tak bernoda entah di mana, Juri Pertarungan duduk
di belakang meja kendali, jari-jarinya di atas pemicu yang bisa mengakhiri
hidupku dalam hitungan detik. Yang diperlukan hanya satu tembakan jitu.
Apa pun rencana samar yang kupikirkan tentang kembali ke kolam
langsung terhapus dari benakku ketika aku berlari zigzag, menyuruk, dan
melompat menghindari bola-bola api. Masing-masing bola api itu hanya sebesar
buah apel, tapi menghasilkan kekuatan besar dalam setiap terjangannya. Semua
indraku langsung bekerja keras ketika kebutuhan untuk bertahan hidup menguasai
diriku sepenuhnya. Tidak ada waktu untuk berpikir apakah langkahku adalah
langkah yang benar. Saat mendengar desisan, aku langsung bertindak atau mati.
Namun ada sesuatu yang membuatku terus bergerak maju. Seumur
hidup yang kuhabiskan untuk menonton Hunger Games membuatku tahu hanya wilayah
tertentu yang dipasangi perangkap untuk serangan-serangan tertentu. Kalau saja
aku bisa kabur dari wilayah ini, aku mungkin bisa keluar dari jangkauan
pelontar-pelontar api ini. Mungkin saja dalam pelarianku aku bakal jatuh ke
sarang ular berbisa, tapi aku tidak bisa menguatirkan hal itu sekarang.
Aku tidak tahu berapa lama aku berjuang menghindari bola-bola
api, tapi serangan-serangan itu mulai surut. Baguslah, karena aku mau
muntah-muntah lagi. Kali ini cairan asam yang mendidihkan tenggorokanku dan
membakar hidungku juga. Aku terpaksa harus berhenti saat tubuhku kejang-kejang.
Tubuhku berusaha keras mengenyahkan racun yang kuisap pada saat serangan. Aku
menunggu suara desisan, tanda bahwa saatnya aku kabur. Aku tidak mendengarnya.
Tekanan akibat muntah membuat mataku berair. Pakaianku basah kuyup karena
keringat. Entah bagaimana, di antara bau asap dan muntah, aku mencium bau
rambut terbakar.
Tanganku langsung meraba kepang rambutku dan mendapati bola
api sudah menghanguskan rambutku sepanjang lima belas sentimeter. Gumpalan
rambut gosong mengisi jemariku. Aku memandanginya,terpesona melihat rambutku yang
sudah berubah bentuk dan saat itulah aku mendengar suara desisan. Otot-ototku
bereaksi, hanya saja kali ini tidak cukup cepat. Bola api menerjang tanah di
sampingku, setelah sebelumnya sempat menyerempet betis kananku. Aku panik
melihat bagian kaki celanaku terbakar. Aku menggeliat dan bergerak mundur
dengan kedua tangan dan kaki di tanah, berusaha menjauhkan diriku dari
kengerian yang ada di hadapanku. Saat aku tersadar, kukibas-kibaskan kakiku
maju mundur di tanah, yang malah makin memperburuk keadaan.
Tapi kemudian, tanpa pikir panjang, kurobek sisa kain celanaku
dengan dua tangan kosong. Aku duduk di tanah, beberapa meter dari kobaran yang
menghasilkan bola api tadi. Betisku menjerit kesakitan, kedua tanganku penuh
dengan bilur-bilur merah. Aku gemetar hebat hingga tak bisa bergerak. Kalau
Juri-Juri Pertarungan ingin menghabisiku, saat inilah saatnya.
Kudengar suara Cinna, dengan kain-kain mewah dan
perhiasan-perhiasan gemerlap. "Katniss, gadis yang terbakar."
Pasti para Juri Pertarungan tertawa terbahak-bahak bila
mengingatnya. Mungkin, kostum-kostum Cinna yang indah yang membuat mereka
menciptakan siksaan ini untukku. Aku yakin Cinna tidak bisa meramalkan kejadian
ini, dan melihat aku tersiksa pasti membuatnya sedih, karena aku percaya dia
sayang padaku. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin tampil telanjang bulat di
kereta kuda itu akan lebih aman buatku.
