Penulis: Suzanne Collins
Bab 3
Saat lagu kebangsaan berakhir, kami dibawa untuk diamankan.
Kami memang tidak diborgol atau semacamnya, tapi sekelompok Penjaga Perdamaian
menggiring kami memasuki pintu depan Gedung Pengadilan. Mungkin dulu banyak
peserta yang berusaha melarikan diri. Meskipun aku tak pernah melihat kejadian
semacam itu.
Selama berada di dalam, aku dimasukkan ke ruangan dan
ditinggal sendirian di sana. Ini tempat termewah yang pernah kumasuki, dengan
karpet tebal, kursi-kursi, dan sofa berlapis beludru. Aku tahu seperti apa
beludru karena ibuku memiliki gaun dengan kerah berbahan itu. Sewaktu duduk di
sofa, aku tidak tahan untuk tidak mengelus beludru itu berkali-kali. Sentuhan
itu membantu menenangkanku ketika aku menyiapkan diri untuk menghadapi
saat-saat berikutnya. Waktu yang diberikan kepada para peserta untuk
mengucapkan salam perpisahan dengan orang-orang yang mereka sayangi. Aku tidak
bisa merasa merana, lalu keluar dari ruangan ini dengan mata bengkak dan hidung
sembap. Menangis bukanlah pilihan.
Akan ada lebih banyak kamera di stasiun kereta api. Yang
pertama datang adalah adik dan ibuku. Kuulurkan tangan pada Prim dan dia naik
ke pangkuanku, kedua lengannya memeluk leherku, kepalanya di bahuku,
sebagaimana yang sering dilakukannya saat dia masih balita. Ibuku duduk di
sampingku dan memeluk kami berdua. Selama beberapa menit, tak ada yang bicara
di antara kami. Kemudian aku mulai memberitahu segala hal yang harus mereka
ingat untuk dikerjakan, karena sekarang aku takkan berada di sana untuk
melakukannya.
Prim tidak boleh mengambil tessera. Jika mereka hati-hati
mereka bisa bertahan hidup dengan menjual keju dan susu kambing milik Prim dan
menjalankan usaha toko obat kecil yang sekarang diurus ibuku untuk penduduk
Seam. Gale akan mencarikan tanaman obat yang tidak bisa ditanam sendiri oleh
ibuku, tapi ibuku harus hati-hati menggambarkannya pada Gale karena
pemahamannya pada tanaman obat tidak seperti aku. Gale juga akan membawakan
sisa daging buruan untuk mereka—aku dan dia sudah berjanji soal ini sekitar
setahun lalu—dan tidak akan meminta bayaran, tapi mereka akan berterima kasih
pada Gale dengan memberinya barang-barang seperti susu atau obat-obatan.
Aku tidak mau repot-repot menyarankan Prim untuk belajar
berburu. Aku pernah mengajarinya beberapa kali dan hasilnya kacau-balau. Dia
ketakutan berada di dalam hutan. Setiap kali aku memanah sesuatu, matanya
berkaca-kaca dan dia mengatakan bahwa kami mungkin bisa mengobati binatang itu
jika kami bergegas pulang secepatnya. Tapi dia punya hubungan baik dengan
kambingnya, jadi aku berkonsentrasi pada hal itu.
Setelah aku selesai memberi pengarahan tentang bahan makanan,
cara berdagang, dan agar Prim tetap bersekolah, aku berpaling pada ibuku dan
mencekal lengannya kuat-kuat. "Dengarkan aku. Ibu mendengarku?"
Dia mengangguk, terkejut dengan keseriusanku. Dia pasti tahu
apa yang hendak kukatakan. "Ibu tidak boleh menghilang lagi," kataku.
Mata ibuku tertunduk memandang lantai. "Aku tahu. Aku
takkan melakukannya. Aku tidak bisa menahan apa yang—"
"Yah, kali ini ibu harus menahannya. Ibu tidak bisa cabut
begitu saja dan meninggalkan Prim sendirian. Sekarang tak ada aku yang bisa
menjaga kalian agar tetap hidup. Tak peduli apa pun yang terjadi. Apa pun yang
Ibu lihat di layar TV, Ibu harus berjanji padaku bahwa ibu akan terus berjuang."
