Penulis: Suzanne Collins
Bab 14
MATAKU mengikuti arah yang ditunjukkan oleh jarinya, hingga ke
arah dedaunan di atas kepalaku. Mulanya, aku tidak mengerti apa yang
ditunjukkan oleh Rue, tapi kemudian sekitar lima meter di atas kepalaku, aku
melihat sebentuk benda yang masih samar-samar terlihat dalam sorotan cahaya
yang mulai temaram. Tapi... benda apa itu? Semacam binatang? Ukurannya sebesar
racoon, tapi tergantung pada bagian bawah dahan pohon, berayun-ayun pelan.
Benda itu bentuknya berbeda. Di antara suara hutan yang tak asing lagi di malam
hari, telingaku menangkap dengungan bernada rendah. Aku tahu apa itu. Sarang
tawon.
Ketakutan mencekamku, tapi akal sehatku masih bekerja untuk
membuatku tetap tenang tak bergerak. Lagi pula, aku tidak tahu jenis tawon apa
yang di sana. Bisa saja tawon biasa yang sifatnya
jangan-ganggu-kami-dan-kami-takkan-mengganggumu. Tapi ini kan Hunger Games, dan
biasa bukanlah hal yang biasa. Kemungkinan besar binatang itu adalah hasil
mutasi Capitol, yang ditanami tawon penjejak. Seperti burung jabberjay,
tawon-tawon pembunuh ini dibiakkan di lab dan ditaruh di tempat-tempar
strategis, seperti ranjau-ranjau darat, di sekitar distrik selama perang.
Tawon pembunuh itu lebih besar daripada tawon biasa, ada
bagian berwarna emas di tubuhnya dan sengatan bisa menimbulkan bengkak sebesar
buah plum. Banyak orang yang tidak sanggup menerima lebih dari beberapa kali
sengatan. Bahkan ada yang tewas seketika. Kalau kau tidak mati, halusinasi yang
dihasilkan dari bisa tawon ini bisa membuatmu gila. Dan masih ada lagi,
tawon-tawon ini akan memburu dan membunuh mereka yang menggangu sarangnya. Dan
dari sanalah asal nama penjejak.
Setelah perang, Capitol menghancurkan semua sarang tawon di
sekitar kota mereka, tapi sarang-sarang yang berada di dekat distrik-distrik
dibiarkan begitu saja. Kurasa, mereka sengaja menjadikannya pengingat kelemahan
kami, sama seperti Hunger Games ini. Satu lagi alasan agar para penduduk tetap
berada di dalam pagar batas Distrik 12. Saat aku dan Gale melihat sarang tawon
penjejak, kami langsung berbelok ke arah lain.
Apakah sarang tawon penjejak yang sekarang tergantung di atas
kepalaku? Aku menoleh mencari Rue untuk meminta bantuan, tapi dia sudah lenyap
di balik pohonnya.
Dalam kondisi sekarang ini, kurasa jenis sarang tawon apa pun
tidak ada pengaruhnya lagi buatku. Aku terluka dan terperangkap. Kegelapan
membuat kematianku ditangguhkan untuk sementara, tapi pada saat matahari
terbit, para peserta Karier ini akan menyusun rencana untuk membunuhku. Tidak
mungkin mereka tidak melakukannya setelah aku membuat mereka kelihatan begitu
bodoh.
Sarang tawon itu mungkin satu-satunya pilihanku yang tersisa.
Kalau saja aku bisa menjatuhkan sarang tawon itu pada mereka, aku mungkin punya
kesempatan lolos. Tapi untuk bisa melakukan itu, aku bisa saja kehilangan
nyawaku. Tentu saja, aku takkan mungkin berada cukup dekat dengan sarang tawon
hingga bisa memotongnya. Aku harus memotong dahan pohon dan menjatuhkan sarang
itu ke bawah. Bagian pisauku yang bergerigi bisa melakukannya. Tapi apakah
tanganku sanggup? Apakah getaran dari gergajiku malah membangunkan sarang tawon
itu? Dan bagaimana jika peserta Karier mengetahui apa yang kulakukan lalu
memindahkan kemah mereka? Semua itu pasti akan membuat rencanaku gagal.