Serangan sudah berakhir. Para Juri Pertarungan tidak mau aku
mati. Belum saatnya. Semua orang tahu mereka bisa menghabisi kami semua dalam
hitungan detik setelah gong pembukaan berbunyi. Acara utama dalam Hunger Games
adalah menonton para peserta saling membunuh. Satu-dua kali mereka membunuh
seorang peserta hanya untuk mengingatkan peserta-peserta lain bahwa mereka bisa
melakukannya. Tapi lebih seringnya, mereka memanipulasi kami agar saling
berhadapan satu lawan satu. Itu artinya, kalau aku tidak ditembak lagi, artinya
di dekatku ada seorang peserta lain.
Seandainya bisa, aku ingin memanjat pohon dan berlindung di
sana sekarang, tapi asap masih sangat tebal dan bisa membuatku sesak napas
hingga tewas. Kupaksa diriku agar bisa berdiri lalu berjalan tertatih-tatih
menjauh dari kobaran api yang menerangi langit. Meskipun awan-awan hitam masih
menguntitku, api itu tampaknya tidak mengerjarku lagi.
Cahaya lain, cahaya dini hari, perlahan-lahan muncul.
Lingkarang-lingkaran asap tersorot sinar matahari. Jarak pandangku buruk. Aku
mungkin hanya bisa melihat sampai sejauh lima belas meter ke arah mana pun
mataku memandang. Peserta lain bisa dengan mudah bersembunyi tak terlihat
olehku. Seharusnya aju menghunus pisauku untuk jaga-jaga, tapi aku tidak yakin
pada kemampuanku untuk bisa tahan memegangi pisau terus-menerus. Aku benci luka
bakar, sejak dulu itu rasa sakit yang paling tidak kusukai, bahkan meskipun
cuma kesundut oven saat mengeluarkan roti dari panggangan. Bagiku ini adalah
rasa sakit yang terburuk, dan seumur hidup tak pernah aku merasakan rasa sakit
semacam ini.
Saking lelahnya aku bahkan tidak sadar kakiku tercelup di
kolam sampai semata kaki. Aku sampai di mata air, yang airnya keluar dari
celah-celah bebatuan, dengan kesejukan yang amat nikmat. Kucelupkan kedua
tanganku ke air dangkal itu dan langsung merasa jauh lebih baik. Kalau tidak
salah inilah yang selalu dikatakan ibuku. Pengobatan pertama untuk luka bakar
adalah air dingin. Tapi luka bakar yang dimaksud ibuku adalah luka bakar
ringan. Mungkin sarannya manjur untuk kedua tanganku. Tapi bagaimana dengan
betisku? Walaupun aku belum punya keberanian untuk memeriksa lukaku, tapi
kuperkirakan lukaku itu pasti skalanya jauh berbeda daripada luka di tanganku.
Selama beberapa saat, aku berbaring tengkurap di ujung kolam,
mengibas-ngibaskan kedua tanganku di air, sambil memperhatikan hiasan berbentuk
api-api kecil di kukuku mulai rontok. Baguslah. Aku sudah muak dengan api.
Kubasuh darah dan debu dari wajahku. Aku berusaha
mengingat-ingat segala yang kuketahui tentang luka bakar. Luka bakar merupakan
luka yang biasa dialami warga Seam karena kami masak dan menghangatkan rumah
kami dengan batu bara. Pernah terjadi kecelakaan tambang... satu keluarga
membawa pemuda dalam keadaan tak sadarkan diri, dan mereka memohon pada ibuku
untuk menolongnya.
Dokter distrik yang bertanggung jawab mengobati penambang
sudah angkat tangan, dan menyuruh keluarganya agar membawa pemuda itu pulang
dan menunggu kematiannya di rumah. Dia dibaringkan di meja dapur rumah kami,
tak sadar pada dunia sekelilingnya. Aku sempat melirik luka di pahanya, lukanya
terbuka, dagingnya terpanggang, terbakar hingga kelihatan tulangnya, lalu aku
lari keluar dari rumah. Aku pergi ke hutan dan berburu sepanjang hari, otakku
penuh dengan gambaran kaki yang mengerikan itu, dan kenangan kematian ayahku.