Suaraku meninggi hingga berteriak. Dalam suaraku terdapat segenap kemarahan,
segenap ketakutan yang kurasakan ketika dia meninggalkanku.
Ibuku menarik lengannya dari cekalanku, dan jadi ikutan marah.
"Dulu aku sakit. Aku bisa mengobati diriku sendiri jika memiliki obat yang
kupunyai sekarang."
"Kalau begitu minum obatnya. Dan urus dia,"
sergahku.
"Aku akan baik-baik saja, Katniss," kata Prim,
seraya menangkup wajahku dengan kedua tangannya. "Kau juga harus jaga
diri. Kau sangat cepat dan berani. Mungkin kau bisa menang."
Aku tidak bisa menang. Prim pasti sadar betul hal itu dalam
hatinya. Pertarungan pasti akan jauh di atas kemampuanku. Anak-anak dari
distrik yang lebih kaya, di mana kemenangan adalah kehormatan besar, sudah
berlatih sepanjang hidup mereka untuk pertarungan ini. Anak laki-laki yang
ukuran tubuhnya dua kali lebih besar daripada tubuhku. Anak perempuan yang tahu
dua puluh cara membunuhmu dengan pisau. Oh, tentu saja bakal ada orang-orang
seperti aku nanti. Orang yang dihabisi sebelum pertarungan makin seru.
"Mungkin," jawabku, karena aku tidak mungkin bisa
bilang pada ibuku untuk tetap berjuang jika aku sendiri sudah menyerah. Selain
itu, bukan sifatku untuk kalah tanpa bertarung, bahkan saat kemungkinan untuk
menang tampak begitu tipis. "Lalu kita akan kaya raya seperti
Haymitch."
"Aku tidak peduli kita kaya atau tidak. Aku hanya ingin
kau pulang. Kau akan berusaha, kan? Sungguh-sungguh berusaha?" tanya Prim.
"Sungguh-sungguh berusaha. Sumpah," kataku. Dan aku
tahu, demi Prim, aku akan harus sungguh berusaha.
Kemudian Penjaga Perdamai berada di ambang pintu, memberi
tanda waktunya sudah habis, lalu kami semua berpelukan sangat erat sampai sakit
rasanya dan yang terus kuucapkan adalah "Aku menyayangimu. Aku menyayangi
kalian."
Dan mereka membalas kata-kataku, kemudian Penjaga Perdamaian
memerintahkan mereka keluar dan pintu pun tertutup. Kubenamkan kepalaku di
salah satu bantal beludru seakan apa yang kulakukan ini bisa membendung segala
yang terjadi. Orang lain memasuki ruangan, dan ketika mendongak, aku kaget saat
melihat ternyata yang datang adalah tukang roti ayah Peeta Mellark. Aku tidak
percaya dia datang mengunjungiku. Bisa jadi aku bakalan berusaha membunuh anak
lelakinya sebentar lagi.
Tapi kami lumayan saling mengenal, dan dia bahkan lebih
mengenal Prim. Saat Prim menjual keju kambingnya di Hob, dia selalu menyisakan
dua batang untuk tukang roti dan sebagai gantinya dia memberikan banyak roti.
Kalau ingin melakukan pertukaran dengannya, kami selalu menunggu saat istrinya
yang jahat sedang tidak ada karena suaminya jauh lebih baik. Aku merasa yakin
dia tidak pernah memukul anaknya karena membuat roti hangus seperti yang
dilakukan istrinya. Tapi kenapa dia datang menemuiku?
Tukang roti itu duduk dengan canggung di salah satu kursi
empuk di ruangan ini. Dia lelaki bertubuh besar dengan bahu lebar dan bekas
luka bakar di tangannya hasil bertahun-tahun di dekat oven. Dia pasti baru
mengucapkan salam perpisahan dengan putranya. Dia mengeluarkan kantong kertas
putih dari saku jaketnya lalu mengulurkannya ke arahku. Kubuka kantong itu dan
kulihat ada kue di dalamnya. Kue adalah kemewahan yang takkan pernah bisa
kuperoleh.
"Terima kasih," kataku. Tukang roti itu sering kali
lebih banyak diam, dan hari ini dia tampak kehabisan kata-kata. "Aku makan
roti Anda tadi pagi. Temanku Gale menukarnya dengan tupai pagi ini."