Aku sadar kesempatan terbaikku untuk menggergaji tanpa menarik
perhatian adalah saat lagu kebangsaan berkumandang, yang bisa dimulai kapan
saja. Dengan susah payah aku keluar dari kantong tidur, memastikan pisauku
terselip aman di ikat pinggang, dan mulai memanjat pohon. Kegiatan memanjat ini
termasuk berbahaya karena dahan-dahan pohon ini jadi teramat tipis bahkan untuk
tubuh seringan tubuhku ini, tapi aku tetap bertahan. Ketika aku sampai ke
cabang pohon yang menjadi tempat sarang itu, suara dengungan terdengar lebih
jelas. Tapi jika ini memang benar tawon penjejak, suaranya terlalu lemah. Pasti
gara-gara asap, pikirku. Asap membius mereka. Obat bius adalah salah satu cara
yang digunakan pemberontak untuk menghadapi serangan-serangan tawon.
Lambang Capitol bersinar terang di atas kepalaku dan lagu kebangsaan
menggelegar. Sekarang atau tidak sama sekali, pikirku, lalu mulai menggergaji.
Tangan kananku langsung melepuh ketika dengan kaku bergerak maju mundur.
Setelah mendapat ritme yang pas, aku tidak perlu lagi terlalu bersusah payah
meskipun aku nyaris tak sanggup melakukannya. Kukatupkan gigiku rapat-rapat dan
sesekali kudongakkan kepalaku melihat langit dan mendapati bahwa tidak ada yang
tewas hari ini. Tapi tidak masalah. Penonton akan tetap duduk melihatku terluka
dan terperangkap di pohon sementara kawanan Karier berada di bawah menungguku.
Lagu kebangsaan berakhir ketika aku baru sepertiga jalan menggergaji batang
kayu, langitpun menggelap, dan aku terpaksa berhenti.
Sekarang bagaimana? Aku mungkin bisa menyelesaikan pekerjaanku
dengan meraba-raba tapi itu bukan rencana yang cerdas. Kalau tawon jadi terlalu
gelisah, kalau sarangnya menyangkut entah di mana ketika jatuh, kalau aku
berusaha melarikan diri, hal ini cuma menghabiskan waktu. Kupikir lebih baik
jika aku mengendap-endap naik saat dini hari, lalu mengirim sarang tawon itu ke
musuhmusuhku.
Dalam cahaya sanar obor peserta Karier, aku beringsut kembali
ke dahan pohonku dan menemukan kejutan terbaik yang bisa kuperoleh. Di atas
kantong tidurku terdapat pot plastik kecil yang terikat parasut perak. Hadiah
pertamaku dari sponsor Haymitch pasti mengirimnya saat lagu kebangsaan
berkumandang. Pot itu sebesar kepalan tanganku. Apa ini? Pasti bukan makanan.
Kubuka penutupnya dan dari aromanya aku tahu isinya adalah obat. Dengan
hati-hati kuraba permukaan salep. Rasa nyeri di ujung jariku langsung lenyap.
"Oh, Haymitch," bisikku. "Terima kasih."
Dia tidak mengabaikanku. Tidak meninggalkanku berjuang
sendirian. Harga obat ini pasti selangit. Mungkin tidak hanya satu tapi banyak
sponsor ikut menyumbang untuk membeli satu pot mungil ini. Bagiku, ini tak
ternilai harganya.
Kucelupkan dua jariku ke dalam stoples kecil itu dan dengan
lembut kueloskan salep ke betisku. Efeknya serasa magis, menghilangkan rasa
sakit seketika, dan meninggalkan sensasi sejuk yang menyenangkan. Ini bukan
ramuan herbal yang dicampur aduk ibuku dari tumbuh-tumbuhan hutan, ini obat
canggih yang digodok di lab Capitol. Setelah betisku diobati, kuoleskan salep
tipis-tipis ke tanganku.
Setelah membungkus pot dengan parasut, aku menyimpannya
baik-baik dalam ranselku. Kini setelah rasa sakitnya berkurang, yang bisa
kulakukan adalah beristirahat di dalam kantong tidur sebelum terlelap.
Seekor burung yang bertengger tidak jauh dariku membuatku
terbangun dan sadar bahwa hari baru telah di mulai. Dalam cahaya dini hari yang
kelabu, aku memperhatikan tanganku dengan saksama. Obat yang kuperoleh telah
mengubah warna merah menyala menjadi merah muda halus seperti warna kulit bayi.
Kakiku masih terasa nyeri, tapi luka dikakiku memang jauh lebih parah.
Kuoleskan obat sekali lagi dan perlahan-lahan membereskan perlengkapanku. Apa
pun yang terjadi, aku harus bergegas dan bergerak cepat. Aku juga menyempatkan
diri agar makan biskuit, dendeng dan minum beberapa gelas air. Nyaris tidak ada
makanan yang masuk perutku kemarin, dan aku mulai merasakan efek kelaparan.