Lucunya, Prim, yang takut pada bayangannya sendiri, malah
tetap tinggal di rumah dan membantu ibuku. Ibuku selalu bilang orang yang jadi
penyembuh itu sudah memiliki bakat sejak lahir, bukan lewat sekolah atau
dilatih. Mereka mengusahakan yang terbaik, tapi pria itu tewas, seperti yang
diramalkan oleh sang dokter.
Aku harus mengobati kakiku, tapi aku masih tak sanggup
melihatnya. Bagaimana jika keadaannya separah kaki pria itu hingga aku bisa
melihat tulangku? Lalu aku teringat perkataan ibuku, katanya jika luka bakarnya
teramat parah, si korban mungkin tidak merasa sakit karena saraf-saraf
perasanya sudah hancur.
Kecemasanku berkurang mengingat omongan ibuku, lalu aku duduk
dan melihat kakiku. Aku nyaris pingsan melihat betisku. Dagingnya merah terang
dan penuh dengan bagian-bagian kulit yang melepuh. Aku mengambil napas
dalam-dalam dan pelan.
Aku yakin kamera sedang menyoroti wajahku. Aku tidak boleh
menunjukkan kelemahan karena luka ini. Terutama jika aku menginginkan bantuan.
Rasa kasihan tidak membuatmu dapat pertolongan. Kekaguman penonton saat
melihatmu tetap tegar tak butuh pertolonganlah yang bisa membantumu. Kurobek
sisa celana di bagian lutut dan memeriksa lukaku dengan lebih saksama. Luka
bakarku seukuran telapak tangan. Tidak ada bagian kulit yang menghitam. Kupikir
tidak apa-apa jika aku merendamnya. Dengan langkah lunglai kucelupkan kakiku ke
kolam, tumit sepatu botku kutahan di batu agar kulit sepatunya tidak terlalu
basah kuyup, lalu aku mendesah, karena rasanya nyaman sekali. Aku tahu ada
bahan rempah yang bisa dijadikan obat, tapi aku tidak bisa mengingatnya. Air
dan waktu mungkin yang kupunya untuk menyembuhkannya.
Apakah aku harus terus berjalan? Asap perlahan-lahan lenyap
tapi masih cukup tebal dan membuat sesak napas. Kalau aku terus berjalan
menjauhi api, bukankah aku akan langsung berhadapan dengan para Karier? Selain
itu, tiap kali aku mengangkat kakiku dari air, sakitnya kembali memuncak dan
aku harus mencelupkannya lagi. Tanganku tidak separah kakiku. Tanganku tidak perlu
dicelupkan terus menerus di air. Perlahan-lahan aku membereskan perlengkapanku.
Pertama-tama aku mengisi botol dengan air kolam, meneteskan iodine, dan setelah
cukup waktu menunggu, aku mulai mengisi cairan tubuh.
***
Setelah beberapa saat, kupaksa mulutku mengunyah biskuit,
untuk meredakan rasa laparku. Kugulung kantong tidurku. Selain beberapa noda
hitam, kantong tidur itu tidak rusak. Jaketkulah yang bermasalah. Bau dan bekas
terbakar, paling tidak sekitar tiga puluh sentimeter di bagian punggungya tidak
bisa diperbaiki lagi.
Kupotong bagian yang rusak, menyisakan bagian jaket yang hanya
menutupi sampai bagian bawah tulang rusukku. Tapi penutup kepalanya masih utuh
dan ini jauh lebih baik daripada tidak punya jaket sama sekali.
Selain rasa sakit, aku mulai mengantuk. Aku bisa saja memanjat
pohob dan beristirahat di sana, tapi aku bakalan mudah kelihatan. Selain itu,
rasanya aku tak sanggup meninggalkan kolam ini. Kuatur perlengkapanku dengan
rapi, bahkan ranselku sudah kusandang di bahu, tapi aku tidak bisa beranjak.