Dia mengangguk, seakan mengingat-ingat tupainya.
"Bukan pertukaran yang menguntungkan Anda," kataku.
Lelaki itu mengangkat bahu seakan menganggapnya sebagai hal
sepele. Selanjutnya aku tidak bisa memikirkan topik pembicaraan lainnya, jadi
kami duduk dalam keheningan sampai Penjaga Perdamaian memanggilnya. Dia bangkit
dan batuk untuk melegakan pernapasannya. "Aku akan mengawasi gadis
kecilmu. Memastikan dia bisa tetap kenyang."
Aku merasa beban yang mengimpit dadaku langsung terangkat
mendengar perkataannya. Orang-orang biasanya berdagang denganku, tapi mereka
dengan tulus menyukai Prim. Mungkin akan ada cukup rasa suka yang mengupayakan
Prim tetap hidup.
Tamuku berikutnya juga di luar dugaan. Madge berjalan langsung
ke arahku. Dia tidak tampak cengeng atau menghindar, malahan ada ketergesaan
dalam nada suaranya yang membuatku terkejut. "Mereka akan mengizinkanmu
memakai satu barang dari distrikmu di dalam arena pertarungan. Satu benda yang
mengingatkanmu pada rumah. Maukah kau memakai ini?"
Dia mengulurkan pin emas bundar yang tersemat digaunnya tadi
siang. Sebelumnya aku tidak terlalu memperhatikannya, tapi sekarang aku melihat
lambang burung yang sedang terbang.
"Pin milikmu?" tanyaku. Memakai tanda mata dari
distrikku nyaris tak terlintas dalam benakku.
"Sini kupakaikan di gaunmu ya?" Madge tidak menunggu
jawabanku, dia langsung menyematkan pin burung itu di pakaianku. "Katniss,
janji ya kau akan memakainya di arena?" tanya Madge. "Janji?"
"Ya," kataku. Kue. Pin. Aku dapat banyak hadiah hari
ini. Madge memberiku hadiah lain. Ciuman di pipi. Kemudian dia pergi dan aku
berpikir mungkin selama ini sebenarnya Madge adalah sahabatku.
Akhirnya, Gale datang. Mungkin memang tidak ada unsur romantis
dalam hubungan kami, tapi saat dia merentangkan kedua lengannya, aku sama
sekali tidak ragu untuk masuk kepelukannya. Tubuhnya terasa tidak asing lagi—caranya
bergerak, aroma kayu yang terbakar, bahkan suara detak jantungnya yang kukenal
dari momen-momen sunyi saat berburu-tapi ini pertama kalinya aku sungguhsungguh
merasakannya, otot yang liat dan keras menempel pada tubuhku.
"Dengar," katanya. "Memperoleh pisau seharusnya
urusan mudah, tapi kau harus bisa mendapat panah. Itu kemungkinan
terbaikmu."
"Mereka tidak selalu punya panah," sahutku, dan aku
teringat pada tahun ketika hanya ada tongkat berduri yang dimiliki para peserta
untuk saling menghantam satu sama lain.
"Kalau begitu buat saja sendiri," tukas Gale.
"Bahkan busur yang lemah lebih baik daripada tak memilikinya sama
sekali."
Aku pernah mencoba meniru busur panah buatan ayahku tapi
hasilnya jelek sekali. Ternyata tidak semudah itu. Bahkan ayahku kadang-kadang
harus membuang busur buatannya sendiri.
"Aku juga tidak tahu apakah bakal ada kayu di sana
nanti," kataku.
Pada tahun yang lain, mereka melempar semua orang ke daerah
yang hanya ada batu-batu besar, pasir dan semak-semak. Aku benci pertarungan
tahun itu. Banyak peserta digigit ular berbisa atau jadi gila karena kehausan.
"Selalu ada kayu," kata Gale. "Sejak tahun itu
ketika setengah peserta mati karena kedinginan. Tidak banyak hiburan dari
tayangan tahun itu."