Di bawahku, aku bisa melihat kawanan Karier dan Peeta tidur di
tanah. Melihat posisinya, yang bersandar di batang pohon, kuperkirakan Glimmer
yang seharusnya berjaga, tapi dia tidak bisa melawan keletihannya. Mataku
menyipit berusaha menembus pohon di sampingku, tapi aku tidak bisa melihat Rue.
Karena dia yang sudah memberitahuku tentang sarang tawon itu, rasanya adil jika
aku memperingatkannya. Selain itu, jika aku harus mati hari ini, aku ingin Rue
menang. Walaupun kemenangan Peeta bisa berarti tambah makanan untuk keluargaku,
tapi membayangkan dia dinobatkan jadi pemenang terlalu menyakitkan bagiku.
Kupanggil nama Rue dengan bisikan pelan; seketika muncul
sepasang mata, lebar dan waspada. Dia menunjuk ke sarang tawon lagi. Kuhunus
pisauku dan kugerakkan tanganku menunjukkan gerakan menggergaji. Rue mengangguk
dan menghilang. Ada suara gemerisik di pohon di dekatku. Lalu terdengar suara
yang sama lagi di pohon yang lebih jauh. Aku baru sadar bahwa Rue melompat dari
satu pohon ke pohon lain. Aku harus menahan diri agar tidak tertawa
keras-keras. Apakah ini keahlian yang ditunjukkannya pada para Juri?
Kubayangkan dia terbang di sekitar peralatan latihan tanpa menyentuh tanah.
Seharusnya paling sedikit dia dapat nilai sepuluh.
Cahaya kemerahan mulai memecah di timur. Aku tidak bisa
menunggu. Dibandingkan penderitaan yang harus kualami dalam memanjat pohon tadi
malam, yang ini tidak ada apa-apanya. Di dahan pohon tempat menahan sarang itu,
kutempatkan pisauku dilekuk bekas gergaji dan aku baru saja hendak memotongnya
ketika aku melihat ada sesuatu yang bergerak. Di sana, di dalam sarang. Tawon
penjejak dengan kilau emas terang di punggungnya dengan malas terbang di dekat
permukaan sarang yang kasar berwarna abu-abu. Tidak diragukan lagi, tawon-tawon
ini seperti kena bius, tapi tawon ini bergerak dan tidak tidur. Itu artinya
tidak lama lagi tawon-tawon yang lain juga akan keluar dari sarang.
Telapak tanganku berkeringat, butiran-butirannya mengalir
menembus salep obat, dan aku berusaha menyekanya di kausku agar kering. Kalau
aku tidak selesai memotong dahan pohon ini dalam hitungan detik, seluruh
penghuni sarang bisa menyerbu keluar dan menyerangku. Tidak ada alasan menundanya
lagi. Kuambil napas dalam-dalam, kupegang gagang pisau erat-erat dan kukerahkan
seluruh tenaga sekuat mungkin. Maju, mundur, maju, mundur Tawon-tawon penjejak
mulai mendengung dan kudengar mereka terbang keluar sarang. Maju, mundur, maju,
mundur. Kurasakan sakit menembus lututku dan aku tahu seekor tawon telah
menyengatku dan tawon-tawon lain segera menyusul. Maju, mundur, maju, mundur
Dan tepat ketika pisauku berhasil memotong dahan itu, langsung kudorong cabang
pohon itu sejauh mungkin.
Sarang itu jatuh menimpa cabang pohon di bawahnya, tersangkut
sebentar di beberapa cabang pohon tapi berhasil lepas hingga akhirnya jatuh ke
tanah. Sarang itu pecah terbuka seperti telur, dan tawon-tawon penjejak yang
marah melesat ke udara terbuka.
Kurasakan sengatan kedua pada pipiku, sengatan ketiga pada
leherku, dan bisa mereka nyaris membuatku pusing seketika. Aku berpegangan pada
pohon dengan satu tangan sementara tangan satunya lagi melepaskan sengatan dari
kulitku. Untungnya hanya tiga tawon penjejak yang mengejarku sebelum sarang
jatuh ke tanah.
Serangga-serangga lain menargetkan musuh-musuh lain di tanah.