Kulihat tanaman dengan akar-akarnya yang bisa dimakan dan kuputuskan untuk
meracik makanan dengan sisa daging kelinci yang terakhir. Minum air. Melihat
matahari bergerak perlahan di langit. Apakah ada tempat lebih aman dari sini
yang bisa kutuju? Aku bersandar pada ranselku, dikuasai rasa kantuk.
Kalau para Karier menginginkanku, silakan cari aku di sini,
pikirku sebelum terlelap. Silakan cari aku di sini. Dan mereka memang menemukanku.
Untungnya aku sudah siap bergerak, karena ketika mendengar langkah kaki, aku
hanya punya waktu kurang dari semenit untuk kabur.
Malam sudah turun. Saat aku terbangun, aku sudah bangkit dan
berlari, mencipratkan air di kolam, melesat ke semak-semak. Kakiku yang luka
membuat langkahku lambat, tapi aku bisa merasa pengejarku juga tidak segesit
sebelum kebakaran terjadi. Kudengar mereka batuk-batuk dan suara mereka serak
ketika saling memanggil.
Namun, mereka tetap mendekat, seperti sekawanan anjing liar,
kemudian aku melakukan apa yang sudah kulakukan sepanjang hidupku dalam situasi
semacam ini. Aku mencari pohon tinggi dan mulai memanjat. Kalau lari sudah
menyakitkan, memanjat pohon rasanya penuh derita tak berkesudahan karena tidak
hanya butuh segenap tenaga tapi juga kontak langsung antara tanganku dan batang
pohon.
Namun aku gesit, dan saat mereka tiba di bawah pohonku, aku
sudah berada tujuh meter di atas mereka. Selama beberapa waktu, kami berhenti
dan saling mengamati. Kuharap mereka tidak mendengar debaran jantungku. Ini
dia, pikirku. Kesempatan apa yang kupunya dalam menghadapi mereka?
Mereka berenam, lima peserta Karier dan Peeta. Satu-satunya
yang membuatku terhibur adalah mereka tampak kepayahan. Tapi lihat senjata
mereka, lihat wajah mereka yang menyeringai dan meringis memandangku, mereka
sudah yakin bakal bisa menghabisiku. Tampaknya sudah tidak ada harapan. Tapi
terlintas sesuatu dalam benakku. Tidak diragukan lagi mereka lebih besar dan
lebih kuat daripada aku, tapi mereka juga lebih berat. Ada alasan kenapa aku
dan bukannya Gale yang memanjat jauh untuk memetik buah paling tinggi, atau
mencuri sarang burung paling susah dicapai. Beratku pasti lebih ringan dua
puluh sampai tiga puluh kilogram dari peserta Karier yang tubuhnya paling
kecil.
Sekarang aku tersenyum. "Bagaimana keadaan kalian?"
sapaku riang.
Mereka terkesiap mendengarku, tapi aku tahu penonton akan
menyukainya.
"Lumayan," jawab anak lelaki dari Distrik 2.
"Kau sendiri bagaimana?"
"Udara terlalu hangat untuk seleraku," sahutku. Aku
seakan bisa mendengar gema tawa dari Capitol. "Udara di atas sini lebih
baik. Kenapa kau tidak naik saja?"
"Memang itu niatku," jawab anak lelaki yang sama.
"Nih, pakai ini, Cato," kata anak perempuan dari
Distrik 1, dan dia memberikan busur perak dan seikat anak panah. Busurku.
Anak-anak panahku. Melihatnya saja membuatku ingin marah. Aku ingin menjerit
keras-keras pada diriku sendiri dan pada Peeta si pengkhianat yang membuat
perhatianku teralih hingga batal mengambilnya. Aku berusaha memandang matanya
sekarang, tapi dia tampaknya sengaja menghindari tatapanku dengan mengelap
pisaunya dengan ujung kemeja.
"Tidak," sahut Cato, mendorong busur itu. "Aku
lebih jago dengan belatiku." Aku bisa melihat senjatanya, pedang pendek
dan berat di selipan ikat pinggangnya.