Memang benar. Kami pernah menonton para peserta dalam Hunger
Games kedinginan sampai mati pada malam hari. Kau nyaris tidak bisa melihat
mereka karena mereka hanya berbaring menggelung dan tidak ada kayu untuk dibuat
api atau obor atau apalah. Tahun itu dianggap tahun yang antiklimaks bagi
Capitol, hanya melihat kematian-kematian yang tenang dan tanpa darah. Sejak
saat itu, biasanya selalu tersedia kayu untuk membuat api.
"Ya, biasanya memang ada," kataku.
"Katniss, ini hanya perburuan. Kau pemburu terbaik yang
kukenal," kata Gale.
"Ini bukan sekedar perburuan. Mereka bersenjata. Dan
mereka bisa berpikir," jawabku.
"Kau juga. Dan kau lebih sering latihan. Latihan
sungguhan," katanya. "Kau tahu bagaimana membunuh."
"Bukan membunuh manusia," kataku.
"Sesulit apa sih?" tanya Gale muram.
Yang membuatku bergidik adalah jika aku bisa lupa bahwa mereka
manusia, maka tidak ada bedanya sama sekali. Para Penjaga Perdamaian datang
lebih awal dan Gale minta waktu lebih, tapi mereka menariknya pergi dan aku
mulai panik. "Jangan biarkan mereka kelaparan."
Aku menjerit memegangi tangan Gale.
"Tidak akan pernah. Kau tahu aku takkan membiarkannya.
Katniss, ingat aku..." katanya. Kemudian mereka memisahkan kami dengan
paksa lalu menutup pintu dan aku takkan pernah tahu apa yang ingin Gale katakan
agar bisa kuingat.
Perjalanan dari Gedung Pengadilan sampai stasiun kereta api
cukup singkat. Aku tak pernah naik mobil. Naik kereta kuda pun jarang. Di Seam,
kami biasanya berjalan kaki. Tidak menangis adalah keputusan benar. Stasiun
kereta api penuh dengan wartawan lengkap dengan kamera mereka yang seperti
serangga pengganggu diarahkan padaku. Tapi aku sudah sering berlatih menghapus
segala bentuk emosi agar tidak terpampang di wajahku dan aku melakukannya
sekarang. Sekilas kulihat diriku di layar televisi di dinding yang menyiarkan
kedatanganku secara langsung dan aku bersyukur bisa tampil dengan wajah bosan
seperti itu.
Sebaliknya, Peeta Mellark jelas habis menangis dan yang
menarik darinya adalah dia tidak berusaha menutupinya. Aku langsung berpikir
apakah ini strateginya untuk Hunger Games kali ini. Dengan tampil lemah dan
ketakutan, dia meyakinkan peserta-peserta lain bahwa dia bukanlah lawan yang
patut di perhitungkan, baru kemudian dia muncul sebagai jagoan. Hal ini
berhasil buat anak bernama Johanna Mason dari Distrik 7 beberapa tahun lalu.
Dia kelihatannya cuma anak pengecut dan cengeng tak di perdulikan oleh semua
orang sampai ketika tinggal beberapa peserta yang tersisa.
Ternyata anak perempuan itu bisa membunuh dengan keji. Caranya
bermain sangat cerdik. Tapi ini tampaknya strategi yang aneh dari Peeta Mellark
karena dia putra tukang roti. Selama bertahun-tahun dia mendapatkan cukup
makanan, lagi pula mengangkat nampan-nampan roti kesana kemari membuat bahunya
kekar dan kuat. Dia harus menangis sampai tersedu-sedu tanpa henti untuk
meyakinkan siapa pun agar mau menganggap enteng dirinya.
Kami harus berdiri di ambang pintu kereta selama beberapa
menit sementara kamera televisi melahap wajah kami bulat-bulat, kemudian kami
diizinkan masuk dan untunglah pintu segera menutup di belakang kami. Seketika
kereta api pun bergerak. Kecepatan kereta api ini membuatku tercengang. Tentu
saja, aku tak pernah naik kereta, karena melakukan perjalanan antar distrik termasuk
kegiatan terlarang kecuali untuk melaksanakan tugas-tugas yang diperintahkan
negara. Bagi distrik kami, tugas ini terutama mengangkut batu-bara. Tapi ini
bukan kereta batu bara biasa. Ini salah satu kereta milik Capitol yang
berkecepatan tinggi, dengan kecepatan rata-rata 250 mil per jam. Perjalanan
kami ke Capitol akan makan waktu kurang dari sehari.