Pembantaian habis-habisan. Para peserta Karier terbangun karena serangan massal
tawon penjejak. Peeta dan beberapa peserta lain secara naluriah meninggalkan
segalanya dan bergegas kabur. Aku bisa mendengar teriakan, "Ke danau Ke
danau" dan aku tahu mereka berharap bisa menghindari serangan tawon dengan
mencemplungkan diri ke air. Danau itu pasti tidak jauh letaknya jika mereka
pikir bisa kabur lebih cepat dari serangan serangga-serangga marah. Glimmer dan
anak perempuan lain dari Distrik 4 tidak terlalu beruntung.
Mereka menerima sengatan bertubi-tubi sebelum mereka tidak
kelihatan lagi dalam jarak pandangku. Dia memanggil yang lain memohon bantuan,
tapi tentu saja tak ada seorang pun yang mau kembali menolongnya. Anak
perempuan dari Distrik 4 terhuyung-huyung keluar dari jarak pandangku, dan aku
berani taruhan dia tak bakal berhasil sampai ke danau. Aku melihat Glimmer
jatuh, meronta-ronta histeris di tanah selama beberapa menit, kemudian diam tak
bergerak.
Sarang itu kini hanya bungkusan kosong. Tawon-tawon telah
menghilang mengejar yang lainnya. Menurutku mereka tidak bakalan kembali lagi,
tapi aku tidak mau mengambil risiko. Aku meluncur turun dari pohon dan jatuh ke
tanah, lalu berlari ke arah yang berlawanan dari danau. Racun sengatan tawon
membuat langkahku sedikit goyah, tapi aku berhasil menemukan jalan kembali ke
kolam kecilku dan merendam tubuhku di air, berjaga-jaga seandainya ada tawon
yang masih mengejarku. Setelah sekitar lima menit, aku naik dan duduk di
bebatuan.
Ternyata cerita tentang efek sengatan tawon penjejak bukanlah
sesuatu yang sengaja dilebih-lebihkan. Sesungguhnya, bekas sengatan di lututku
besarnya mirip buah jeruk dibandingkan plum. Nanah kehijauan yang menguarkan
bau tidak sedap tercium ketika aku menarik lepas sengatnya. Bengkaknya. Rasa
sakitnya. Nanahnya. Aku melihat Glimmer sekarat menuju kematiannya di tanah.
Pasti banyak mayat yang harus ditarik bahkan sebelum matahari terbit sempurna.
Aku tidak mau membayangkan seperti apa Glimmer sekarang. Tubuhnya pasti sudah
tidak keruan. Jemarinya yang bengkak kaku memegang busur panah...
Busur. Jauh di dalam benakku yang bingung satu pikiran
terhubung dengan pikiran lain dan aku langsung berdiri, berjalan hati-hati di
antara pepohonan, kembali ke tempat Glimmer berada. Busur dan anak-anak
panahnya. Aku harus mendapatkannya. Aku belum mendengar suara meriam di
tembakkan, jadi Glimmer mungkin masih dalam keadaan koma, jantungnya masih
berdenyut susah payah melawan bisa tawon. Tapi saat jantungnya berhenti dan
meriam menandakan kematiannya, pesawat ringan akan datang mengangkat jasadnya.
Membawa serta satu-satunya busur dan anak-anak panah yang kulihat dalam Hunger
Games ini selama-lamanya. Aku tidak mau busur dan anak panahku lepas lagi dari
genggaman.
Aku sampai ke tempat Glimmer terbaring tepat ketika meriam
ditembakkan. Tawon-tawon penjejak sudah tidak ada di sana. Gadis ini, yang pada
malam wawancara tampil memesona dengan gaun keemasannya, kini tidak bisa
dikenali lagi. Wajahnya rusak berat, tangan dan kakinya membengkak tiga kali
lipat dari ukuran normal. Bengkak-bengkak bekas sengatan mulai meledak,
memuncratkan nanah hijau berbau busuk. Aku harus mematahkan beberapa jari
Glimmer dengan batu agar pegangannya terlepas dari busur. Anak-anak panah
beserta sarungnya tertindih di punggungnya. Aku berusaha menggulingkan tubuhnya
dengan menarik satu lengannya, tapi daging tubuhnya terlepas di tanganku dan
aku terjatuh ke tanah.
Apakah ini sungguh terjadi? Atau aku mulai berhalusinasi?
Kupejamkan mataku rapat-rapat dan berusaha bernapas melalui mulut, kupaksa
diriku agar tidak muntah. Sarapanku harus tetap berada di perut, karena bisa
butuh waktu berharihari sebelum aku sanggup berburu lagi. Meriam kedua
ditembakkan dan kutebak anak perempuan dari Distrik 4 baru saja tewas. Kudengar
burung-burung berhenti bernyanyi lalu seekor burung menyeruakan peringatan,
yang artinya pesawat ringan itu sebentar lagi muncul.