Aku memberi waktu pada Cato untuk menjejak pohon dengan mantap
sebelum aku mulai memanjat lebih tinggi. Gale selalu bilang aku seperti tupai
yang bisa terbiritbirit memanjat dahan paling kurus sekalipun. Sebagian
kemampuanku berkat berat badanku, tapi sebagian berkat latihan. Kau harus tahu
di mana menempatkan tangan dan kakimu. Aku sudah memanjat lebih tinggi sepuluh
meter lagi ketika mendengar suara kayu patah, kulihat ke bawah dan Cato sedang
melayang jatuh dan membawa patahan dahan pohon. Dia jatuh dengan keras dan
kuharap lehernya patah, tapi kemudian dia berdiri dan mencaci maki
habis-habisan.
Gadis dengan busur dan panah, Glimmer kudengar seseorang
memanggil namanya-uh, orang-orang di Distrik 1 sering menamai anak mereka
dengan namanama konyol-si Glimmer ini menyeimbangkan tubuhnya di pohon sampai
dahan di bawah kakinya mulai patah dan akal sehat menyuruhnya berhenti
bergerak. Paling tidak aku berada 25 meter di atas pohon. Glimmer berusaha
memanahku dan langsung terlihat jelas dia tidak pandai menggunakan busur. Tapi
salah satu anak panahnya berhasil menancap di dekatku dan aku mengambilnya.
Kulambai-lambaikan anak panah itu menggoda Glimmer, seolah-olah aku mencabut
anak panah itu hanya untuk menggodanya, padahal sesungguhnya aku bermaksud
menggunakan panah ini kalau ada kesempatan. Aku bisa membunuh mereka, semuanya,
kalau saja senjata-senjata perak itu ada di tanganku.
Para peserta Karier berkumpul di bawah dan aku bisa mendengar
mereka saling menggerutukan rencana. Mereka marah karena aku berhasil membuat
mereka tampak bodoh. Tapi senja telah habis dan kesempatan mereka untuk
menyerangku mulai habis. Akhirnya, aku mendengar suara Peeta berkata dengan
keras, "Oh, biarkan saja dia di atas sana. Dia juga tak bakal kemana-mana.
Akan kita bereskan dia besok pagi."
Yah, Peeta benar tentang satu hal. Aku takkan kemana-mana.
Rasa lega berkat air kolam pupus sudah, membuatku langsung bisa merasakan luka
bakarku dengan sepenuh rasa. Aku merangkak turun ke bagian pohon yang bercabang
dan dengan kagok menyiapkan tempat untuk tidur. Kupakai jaketku. Kubuka kantong
tidurku.
Kuikat tubuhku di pohon dan berusaha tidak mengerang
kesakitan. Kantong tidur itu menimbulkan panas berlebihan untuk kakiku. Kurobek
sela di kantong tidur dan kekeluarkan betisku agar kena udara terbuka.
Kuteteskan air di lukaku dan di kedua tanganku.
Semua keberanianku lenyap sudah. Aku lemah karena kesakitan
dan kelaparan tapi aku tidak bisa makan. Bahkan jika aku bisa bertahan malam
ini, apa yang akan terjadi pada pagi hari? Aku memandangi dedaunan, memaksa
diriku untuk beristirahat, tapi luka bakar ini membuatku tidak bisa tidur. Burung-burung
sudah pulang ke sarang, menyanyikan lagu ninabobo untuk anak-anak mereka.
Binatang-binatang malam keluar dari sarang. Burung hantu berburu. Bau samar
sigung menembus asap. Entah mata binatang apa mengintip memandangiku dari pohon
di sekitarku-mungkin semacam tupai-yang tertarik cahaya api dari obor-obor
peserta Karier. Tiba-tiba, aku sudah bertumpu pada sikuku. Itu bukan mata
tupai, aku kenal baik pantulan mata binatang itu. Sesungguhnya, itu sama sekali
bukan mata binatang. Dalam cahaya senja yang makin menggelap, aku berhasil
mengenalinya, memandangiku tanpa suara di antara dahan pohon.
Rue.
Sudah berapa lama dia di sana? Mungkin sepanjang waktu. Diam
dan tidak memperhatikan sementara kejadian berlangsung di bawahnya. Mungkin dia
naik ke pohon tidak lama sebelum aku naik, karena mendengar kawanan Karier itu
mendekat.
No comments:
Post a Comment