Di sekolah, mereka memberitahu kami bahwa Capitol dibangun di
tempat yang dulu dinamai Pegunungan Rocky. Distrik 12 adalah wilayah yang
dikenal sebagai Appalachia. Bahkan ratusan tahun lampau, mereka menambang batu
bara disini. Itulah sebabnya para penambang kami harus menggali sangat dalam.
Entah bagaimana pelajaran di sekolah selalu kembali ke batu bara. Selain buku
bacaan dasar dan matematika kebanyakan pelajaran yang kami terima berhubungan
dengan batu bara. Kecuali untuk kelas mingguan tentang sejarah Panem.
Kebanyakan sih omong kosong tentang apa saja utang kami
terhadap Capitol. Aku tahu pasti banyak yang tidak mereka beritahukan tentang
kejadian yang sesungguhnya terjadi pada masa pemberontakan. Tapi aku tidak
menghabiskan banyak waktu untuk memikirkannya. Apa pun kebenarannya, aku tidak
melihat itu sebagai cara yang bisa membantuku mencari makan.
Kereta peserta ini lebih mewah dibanding ruangan di Gedung
Pengadilan. Masing-masing orang diberi kamar sendiri lengkap dengan kamar
tidur, ruang pakaian, dan kamar mandi pribadi dengan air keran yang bisa
mengucurkan air dingin dan panas. Di rumah kami tidak punya air panas, kecuali
kami memasaknya. Ada laci-laci yang penuh berisi pakaian-pakaian bagus. Effie
Trinket memberitahuku agar melakukan apa yang ingin kulakukan, memakai pakaian
apa pun yang kuinginkan, segalanya yang ada disini bisa kupakai. Hanya saja kau
harus siap untuk makan malam dalam waktu satu jam.
Aku melepaskan gaun biru ibuku lalu mandi air hangat dari
pancuran. Aku tak pernah mandi dengan air pancuran. Rasanya seperti di bawah
siraman hujan, hanya saja lebih hangat. Aku memakai kemeja hijau tua dan celana
panjang. Pada saat terakhir, aku teringat pin emas Madge. Untuk pertama kalinya
aku benar-benar memperhatikan pin itu. Ada perhiasan kecil bergambar burung
emas dengan lingkaran emas di sekelilingnya. Burung itu menempel dengan
lingkaran hanya di bagian ujung sayapnya. Tiba-tiba aku mengenali burung ini.
Burung Mockingjay.
Mereka jenis burung yang lucu dan menampar wajah Capitol.
Selama masa pemberontakan, Capitol membiakkan serangkaian hewan rekayasa
genetika sebagai senjata. Istilah umum bagi hewan-hewan itu adalah mutan, atau
kadang-kadang disingkat dengan sebutan mutt. Salah satunya adalah burung
istimewa disebut jabberjay yang memiliki kemampuan untuk mengingat dan
mengulang seluruh percakapan manusia. Mereka adalah burung yang bisa terbang
pulang ke sarang, semuanya jantan, yang dilepaskan ke wilayah-wilayah yang
dikenal sebagai tempat persembunyian musuh Capitol.
Setelah burung-burung itu mengumpulkan kata-kata yang
didengarnya, mereka terbang pulang ke markas untuk direkam. Butuh waktu
beberapa saat bagi orang-orang untuk menyadari apa yang terjadi pada
distrik-distrik tersebut, bagaimana percakapan-percakapan pribadi bisa sampai
ke telinga Capitol. Tentu saja kemudian para pemberontak mengibuli Capitol
dengan kebohongan-kebohongan besar dan mereka tertipu habis-habisan. Sehingga
markas yang jadi sarang burung itu pun ditutup dan burung-burung itu dibiarkan
begitu saja agar punah di alam liar.