Dalam keadaan bingung, kupikir pesawat ringan itu datang untuk
menarik Glimmer, meskipun jadinya tidak masuk akal karena aku masih berada di
sini, masih berjuang mengambil anak-anak panah. Aku segera berlutut dan
pepohonan di sekitarku mulai berputar-putar. Di langit, aku bisa melihat
pesawat ringan itu mendekat. Aku melompat memeluk tubuh Glimmer seakan ingin
melindunginya, tapi kemudian aku melihat anak perempuan dari Distrik 4 terangkat
ke udara dan lenyap.
"Lakukanlah," aku memerintahkan diriku sendiri.
Kukatupkan rahangku rapat-rapat lalu kususupkan kedua tanganku ke bawah tubuh
Glimmer, kupegang benda yang pastinya tulang rusuk lalu kupastikan di berbalik
tengkurap. Aku tidak bisa menahannya, sekarang aku mulai sesak napas, semua ini
seperti mimpi buruk dan aku tidak tahu lagi mana yang nyata mana yang tidak.
Kutarik panah-panah berujung perak itu, tapi ternyata tersangkut sesuatu, mungkin
kena tulang belikatnya atau apa, tapi akhirnya panah-panah itu terlepas dari
tindihan Glimmer.
Aku baru saja mendekap selongsong panah ini ketika mendengar
langkah-langkah kaki, tidak hanya satu tapi beberapa orang, yang berasal dari
semak-semak. Aku sadar para peserta Karier telah kembali. Mereka kembali untuk
membunuhku atau mengambil senjata mereka atau melakukan dua-duanya.
Tapi sudah terlambat untuk kabur. Aku mengeluarkan anak panah
berlendir dari selongsongnya lalu berusaha memasang di tali busur, tapi
pandanganku kabur dan aku seakan melihat ada tiga tali busur di tanganku.
Ditambah lagi bau nanah bekas sengatan tawon itu membuatku mual sehingga aku
tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa
melakukannya.
Aku tidak berdaya seperti pemburu yang baru pertama kali masuk
hutan, tombak terangkat, siap untuk dilemparkan. Keterkejutan di wajah Peeta
tidak masuk akal bagiku. Aku menunggu datangnya hantaman. Tapi Peeta malah
menurunkan tangannya.
"Kenapa kau masih di sini?" desisnya padaku.
Aku memandang Peeta tak mengerti sementara tetesan air jatuh
dari sengatan tawon di bawah telinganya. Sekujur tubuh Peeta mulai berkilau
seakan dia baru dicelupkan ke dalam embun.
"Kau sudah gila, ya?" Peeta mendorongku dengan
bagian tombak yang tumpul. "Bangun. Ayo bangun."
Aku berdiri, tapi dia masih mendorongku. Apa? Apa yang
terjadi? Dia mendorongku menjauh darinya keras-keras.
"Lari," pekiknya. "Lari."
Di belakangnya, Cato berlari melintasi semak-semak. Tubuhnya
juga basah, dan di salah satu matanya tampak bekas sengatan yang parah. Aku
sempat melihat pantulan sinar matahari di pedang Cato sebelum melakukan apa
yang diperintahkan Peeta, sambil memegangi busur dan panahku erat-erat,
menabrak pohon-pohon yang tidak kelihatan sebelumnya, terpeleset dan jatuh saat
aku berusaha menjaga keseimbanganku. Kolam airku sudah jauh tertinggal di
belakang dan aku memasuki hutan yang asing.
Dunia di depan mataku kini mulai tampak menguatirkan. Seekor
kupu-kupu membesar hingga seukuran rumah lalu lebur menjadi jutaan bintang.
Pepohonan berubah menjadi darah dan menciprati sepatu botku. Semut-semut mulai
keluar dari bisul-bisul di tanganku dan aku tidak bisa mengibaskannya pergi.
Semut-semut itu naik ke lenganku, leherku. Ada orang yang menjerit, jeritan
panjang bernada tinggi yang tidak putus. Samar-samar kupikir itu jeritanku. Aku
terpeleset dan jatuh ke lubang kecil yang didalamnya berbaris rapi
gelembung-gelembung oranye mungil yang berdengung seperti sarang tawon
penjejak. Sambil menekuk kedua lututku sampai ke dagu, aku menunggu maut datang
menjemputku.
No comments:
Post a Comment