Hanya saja mereka tidak pernah punah. Malahan, burung-burung
jabberjay itu kawin dengan mockingbird betina menciptakan spesies baru yang
bisa meniru siulan burung dan melodi manusia. Mereka telah kehilangan kemampuan
untuk mengulang kata-kata tapi masih bisa meniru suara manusia sampai tingkat tertentu,
mulai dari suara merdu bernada tinggi milik anak-anak hingga suara berat orang
dewasa. Dan burung-burung ini bisa menciptakan ulang lagu. Bukan hanya beberapa
nadanya, tapi seluruh lagu dengan berbagai versi berbeda, jika kau punya
kesabaran untuk menyanyikannya pada burung-burung itu dan jika mereka menyukai
suaramu.
Ayahku sangat menyukai burung mockingjay. Sewaktu kami
berburu, biasanya Ayah akan bersiul atau menyanyikan lagu yang rumit pada mereka,
dan setelah jeda yang sopan, burung-burung itu selalu balas bernyanyi. Tidak
semua orang mendapat kehormatan semacam itu. Tapi setiap kali ayahku bernyanyi,
semua burung di sana akan diam dan mendengarkan dengan saksama. Suaranya begitu
indah, bernada tinggi dan jernih dan penuh dengan getar kehidupan sehingga
membuat orang yang mendengarnya ingin tertawa dan menangis pada saat yang
bersamaan. Aku tak pernah sanggup melanjutkan latihan nyanyiku setelah ayahku
tewas. Namun, entah bagaimana burung-burung kecil itu memberikan semacam
kenangan. Seakan-akan ada bagian dari ayahku yang bersamaku, melindungiku.
Kupasang pin itu ke kemejaku, dan dengan kain berwarna hijau
gelap sebagai latar belakang, aku nyaris bisa membayangkan burung mockingjay
terbang di antara pepohonan. Effie Trinket datang menjemputku untuk makan
malam. Kuikuti langkahnya melewati koridor sempit dan bergoyang-goyang menuju
ruang makan dengan dinding berpanel kayu yang dipelitur. Di sana terdapat meja
dengan piring-piring yang mudah pecah. Peeta Mellark duduk menunggu kami kursi
di sampingnya kosong.
"Di mana Haymitch?" tanya Effie Trinket dengan nada
ceria.
"Terakhir kulihat dia, dia bilang mau tidur siang,"
sahut Peeta.
"Yah, ini memang hari yang melelahkan," kata Effie
Trinket. Menurutku dia tampak lega tanpa kehadiran Haymitch, dan aku tidak
menyalahkannya. Makan malam disajikan satu demi satu. Sup wortel kental, salad
sayuran, daging domba dan kentang tumbuk, keju dan buah-buahan, kue cokelat.
Sepanjang makan, Effie Trinket mengingatkan kami untuk menyisakan ruang di
perut karena masih ada lagi makanan yang akan disajikan. Tapi aku makan
sebanyak-banyaknya karena aku tak pernah makan makanan seperti ini, begitu
lezat dan begitu banyak, dan karena mungkin saja hal terbaik yang bisa
kulakukan sampai saat pertarungan tiba adalah menambah bobotku beberapa
kilogram.
"Paling tidak kalian berdua masih punya sopan
santun," kata Effie saat kami menghabiskan makanan utama. "Pasangan
tahun lalu makan segalanya dengan tangan seperti orang-orang tak beradab. Aku
sampai tidak nafsu makan melihatnya."
Pasangan tahun lalu adalah dua anak dari Seam yang tak pernah
melewati satu hari pun dengan makan kenyang. Dan saat mereka melihat makanan,
sopan santun di meja makan pasti sudah tak dipikirkan lagi. Peeta adalah anak
tukang roti. Ibuku mengajari aku dan Prim untuk makan dengan benar, jadi ya,
aku bisa menggunakan pisau dan garpu dengan baik. Tapi aku amat membenci
komentar Effie Trinket sampai-sampai aku sengaja menghabiskan sisa makan
malamku dengan menggunakan tangan. Lalu aku mengelap kedua tanganku dengan
taplak meja. Perbuatanku membuat bibirnya terkatup makin rapat.
Kini setelah selesai makan, aku berusaha keras untuk menjaga
agar makananku tidak naik lagi. Aku melihat muka Peeta juga agak pucat. Perut
kami berdua tidak terbiasa dengan makanan-makanan lezat seperti tadi. Tapi jika
aku bisa tahan makan sup dengan daging tikus, jeroan babi, dan kulit pohon—terutama
di musim dingin—aku bertekad untuk bisa menahan makananku agar tetap di
lambung. Kami menuju gerbong lain untuk menonton tayangan ulang pemungutan di
seantero Panem. Mereka berusaha mengatur acara itu berlangsung sepanjang hari
agar satu orang bisa menonton seluruh pemungutan secara langsung, tapi hanya
orang-orang yang berada di Capitol yang bisa menonton seluruhnya, karena mereka
tidak perlu menghadiri pemungutan.
Satu demi satu, kami melihat pemungutan di distrik lain,
nama-nama yang disebutkan, para sukarelawan yang maju menggantikan, atau lebih
seringnya lagi tak ada yang mau menjadi sukarelawan. Kami memperhatikan
wajah-wajah mereka yang akan menjadi lawan-lawan kami. Ada beberapa yang sulit
kulupakan. Anak lelaki mengerikan yang berlari maju untuk menjadi sukarelawan
dari Distrik 2. Gadis berwajah rubah dengan rambut merah lurus dari Distrik 5.
Anak laki-laki yang kakinya pincang dari Distrik 10. Dan yang paling
menakutkan, gadis berusia dua belas tahun dari Distrik 11. Dia memiliki mata
cokelat gelap, tapi selain itu ukuran tubuh dan tingkah polahnya mirip Prim.
Hanya ketika dia naik ke panggung dan mereka bertanya apakah ada sukarelawan,
yang bisa kudengar hanyalah embusan angin kencang di antara gedung-gedung kumuh
di sekitarnya. Tak ada seorang pun yang mau menggantikan tempatnya.
Terakhir, mereka menampilkan Distrik 12. Nama Prim disebutkan,
aku berlari maju untuk menjadi sukarelawan. Kau tidak bisa mendengar
keputusasaan dalam suaraku saat mendorong Prim ke belakang tubuhku, seakan aku
takut tak seorang pun mendengarku dan mereka akan membawa Prim pergi. Tapi
tentu saja mereka mendengarnya. Aku melihat Gale menarik Prim menjauh dariku
dan melihat diriku naik ke panggung. Para komentator tidak tahu harus berkata
apa ketika melihat kerumunan massa menolak tepuk tangan. Salam hormat tanpa
suara. Salah satu komentator mengatakan Distrik 12 selalu ketinggalan zaman
tapi kebiasaan masyarakat setempat itu bisa tampak menawan. Seakan mendapat
aba-aba, Haymitch jatuh di panggung dan mereka mengerang kocak. Nama Peeta
ditarik, dan dengan tenang dia mengambil tempatnya. Kami berjabat tangan.
Mereka sampai ke bagian lagu kebangsaan lagi, dan acara pun berakhir.
Effie Trinket menggurutu tentang keadaan wignya. "Mentor
kalian harus belajar banyak tentang penampilan. Juga banyak belajar tentang
bagaimana bersikap saat disorot televisi."
Tanpa disangka Peeta tertawa. "Dia mabuk," kata
Peeta. "Dia mabuk setiap tahun."
"Setiap hari," tambahku. Aku tidak bisa tidak takut
menyeringai. Cara Effie Trinket mengatakannya seakan-akan Haymitch cuma
bersikap kasar dan sikap lelaki itu bisa diperbaiki dengan beberapa tips
darinya.
"Ya," desis Effie Trinket. "Kalian anggap ini
lucu ya. Kalian tahu mentor kalian adalah penyambung hidup kalian kepada dunia
luar dalam Hunger Games ini. Orang yang memberi kalian saran, mencarikan
sponsor, dan menentukan hadiah-hadiah apa yang diberikan. Haymitch bisa jadi
orang yang menentukan hidup dan mati kalian"
Tepat pada saat itu, Haymitch terhuyung-huyung masuk ke dalam
gerbong. "Aku ketinggalan makan malam ya?" katanya dengan suara tidak
jelas. Kemudian dia muntah di atas karpet mahal dan jatuh ke kotorannya
sendiri.
"Silahkan
tertawa," kata Effie Trinket. Dia melompat dalam sepatu berhak lancipnya
mengitari kubangan muntahan dan meninggalkan ruangan.
No comments:
Post a Comment